Uji Layak B40 Hingga September 2022 Terjauh Mencapai 26.316 Km

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Infosawit.com | Senin, 17 Oktober 2022

Uji Layak B40 Hingga September 2022 Terjauh Mencapai 26.316 Km

Road Test campuran biodiesel berbasis sawit sebanyak 40% dengan minyak solar atau tren disbeut B40 telah dilaksanakan oleh Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi “Lemigas” dengan melibatkan Balai Besar Survei dan Pengujian KEBTKE serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui pendanaan dari Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Untuk bahan bakar B0 dan HVO disediakan oleh Pertamina Grup (PT Kilang Pertamina Internasional) dan untuk B100 oleh APROBI. Berdasarkan pengujian sampai dengan saat ini, hasil uji kualitas bahan bakar B0 dan D100 masih memenuhi spesifikasi yang ditetapkan serta untuk B100 memenuhi spesifikasi usulan Komite Teknis 27-04 Bioenergi Cair. Progres jarak tempuh per tanggal 22 September 2022 yang terjauh mencapai 26.316 km untuk kategori kendaraan di bawah 3,5 ton dan 15.319 km untuk kategori kendaraan di atas 3,5 ton. Pengujian terhadap parameter stabilitas penyimpanan bahan bakar uji di tempat bersuhu dingin yang berlokasi di Lembang sudah memasuki hari ke 50, sementara di tempat bersuhu panas yang berlokasi di Cirebon sudah memasuki hari ke 44. Berdasarkan hasil pengujian terhadap parameter kandungan air, bilangan asam, viskositas kinematic, stabilitas oksidasi, Biological Growth dan kandungan fame, dapat diketahui bahwa sampai saat ini kualitas bahan bakar uji masih dalam kondisi baik dan stabil. Saat ini juga sedang dilakukan persiapan terhadap pelaksanaan uji Cold Startability, dimana jumlah kendaraan yang digunakan sebanyak 24 unit kendaraan. Pelaksanaan uji tersebut akan dilakukan di Resort Agrowisata Perkebunan Tambi dengan Ketinggian 1400 mdpl. Direncanakan pengujian dimulai pada tanggal 27 September 2022 serta penyaksian startability oleh stakeholder terkait pada tanggal 26 Oktober 2022 dini hari. “Kami melakukan monitoring dan evaluasi untuk menghimpun saran dan masukan atas progres dan hasil sementara terhadap pengujian yang telah dilakukan. Kami mengapresiasi upaya dan dukungan seluruh pihak yang terus mendukung pengujian dan upaya transisi energi melalui pencampuran BBN jenis Biodiesel. Kementerian ESDM akan terus berkomitmen untuk mendukung rencana implementasi B40 melalui fasilitasi dan koordinasi hal-hal yang dibutuhkan dengan K/L dan stakeholder terkait,” tutur Edi dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT belum lama ini. Sebb itu guna mengejar ketertinggalan dan dapat mencapai target yang ditetapkan pada bulan Desember 2022, maka diberlakukan penambahan jarak dan rute menjadi pertama, untuk kendaraan uji < 3,5 Ton jarak tempuh yang semula ditargetkan 560 km/hari menjadi 650 km/hari dengan rute perubahan menjadi Balitsa – Tol Cileunyi – Ciamis – Kuningan – P3GL – Pemalang (putar balik) – Subang –Balitsa Lantas kedua, untuk kendaraan uji > 3,5 Ton jarak tempuh yang semula ditargetkan 400 km/hari menjadi 550 km/hari dengan rute perubahan menjadi Balitsa – Pasteur – Cikampek – Cipali – P3GL – Tegal (putar balik) -Cipali – Subang – Balitsa Pengujian yang dilaksanakan selama Road Test B40 yaitu sebagai berikut: penanganan dan analisis konsumsi bahan bakar, pengujian kualitas mutu bahan bakar dan pelumas, pengujian kinerja pada Chassis Dynamometer, pengujian Merit Rating komponen kendaraan, pengujian stabilitas penyimpanan bahan bakar uji, dan uji startability dan presipitasi bahan bakar uji.

