Wujudkan Net Zero Emission 2060, Ini Kontribusi Pertamina dalam Kembangkan Bahan Bakar Ramah Lingkungan

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Suara.com | Senin, 30 Oktober 2023

Wujudkan Net Zero Emission 2060, Ini Kontribusi Pertamina dalam Kembangkan Bahan Bakar Ramah Lingkungan

Menghadapi tantangan di bidang energi, PT Pertamina (Persero) berkomitmen untuk mendukung pemerintah Indonesia dan dunia dalam berkolaborasi untuk mencari solusi berbagai isu satu, diantaranya mengurangi efek dari gas rumah kaca (GRK) atau dekarbonisasi. Untuk menjalankan dekarbonisasi, perusahaan harus mengubah cara operasional konvensional dan menjalankan usaha yang green operation. Hal ini sejalan dengan misi pemerintah Indonesia untuk mewujudkan net zero emission pada 2060. Sejak beberapa tahun yang lalu, Pertamina mulai melakukan strategi penting untuk mengembangkan bahan bakar rendah karbon dan menggunakan energi baru terbarukan. Untuk menyiapkan bahan bakar rendah karbon dan energi baru terbarukan dibutuhkan persiapan panjang, mulai dari teknologi, ekonomi, hingga regulasi. Ada beberapa hal yang membuat bahan bakar rendah karbon memiliki harga yang tinggi, yakni pertama, pengembangan teknologi dapat menurunkan belanja modal atau capex dan belanja operasional atau opex. Kedua adalah saat mengembangkan produk baru, maka perlu ada pendekatan dari rantai pasokan yang lebih panjang hingga ekosistem secara keseluruhan. Kemudian ketiga, soal kemampuan ekonomi untuk merintis pengembangan produk, sehingga diperlukan regulasi untuk membuat permintaan atau demand. Terakhir adalah kesiapan masyarakat sebagai konsumen maupun produsen dengan menaikkan kesadaran dan pendidikan. Keempat hal ini harus dijalankan dan dikembangkan secara bersama-sama dan Pertamina telah mulai merintis hal tersebut di tahun-tahun sebelumnya.

Pertamina Mulai Beralih ke BBM Ramah Lingkungan

Sebagai salah satu wujud nyata untuk beralih ke bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan, Pertamina mulai massif menggunakan B35 atau biodiesel. Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, menyebutkan penggunaan B35 atau biodiesel merupakan kewajiban yang sesuai dengan kebijakan, sehingga terjadi peningkatan permintaan secara bertahap. Apalagi Indonesia menjadi satu di antara pemasok biofuel terbesar di dunia, dan sudah membangun industri biofuel sejak tahun 2008, mulai dari B5 hingga sekarang menjadi B35. Penggunan biofuel B35 dinilai dapat menekan impor solar. Jenis ramah lingkungan ini dapat mengurangi gas buang hingga 28 juta ton CO2 pada tahun 2022. Upaya ini akan terus dilakukan, yaitu melakukan peralihan ke BBM rendah karbon. Pertamina sendiri sudah menyiapkan anggaran 15 persen dari total capex untuk mengembangkan portofolio bisnis yang ramah lingkungan. Anggaran dengan jumlah ini menjadikan Pertamina sebagai perusahaan dengan anggaran tertinggi, dibandingkan perusahaan energi lainnya. “Saat ada permintaan, maka investasi akan mengalir. Ini sangat penting untuk biofuel, sustainable aviation fuel (SAF), hidrogen, amonia, dan sumber energi lainnya. Ini juga terkait dengan teknologi yang dapat mengolah bahan baku menjadi generasi kedua, mengatasi limbah dari bahan baku,” kata Nicke beberapa waktu lalu. Selain itu, Pertamina juga mengembangkan produk BBM jenis pertamax untuk menjadi BBM ramah lingkungan, yakni Pertamax Green 95. Ini adalah BBM dengan bahan baku terbarukan yakni bioetanol 5 persen, dan produk ini bersinergi dengan PT Perkebunan Nusantara X (Persero) untuk menyiapkan bahan baku bioetanol. PT Perkebunan Nusantara X ikut terlibat, karena bioetanol berasal dari molases tebu yang diproses menjadi etanol fuel grade. Produk anyar ini juga melibatkan 9.000 petani tebu dalam mewujudkannya. Penggunaan bioetanol merupakan implementasi satu di antara pilar transisi energi Pertamina dan mendukung perubahan energi nasional memakai campuran bahan bakar nabati. Produk BBM lainnya yang masih dikaji secara internal dan belum diputuskan sebagai lanjutan Program Langit Biru Tahap 2 adalah BBM RON 90 menjadi BBM RON 92, yakni Pertalite. Produk ini masih dalam tahap kajian internal di mana BBM jenis ini akan memakai campuran etanol 7 persen menjadi Pertamax Green 92.

