Siswa SMKN 2 Amuntai Ciptakan Mesin Biodiesel
Media Indonesia | Rabu, 24 November 2021
Siswa SMKN 2 Amuntai Ciptakan Mesin Biodiesel
BIODIESEL dapat diartikan sebagai bahan bakar minyak nabati (BBN) yang terbuat dari minyak nabati melalui proses transesterifikasi dan esterifikasi. Tidak hanya minyak kelapa sawit (CPO), bahan baku biodiesel beragam jenis antara lain minyak kelapa, limbah minyak goreng, dan minyak jarak. Pengembangan biodiesel juga bertujuan mengurangi konsumsi BBM jenis solar serta sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi baru terbarukan. Berlatar belakang hal inilah para siswa SMKN 2 Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, menciptakan alat separator converter biodiesel yang berfungsi untuk pengolahan limbah minyak goreng menjadi biodiesel. Inovasi yang dikerjakan siswa SMKN 2 Amuntai pada 2020 ber- hasil meraih juara 2 Lomba Karya Tulis Ilmiah tingkat nasional. “Mesin separator converter bio-disel yang dibuat para siswa ini memiliki kemampuan produksi biodiesel 5 liter per jam tanpa listrik dan tanpa bahan bakar,” kata Ketua Jurusan Teknik Alat Berat SMKN 2 Amuntai, Zamzam. Sementara itu, bahan baku dikumpulkan dari minyak goreng sisa atau limbah milik warga, pedagang, dan kantin sekolah. Adapun proses pembuatan biodiesel dimulai dari penyaringan limbah minyak goreng dan kemudian dimasukkan dalam alat separator analis yang terbuat dari arang kayu untuk memisahkan endapan residu dalam limbah minyak goreng. Biodiesel yang dihasilkan alat ini dengan perbandingan campuran 50:50 dengan solar (B50) sudah diujicobakan dan dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel konvensional. “Biodiesel ini dapat digunakan pada jenis mesin diesel konvensional mobil, mesin penggerak kapal dan pabrik. Bahkan lebih murah,” ujarnya. Pengembangan biodiesel di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir bukannya tanpa hambatan atau tantangan. Salah satunya belum adanya kebijakan pemerintah yang mewajibkan pengembangan teknologi mesin bagi industri dan otomotif guna mengonsumsi biodiesel. Seperti dikemukakan Dwi Putera Kurniawan, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Kalsel, yang mengatakan pemerintah perlu mendesain atau membuat mesin diesel sendiri di dalam negeri, termasuk mesin-mesin pertanian yang kompatibel dengan bahan bakar campuran solar dan biodiesel agar biaya perawatan mesin lebih murah.
Media Indonesia | Rabu, 24 November 2021
Kalsel Pemasok Utama Biodiesel Nasional
Kalimantan Selatan bisa menjadi pemasok utama biodiesel nasional. Terlebih dalam menghadapi pembangunan ibu kota baru negara. HADIRNYA PT Jhonlin Agro Raya (JAR) yang memproduksi biodiesel B30 terbesar di kawasan Indonesia Timur menjadikan Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) sebagai salah satu pemasok utama biodiesel nasional yang diserap Pertamina. Sebelumnya, di Kalsel juga sudah berdiri pabrik biodiesel PT Sinarmas di Kabupaten Kotabaru dengan kapasitas produksi 1.000 ton per hari. “Kalsel bisa menjadi pemasok utama biodiesel nasional. Terlebih dalam menghadapi pembangunan ibu kota baru negara (IKN). Namun, tentunya perlu kerja sama dari daerah produsen CPO lainnya karena investasi di sektor perkebunan sawit di Kalsel menghadapi keterbatasan lahan,” ungkap Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalsel, Suparmi. Menurutnya, masa depan sektor perkebunan kelapa sawit ini cukup cerah. Terlebih pemerintah pusat telah membuat kebijakan peningkatan industri perkebunan kelapa sawit dari hulu hingga hilir, baik produksi CPO, industri biodiesel, maupun di sektor hilir, yaitu industri pengguna biodiesel, baik itu industri transportasi, pembangkit listrik, maupun industri lainnya. Industri biodiesel memiliki prospek yang cerah dan menjanjikan untuk dikembangkan karena didukung ketersediaan potensi luas tanaman kelapa sawit yang sangat besar, teknologi proses pembuatan biodiesel relatif sederhana, juga ketersediaan infrastruktur yang memadai. Di sisi lain, adanya keseriusan pemerintah dalam penyediaan dan pengembangan bahan bakar nabati, serta konsumsi BBM biosolar tiap tahun semakin meningkat. Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalsel mencatat saat ini konsumsi biogasoil Pertamina di Kalsel mencapai 1,3 juta kiloliter pada 2020. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebut peningkatan produksi biodiesel dan menurunnya impor BBM jenis solar telah berhasil menghemat devisa negara. Pada 2020 penghematan devisa sebesar Rp38 triliun dan diperkirakan pada 2021 penghematan devisa mencapai Rp56 triliun. Terpenting ialah menciptakan lapangan pekerjaan yang besar bagi masyarakat.