https://infosawit.com/2022/10/17/uji-layak-b40-hingga-september-2022-terjauh-mencapai-26-316-km/

 

 

BERITA BIOFUEL

 

 

Infosawit.com | Senin, 17 Oktober 2022

Mengenal Cellulosic Ethanol: Biofuel Generasi Kedua dari Limbah Sawit

Cellulosic Ethanol, biofuel generasi kedua bisa menjadi salah satu solusi ketersediaan bahan bakar nabati ramah lingkungan di masa mendatang, hanya saja pengembangannya butuh dukungan pemerintah. Bahan bakar nabati berasal perkebunan kelapa sawit ternyata bisa dikembangkan tidak hanya menjadi biodiesel saja, ini lantaran perkembangan teknologi kian pesat. Lewat teknologi biofuel generasi kedua, bahan baku dari perkebunan kelapa sawit bahkan bisa diubah menjadi bioethanol yang bisa dicampur dengan bensin, dan pula mampu diubah menjadi greendiesel. Diungkapkan peneliti International Council on Clean Transportation (ICCT), Tenny Kristiana, sejak 2016 di Indonesia tercatat tidak ada produksi dan konsumsi bahan bakar bioetanol, walaupun pemerintah telah mendorong pemanfaatan bioetanol dengan target pencampuran sebesar 2% (E2) di beberapa kota di Indonesia. Dalam perkembangannya menunjukkan, justru konsumsi bensin di Indonesia selama periode tahun 2010-2019 terus meningkat hingga melebihi konsumsi solar di tahun 2015 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 48%. Untuk memenuhi permintaan bahan bakar bensin, Indonesia diprediksi akan terus meningkatkan impor BBM dan dalam penelitian yang dilakukan ICCT, memproyeksikan bahwa permintaan BBM dan impor akan terus mengalami peningkatan kedepannya. “Padahal sebenarnya Indonesia memiliki bahan baku yang melimpah untuk Cellulosic Ethanol yang bisa di campur (blanding) dengan bensin dan bisa mengurangi impor bensin nasional,” katanya dalam sebuah webinar yang dihadiri InfoSAWIT, akhir Maret 2021 lalu. Tenny menjelaskan, bahan bakar nabati generansi kedua ini tercatat menggunakan teknologi maju dibanding proses etanol konvensional, dimana bahan baku yang biasa digunakan adalah biomasa selulosa seperti residu pertanian, termasuk perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit. Dengan luasnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia, industri cellulosic ethanol diharapkan bisa memanfaatkan kelebihan residu sawit yang diproduksi dari industri minyak sawit di Indonesia. Dalam studi ICCT, tutur Tenny, sebelumnya mengevaluasi residu dari proses pengolahan kelapa sawit dan residu di kebun kelapa sawit serta penggunaannya di Indonesia.

https://infosawit.com/2022/10/17/mengenal-cellulosic-ethanol-biofuel-generasi-kedua-dari-limbah-sawit/

 

Infosawit.com | Senin, 17 Oktober 2022

Bergesernya Kebijakan Bahan Bakar Nabati Dari Pengentas Kemiskinan ke Oversupply  Sawit

Dalam perkembangannya, Kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) tidak hanya dipandang sebagai kebijakan kemandirian energi. Pada 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan komitmen iklim pertamanya yang mana menjadikan BBN sebagai salah satu strateginya. Setelah itu, BBN juga muncul kembali dalam Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional/Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi sebesar 11%-15,5% dari skenario Business as Usual pada 2030 di sektor energi dan mencapai emisi nol-bersih (net zero emissions) pada 2060 atau lebih cepat. Sebagai strategi pengentasan kemiskinan dan penurunan emisi, BBN diharapkan menjadi energi yang berkelanjutan baik dari segi ekologi, ekonomi, maupun sosial. Sayangnya, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, literatur-literatur menunjukan tidak hanya peluang namun juga berbagai tantangan yang dihadapi oleh industri BBN baik pada sektor-sektor tersebut. Dari sisi ekologi, kebijakan BBN dapat dikatakan berhasil apabila dapat menurunkan emisi guna mendukung komitmen iklim Indonesia. Terkait hal tersebut, walaupun BBN menghasilkan lebih sedikit emisi dari pembakaran mesin, emisi dari keseluruhan proses produksi BBN perlu menjadi perhatian. Produksi biodiesel berbahan dasar minyak sawit, yang merupakan produk utama industri BBN di Indonesia menghasilkan 83-95% lebih besar emisi akibat pembukaan lahan dan produksi limbah cair oleh pabrik. Lebih jauh lagi, ditanamnya 40% sawit di lahan gambut dalam di Kalimantan Tengah berpotensi memicu dikeluarkannya emisi CO2 sebesar 133,31 hingga 310,02 MtCO2e akibat proses oksidasi gambut yang disebabkan oleh drainase perkebunan kelapa sawit selama 25 tahun pertama siklus perkebunan. Dalam laporannya Kamis (22/9/2022) yang dikutip InfoSAWIT, Yayasan Madani mencatat bila dilihat dari sudut pandang ekonomi, tujuan industri BBN yang seharusnya menjadi program pengentasan kemiskinan seolah bergeser menjadi pasar bagi oversupply sawit di Indonesia. Pandangan tersebut muncul dari mengerucutnya pengembangan BBN menjadi biodiesel berbahan dasar sawit yang mana baurannya meningkat drastis dari 10% hingga 30% sejak 2013. “Kenaikan bauran tersebut dianggap menjadi mekanisme penyerapan sawit yang mengalami peningkatan dari 27,78 juta ton pada tahun 2013 menjadi 51,58 juta ton pada tahun 2020,” Catat pihak Yayasan Madani dalam laporannya bertajuk “Dinamika Diskursus Bahan Bakar Nabati (Bbn) Di Indonesia Dalam Konteks Ekologis, Ekonomi, dan Sosial”. Industri BBN juga masih memiliki banyak ‘pekerjaan rumah’ dari sisi sosial. Belum diterapkannya prinsip ketelusuran membuka peluang bagi industri BBN untuk menggunakan bahan baku yang berasal dari perkebunan yang tidak sesuai dengan prinsip HAM seperti terlanggarnya hak-hak pekerja, proses akuisisi lahan yang tidak sesuai dengan kaidah Free Prior Informed Consent (FPIC), mempekerjakan pekerja di bawah umur, dan sebagainya. Untuk menjawab beberapa persoalan diatas, Pemerintah perlu merumuskan kembali peta jalan implementasi kebijakan BBN yang saat ini belum diperbarui sejak Peta Jalan yang pertama diluncurkan pada tahun 2006. “Hal ini penting untuk memperjelas arah kebijakan BBN Indonesia, termasuk sebagai langkah strategi dalam menjawab tantangan-tantangan tata kelola BBN Indonesia baik dari segi ekologi, ekonomi, maupun sosial,” catat pihak Yayasan Madani.

https://infosawit.com/2022/10/16/bergesernya-kebijakan-bahan-bakar-nabati-dari-pengentas-kemiskinan-ke-oversupply-sawit/

 

Infosawit.com | Minggu, 16 Oktober 2022

Sederet Negara di Uni Eropa Tolak Minyak Sawit Untuk Biodiesel

Jerman, menjadi salah satu negara konsumen minyak sawit terbesar untuk biodiesel, berencana menghentikan penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel pada tahun 2023. Dampaknya diperkirakan akan terasa pada tahun 2022, karena industri ini sedang beralih ke bahan baku berbasis limbah. Lebih memprihatinkan adalah pendekatan yang dilakukan Belgia, negara tersebut melarang, bahan baku minyak sawit di pasar biofuel dan biogas atau komoditas lain yang langsung atau tidak langsung berasal dari kelapa sawit, serta berbasis minyak kedelai, atau produk lain yang secara langsung atau tidak langsung berasal dari tanaman kedelai pada 1 Januari 2022. Negara-negara anggota lainnya seperti Belanda, Italia, Denmark, dan Portugal berencana untuk mengikuti peraturan serupa dengan melakukan penghapusan penggunaan minyak sawit untuk biofuel kendati kebijakan itu masih dalam tahap penyusunan. Sementara, dalam outlook pertanian 2021-2031, Komisi Uni Eropa memproyeksikan penggunaan biodiesel di kawasan tersebut akan diperkirakan melorot 24% menjadi 14,3 miliar liter pada 2031 setelah mencapai puncaknya pada 18,9 miliar liter pada 2023. Penggunaan bioetanol tidak akan terlalu terpengaruh karena juga memiliki aplikasi non-bahan bakar, tetapi masih akan berkurang 10% menjadi 6,4 miliar liter pada 2031 setelah naik menjadi 7,1 miliar liter pada 2023. “Penurunan konsumsi biodiesel diperkirakan akan mempengaruhi penggunaan minyak sawit karena kriteria keberlanjutan yang lebih ketat, sementara penggunaan minyak rapeseed diperkirakan akan tetap stabil, mewakili sekitar setengah dari bahan baku biodiesel,” catat Komisi Uni Eropa.

https://infosawit.com/2022/10/16/sederet-negara-di-uni-eropa-tolak-minyak-sawit-untuk-biodiesel/

 

Infosawit.com | Senin, 17 Oktober 2022

Sampai September 2022 Realisasi Serapan Biodiesel Sawit Capai 7,03 Juta Kl

Pengembangan biodiesel sawit nasional terus berjalan, bahkan program mandatory biodiesel terus dilakukan. Sebelumnya mandatory campuran biodiesel 30% dengan minyak solar telah dilakukan. Merujuk informasi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE), sampai minggu kedua September 2022 realisasi serapan biodiesel sawit telah sebanyak 7,03 juta kL atau mencapai lebih dari 63,7% dari total alokasi yang ditetapkan sebanyak 11,0 juta kl. Dikatakan Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Edi Wibowo, untuk implementasi mandatori B30 pada tahun 2021 telah dilalakukan penyaluran biodiesel sawit sebanyak 9,3 juta kL. “Serta telah memberikan manfaat berupa penghematan devisa sebesar Rp 66 triliun,” kata Edi dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT belum lama ini.. Lebih lanjut tutur Edi, industri biodiesel sawir juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 1 juta orang, menurunkan emisi gas rumah kaca, dan meningkatkan kualitas lingkungan sebesar 24,6 juta ton CO2e.

https://infosawit.com/2022/10/17/sampai-september-2022-realisasi-serapan-biodiesel-sawit-capai-703-juta-kl/

 

Infosawit.com | Senin, 17 Oktober 2022

Uji Layak Biodiesel sawit 40% (B40) Diprediksi Rampung Akhir Tahun 2022

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih melakukan uji jalan (Road Test) pencampuran bahan bakat nabati berbasis mnyak sawit ke dalam Bahan Bakar Minyak jenis Minyak Solar sebesar 40% (B40) sebagai persiapan teknis sebelum implementasi program B40 dilaksanakan. Dikatakan, Direktur Bioenergi dalam sambutan mewakili Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Edi Wibowo, Road Test B40 ditargetkan dapat selesai dilaksanakan pada Desember 2022 untuk menghasilkan rekomendasi teknis kebijakan implementasi B40. Lebih lanjut kata Edi, bahwa dalam kegiatan Road Test B40 ini dilakukan pengujian pada 2 (dua) jenis campuran bahan bakar yakni pertama, B30D10 dengan formula campuran 30% Biodiesel (B100*) dicampur 10% Diesel Nabati/Diesel Biohidrokarbon/HVO (D100) + 60% Minyak Solar (B0), lantas kedua jenis B40 dengan formula campuran 40% Biodiesel (B100*) + 60% Minyak Solar (B0). “Adapun terhadap Spesifikasi Biodiesel (B100*) mengacu pada usulan Komite Teknis 27-04 Bioenergi Cair, dengan perbaikan parameter kadar air yang semula maksimal 350 ppm diubah menjadi maksimal 320 ppm, kadar monogliserida yang semula maksimal 0,55 %massa menjadi maksimal 0,5 %massa, kestabilan oksidasi yang semula minimal 600 menit menjadi minimal 720 menit,” urai Edi dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT belum lama ini. Pada pengujian ini, kendaraan uji menggunakan 3 merek kendaraan bermesin diesel dengan kapasitas <3,5 ton masing-masing 2 unit, serta 3 merek kendaraan bermesin diesel dengan kapasitas >3,5 ton masing-masing 2 unit.  “Pada awal Road Test B40 terdapat tantangan berupa pengadaan sparepart setelah overhaul awal, namun dapat kami sampaikan bahwa saat ini seluruh kendaraan telah melaksanakan uji Jalan,” ungkap Edi.

