Ubah Limbah Sawit Jadi Ladang Emas

Limbah sawit menjadi ladang emas karena Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Luas perkebunan kelapa sawit seluas 16 juta hektare yang setiap tahunnya menghasilkan lebih dari 111 juta ton biomassa. Sumber daya raksasa ini menyimpan kunci bagi masa depan energi Indonesia yang lebih bersih dan mandiri.
Dalam Konferensi Biomassa Sawit Internasional ke-5 di Kuala Lumpur, terungkap potensi luar biasa biomassa sawit dan langkah-langkah praktis untuk memanfaatkannya secara optimal. Dr. M. Windrawan Inantha dari RSPO memaparkan bagaimana limbah dan sisa produksi kelapa sawit dapat menjadi pendorong utama pencapaian target energi terbarukan nasional, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang kian menipis, dan sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Limbah Sawit yang Melimpah
Data dari GAPKI tahun 2024 menunjukkan betapa masifnya potensi ini. Dari 200,7 juta ton Tandan Buah Segar (TBS) yang diolah, perkebunan sawit menghasilkan 48,17 juta ton minyak sawit mentah. Namun, di balik angka ini tersembunyi gunung biomassa yang belum termanfaatkan secara maksimal: 46,16 juta ton tandan kosong, 12,04–16,06 juta ton cangkang kernel sawit, 26,09–30,11 juta ton serat mesokarp, 130,46 juta ton limbah cair pabrik sawit (POME), 22–35 juta ton batang sawit (bahkan mencapai 59,7 juta ton saat peremajaan), dan 27,1–30,1 juta ton pelepah sawit. Jika ditotal, biomassa padat saja mencapai 111,39 hingga 122,33 juta ton per tahun!
Potensi Energi Lampaui Target Nasional
Jumlah biomassa yang fantastis ini berpotensi menghasilkan energi sebesar 40–59 terawatt-jam (TWh) setiap tahunnya. Angka ini bahkan melampaui target bioenergi nasional tahun 2025 yang hanya sebesar 33 TWh. Teknologi seperti torrefaksi dan pirolisis dapat meningkatkan efisiensi biomassa tandan kosong, mengubahnya menjadi sumber energi padat sebesar 19–30 TWh.
Lebih lanjut, limbah cair pabrik sawit (POME), jika ditangkap gas metananya, setara dengan 16,1–20,1 juta barel minyak, atau 15,6–19,5 TWh energi. Batang sawit pun menyumbang potensi energi sebesar 5–9 TWh. Energi ini dapat dimanfaatkan untuk co-firing di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, berpotensi menggantikan hingga 5 gigawatt kapasitas dan mengurangi emisi karbon sebesar 10–15% per megawatt. Cangkang kernel sawit yang kaya energi (19–23 MJ/kg) bahkan telah merambah pasar ekspor, dengan 1,5 juta ton dikirim ke Jepang pada tahun 2023, menyumbang 2–3 TWh energi setiap tahunnya.
Tantangan di Depan, Solusi Inovatif di Genggaman
Meskipun potensi biomassa sawit sangat menjanjikan, pemanfaatannya masih menghadapi sejumlah tantangan teknis. Kandungan air yang tinggi pada tandan kosong (hingga 60%) dan kandungan abu (4–12%) meningkatkan biaya pengolahan hingga 20–30%, membuat produksi energi kurang efisien. Demikian pula, emisi metana dari POME yang 28 kali lebih kuat efek pemanasannya dari CO₂, baru ditangkap oleh 10% pabrik. Distribusi fasilitas pengolahan biomassa yang belum merata, terkonsentrasi di Sumatra namun minim di Kalimantan, juga menjadi kendala.
Namun, inovasi teknologi menawarkan solusi cerah. Teknologi torrefaksi dan pirolisis dapat meningkatkan efisiensi biomassa secara signifikan. Produksi biochar tidak hanya menghasilkan energi tetapi juga menyimpan karbon, berpotensi menambah $1 miliar ke PDB Indonesia pada tahun 2030. Perluasan ekspor cangkang kernel sawit dan peningkatan co-firing di PLTU batu bara berpotensi menghasilkan pendapatan $500 juta. Lebih jauh lagi, inisiatif biomassa ini dapat menciptakan 500.000 lapangan kerja baru pada tahun 2030. Tentunya memberikan dampak positif bagi masyarakat pedesaan dan pembangunan berkelanjutan.
Limbah Sawit Jadi Langkah Nyata Menuju Masa Depan yang Gemilang
Untuk mewujudkan potensi ini sepenuhnya, diperlukan strategi yang jelas dan implementatif. Inventarisasi biomassa nasional yang komprehensif akan mempermudah pengelolaan dan pemanfaatan 111 juta ton biomassa yang dihasilkan setiap tahun. Investasi dalam fasilitas pengolahan tandan kosong dan cangkang kernel sawit dapat membantu mencapai target 50 TWh energi biomassa pada tahun 2030. Kewajiban bagi pabrik untuk memanfaatkan setengah limbah cairnya (POME) untuk energi pada tahun 2028 juga akan mendorong kemajuan. Pengembangan metode pengeringan biomassa yang terjangkau dan penerapan sistem perdagangan karbon untuk mengurangi emisi pabrik. Hal ini akan semakin memperkuat sektor ini dan menyelaraskannya dengan ambisi energi terbarukan Indonesia.
Konferensi di Kuala Lumpur telah membuka mata dunia akan potensi Indonesia dalam mentransformasi biomassa dari 16 juta hektare perkebunan sawit menjadi aset energi terbarukan yang tak ternilai harganya. Dengan mengatasi tantangan teknis dan kebijakan melalui solusi praktis, Indonesia memiliki peluang emas untuk mengubah limbah menjadi sumber daya yang berharga. Selain itu mencapai target energi nasional dan memimpin transisi global menuju masa depan energi yang lebih bersih dan sejahtera.