Alokasi Minyak Sawit Untuk Biodiesel Tahun 2021 Hanya 9,2 Juta Kl

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kabaroto.com | Sabtu, 2 Januari 2021

Alokasi Minyak Sawit Untuk Biodiesel Tahun 2021 Hanya 9,2 Juta Kl

Selain fokus mengembangkan kendaraan listrik, Pemerintah juga terus konsentrasi mengembangkan kendaraan yang menggunakan bahan bakar nabati. Tujuannya untuk menghadirkan emisi gas buang yang lebih baik. Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Tarbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, sudah menetapkan volume alokasi target Bahan Bakar Nabati jenis (BBN) minyak kelapa sawit untuk biodiesel tahun 2021 sebesar 9,2 juta kilo liter (kl). Jumlah tersebut akan digunakan untuk pencampuran biodiesel sebesar 30% ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar (B30). Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) mengatakan, penetapan alokasi tersebut untuk tahun depan menurun. Hal itu dikarenakan dampak Pandemik Covid-19. Dadan memperkirakan tahun 2021 ini masih berlanjut. Pertimbangan yang dikeluarkan kementerian ESDM tersebut, dilihat dari realisasi penyaluran biodiesel di tahun 2020. Sampai akhir Desember 2020, menurut Dadan, proyeksi realisasi sebesar 8,5 juta kl atau 88 persen. Target yang ditetapkan 9,6 juta kl. “Penurunan sebesar 12% diakibatkan Pandemik Covid-19,” terang Dadan beberapa waktu lalu. Selain itu, juga terjadi gagal suplai beberapa Badan Usaha BBN dalam penyaluran biodiesel. Untuk menyalurkan Bahan Bakar Nabati tersebut, tahun 2021 ini, Pemerintah sudah menunjuk 20 Badan Usaha (BU) BBM dan BU BBN sebagai pemasok biodiesel. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 252.K/10/MEM/2020 yang ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2020. Perusahaan untuk BU pemasok biodiesel di antaranya PT Wilmar Nabati Indonesia mendapatkan alokasi sebesar 1,37 juta kl diikuti oleh PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar 1,32 juta kl. Selanjutnya PT Musim Mas dan PT Cemerlang Energi Perkasa. Keduanya masing-masing akan mendistribusikan biodiesel sebesar 882 ribu kl dan 483 ribu kl.

https://kabaroto.com/post/read/alokasi-minyak-sawit-untuk-biodiesel-tahun-2021-hanya-9-2-juta-kl

Mongabay.co.id | Minggu, 3 Januari 2021

Ini Keuntungan Kalau Minyak Jelantah jadi Biodiesel

Minyak goreng bekas atau minyak jelantah (used cooking oil/UCO) biasa terbuang begitu saja. Padahal, minyak jelantah bisa bermanfaat sebagai bahan pengganti sebagian bahan baku crude palm oil (CPO) atau sawit dalam program biodiesel di Indonesia. Langkah ini, bisa kurangi limbah ke lingkungan hidup, berikan manfaat ekonomi, baik untuk kesehatan, dan pengurangan emisi gas rumah kaca hingga mendukung pembangunan daerah. Ricky Amukti, Manajer Riset Traction Energy Asia, mengatakan, Indonesia punya potensi besar memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel guna mengurangi risiko dampak buruk lingkungan hidup karena dibuang begitu saja ke saluran air atau daur ulang kembali untuk jadi minyak goreng kemasan curah. Tahun 2019, katanya, konsumsi minyak goreng Indonesia menghasilkan 13 juta ton minyak jelantah atau 16,2 juta kiloliter. “Angka ini, cukup besar lantaran Uni Eropa menghasilkan 22,7 juta ton, Amerika sekitar 16 juta ton dan India 23 juta ton,” katanya, dalam diskusi daring baru-baru ini. Sayangnya, hanya 18,5% sisa konsumsi minyak goreng dapat dikumpulkan sebagai bahan baku minyak jelantah.

