Tanpa HGU, PT Sindoka Mulai Tanam Sawit di Luwu Timur

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Mongabay | Minggu, 5 April 2020

Pandemi Virus Corona, tampaknya, tak menunda aksi perusahaan berhadapan dengan warga di Luwu Timur, pada Maret 2020. Sebuah foto dan video singkat tersebar cepat. Sumbernya dari lahan PT Sinar Indonesia Merdeka (Sindoka), Kecamatan Mangkutana, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Gambar itu menampilkan seorang pria berdiri tegak menggendong senjata laras panjang. Pakai kaos, celana hitam dan pet bertulis,” Police.” Di bagian depan seseorang duduk berjongkok, pakai celana cokelat dan kaos abu-abu. Gambar itu adalah rentetan peristiwa pada Maret 2020. Pekerja lapangan Sindoka yang dikawal kepolisian membongkar tanaman warga. Bagi perusahaan, warga yang masuk menduduki lahan adalah para penyerobot. Bagi warga, itu lahan garapan turun temurun mereka dan tanah negara yang terlantar. Bagaimana konflik lahan itu bermula? Pada 1987, Sindoka mendapatkan hak guna usaha (HGU) di wilayah Mangkutana seluas 3.509 hektar dengan izin pengembangan bioetanol. Kemudian perusahaan ini menanam kelapa hibrida, namun keok oleh produksi sawit PTPN XIV tak jauh dari lahan mereka. Tahun 1998, ketika Indonesia dilanda krisis, perusahaan tak mengelola lahan. 

Ketika perusahaan ini tidak lagi menggarap, beberapa warga memasuki area HGU, menanam tanaman jangka pendek, seperti cabai, hingga jagung. Pada 2012, perusahaan kembali datang dan meminta warga keluar. Besitegang beberapa waktu, tetapi ada kesepakatan. Perusahaan membolehkan warga menanam dalam HGU. Rahmat Darmawan, Manager Lapangan Sindoka, mengatakan, selama warga hanya menanam palawija itu tak jadi kendala. Perusahaan, katanya, tidak akan mengganggu tanaman. “Kami ini masyarakat Luwu, tidak mungkin melarang dengan kekerasan. Kami ini punya hati nurani juga,” katanya, Jumat (4/4/20). Meski demikian, apa yang dikatakan Rahmat berbanding terbalik pada kejadian 2014. Sebanyak 57 warga diseret ke kantor polisi dan 20 orang dijebloskan ke penjara. Sebelumnya, di lahan HGU Sindoka, warga dan perusahaan serta aparat kepolisian adu mulut. Foto yang tersebar tahun itu, memperlihatkan lebam dan berdarah pada bagian wajah dan kepala. Polisi bergerak represif, hingga memukul warga. Salah satu foto tersebar tahun itu, memperlihatkan seorang lelaki paruh baya dikerumuni orang dan mendapatkan pukulan. Namanya Nurjihad, 60 tahun. Kami berbincang melalui sambungan telepon selama satu jam.

Dia mengurai beberapa ingatan peristiwa itu. “Kami melawan nak. Karena rumah kami dibongkar. Kami melawan,” katanya. Nurjihad lahir di Bastem, kampung di kaki Pegunungan Latimojong–sekarang masuk Kabupaten Luwu. Pada 1979, ketika sudah menikah, dia mengunjungi Mangkutana–sekarang Luwu Timur– untuk mengadu nasib. “Saya datang di Desa Teromo ini. Akhir 1979, karena kami tidak punya lahan, kepala desa dan camat waktu itu, kasi kami lahan,” katanya. “Waktu itu kami dibagi kelompok, kelompok saya ada 105 keluarga. Satu keluarga dikasi lahan garapan dua hektar. Itulah yang kami kelola.” “Kami tanam, tanaman yang bisa menghasilkan. Kami tanam sayuran, kami tanam juga kakao.” Di tempat baru itu, Nurjihad membangun harapan keluarganya. Pada 1987, Sindoka hadir dan menyatakan lahan tempat penduduk berkebun bagian HGU. Warga terusir. “Kami diminta keluar. Kami diusir, kakao kami ditebang. Sakit nak. Itu jerih payah kami. Tetesan keringat kami, diambil begitu saja,” katanya.

Pada 1987, rezim Orde Baru berkuasa. Acap kali tindakan penggusuran atas nama pembangunan tak bisa dilawan. Melawan berarti menyerahkan hidup. Berangsur tahun kemudian, perusahaan tak lagi aktif, lahan mereka ditinggal begitu saja. Tahun 1998, ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia, warga kembali memasuki lahan HGU. Nurjihad dan beberapa kawan kembali memasuki wilayah yang pernah mereka kelola. Di areal itu, mereka membangun rumah. Ramai tempat itu, mirip perkampungan. Pada 2012, perusahaan kembali datang dan mengklaim lagi kepemilikan. Warga mulai menantang. Tak ingin tergusur begitu saja. Tahun 2014 jadi puncak. “Jadi, ada sekitar 30 rumah dibongkar. Satu mesjid. Kayu-kayunya mereka ambil semua. Kami tidak dikasi. Tidak ada ganti rugi. Kami melawan, dan membakar pos penjagaan perusahaan,” kata Nurjihad, seraya bilang, berujung penangkapannya dan kena tiga bulan penjara.

Benang kusut

Tahun 1980, Luwu masih kabupaten paling luas di Sulsel. Ketika euforia reformasi, para tokoh politis Luwu membagi wilayah ini jadi empat. Pada 1999, Luwu jadi kabupaten sendiri dengan pusat di Belopa. Pada tahun sama, ikut pula terbentuk Luwu Utara. Tahun 2002, Palopo jadi kota. Pada 2003, terbentuk Luwu Timur. Pada 1987, Sindoka mendapatkan HGU ketika status wilayah ini masih satu. Perusahaan ini mengelola kawasan selama 30 tahun, berakhir pada 30 Desember 2017. Pengajuan izin awal perusahaan adalah pengembangan bioetanol dari pemanfaatan minyak kelapa hibrida. Berjalan waktu, tanaman itu tak produktif, lalu ditinggalkan. Awal 1990, perusahaan mulai mengurangi kegiatan dan meninggalkan tempat hingga 2000. Pada 2002, ketika Luwu Timur belum terbentuk dan masih bagian Luwu Utara, perusahaan kembali dan mengajukan alih fungsi tanaman menjadi murbei, tetapi Pemerintah Luwu Utara menolak. Sebelum perusahaan kembali ke HGU, ratusan warga sudah memasuki kawasan itu dan berkebun. Pemerintah Luwu Utara (sebelum 2003) dan Luwu Timur (setelah 2003), tidak melarang dan tak juga memberi izin warga. “Kami pikir, perusahaan sudah meninggalkan HGU,” kata Nurjihad. Kini Sindoka, menanam sawit. Rahmat bilang, mereka memilih sawit, karena perusahaan melihat peluang pasar menjanjikan.

“Kami baru mulai menanam. Sore nanti, sampai 100 hektar. Masih kecil sekali, baru 100 hektar dari 3.500 hektar.” Bagi Rahmat, sawit merupakan tanaman industri masa depan yang akan jadi konsentrasi perusahaan. Bagi dia, sawit akan memberi dampak baik bagi warga. Ketika penanaman, pembibitan, warga bisa jadi tenaga kerja. Di sela sawit baru, warga boleh menanam palawija. Sindoka, berbatasan dengan empat desa di Kecamatan Mangkutana. Masing-masing, Koroncia, Teromo, Kasintuwu, dan Non Blok. Desa-desa ini jadi penyangga utama HGU perusahaan. “Empat desa ini bagian dari perusahaan. Kami ingin berkembang bersama mereka,” kata Rahmat. Pada masa awal, Sindoka merupakan anak perusahaan dari Sintesa Group. Sebuah perusahaan yang dipimpin Shinta Kamdani. Perusahaan yang membawahi 17 anak perusahaan, dalam bidang properti, industri, dan produk konsumen. Pada 2019, CEO Sintesa juga dipilih oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai salah satu perusahaan berpengaruh dunia. Pada 2015, Sintesa melepas Sindoka. Kini Sindoka, jadi bagian Maxima Group. Di mesin pencarian internet, rekam jejak digital tentang bagaimana Sindoka jadi bagian dari Maxima sulit terlacak.