Perkebunan sawit berkelanjutan
Terkait dengan hal ini pula Pemerintah Provinsi Kalsel telah menyiapkan langkah strategis dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Perkebunan merupakan subsektor unggulan pertanian yang mampu bertahan di tengah pandemi, didukung dengan komoditas kelapa sawit sebagai salah satu penopang perekonomian. Berdasarkan data BPS, Kalsel memiliki luasan areal kelapa sawit mencapai 426.445 hektare (ha) yang terdiri dari 313.545 ha milik perusahaan swasta, 6.489 ha milik perusahaan negara, dan 106.441 ha diusahakan oleh rakyat, dengan total produksi minyak sawit (CPO) mencapai 1.130.745 ton. Jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit (PKS) yang ada sebanyak 97 perusahaan, dengan jumlah pabrik CPO sebanyak 39 PKS. Suparmi menjelaskan selain melakukan validasi data dan pembentukan tim penyelesaian keterlanjuran kegiatan usaha sawit perkebunan, Pemprov Kalsel berupaya meningkatkan produksi dan produktivitas kelapa sawit pekebun melalui program yang didukung dana dari Badan Pengelolaan Dana Pembangunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di sejumlah kabupaten seperti Kabupaten Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu, Kotabaru, dan Barito Kuala. Pembangunan hilirisasi industri sawit hingga diversifikasi integrasi perkebunan kelapa sawit dengan komoditas lainnya dalam mendukung ketahanan pangan. Salah satunya integrasi dengan peternakan sapi potong sebagai upaya percepatan swasembada sapi di Kalsel. Optimisme masa depan industri kelapa sawit ini juga dikemukakan Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalimantan Selatan, Totok Dewanto. “Industri kelapa sawit di Kalsel masih cukup bagus. Bahkan, Kalsel akan jadi tuan rumah konferensi Borneo Forum 4th, 15-16 Desember 2021 yang akan datang. Ke depan kita akan memaksimalkan pemanfaatan lahan kebun sawit integrasi sapi dan komoditas pertanian lainnya, di samping program PSR,” ungkapnya. Perkebunan kelapa sawit di Kalsel tersebar di sebagian besar wilayah kabupaten, kecuali Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Lebih jauh, dikemukakan Totok, saat ini berbagai masalah yang dihadapi Gapki terkait dengan regu-lasi/j amman keamanan berusaha antara lain tumpang- tindih peraturan pusat dan daerah, terkait dengan status kawasan hutan. Beberapa daerah untuk meningkatkan PAD menerbitkan perda yang memberatkan perusahaan. “Contohnya terkait dengan retribusi CPO, padahal untuk CPO perusahaan sudah dikenai PPN, Bea Keluar, juga Pajak Ekspor. Selain itu, kenaikan PE dan BK dirasakan cukup memberatkan dan mengurangi daya saing produk minyak sawit,” ujar Totok. Maraknya klaim lahan dan overlaping perizinan kebun dengan tambang juga menyebabkan ketidakpastian dalam usaha perkebunan kelapa sawit di Kalsel.
Merdeka.com | Kamis, 25 November 2021
Akademisi Nilai Biofuel bukan Solusi namun Justru Sebabkan Deforestasi
Rencana pemerintah Indonesia membangun dan mengoptimalkan pengolahan sawit menjadi bahan bakar nabati atau Biofuel dikritisi kalangan akademisi. Energi terbarukan itu bukan solusi tetapi justru menyebabkan deforestasi atau rusaknya hutan. Dosen Universitas Sriwijaya Palembang yang juga Direktur Spora Institute JJ Polong memaklumi gagasan pemerintah, mengusung tema besar energi terbarukan dalam rangka menuju energi bersih. Namun di balik itu terdapat banyak masalah. “Biofuel bersih pada bagian hilirnya, tapi pada hulunya justru menyebabkan kerusakan lingkungan atau deforestasi,” ungkap Polong dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang, Rabu (24/11). Menurut dia, deforestasi besar-besaran akan berimplikasi pada lepasnya emisi sehingga mempengaruhi iklim. Seperti dilakukan Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang menggarap pengelolaan sawit menjadi komponen Biofuel dan digagas sebagai proyek strategi nasional yang diproyeksikan pengganti bahan bakar fosil. “Padahal tidak ada bedanya antara BBM fosil dan BBM sawit atau Biofuel, tidak ada energi bersih atau kotor, semuanya banyak masalah. Kita tidak bisa mengatakan energi terbarukan baik atau bersih, kita harus melihat proses produksi energi dilahirkan,” kata dia. Polong menilai proyek energi terbarukan hanya berpatokan sebatas konteks ekonomi sehingga sangat berbahaya bagi lingkungan. Oligarki dianggap pihak yang paling diuntungkan dengan mengkoordinasi aktor-aktor intelektual untuk mendorong energi terbarukan yang pada dasarnya tetap sama, yakni merusak lingkungan. “Hanya mementingkan ekonomi, tidak ada sisi ekologis dan sosiologis di dalamnya, bagaimana masyarakat setempat diperhatikan. Ujung-ujungnya masyarakat masih tetap sengsara,” ujarnya. Oleh karena itu, dia mendorong adanya diskursus mendalam sekaligus mengawal program itu. Apalagi fakta mencatat angka kemiskinan tertinggi di Sumsel berada di daerah kaya energi, yakni Muara Enim dan Musi Banyuasin. “Masyarakat tidak punya hak atas kekayaan daerah, justru hanya dinikmati segelintir aktor dari tingkat kabupaten, nasional hingga internasional. Program ini perlu pengkajian agar diskursus mendalam,” pungkasnya.
https://www.merdeka.com/peristiwa/akademisi-nilai-biofuel-bukan-solusi-namun-justru-sebabkan-deforestasi.html