Tergoda Keuntungan, Abaikan Kesehatan

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kompas | Senin, 6 April 2020

Mengaku bermodal cekak, pengusaha makanan memanfaatkan jelantah. Minyak bekas itu digunakan untuk menekan ongkos produksi, sementara aspek kesehatan tak terpikirkan. Tempat pembuatan tahu pong di Desa Cibadak, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terletak di jalan buntu di desa itu. Ruang produksinya minim penerangan, berlantai tanah yang sebagian becek. Pada Senin (2/3/2020) sore, salah satu pekerja, A (26), tengah menggoreng tahu. Pemuda bertubuh kecil itu bekerja mulai pukul 03.00 hingga tuntas menggoreng tahu yang paling cepat pukul 19.00. “Kejar setoran saya, mah,” kata A yang menerima upah Rp 75.000 per hari. Ia risau karena beberapa bulan terakhir pabrik milik kerabatnya itu hanya memproduksi tahu dari 50 kilogram (kg) kedelai per hari. Padahal, sebelumnya, usaha itu bisa membuat tahu dari 80 kg-150 kg kedelai per hari. Pengawas tempat pembuatan tahu, UA (39), mengatakan, usaha itu tengah berjuang untuk tetap bertahan. Maka, pengelola melakukan penghematan ongkos, salah satunya dengan menggunakan campuran minyak curah dan jelantah dengan proporsi 1 i 1. Selain harganya lebih murah dibandingkan dengan harga minyak baru, jelantah membuat tahu lebih coklat sehingga lebih memikat pembeli.

Saat ini, harga minyak curah Rp 11.000-Rp 13.000 per kg cukup memberatkan. Adapun jelantah lebih murah, yaitu Rp 100.000 per jeriken (sekitar 18 liter) atau sekitar Rp 6.600 per kg. “Harga bahannya naik, tetapi harga tahu tetap sekitar Rp 80.000 untuk 1.000 potong,” ujarnya. Dari penelusuran Kompas di Jabodetabek, harga jelantah yang dipasarkan ke usaha-usaha rumahan naik selama beberapa tahun belakangan. Harganya pun beragam, mulai dari Rp 100.000 per jeriken di Kabupaten Bogor, Rp 110.000 per jeriken di Jakarta Selatan, hingga Rp 150.000 per jeriken di Jakarta Timur. Pengusaha makanan pengguna jelantah umumnya tahu penggunaan minyak goreng bekas tak sesuai aturan. Sebisa mungkin mereka berkelit dan mengaku hanya menggunakan minyak baru. Di sebuah gang area pembuatan kerupuk kulit di Jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan, misalnya, tak satu pemilik usaha pun mengaku menggunakan jelantah. Terdapat 13 usaha rumahan kerupuk kulit di gang yang hanya cukup dilewati satu sepeda motor itu. Namun, dari proses pembuatannya, terlihat penggunaan jelantah setidaknya di proses ngelapu, yaitu merendam kulit kering di minyak hangat sebelum proses penggorengan.

Demikian juga di pusat usaha bawang goreng di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pemilik berkelit menggunakan jelantah. Md (39), pekerja salah satu pabrik bawang goreng, mengatakan, minyak yang digunakan untuk menggoreng bawang semuanya dari jelantah yang diantar pemasok. Jelantah yang digunakan tak pernah bersisa. Minyak bekas itu digunakan berulang kali, lalu ditambah yang baru hingga habis di penggorengan. Tak pernah tebersit di benak pengusaha rumahan itu dampak kesehatan kepada konsumen tahu. “Usaha ini untungnya besar sekali, bisa dua kali lipat dari modalnya,” kata Md. Namun, tak semua usaha rumahan menggunakan jelantah. Pabrik Tahu Usaha Maju Pangan Suplai di Palmerah, Jakarta Barat, menggunakan minyak baru. Demikian juga usaha bawang goreng milik Mohammad (67) di Bojong, Pondok Terang, Kota Depok, Jawa Barat, ataupun usaha kerupuk kulit JY di Pengasinan, Rawa Lumbu, Kota Bekasi, yang tetap menggunakan minyak goreng curah dan kemasan demi menjaga kualitas. “Kami menjaga mutu, tak pernah beli jelantah,” kata Suhendar (30), pemilik usaha kerupuk kulit JY. Kendati jelantahmengancam kesehatan, peraturan yang secara spesifik melarang penggunaannya untuk keperluan konsumsi masih minim. Salah satu daerah yang sudah mengatur adalah DKI Jakarta, yang melarang distribusi jelantah untuk konsumsi manusia dan hewan lewat Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 167/2016 tentang Pengelolaan Limbah Minyak Goreng. Pergub ini mendorong agar limbah minyak goreng dimanfaatkan untuk bahan bakar alternatif berupa biodiesel atau sektor non-konsumsi. Selama pengawasan penggunaan jelantah masih longgar, konsumen bakal menanggung kerugian.