https://infosawit.com/2022/10/17/uji-layak-biodiesel-sawit-40-b40-diprediksi-rampung-akhir-tahun-2022/

 

Infosawit.com | Senin, 17 Oktober 2022

Pelibatan Petani Pada Program Biodiesel Dukung Praktik Sustainability dan Genjot Ekonomi

Hanya sedikit pemuda yang sangat tertarik dalam bidang penelitian, apalagi kegiatan riset perlu didukung dengan factor biaya yang tidak sedikit. Namun itu semua tidak menjadi halangan bagi Ricky Amukti. Jebolan fakultas hukum Universitas Brawijaya, Malang ini justru tertarik dan isu kebijakan publik. Bahkan ia pernah mengkompilasi jurnal penelitian di Online Petition Law Arrangement sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik di Indonesia. Rupanya anak muda berkaca mata ini juga merupakan salah satu pendiri AJARKITA, sebuah lembaga sosial masyarakat yang berfokus pada edukasi, khususnya kesejahteraan guru honorer. Ketertarikannya terhadap riset kebijakan itu akhirnya membawa Ricky menggali lebih jauh kebijakan yang diterapkan pemerintah utamanya dalam penerapan program mandatori biodiesel sawit. Terlebih program itu memuat tujuan guna mereduksi gas rumah kaca yang dikeluarkan Indonesia. Isu karbon memang telah menjadi bahasan utama di dunia, menyusul adanya kesepakatan para pemimpin negara di dunia berupaya mereduksi emisi karbon untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan dari pembangunan khusus nya di sektor perkebunan kelapa sawit. Kata Ricky, saat ini kondisi rantai pasok Tandan Buah Segar (TBS) sawit dari Petani ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) bervariasi. Panjangnya rantai pasok TBS mengurangi keuntungan petani sawit swadaya. “Dengan mandatori biodiesel ini bisa menjadi momentum dalam upaya perbaikan rantai pasok dari petani,” kata Ricky yang saat ini menjabat Manajer Kolaborasi Eksternal, Traction Energy Asia kepada InfoSAWIT, belum lama ini.  Biasanya keengganan PKS menempatkan pekebun sawit swadaya sebagai pemasok bahan baku (PKS) terkait karakteristik usahanya, dimana rata – rata, skala usaha pekebun mandiir masih terbatas (rata-rata luas lahan di bawah 3 ha dan modal kerja/usaha terbatas), pengelolaan/manajemen usaha tradisional, tingkat produktivitas rendah (volume panen TBS per 1 ha kurang dari 3 ton), mutu TBS rendah (tingkat rendemen di bawah 20%), dan Kinerja usaha kurang efisien (biaya produksi lebih tinggi terhadap pendapatan operasional. Maka muncul hambatan eksternal yang dihadapi pekebun mandiri, yakni akses pasar terbatas dan Harga jual TBS tidak sebanding biaya pokok produksi.  Seba itu, kata Ricky, satu-satu solusi untuk menjamin kelangsungan usaha pekebun mandiri adalah dengan memberi jaminan

https://infosawit.com/2022/10/17/pelibatan-petani-pada-program-biodiesel-dukung-praktik-sustainability-dan-genjot-ekonomi/

 

Kontan.co.id | Senin, 17 Oktober 2022

Dorong Energi Hijau, Kilang Pertamina Internasional (KPI) Optimalkan Green Refinery

PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) sebagai bagian dari Pertamina Group turut berperan dalam pengembangan bahan bakar yang memanfaatkan energi terbarukan atau Green Energy. Salah satunya melalui proyek Green Refinery. Chief Executive Officer (CEO) Kilang Pertamina Internasional menyampaikan, pihaknya telah mengoperasikan Green Refinery di Kilang Cilacap yang berkapasitas 3.000 barel per hari untuk memproduksi Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) serta Sustainable Aviation Fuel (SAF). HVO sendiri memiliki bahan baku berupa Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO). Produk ini merupakan substitusi bahan bakar diesel yang ramah lingkungan. Sementara, SAF berbahan baku Refined Bleached Deodorized Kernel Palm Oil (RBDKPO) yang mana produk ini dapat dipakai sebagai Bio Jet Fuel untuk dicampurkan dengan Avtur. Taufik menuturkan, capital expenditure (capex) atau belanja modal yang digelontorkan KPI untuk mengembangkan Green Refinery tersebut berada di bawah US$ 200 juta. “Jumlah capex-nya tidak besar. Sebab, kami hanya memakai refinery yang sudah ada di Kilang Cilacap yang kemudian dilakukan peningkatan dan penyesuaian berdasarkan produk dan teknologinya,” ungkap dia ketika ditemui Kontan, Senin (17/10). KPI pun telah memasarkan produk hasil Green Refinery tersebut, khususnya untuk HVO. Sejak pertengahan tahun ini, KPI mampu menjual HVO ke pasar domestik dan ekspor dengan merek Pertamina Renewable Diesel (Pertamina RD). Sebagai contoh, pada Juni lalu produk ini digunakan sebagai bahan bakar generator set untuk perhelatan Formula E di Jakarta. Berlanjut pada Agustus hingga November 2022, KPI melakukan pengapalan HVO untuk pasar ekspor sebesar 15.000 ton atau sekitar 120.000 barel dalam 4 kali pengiriman. Permintaan ekspor datang dari Asia seperti Jepang dan beberapa negara Eropa. “Ke depannya, produk ini akan banyak dipakai oleh industri-industri yang concern dengan Green Energy,” kata Taufik. Green Refinery milik KPI dipastikan akan terus dikembangkan dalam Fase II sehingga kapasitas produksinya dapat mencapai 6.000 barel per hari. Selain itu, pengembangan Fase II juga dilakukan untuk meningkatkan spesifikasi pada produk SAF. Green Refinery ini juga dikembangkan lagi untuk fleksibilitas bahan baku. Dalam hal ini, KPI tengah mengkaji penggunaan bahan baku seperti Palm Oil Mill Effluent (POME) dan minyak jelantah atau Used Cooking Oil pada fasilitas tersebut. “Proyek Green Refinery Fase II ditargetkan dapat selesai pada tahun 2026 mendatang,” imbuh Taufik. Selain Green Refinery di Cilacap, Pertamina Group juga memiliki proyek Green Refinery lainnya di Kilang Plaju dengan kapasitas produksi 20.000 barel per hari. Di luar itu, KPI juga menggarap proyek Green/Blue Methanol di Balongan dengan kapasitas produksi methanol sebesar 44 kilo ton per tahun. Produk methanol ini digunakan sebagai bahan campuran produk bensin. Proyek ini sedang dalam tahap studi kelayakan dan memulai proses Engineering, Procurement, dan Construction (EPC) pada tahun 2024, serta ditargetkan beroperasi pada 2027. Nilai investasi untuk proyek tersebut mencapai US$ 191 juta. Ada pula proyek Bioethanol dengan kapasitas 50 kilo ton per tahun di Sei Mangkei yang memanfaatkan tandan kosong kelapa sawit. Proyek ini bernilai investasi sebesar US$ 232 juta. Saat ini, proyek Bioethanol KPI sedang dalam proses studi kelayakan, kemudian pada tahun 2024 dilakukan proses EPC dan diharapkan beroperasi pada tahun 2027.

https://industri.kontan.co.id/news/dorong-energi-hijau-kilang-pertamina-internasional-kpi-optimalkan-green-refinery