Soal Program Biodiesel B50, Produsen Titip Pesan Ini ke Pemerintah

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

CNBCIndonesia.com | Selasa, 28 Mei 2024

 

Soal Program Biodiesel B50, Produsen Titip Pesan Ini ke Pemerintah

 

Pemerintah terus mendongkrak sawit untuk penggunaan di sektor energi, mulai dari B20, B30, B35 dan ke depan menjadi B40 bahkan sampai B50. Namun, produsen mewanti-wanti jika kandungan sawit terlalu tinggi untuk energi, maka Indonesia belum tentu bisa memenuhinya. “Kebutuhan 38 juta solar industri dan non industri, dikali 40% (B40) aja jadi 15,2 juta KL. Dengan kapasitas terpasang 18,6 juta KL bisa, tapi kalau B50 nggak akan bisa, gak cukup, itu pun mepet anggota kami 78% secara kemampuan produksi ya 80% lah itu agak berat, ya bisa, cuma berat,” ungkap Sekjen Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Ernest Gunawan kepada CNBC Indonesia di kantor Ombudsman, Senin (27/5/2024). Seakan tak puas dengan B40, bukan tidak mungkin pemerintah bakal menaikkan kandungannya menjadi B50. Namun produsen menyatakan bahwa hal itu sulit untuk terjadi.”B50 nggak (mungkin), kalau B40 mungkin. B50 19 juta nggak mungkin kapasitas kita aja 18,6 juta KL. B40 aja mungkin nggak ekspor kecuali anggota menambah utilitas,” imbuhnya. Ia mencontohkan proses adaptasi dengan penerapan B30 di 2020 lalu, dimana produsen kesulitan mengekspor karena harus fokus pada pasar domestik. Namun, produsen tetap menghormati kebijakan dari pemerintah. “Sudah uji coba di B40 sektor non otomotif, khususnya Kereta api alat berat, alsintan, kapal dan lain-lain, sedangkan Otomotif selesai 2023 hasilnya cukup oke, tinggal nunggu non Otomotif,” katanya. Adapun produsen diminta mempertahankan atau menaikkan kualitas biodiesel. Untuk B35 sudah keluar Kepditjen dari Ditjen EBTKE untuk meningkatkan kualitas B35. “Soal kualitas, banyak yang tidak tahu kenaikan B15, B20, B30, B35, Aprobi beserta anggota melakukan improvement untuk spesifikasi, khususnya water content dan stabilitas oksidasi. Itu memang nggak semata-mata langsung ditetapkan, tapi kita ada pembahasan dengan semua stakeholder, intinya win-win solution seberapa mampu kita menaikkan kualitas tersebut,” kata Ernest. Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, pemerintah akan melakukan uji terap program biodiesel 40% atau bahan bakar nabati dari sawit (B40) untuk sektor non-industri tahun ini. Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Edi Wibowo, mengatakan pihaknya akan melakukan uji terap pada sektor non-otomotif seperti pada alat kereta, kapal laut, hingga alat berat industri. Uji terap itu setidaknya akan dilakukan pada tahun ini. “Tahun ini kita rencana uji terap (B40) untuk non otomotif. Contohnya untuk KAI, maritim, dan juga alat berat industri. Kita lagi akan lakukan oleh tim dari LEMIGAS, dan juga nanti dilibatkan stakeholder terkait. Jadi uji terap itu dicek alat-alat tadi itu ada masalah atau nggak,” ungkapnya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, dikutip Selasa (6/2/2024).

https://www.cnbcindonesia.com/news/20240527214904-4-541620/soal-program-biodiesel-b50-produsen-titip-pesan-ini-ke-pemerintah

 

BERITA BIOFUEL

 

Bisnis.com | Selasa, 28 Mei 2024

 

Nombok Rp5.000 per Liter, Pertamina Minta Subsidi BBM Solar Dikaji Ulang

 