BBM Ramah Lingkungan dari Sisi Aviasi

Demi mewujudkan net zero emission pada 2060, Pertamina juga telah memulai upayanya dari sisi aviasi atau penerbangan. Untuk bisnis pesawat komersial, Pertamina mulai menyiapkan agar gas emisi buang dari mesin pesawat terbang semakin kecil dan mulai membiasakan diri memakai bioavtur. Di Indonesia, penggunaan bioavtur memanfaatkan komponen dari kelapa sawit yang diinisasi sejak tahun 2010. Setelah dirintis pada tahun 2010, berselang 11 tahun atau 2021, PT Kilang Pertamina Internasional kini dapat membuat SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap, dengan menggunakan teknologi Co-Processing yang memakai bahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO), atau minyak inti sawit. Bahan ini diproses dengan pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas dan bau, dengan kapasitas hingga 1.350 kilo liter (KL) per hari. Setelah melakukan berbagai proses sehingga layak digunakan sebagai bahan bakar pesawat terbang, bioavtur digunakan oleh maskapai yang juga dimiliki oleh BUMN, yakni Garuda Indonesia. Penerbangan perdana komersil menggunakan biovatur telah dilakukan untuk rute Jakarta-Solo-Jakarta. Sebelum dipakai secara komersial, penggunaan bioavtur dilakukan dalam berbagai pengujian, mulai dari cell test di fasilitas milik Garuda Maintenance Facility (GMF), ground run, hingga flight test pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia. Pengujian juga dilanjutkan dengan menerbangkan pesawat komersil milik Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023, yaitu pada pesawat Boeing 737-800 NG Garuda Indonesia. Produk Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) bakal dipasarkan dan didistribusikan melalui PT Pertamina Patra Niaga.

Bangun Ekonomi Masyarakat melalui Program Desa Energi Berdikari

Untuk mempercepat pengurangan emisi dan peralihaan energi, Pertamina juga membuat berbagai program energi bagi masyarakat luas pada umumnya. Salah satu yang diusung Pertamina adalah  Program Desa Energi Berdikari. Program ini bertujuan untuk membangun kemandirian energi dan ekonomi masyarakat desa dengan berbasis energi bersih dan terbarukan seperti memanfaatkan tenaga surya, air, angin, dan biogas. Program Desa Energi Berdikari sudah dijalankan sejak 2019 dan berhasil memanfaatkan 201.950 WP energi pembangkit tenaga surta, 605.300 meter kubik/tahun energi biogas dan gas metana, 8.000 watt energi mikrohidro, 6.500 liter energi biodiesel per tahun, dan 16.500 WP energi hibrida. Desa Energi Berdikari berperan dalam pemenuhan kebutuhan energi masyarakat yang berdampak terhadap ekonomi 3.201 kepala keluarga. Program ini juga turut berperan dalam pemenuhan kebutuhan energi masyarakat dan memberikan dampak perekonomian bagi 3.201 kepala keluarga, dengan total efek berganda sebanyak Rp1,8 miliar per tahun. Sampai dengan Oktober 2023, Desa Energi Berdikari telah menjangkau 63 desa di seluruh Indonesia dan dapat mengurangi emisi karbon hingga 565.978 ton setiap tahunnnya. Menurut Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, hingga akhir tahun ini, Program Desa Energi Berdikari ditargetkan bisa menjangkau 66 desa di seluruh Indonesia.

https://www.suara.com/bisnis/2023/10/30/122707/wujudkan-net-zero-emission-2060-ini-kontribusi-pertamina-dalam-kembangkan-bahan-bakar-ramah-lingkungan

 