Dengan perkiraan konversi lima liter minyak jelantah menjadi satu liter biodiesel, ada potensi 3,24 juta kilo liter minyak jelantah bisa jadi biodiesel. Dari 3 juta kilo liter minyak jelantah yang terkumpul pada 2019, 1,6 juta kilo liter berasal dari rumah tangga perkotaan besar. Sebagian besar untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor. Data Badan Pusat Statistik 2019, tercatat 148.380 ton (184,090 kilo liter) minyak jelantah ekspor. Sisanya 1,95 juta ton (2,43 juta kilo liter) terdaur ulang jadi minyak goreng curah. Menurut Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) minyak curah ini 15-20% dari total market share minyak goreng. Hanya kurang dari 570 kilo liter sebagai biodiesel maupun untuk kebutuhan lain. Data Traction Energy, ekspor minyak jelantah Indonesia terus meningkat dari 55.000 ton pada 2014 jadi sekitar 148.000 ton pada 2019. Dari delapan daerah yang jadi produsen biodiesel swasta, baru empat daerah mengolah minyak jelantah. Harganya bervariasi antara Rp2.500-Rp4.700 per liter, dengan tiga metode pengumpulan yakni lewat sedekah, bank sampah dan jual beli. Mengutip kajian Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), harga indeks produksi (HIP) minyak jelantah menjadi biodiesel berkisar antara Rp5.000-Rp6.000 per liter. Kajian The International Council for Clean Transportation (ICCT) menghitung biaya produksi biodiesel minyak jelantah Rp5.184. Kalau dibandingkan dengan sawit yang mengikuti harga pasar internasional, kata Ricky, meskipun biaya konversi biodiesel dari minyak jelantah lebih besar dibanding biaya konversi biodiesel dari sawit, HIP minyak jelantah lebih murah dibandingkan CPO. Perbandingan pakai sawit dengan HIP mengikuti harga pasar, dan biodiesel jelantah, ada potensi penghematan subsidi Rp4,2 triliun per tahun. Angka ini penting untuk melihat besaran insentif biodiesel yang ditentukan selisih HIP biodiesel dan solar. Makin kecil selisih, katanya, makin sedikit kebutuhan insentif. “Jika selisih besar, kebutuhan insentif makin besar,” kata Ricky. Saat ini, sudah ada beberapa perusahaan memanfaatkan biodiesel dari minyak jelantah untuk konsumsi sendiri, seperti Cargill, Adaro, Aqua, dan Unilever. Jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan perusahaan. Potensi minyak jelantah untuk jadi bahan baku biodiesel sangat besar. Kalau dimanfaatkan dengan baik, bisa berdampak bagi pengurangan limbah. Ricky mengatakan, penting mengatur harga bahan baku minyak jelantah karena tidak terpengaruh faktor eksternal. Selain sebagai bahan baku biodiesel, minyak jelantah juga bisa jadi komoditas bernilai tinggi. Minyak jelantah dapat diolah masyarakat, maka dapat berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan mereka dan penanggulangan kemiskinan di perkotaan. Meski begitu, masih ada tantangan besar pemanfaatan minyak jelantah termasuk proses pengumpulan, tranportasi, pengolahan dan standardisasi kualitas biodiesel minyak jelantah.

Perlu kebijakan

Penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel perlu kebijakan pemerintah, termasuk pemerintah daerah.Joko Tri Haryanto, Peneliti Madya Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan mengatakan, ada tiga instrumen kebijakan perlu diterapkan untuk memobilisasi pengumpulan minyak jelantah dari sektor rumah tangga, restoran dan kafe.Pertama, perlu regulasi di pemerintah daerah untuk menekan para penghasil minyak jelantah menyerahkan limbah jelantah. Kedua, perlu mekanisme insentif dan disinsentif sebagai stimulus.Insentif, katanya, bisa berupa kebijkan fiskal seperti pemberian diskon pajak hotel dan restoran. Non fiskal, bisa terkait dengan proses pengurusan perpanjangan izin usaha. Ketiga, perlu model bisnis untuk mengelola industri pemanfaatan minyak jelantah dengan sistem sinergi antara pemerintah dan publik seperti organisasi masyarakat sipil, bank sampah atau bank jelantah.“Kombinasi ketiga instrumen kebijakan ini perlu untuk menjamin ketersediaan pasokan bahan baku biodiesel dari minyak jelantah,” kata Joko.Industri minyak jelantah, katanya, bisa dilakukan BUMD atau badan layanan umum daerah.Pemerintah daerah, katanya, mewajibkan hasil biodiesel minyak jelantah untuk kendaraan pemerintah hingga bisa menghemat belanja operasional APBD dan berpotensi menambah pendapatan asli daerah.Pemerintah daerah juga bisa bekerja sama dengan Pertamina untuk mengolah jelantah dengan skema tanggung jawab sosial hingga bisa menumbuhkan industri baru di daerah.Beberapa daerah, katanya, mulai menerapkan pemanfaatan minyak jelantah menjadi biodiesel seperti di Jakarta, Kota Denpasar, Kota Bogor dan Yogyakarta.Di Bali, katanya, sudah ada pabrik daur ulang jelantah jadi biodiesel. Di Bogor, untuk bahan bakar Trans Pakuan. Di Yogyakarta juga sudah dikelola LSM Palluma Nusantara.“Lesson learned-nya, pemanfaatan menjadi biodiesel tidak terlalu kompleks. Unit operasi sederhana dan risiko rendah,” katanya.Lantas siapa saja yang dapat dikenakan regulasi soal minyak jelantah? Menurut Joko bisa mulai sektor komersial, seperti hotel, restoran dan sektor sosial seperti sekolah dan rumah sakit.“Selama ini, pihak-pihak itu tidak menolak menyerahkan minyak jelantah.”Saat ini, ada titik kritis ekonomi rantai pasar jelantah , penghasilan baru dinikmati internal perusahaan penghasil besar jelantah yang menghasilkan kualitas lebih baik dan lebih banyak. Perusahaan bebas mengelola limbah jelantah. Sementara, katanya, pasar ekspor makin besar karena punya target energi terbarukan makin tinggi.Tenny Kristiana, peneliti International Council on Clean Transportation (ICCT) sepakat, kalau program biodiesel minyak jelantah harus diawali dengan kebijakan. “Pemerintah Indonesia bisa jadikan minyak jelantah sebagai bagian dari bahan baku biodiesel.”Pemerintah, katanya, juga harus menetapkan standar kualitas biodiesel minyak jelantah dan mewajibkan registrasi serta sertifikasi produsen biodiesel. Juga penting memasukkan biodiesel minyak jelantah dalam program insentif BPDPKS.Dia bilang, perlu juga sentralisasi sistem pengumpulan minyak jelantah baik regional maupun nasional, kampanye atau promosi pengumpulan minyak jelantah. “Program pelatihan untuk produsen biodiesel minyak jelantah skala kecil dan keterlibatan aktif pemerintah darah dalam program biodiesel minyak jelantah.”