PT Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial and Trading PT Pertamina (Persero), meminta pemerintah meninjau kembali alokasi subsidi jenis BBM tertentu (JBT) Solar yang dinilai sudah tidak sesuai dengan harga keekonomian. Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan mengatakan bahwa saat ini besaran subsidi Solar yang dialokasikan pemerintah hanya Rp1.000 per liter, sementara harga jual Solar sebesar Rp6.800 per liter. Riva pun meminta dukungan dari pemerintah khususnya kepada Komisi VII DPR agar pemerintah meninjau ulang subsidi bagi bahan bakar solar. “Untuk JBT Solar, kami ingin sampaikan dan permohonan dukungan untuk melakukan peninjauan terhadap angka subsidi, di mana saat ini angka subsidi yang ada di formula besarannya adalah Rp1.000,” kata Riva saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Selasa (28/5/2024). Riva menjelaskan, peninjauan kembali diperlukan karena penetapan alokasi subsidi tersebut jauh lebih rendah dari harga keekonomian Solar saat ini, yang menyebabkan Pertamina menanggung terlebih dahulu sebesar Rp5.000 per liter, sebelum nantinya mendapat kompensasi dari pemerintah.  Sementara itu, Pertamina memastikan bakal menjaga pendistribusian Solar berada diangka 17,7 juta kiloliter (kl) atau 0,55% di bawah kuota 2024 sebesar 17,8 juta kl.  Program Subsidi Tepat ini, kata Riva, bisa menjaga pertumbuhan konsumsi Solar minus 0,4% dibandingkan realisasi tahun 2022, dan minus 0,12% jika dibandingkan realisasi tahun 2023.  “Progres subsidi tepat BBM, seperti kami laporkan sebelumnya, untuk JBT Solar kami selesaikan pendaftaran dan pendataan seluruh 514 kabupaten/kota dengan pengguna JBT terdaftar 3,81 juta pengguna atau QR code,” ujarnya. Adapun, Pertamina menerima pembayaran dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) atas kekurangan penerimaan akibat penetapan harga jual eceran periode 2023 sebesar Rp43,52 triliun atau Rp39,20 triliun (tidak termasuk pajak). Besaran nilai kompensasi selisih harga jual formula dan harga jual eceran di SPBU atas kegiatan penyaluran JBT minyak Solar dan JBKP Pertalite tersebut nilainya telah direviu oleh Inspektorat Kementerian Keuangan RI (Itjen Kemenkeu) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

https://ekonomi.bisnis.com/read/20240528/44/1769102/nombok-rp5000-per-liter-pertamina-minta-subsidi-bbm-solar-dikaji-ulang

Harian Kontan | Selasa, 28 Mei 2024

 

Ekspor biodiesel ke Eropa Anjlok, Domestik Melesat

Ekspor biodiesel ke Uni Eropa menurun drastis sejak berlakunya UU anti deforestasi. Ekspor produk biodiesel Indonesia terus dihadapkan pada sejumlah tantangan dan hambatan. Salah satunya datang dari Uni Eropa yang notabene adalah importir biodiesel terbesar Indonesia dengan persentase 40%. Namun, ekspor biodiesel ke Benua Biru terus merosot dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini terjadi sejak Uni Eropa mengesahkan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa atau The European Union oil Deforestation-free Regulation \’ (EUDR) pada akhir tahun 2022 lalu. Bahkan, ekspor biodiesel ke Uni Eropa makin melorot di awal tahun ini. Meski beleid ini baru berlaku di awal 2025, tapi imbasnya memang makin terasa. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, ekspor biodiesel ke Uni Eropa anjlok hingga hingga 70% di awal 2021 ini. Ketua Umum Gapki, Eddy Martono buka suara soal penyebab menurunnya kinerja ekspor produk biodiesel ini. Selain karena beleid anti deforestasi, penurunan ekspor juga terjadi karena pertumbuhan ekonomi negara pengimpor yang kurang baik. “Volume ekspor produk sawit secara umum cenderung menurun karena pertumbuhan ekonomi negara pengimpor minyak sawit yang kurang baik, dan suplai minyak nabati lain yang meningkat,” ujarnya, Senin (27/5). Menurutnya, permintaan pasar ekspor produk sawit Indonesia didominasi produk hilir. Bukan hanya biodiesel, tapi juga komoditas sawit untuk pangan dan oteochemicaL Ernest Gunawan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen biofuel Indonesia (Apro-bi) mengatakan, sejak UU anti deforestasi Uni Eropa berlaku, maka ekspor biodiesel ke kawasan itu bakal terus menurun.

Pasar domestik

Namun, kabar baiknya permintaan biodiesel di dalam negeri bakal meningkat. Ini menyusul rencana pemerintah menerapkan program biodiesel 40% (B40) sebagai kelanjutan dari program B36 yang sekarang berlaku. Ia menambahkan, sekalipun bisa mengekspor biodiesel ke Eropa, pihaknya masih harus menanggung pajak impor yang diberlakukan oleh negara tujuan sehingga tidak kompetitif. “Tapi karena B40 kan jadi kila menyerap untuk domestik saja. Sejauh ini B-40 sudah dalam tahap pengujian di sektor non-otomo\’if,” ujarnya, kemarin. Jika program B40 jadi dilaksanakan, maka kebutuhan biodiesel dipastikan menangkal pesat Saal ini, kebutuhan solar industri dan non-industri berkisar 38 juta kiloliter (kl). Artinya, kebutuhan biodiesel adalah 40% dikali total kebutuhan solar. “Kalau kuotanya kita kali 40% saja dengan 38 juta kl, jadi kurang lebih 15,2 juta kl,” tambahnya. Ia mengatakan, kapasitas untuk B40 masih bisa terpenuhi. Namun, jika harus naik lagi hingga B50, maka pasokan biodiesel bisa terkendala. Pasalnya, terjadi penurunan lahan dan produksi sawit. “Harusnya bisa (B-40), tapi kalau B50 tidak cukup. Anggota kami harus 78% jalan semua (produksinya),” katanya. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo), Gulat Manurung mengatakan, i ram biodiesel B50 pada 2029 bisa meleset jika pemerintah lidak fokus mengembangkan industri perkebunan sawit di sisi hulu.