Tantangan Mesin dan Alat Berat Tenggak B35: Servis Lebih Cepat, Rajin Ganti Filter
Detik.com | Rabu, 30 Agustus 2023
Tantangan Mesin dan Alat Berat Tenggak B35: Servis Lebih Cepat, Rajin Ganti Filter
Indonesia mulai menggunakan biosolar 35 persen (B35). Namun penggunaan B35 ternyata punya tantangan di industri mesin dan alat berat. Diketahui B35 merupakan pencampuran biodiesel/FAME (Fatty Acid Methyl Ester) yang merupakan Bahan Bakar Nabati (BBN) berbasis crude palm oil (CPO) sebanyak 35% (B35) ke dalam bahan bakar minyak (BBM) jenis Solar. PT Pana Oil Indonesia, produsen pelumas otomotif dan industri, memberikan edukasi dengan menghadirkan Tri Yuswidjajanto Zaenuri, pakar konversi energi dari Fakultas Teknik dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB)dan Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Bambang Tjahjono. Director B2B PT Pana Oil Indonesia Effendy Liemuel menegaskan tidak ada kaitan langsung antara pelumas dengan performa mesin yang menggunakan bahan bakar B35. Akan tetapi, lanjutnya, untuk menjaga kinerja mesin, terutama alat berat, para pengguna B35 perlu lebih rutin melakukan pemeliharaan. “Kami menyadari bahwa teknologi baru selalu memiliki tantangan. Pandangan pakar dan praktisi sangat clear, bahwa B35 tidak ada kaitan langsung dengan penggunaan pelumas mesin,” tutur Effendy. Tri Yuswidjajanto Zaenuri menjelaskan, FAME dari esterifikasi CPO memiliki sifat higroskopis (menyerap air), detergency (sifat pelarutan terhadap deposit yang ada di tangki bahan bakar hingga ke saluran bahan bakar yang menyebabkan kotoran menyangkut di filter dan terjadi proses sumbatan), tingkat oksidasi tinggi yang memicu deposit, dan nilai kalor FAME sebesar 37MJ/kg lebih rendah dibandingkan solar 43MJ/kg. Selain itu, katanya, biodiesel memiliki viskositas (kekentalan) lebih tinggi yaitu sebesar 4,15mm2/s dibandingkan dengan solar sebesar 3,25mm2/s. Ketika diinjeksi maka kabutnya lebih besar. Solar habis terbakar dan FAME tidak habis terbakar sehingga sebagian terbawa oleh blow by gas turun ke crankcase(bagian mesin),dan masuk ke dalam pelumas. Di sisi lain,menurutnya, dengan viskositas pelumas lebih tinggi dibandingkan dengan FAME sehingga dengan masuknya FAME menyebabkan pelumas makin encer. Oleh sebab itu, pelumas justru menjadi lebih licin karena seperti mendapatkan aditif anti-friction melalui FAME tersebut. “Sehingga sampai sekarang nggak ada keluhan soal oli dari teman-teman pengguna B35 di lapangan. Ganti oli tetap normal 250 jam atau 500 jam saja. Tapi, mereka mengeluh masalah ganti filter jadi lebih sering, power loss [kehilangan tenaga], interval injector service menjadi lebih cepat, bahan bakar lebih boros. Karena itulah di lapangan sangat jarang mendapatkan keluhan terkait pelumas,” tutur Tri. Menurutnya,di dalam pompa bahan bakar, semua komponennya dilumasi bahan bakar tidak ada yang dilumasi dengan pelumas. “Seharusnya tidak ada keluhan soal pelumas terkait dengan bahan bakar B35.” Tri menambahkan,dengan sifat higroskopis, ketika B35 di tangki timbun yang banyak ruang kosong di dalamnya, terjadi kondensasi uap air karena ada ruang udara yang diserap FAME sehingga kadar air dalam bahan bakar makin bertambah. Air yang tercampur dalam bahan bakar, lanjutnya, membentuk emulsi yang memicu bakteri dan jamur,kemudian timbul lapisan gel yang bermuara di filter bahan bakar. Akan tetapi, Tri juga menilai, program mandatory B35 memberikan banyak benefit seperti penghiliran CPOs ekaligus sejalan dengan upaya pemerintah dalam menurunkan emisi karbon. Di sisi lain, dampak negatif dari B35 perlu diatasi agar program B35 berjalan lancar dan tidak merugikan pelaku industri dan pengguna. “Dalam penyimpanan B35 harus dibersihkan secara rutin, melakukan sirkulasi bahan bakar dengan mengambil dari bawah melalui filter untuk dinaikkan ke atas, modifikasi dengan menambahkan filter untuk menjaga agar bahan bakar yang masuk ke ruang bakar lebih bersih. Solusi lain dengan menggunakan zat aditif bahan bakar,” kata Tri. Hal senada disampaikan Bambang Tjahjono bahwa ada sifat negatif biodiesel seperti penggunaan bahan bakar menjadi lebih boros. Bahkan, sifat higroskopis menyebabkan kadar air dalam biodiesel cukup tinggi sehingga membahayakan mesin. “Sifat berikutnya, mudah oksidasi menyebabkan endapan,impact pada filter bahan bakar. Kemudian sifat korosif. Ini menyangkut jangka panjang yang sering dilupakan. Setelah saya kasih feedback ke pemerintah, baru muncul pedoman teknis, penyimpanan B35 maksimal 3 bulan. Setelah 3 bulan harus dites, diuji lagi,” kata Bambang. Menurutnya, sebagai industri dengan pengguna B35 terbesar, Aspindo terus memberikan edukasi pemeliharaan seperti pembersihan (cleaning) rutin,flushing, sedot dengan filter kemudian dikembalikan lagi, dicegah supaya seminimal mungkin udara luar bisa terserap, Kemudian kalau menyimpan B35 dalam jangka panjang, maka tangki harus isi penuh supaya tidak ada udara. “Kemudian persentuhan FAME dan pelumas di ruang mesin dan sedikit sekali pengaruhnya, tetapi saya belum melihat ada riset. Perlu riset, apakah B35 mempengaruhi kualitas pelumas, khususnya oli mesin, misalnya dalam jangka panjang bisa memperpendek umur oli, ini perlu diriset,” imbuhnya lagi.
Liputan6.com | Rabu, 30 Agustus 2023
Hapus Pertalite di 2024, Pertamina Tunggu Pembebasan Bea Masuk Etanol
PT Pertamina (Persero) bakal memasarkan dua produk BBM hijau terbaru sebagai pengganti Pertalite (RON 90) dan Pertamax (RON 92), yakni Pertamax Green 92 dan Pertamax Green 95. Namun, Pertamina memohon bantuan pemerintah dengan membebaskan bea masuk untuk etanol. Pasalnya, perseroan membutuhkan 7 persen etanol untuk mencampur Pertalite menjadi Pertamax Green 92, dan 8 persen etanol untuk dicampur dengan Pertamax menjadi Pertamax Green 95. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan, dengan terciptanya Pertamax Green 92 dan Pertamax Green 95 sebagai produk BBM hijau, pihaknya perlu melakukan impor bioetanol terlebih dulu. “Kami perlu support tentu satu pembebasan bea cukai (etanol). Sampai investasi bioetanol ini terjadi di dalam negeri, maka kita harus impor dulu tapi itu tidak masalah karena kita pun impor gasoline, kita hanya ganti impor gasoline dengan etanol,” jelasnya di hadapan Komisi VII DPR RI, Rabu (30/8/2023). Tak hanya mengandalkan impor etanol, Nicke juga berharap pada Peraturan Presiden (Perpres) terbaru yang mengalolasikan 700.000 ha lahan untuk swasembada gula dan etanol. Dari aturan itu, ia berharap ada tambahan 1,2 juta KL sebagai bahan pencampuran. Menurut perhitungannya, Pertamax Green 92 diproyeksikan dapat disalurkan sebanyak 32,68 juta KL di 2024. Dengan asumsi bauran 7 persen, etanol yang dibutuhkan diperkirakan mencapai 2,29 juta KL. Sementara produksi Pertamax Green 95 diperkirakan dapat mencapai 62.231 KL, dengan serapan etanol sebesar 4.978 KL. “Kita juga bisa gunakan energi sesuai dengan domestic resources yang kita miliki dan bisa kurang emisi dengan cepat. Apalagi sekarang masalah polusi lagi hits,” kata Nicke.
Pertalite Dihapus 2024
Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) memutuskan untuk menghapus BBM jenis Pertalite (RON 90) dan menggantinya dengan Pertamax Green 92, campuran antara Pertalite dengan etanol 7 persen (E7). Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan, penghapusan Pertalite dengan nilai oktan 90 ini sejalan dengan ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang menetapkan RON 91 sebagai produk BBM terendah yang bisa dijual di Indonesia. “Ini sesuai dengan program Langit Biru tahap dua, dimana BBM subsidi kita naikan dari RON 90 jadi RON 92. Karena aturan KLHK, octane number yang boleh dijual di Indonesia minimum 91,” terang Nicke di depan Komisi VII DPR RI, Rabu (30/8/2023). Pertamax Green 92 nantinya akan masuk dalam barang subsidi jenis BBM khusus penugasan (JBKP) menggantikan Pertalite. Sehingga harganya akan diatur oleh pemerintah, di luar fluktuasi harga minyak mentah dunia. “Pertamax Green 92 harganya pun tentu ini adalah regulated. Tidak mungkin yang namanya JBKP harganya diserahkan ke pasar karena ada mekanisme subsidi atau kompensasi di dalamnya,” tegas Nicke. Di sisi lain, Pertamina juga berencana untuk memasarkan produk Pertamax Green 95, campuran Pertamax (RON 92) dengan etanol 8 persen. Dengan demikian, Pertamina di tahun depan bakal menjual tiga produk BBM, yakni Pertamax Green 92, Pertamax Green 95, dan Pertamax Turbo (RON 98). “Ini sesuai dengan program Langit Birut tahap dua. Jadi ada dua green gasoline, green energy, low carbon yang jadi produk Pertamina,” imbuh Nicke. Lebih lanjut, ia berharap dukungan pemerintah agar pengenaan bea masuk untuk etanol bisa dihapuskan. Pasalnya, dengan investasi dari bioetanol ini, Pertamina harus melakukan impor bioetanol terlebih dulu. “Kami perlu support tentu satu pembebasan bea cukai (etanol). Sampai investasi bioetanol ini terjadi di dalam negeri, maka kita harus impor dulu tapi itu tidak masalah karena kita pun impor gasoline, kita hanya ganti impor gasoline dengan etanol,” tuturnya.
Republika.co.id | Rabu, 30 Agustus 2023
Pertamina Terus Kembangkan Program Biofuel Ramah Lingkungan
PT Pertamina (Persero) terus mencanangkan Program Langit Biru dengan mengembangkan Bahan Bakar Kendaraan berbasis nabati atau bioenergi. “Pertamina pernah menjalankan Program Langit Biru dengan menaikkan (kadar oktan) BBM Subsidi dari RON 88 ke RON 90. Pertamina akan melanjutkan Program Langit Biru Tahap II, dengan menaikkan (kadar oktan) BBM subsidi dari RON 90 ke RON 92,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati di Gedung DPR, Rabu (30/8/2023). Nicke menambahkan, program tersebut rencananya akan dilaksanakan mulai tahun 2024 dan saat ini masih dalam tahap kajian dan nantinya akan diusulkan kepada pemerintah. “Sesuai dengan regulasi KLHK, bahwa RON minimal adalah 91. Tahun 2024 mohon dukungan, Pertamina akan mengeluarkan Pertamax Green 92, dengan mencampur Pertalite dgn Ethanol 7 persen. Sehingga ke depan produk gasoline hanya ada Pertamax Green 92, Pertamax Green 95, dan Pertamax Turbo,” jelas Nicke. Langkah tersebut menurut Nicke, sudah sesuai dari aspek lingkungan karena dapat menurunkan karbon emisi dan juga dapat menurunkan impor gasoline. VP Corporate Communication PT Pertamina Fadjar Djoko Santoso menambahkan, kajian peningkatan kadar oktan BBM RON 90 Pertalite menjadi RON 92 masih terus dikembangkan dan merupakan roadmap biofuel yang nantinya usulan tersebut akan disampaikan ke pemerintah. “Semangatnya adalah pengembangan bahan bakar nabati ini merupakan upaya Pertamina dalam menghasilkan bahan bakar yang berkualitas dan juga ramah lingkungan,” ucap Fadjar.