Kesehatan

Sisi lain daur ulang minyak jelantah menjadi minyak curah, beda harga Rp1.000-Rp3.000 per liter dan kemasan lebih kecil. Ini sesuai dengan daya beli usaha kecil menengah (UKM). “Masalahnya, UKM tak peduli dengan bahaya kesehatan jelantah daur ulang,” kata Joko. Minyak jelantah, katanya, merupakan limbah berbahaya kalau dikonsumsi karena mengandung zat-zat yang dalam jangka panjang menimbulkan penyakit seperti kanker, penyempitan pembuluh darah, dan lain-lain. Hingga kini belum ada teknologi yang dapat memulihkan sifat kimia jelantah setara minyak goreng murni. Ketika jelantah dibuang ke lingkungan, biasa ke saluran pembuangan air dan tanah, makan akan mencemari lingkungan sekitar termasuk biota laut sebagai tempat akhir buangan air sungai. Tenny mengatakan, kalau ada regulasi mewajibkan pengumpulan minyak jelantah lalu jadi bahan baku biodiesel, risiko daur ulang minyak jelantah untuk konsumsi akan berkurang. Kondisi ini, katanya, akan mengurangi potensi muncul penyakit neurodegeneratif seperti stroke, alzheimer, parkinson dan huntington hipertensi. Juga, penyakit kardiovaskular, kerusakan sistem gastrointestinal serta kerusakan fungsi ginjal maupun hati karena penggunaan minyak jelantah berulang kali untuk menggoreng makanan. Penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel, katanya, dapat mengatasi risiko peningkatan kadar chemical oxygen demand (COD) dan biological oxygen demand (BOD) di perairan. Terlebih lagi, minyak jelantah tergolong sebagai limbah kategori bahan beracun dan berbahaya (B3). Dari bidang pengurangan gas rumah kaca, riset ICCT menunjukkan, penggunaan biodiesel B30 mengurangi 30 juta ton emisi CO2. Meskipun begitu, kalau dihitung dari analisis daur hidup sektor hulu (perkebunan sawit) hingga hilir (konsumsi biodiesel), emisi CO2 bertambah sekitar 52 juta ton karena ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan bahan baku biodiesel. Sejalan dengan Riset Traction Energy yang menunjukkan program B30 berpotensi menyebabkan defisit pasokan CPO pada 2023 karena peningkatan permintaan sawit untuk memenuhi biodiesel. Menurut kajian ini, kata Ricky, defisit pasokan sawit lebih cepat kalau produksi bauran biodiesel makin tinggi. Potensi defisit ini, mengancam kawasan hutan karena ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi pasokan. Jadi, memanfaatkan jelantah jadi bahan baku biodiesel, bisa mengurangi berbagai potensi masalah-masalah itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *