Ada ‘Keringat Petani’ di Biosolar Industri?
Gatra.com | Minggu, 14 Februari 2021
Ada ‘Keringat Petani’ di Biosolar Industri?
Tahun lalu, duit yang habis untuk menghasilkan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) atau yang dikenal dengan nama Biodiesel, disebut mencapai Rp28 triliun . Di tahun yang sama, disebut pula kalau sekitar 8,42 juta kilo liter (kl) hasil produksi FAME itu terserap menjadi bahan bakar diesel. Ini berarti, ada sekitar 26,1 juta kiloliter B30 yang dihasilkan oleh bauran FAME dan solar murni. Sebab, disebut B30 lantaran dari 100% komposisi biosolar yang biasa dijual di pasaran, 30% nya adalah FAME, sisanya solar murni. Besaran hasil bauran tadilah yang kemudian dipertanyakan oleh Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung. Sebab menurut lelaki 55 tahun ini, konsumsi bahan bakar diesel dalam negeri di tahun lalu, hanya sekitar 29 juta kl. Dari total konsumsi itu, sekitar 70% adalah biosolar industri non subsidi atau Non Public Service Obligation (PSO) dan 30% nya adalah bahan bakar subsidi atau PSO. Lantaran proporsinya semacam itu kata doktor ilmu ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, mestinya dana sawit yang bersumber dari hasil pungutan yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hanya dipakai mensubsidi biodiesel PSO yang besarannya hanya sekitar 2,52 juta kl. “Biosolar Non PSO dijual Pertamina di atas Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel. Apa masih perlu diesel Non PSO disubsidi?” dia bertanya. Tungkot mencontohkan, harga biodiesel pada bulan ini berada di kisaran Rp9.579, sementara harga solar industri (non PSO) sudah di angka Rp9.800. “Kalau semua (PSO dan Non PSO) disubsidi, dana sawit akan terkuras habislah dan ini jelas tidak benar. Ini perlu dibuka biar semuanya lebih terang benderang” pintanya. Terkait pernyataan Tungkot ini, Gatra.com belum mendapat penjelasan detil dari Pertamina maupun Kementerian ESDM. Hanya saja Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan menyebut bahwa saat ini porsi bahan bakar diesel Non PSO dan PSO hampir sama, PSO berada di kisaran 13 juta kl-14 juta kl. “FAME yang 8,6 juta kl itu untuk PSO dan Non PSO,” katanya kepada Gatra.com, Minggu (14/2). Saat ditanya apakah layak Non PSO disubsidi dari dana sawit, Paulus hanya menjawab bahwa,”Semua faktor sudah dipertimbangkan, dan keputusan yang diambil adalah yang paling optimal,” katanya. Bagi mantan Dirut BPDPKS, Bayu Krisnamurthi, pemberian dukungan pembiayaan biodisel itu bergantung pada filosofi apa yang dianut. Kalau dukungan pembiayaan itu untuk masyarakat, misalnya BBM bersubsidi, maka non PSO tidak perlu didukung oleh dana sawit. “Jika dukungan untuk kepentingan diversifikasi energi dan menurunkan emisi bahan bakar, maka non PSO boleh mendapat dukungan dan jika dukungan itu adalah untuk menstabilkan harga CPO, maka perlu dihitung apakah cukup dengan PSO saja atau harus juga dengan Non PSO,” katanya kepada Gatra.com, Minggu (14/2). Terlepas dari filosofi yang disebut oleh Bayu tadi, sampai hari ini, biodiesel yang hadir membauri solar menjadi B30 dan kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat banyak, sekitar 41% nya berasal dari hasil keringat para petani kelapa sawit. Termasuklah dari 2,73 juta hektar kebun petani kelapa sawit yang sampai saat ini diklaim dalam kawasan hutan dan kebun itu terancam tergusur oleh Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait perhutanan. Sisanya berasal dari hasil keringat korporasi sawit, termasuk korporasi sawit yang saat ini juga ikut kelimpungan ulah klaim kawasan hutan, “Tidak ada duit untuk bauran B30 itu dari dana APBN,” ujar sumber Gatra.com di BPDPKS.