Sawitindonesia.com | Senin, 30 Oktober 2023

Bioavtur untuk Penerbangan Ramah Lingkungan

Pertamina dan Garuda Indonesia hari ini melaksanakan penerbangan komersil perdana menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau Bioavtur. Penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta (Tangerang) menuju Bandara Adi Soemarmo (Surakarta), dan kembali ke Jakarta dengan bahan bakar aviasi ramah lingkungan ini menjadi bukti kontribusi kolaborasi BUMN pada upaya penurunan emisi dan mendukung pencapaian target Net Zero Emission. Ceremonial Flight Sustainable Aviation Fuel tersebut dilakukan Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno – Hatta, Jumat (27/10). Direktur Logistik dan Infrastruktur Pertamina Alfian Nasution menambahkan, Pertamina memiliki komitmen untuk mendukung tercapainya target NZE Pemerintah Indonesia dengan mengembangkan roadmap aset dekarbonisasi dan pembangunan green business, termasuk SAF untuk sektor aviasi. “Penerbangan khusus ini akan menjadi tonggak sejarah di industri aviasi yang berkelanjutan. Masyarakat juga akan merasakan pengalaman baru, merasakan pemanfaatan energi terbarukan dan berkontribusi secara langsung pada penurunan emisi,” jelas Alfian. Perjalanan Pertamina SAF telah diinisiasi sejak tahun 2010 melalui Research & Technology Innovation Pertamina, dengan melakukan riset pengembangan produk dan katalis. Pada tahun 2021, PT Kilang Pertamina Internasional berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi Co-Processing dari bahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO), atau minyak inti sawit yang telah mengalami proses pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas dan bau, dengan kapasitas 1.350 kilo liter (KL) per hari. Melalui kolaborasi dengan stakeholder terkait, produk SAF tersebut kemudian melalui serangkaian uji coba pada mesin dan unit pesawat. Rangkaian pengujian dimulai dari cell test di fasilitas milik Garuda Maintenance Facility (GMF), ground run, flight test pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia, hingga uji terbang pesawat komersil milik Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023 pada pesawat Boeing 737-800 NG milik PT Garuda Indonesia. Produk Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) nantinya akan dipasarkan dan didistribusikan melalui subholding PT Pertamina Patra Niaga. Hasil dari serangkaian pengujian yang telah dilaksanakan, menunjukkan bahwa performa SAF J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan avtur konvensional. Hal tersebut merupakan jawaban atas komitmen Pertamina dalam penyediaan bahan bakar penerbangan yang ramah lingkungan, dan telah dipergunakan untuk commercial flight yang dilakukan hari ini.  “Kami mengapresiasi para stakeholder yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan rangkaian pengujian produk SAF selama ini, yaitu Dirjen EBTKE dan tim peneliti ITB sebagai koordinator, BPDPKS sebagai sponsor rangkaian kegiatan, PT Garuda Indonesia sebagai penyedia unit pesawat, serta pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam seluruh tahapan pengujian. Joy flight hari ini merupakan salah satu milestone terpenting dalam implementasi SAF di Indonesia kedepannya. Oleh karena itu, semoga semua kegiatan dapat terlaksana dengan lancar dan juga memberikan manfaat bagi segala pihak serta menjadi bukti nyata komitmen kita untuk mencapai NZE di tahun 2060 atau lebih cepat,” ujar Alfian. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan, hari ini pihaknya melakukan penerbangan komersial pertama dengan beberapa penumpang dari Soekarno Hatta menuju Adi Soemarmo. “Kita berhasil gunakan biofuel untuk penerbangan komersial. Ini bentuk keseriusan kami, jadi tentu saja kami berharap Garuda Indonesia dipersepsikan sebagai perusahaan yang kedepankan keberlanjutan dan masa depan anak cucu kita,” jelas Irfan dalam sambutannya pada acara Ceremonial Flight tersebut. Salah satu penumpang Commercial Flight ini, Nugie mengungkapkan harapannya terhadap masa depan aviasi menggunakan SAF. “Semoga dengan menggunakan SAF ini, penerbangan bisa lebih efisien dan bisa memberikan nilai tambah daripada bahan bakar sebelumnya,” ujarnya. Pengembangan SAF merupakan salah satu upaya Pertamina dalam transisi energi, sekaligus mencapai target Net Zero Emission (NZE) 2060. Pertamina SAF merupakan bahan bakar ramah lingkungan, yang menggunakan campuran komponen minyak sawit dalam formula Bioavtur sehingga dapat mengurangi emisi gas buang pesawat terbang. Selain itu, aspek pemanfaatan komponen minyak sawit ini dapat mendorong perkembangan industri dan ekonomi di dalam negeri. Pertamina sebagai perusahaan pemimpin di bidang transisi energi, berkomitmen dalam mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDG’s). Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina.

https://sawitindonesia.com/bioavtur-untuk-penerbangan-ramah-lingkungan/

 

Kontan.co.id | Senin, 30 Oktober 2023

Harga BBM Non Subsidi Tak Boleh Melampaui Batas Atas yang Ditetapkan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan bahwa harga bahan bakar minyak (non subsidi) tidak boleh melebihi batas atas yang ditetapkan. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa badan usaha tidak boleh menetapkan harga BBM non subsidi di atas batas atas tersebut. “Ada batasan dari pemerintah yang artinya tidak boleh lebih dari batasan tersebut,” ujar Dadan saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (27/10). Seperti diketahui, pemerintah telah mengatur formula harga dasar dalam perhitungan n jenis bahan bakar minyak umum (JBU) alias BBM non subsidi lewat Keputusan Menteri ESDM No. 245 Tahun 2022. Mengutip lampiran kepmen tersebut, perhitungan harga jual eceran jenis bahan bakar minyak umum jenis bensin dan minyak solar yang disalurkan melalui SPBU dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan ditentukan dalam 2 formula. Untuk jenis Bensin di bawah RON 95 dan jenis Minyak Solar CN 48, rumusnya adalah Mean of Plaits Singapore (MOPS) atau Argus + Rp 1.800,00/liter + Margin (10% dari harga dasar). Sementara itu, jenis Bensin RON 95, jenis Bensin RON 98, dan jenis Minyak Solar CN 51 rumusnya MOPS atau Argus + Rp2.000,00/Iiter + Margin (10% dari harga dasar) MOPS atau Argus sendiri merupakan bagian biaya perolehan atas penyediaan Bahan Bakar Minyak jenis Bensin dan Minyak Solar dari produksi kilang dalam negeri dan/atau impor sampai dengan Terminal Bahan Bakar Minyak. Belakangan, harga minyak mentah sempat bergejolak seturut dinamika konflik Hamas dan Israel. Hal ini diperkirakan berpeluang mendongkrak harga BBM non subsidi, terutama menjelang pergantian bulan. Seperti diketahui, badan usaha niaga migas biasa melakukan update harga BBM non subsidi di awal bulan, persisnya di tanggal 1. Hingga Minggu (26/10), Pertamina terpantau masih mempertahankan harga produk-produk BBM-nya. Badan usaha niaga migas swasta sama belaka. Belum ketahuan  apakah Pertamina akan menaikkan harga produk-produk BBM non subsidinya atau tidak pada tanggal 1 November 2023 mendatang. “Masih direview, mengingat harga minyak memang saat ini masih fluktuatif,” Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (29/10). VP Corporate Relation Shell Indonesia, Susi Hutapea, dalam wawancaranya dengan Kontan.co.id (26/10) mengatakan bahwa Shell melakukan penyesuaian harga BBM di SPBU secara berkala dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti produk minyak olahan berdasarkan MOPS (Mean of Platts Singapore), kondisi dan volatilitas pasar, nilai tukar mata uang asing, pajak pemerintah dan bea cukai, biaya distribusi, biaya operasional, kinerja perusahaan, dan aktivitas promosi yang sedang dilakukan. “Penyesuaian harga BBM yang kami lakukan sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku mengenai harga jual BBM,” ujar Susi saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (26/10). Sementara itu, Presiden Direktur bp-AKR, Vanda Laura, sebelumnya mengatakan bahwa bp-AKR melakukan penyesuaian harga dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Beberapa faktor di antaranya meliputi harga minyak dunia, biaya operasional dan kondisi pasar. Ia belum memberi penegasan apakah BP-AKR akan meningkatkan harga jual produk BBM-nya dalam waktu dekat atau tidak. “Kami akan terus memantau situasi dan melakukan adaptasi yang diperlukan untuk penentuan harga BBM,” ujar Vanda kepada Kontan.co.id, Kamis (26/10)

https://industri.kontan.co.id/news/harga-bbm-non-subsidi-tak-boleh-melampaui-batas-atas-yang-ditetapkan

Jawa Pos | Senin, 30 Oktober 2023

Ramah Lingkungan, Suplai Masih Terbatas (Potensi Bahan Bakar Nabati Mendukung Net Zero Emission 2060)

Pertamax green menjadi salah satu strategi menguatkan ekosistem bahan bakar nabati (BBN) alias biofuel. Penerapannya masih menemui liku-liku. Mulai ketersediaan bahan baku sampai kesiapan industri otomotif tanah air. RIFKY Andika punya alasan khusus datang ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Ketintang. Bukan hanya karena dekat dengan kampusnya, Universitas Negeri Surabaya (Une-sa), tetapi di situ tersedia produk pertamax green. “Saya coba ke sini, dikasih tahu teman-teman. Kan tarikan sepeda motor saya kurang memuaskan,” ungkapnya di Surabaya pekan lalu. Selama ini, Honda Vario miliknya “minum” pertalite. Alasan senada diungkapkan Purwo Mahardi. Dosen Fakultas Vokasi Unesa tersebut sudah empat kali mengisi Mazda CX-5 miliknya dengan pertamax green. Alasannya, kompresi mesin mobilnya mencapai 13:1. Jika membeli pertamax, kinerja mesinnya tak maksimal. “Alasan lain ya karena ada embel-embel green. Sedikit urun dalam upaya ramah lingkungan,” tuturnya. Sayang, Purwo tak bisa mendapatkan pertamax green di sembarang SPBU. Padahal, dia sering melakukan perjalanan Surabaya-Malang untuk bersua dengan istrinya. Alhasil, pilihannya harus bergantian antara pertamax green dan pertamax turbo. Ahmad Syafiul Umam, pengawas SPBU Ketintang, mengungkapkan bahwa minat pembelian pertamax green memang belum massal. Sebagian besar masyarakat masih mempertimbangkan soal harga. Karena itu, pembelian produk dengan nilai RON 95 tersebut biasanya dilakukan pemilik kendaraan di segmen menengah ke atas. Area Manager Communication Relation CSR Per- tamina Patra Niaga Jatim-balinus Ahad Rahedi mengatakan, produk biogasolin yang diluncurkan sejak Juli lalu sebenarnya untuk mengisi kekosongan Uni produk dengan RON 95. Karena itu, pihaknya sengaja mengimplementasikan produk tersebut di lokasi yang dekat dengan kompetitor. Di sisi lain, hal tersebut juga menjadi salah satu cara untuk mendukung target net zero emission 2060. Sayang, dia mencatat, produksi ethanol fuel grade domestik masih terbatas. Sampai saat ini pihaknya masih menunggu pemerintah terkait apakah skema BBN yang satu itu bakal diperluas. “Untuk saat ini kami masih berfokus ke Pulau Jawa. Apabila sampai akhir tahun demand-nya dirasa berkembang, tentu akan diperluas,” ungkapnya. Penerapan BBN sebenarnya sudah dijalankan untuk diesel. Sejak 2015, pemerintah perlahan menambah bauran biodiesel ke solar. Terakhir, rasio pencampur-annya sudah mencapai B35 alias 35 persen biodiesel. Road map dua jenis BB!1 tersebut sebenarnya dirancang pada era yang sama. Namun, BBN gasolin baru bisa dicoba tahun ini. Hingga saat ini Pertamina baru mencampur 5 persen bioetanol ke pertamax. Itu pun baru diedarkan di 12 SPBU wilayah Jatim. “Respons dari masyarakat sebenarnya cukup positif. Konsumsi pertamax green di Jatim telah mencapai 5.500 liter per hari,” ucap Section Head Communication\’ Relation Patra Niaga Jatimbalinus Taufiq Kurniawan.

Jawa Pos | Senin, 30 Oktober 2023

Implementasi Maksimal 15 Persen

BANYAK cara menciptakan ekosistem transportasi ramah lingkungan. Salah satunya kendaraan listrik. Namun, berarti harus ada transisi besar, mulai unit kendaraan sampai stasiun pengisian energi kendaraan. Bisa dibilang, salah satu cara efisien untuk bisa menerapkan energi ramah lingkungan di sektor otomotif adalah BBN. Apalagi, bioetanol sebagai bahan bakar bisa tumbuh dari bumi. Jika dibandingkan energi surya yang sangat bergantung pada cuaca, bahan baku bioetanol yang notabene hasil pertanian lebih sustainable. “Secara karakteristik, bioetanol memang punya bilangan oktan 30 persen lebih tinggi dari gasolin. Namun, di saat yang sama, nilai kalornya (LHV) lebih rendah 35 persen,” papar pakar biofuel dari ITS Bambang Sudarmanta. Perbedaan karakter tersebut membuat bioetanol takbisa 100 persen digunakan untuk mesin pembakaran kendaraan di tanah air. Tanpa mengutak-atik mesin, rasio bioetanol yang bisa diterima hanya 15 persen. Lebih dari itu, pembakaran di mesin menjadi tak efisien dan mengganggu kinerja kendaraan. Terlebih, karakteristik etanol juga bisa merusak mesin konvensional dalam pemakaian jangka panjang. Bukan berarti rasionya tak bisa lebih dari itu. Di beberapa negara, campuran bioetanol bisa mencapai 85 persen, bahkan 100 persen. Namun, konsumen bahan bakar tersebut memang harus memodifikasi mesin kendaraan mereka. “Pencampuran bioetanol dengan komposisi yang besar membutuhkan penyesuaian setting kendaraan supaya performa masih konsisten,” tegasnya.