Melalui sambungan telepon, Wahidin Wahid, legislator dari Partai Golkar yang jadi anggota Komisi II di DPRD Luwu Timur, membidangi keuangan, perikanan, dan kelautan bilang, mengatakan, Sindoka punya niat baik dalam memajukan ekonomi daerah. “Kami turun meninjau lokasi dan berbincang dengan banyak warga. Perusahaan juga menerima kami dengan baik,” katanya. Wahidin punya argumen, setelah beberapa kali pertemuan antara warga, perusahaan dan pemerintah, sulit temukan jalan keluar. Berbagai spekulasi bermunculan. “Jadi, waktu turun lapangan, kami investigasi. Menemukan banyak sekali kepentingan dalam lahan HGU itu,” katanya. Dia bilang, mereka ke Jakarta bersama empat kepala desa di wilayah HGU. Mereka menanyakan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN soal status tanah. Di Jakarta pada antara Oktober dan November lalu, mereka bertemu langsung Kepala BPN dan bagian HGU untuk wilayah Timur Indonesia. “Saya lupa namanya. Yang jelas, saat ini semua izin sudah masuk, tinggal menunggu waktu. Kenapa telat waktu itu karena ada pilpres.” Pertemuan di BPN ini yang jadi dasar Sindoka beroperasi meskipun belum mengantongi perpanjangan HGU. “Intruksi BPN pusat itu kan, bahwa semua pemegang hak guna usaha wajib mempertahankan HGU, baik mau lanjut atau tidak. Jadi, salah satu bentuk mempertahankan, kami bikin kegiatan,” kata Rahmat.

Bagi Rahmat, kalau kemudian HGU tak diperpanjang, tentu mereka kembalikan ke negera. “Yang bisa mengatakan itu terlantar ada mekanisme. Ada surat minimal dari BPN. Selama ini, tidak ada.’ Runyamnya perizinan ini, jadi alas hak pengelolaan makin runyam. Pemerintah daerah tak memberi ketegasan, bahwa perusahaan seharusnya tak boleh beraktivitas selain menjaga aset, bukan penanaman. DPRD pun, formal belum menerima perubahaan izin usaha dari kelapa hibrida jadi sawit. “Mereka sudah bilang ke kami. Tapi, kami belum menerima salinan perubahaan jenis usaha itu. Saya kira sudah dilampirkan saat pengurusan perpanjangan HGU,” kata Wahidin. Saat ini Sindoka, mempekerjakan sekitar 60 karyawan, termasuk tenaga harian. Rahmat sebut itu membuka lapangan kerja. “Saya tanya ke beberapa penyorobot itu, kami tawari, kalau mau menyambung hidup dan mau kerja, sini maki. Kita mau, jadikan (mereka) karyawan harian, sini mi,” katanya. Bagi perusahaan, penyorobot HGU adalah para pendatang dari luar Mangkutana yang tak memiliki alas hak dalam klaim tanah. Pendapat itu dibenarkan Wahidin. Juga Ishak Ruru, Kepala Dusun Petana, Desa Koroncia.

“Oh benar pak. Orang-orang itu bukan warga dari desa kami. Saya sudah bilang ke mereka kalau jangan memaksakan kehendak seperti itu. Lebih baik, mereka (yang mengatasnamakan warga) yang dikeluarkan, daripada warga kami,” kata Ishak. Wahidin bilang, pada masa kampanye 2019, ada beberapa orang datang menawari tanah di HGU Sindoka. “Saya tidak mau. Nah, mereka inilah yang sekarang paling ngotot menduduki HGU. Padahal mereka bukan warga lokal,” kata Wahidin. Nurhijad kesal. “Itu pikiran yang bodoh dan tidak masuk akal. Kami, sebagai warga pendatang sebelum Sindoka ada, dianggap ilegal juga?” kata Nurjihad. Dia kini bermukim di rumah anaknya, sekitar tujuh km dari tanah garapan awal. Dia sesekali mengunjungi hamparan tanah yang sekarang sudah tak mungkin lagi dikelola. Tempat yang pernah dia pancangkan harapan untuk menghabiskan masa tuanya. “Kalau kami dianggap pendatang, kan Sindoka juga dari luar. Atau mentang-mentang mereka punya uang, jadi bebas. Di mana keadilan itu? Dimana?” katanya, sembari sesenggukan dari balik telepon.

Reforma agraria

Bagi Rahmat, perusahaan telah menyiapkan 20% atau seluas 700 hektar, dari lahan HGU untuk dihibahkan ke pemerintah daerah. Lahan itu kelak akan diberikan pada empat desa yang jadi penyangga lahan perusahaan. “Kalau pun nanti akan dibagi, mereka (warga yang melawan-red) tentu saja tidak akan mendapatkan jatah. Mereka bukan masyaakat dari empat desa ini. Itu yang jadi masalah. Mereka mau diakomodir. Padahal yang 700 hektar ini untuk masyarakat sekitar,” kata Rahmat. Pada Maret, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel memasuki HGU Sindoka. “Mereka masuk lokasi kami ini, benar-benar seperti pawai. Ramai-ramai. Seperti arak-arakan. Saya pak, prinsipnya dengan masyarakat setempat. Biarkan Sindoka menanam, kalau dalam proses Sindoka tidak lanjut, silakan ambil itu tanaman,” katanya. Dalam rilis KPA menyatakan, bila perusahaan telah menghancurkan lahan-lahan garapan warga di Luwu Timur. Sepanjang Januari hingga April 2020, tak kurang 10 kali dalam empat bulan terakhir, perusahaan mengobrak-abrik, menebang, merusak, mencabut tanaman-tanaman hingga ancaman kriminalisasi terhadap petani-petani di Luwu Timur. Bagi KPA, tindakan represif pada petani telah dimotori perusahaan dan kepolisian. “Perusahaan-perusahaan yang menelantarkan lahan dan HGU telah habis tidak jadi target redistribusi. Ketimpangan dan konflik agraria terus menerus terjadi,” tulis KPA, Jumat (4/4/20).

KPA juga menuding, perusahaan seharusnya memegang prinsip aturan, di mana pembangunan kebun sawit atau pengolahan bisa jalan apabila sudah memiliki HGU dan izin usaha perkebunan (IUP). “Faktanya, aturan ini tidak dipenuhi Sindoka hingga setiap tindakan perusahaan ini ilegal dan melawan hukum.” KPA juga menengarai, HGU Sindoka melalui pelepasan kawasan hutan hanya untuk mengambil kekayaan alam hutan Mangkutana berupa kayu hitam dan jenis lain. “Banyak warga yang bersaksi melihat kayu-kayu diambil dan dibawa menggunakan helikopter. Kelapa cuma kedok dan manipulasi agar izin HGU bisa keluar,” kata KPA. “Yang disampaikan KPA, itu tidak benar. Maka saya bilang, kalau teman-teman KPA mau berdiskusi, ayo kiat berdiskusi. Seperti apa dan bagaimana. Kami tidak pernah diajak. Tidak pernah. Malah kami ajak, waktu mereka masuk ke kebun itu hari. Mereka tidak mau,” kata Rahmat. Kterangan foto utama: Ilustrasi.  Sawit masih terus ekspansi, walau sudah ada Inpres Moratorium  Sawit, baklan oleh perusahaan yang belum mendapatkan HGU seperti di Luwu Timur.