BERITA BIOFUEL
Suara.com | Minggu, 14 Februari 2021
Pekanbaru Manfaatkan Limbah Minyak Jelantah jadi Bahan Biodesel
Minyak goreng bekas atau yang dikenal dengan minyak jelantah ternyata bisa diolah menjadi bahan baku biodiesel. Pemanfaatan ini dilakukan karena potensi minyak goreng bekas itu banyak tersedia di masyarakat, terutama di Kota Pekanbaru. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Pekanbaru mengumpulkan limbah minyak jelantah tersebut dari warga yang menjual ke bank sampah. “Untuk mendapatkan minyak jelantah itu DLHK Pekanbaru mengumpulkannya dari masyarakat yang menjual minyak tersebut ke Bank Sampah Kota Pekanbaru,” kata Kepala Seksi Pengurangan dan Pemanfaatan Sampah, penanggung jawab Bank Sampah DLHK Kota Pekanbaru, Wenny Arizona, dikutip dari Antara, Sabtu (14/2/2021). Wenny menambahkan, setiap kilogram limbah minyak jelantah yang mereka setor akan dihargai dengan rupiah dan mereka bisa mencatatkan hasil penjualan minyak jelantah tersebut ke dalam buku tabungan, buku ini dicetak oleh pengelola bank sampah. Dia mengatakan keberadaan Bank Tabungan Sampah Kota Pekanbaru selama ini masih melayani warga yang menyetorkan sampah anorganik seperti kaca, plastik, besi, karah, kertas dan lainnya yang dihargai dengan rupiah. Wenny juga mengatakan, saat menabung sampah, warga mendapatkan buku tabungan sampah yang sewaktu-waktu jika tabungan sampah mereka sudah besar bisa dicairkan dalam bentuk uang. “Menabung sampah ini biasanya rutin diseror setiap Kamis pagi kini selain sampah anorganik saja yang bisa ditabung, juga minyak jelantah yang dikelola DLHK Kota Pekanbaru dengan Bank Jelantah Pekanbaru yang menerima minyak goreng bekas itu,” sebut dia. Aksi menabung minyak jelantah sudah dilakukan ASN dan tenaga harian lepas DLHK Pekanbaru, dan minyak goreng bekas yang ditabung sudah mencapai 27 kg.
Dikatakan Wenny, sebagai upaya menjaga lingkungan, DLHK Pekanbaru mengimbau masyarakat untuk tidak membuang minyak jelantah sembarangan. Ryan, pengelola Bank Jelantah Pekanbaru mengatakan minyak jelanta masih dapat dimanfaatkan kembali dan dapat mencemari lingkungan bila dibuang langsung begitu saja. Bila diproses lebih lanjut minyak jelantah dapat dijadikan alternatif bahan baku biodiesel. “Minyak jelantah ini akan diproses lagi dan bisa diekspor ke luar negeri untuk dijadikan biodiesel,” kata Ryan. Bagi yang ingin menabung minyak jelantah ke Bank Jelantah dapat melalui narahubung 082298354357 atau akun Instagram @bankjelantah.pekanbaru. Sebelumnya koordinator kelompok mahasiswa UII Kharis Pratama di Yogyakarta, mencari metode yang tepat untuk memproses minyak jelantah menjadi biodisel. Hal ini memang tidak mudah karena dengan metode yang biasa kendalanya biodiesel masih memiliki kadar air yang tinggi sehingga kurang berkualitas. “Metode yang tepat yakni dengan memanfaatkan reaksi transesterifikasi untuk mengkonversi minyak jelantah, dan proses konversi dilakukan dengan cara memberikan aliran listrik (elektrolisis) ke dalam larutan minyak jelantah dengan variasi waktu tertentu. Berikutnya elektroda atau batang logam yang digunakan untuk mengaliri listrik telah dilumuri dengan larutan khusus yang disebut kitosan gel,” katanya. Reaksi transesterifikasi selama elektrolisis mengubah minyak jelantah ke dalam dua lapisan, yang berwarna coklat merupakan lapisan gliserol, sedangkan lapisan atas yang berwarna kuning keruh merupakan lapisan biodiesel,” katanya. Tahap akhir dari proses itu, katanya adalah mencuci lapisan biodiesel dari residu hingga menghasilkan biodiesel murni yang siap pakai. Berdasarkan data, Indonesia termasuk negara yang konsumsi minyak gorengnya tinggi karena hampir semua jenis makanan diproses dengan memakai minyak goreng. Banyak minyak jelantah sisa produksi yang dapat dimanfaatkan untuk membuat biodiesel murni. Sementara itu data menunjukkan rata-rata konsumsi minyak goreng sawit di Indonesia setiap tahun mencapai 5,5 juta ton atau 24 persen dari total produksi minyak goreng sawit per tahun sebesar 23 juta ton. Sedangkan minyak jelantah adalah minyak sisa-sisa dari penggorengan. Dilihat dari komposisi kimia, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan. Pemakaian minyak jelantah bisa merusak kesehatan manusia, menimbulkan kanker. Oleh karena itu, kebanyakan masyarakat langsung membuang minyak jelantah itu.