Aprobi Minta Pemerintah Turun Tangan Atasi Masalah Selisih Harga Biodiesel dengan Solar

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Wartaekonomi.co.id | Selasa, 13 Oktober 2020

Aprobi Minta Pemerintah Turun Tangan Atasi Masalah Selisih Harga Biodiesel dengan Solar

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) meminta pemerintah untuk turun tangan mengatasi permasalahan selisih harga indeks (HIP) pasar bahan bakar nabati (BBN)jenis Biodiesel dan HIP bahan bakar minyak (BBM) solar. Pasalnya, hargaBiodiesel saat ini dinilai masih terlalu tinggi untuk masyarakat jika dibandingkan dengan harga solar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diketahui telah menetapkan Harga Indeks Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel bulan September 2020 adalah sebesar Rp9.265 per liter ditambah ongkos angkut yang berlaku per 1 Oktober 2020. Ketua Umum Aprobi, Parulian Tumanggor mengatakan bahwa untuk menggalakan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) Biodiesle oleh masyarakat maka yang harus difokuskan pemerintah adalah masalah biaya. “Saya kira yang perlu menjadi fokus kita saat ini adalah biaya, kita kalau mau jual fatty acid methyl ester (FAME) ini posisi Rp9.100 padahal pertamina hanya menjual sekitar Rp5.500 sehingga ada perbedaan harga yang begitu besar yaitu sekitar Rp4.000 atau bisa sampai Rp5.000,” ujarnya, dalam acara Webinar Green Energy dengan tema “Strategi dan Peluang Mengelolan BBN berbasis Hidrokaarbon untuk Kemaslahatan Bangsa” yang disleeenggarakan Warta Eekonomi, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Menurut Parulian, untuk mengatasi besarnya selisih HIP BBN dan HIP Solar  Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hanya mampu membayar Rp3.250 per liter itu termasuk ongkos angkut dan PPN.“Kalau BPDP uangnya hanya bisa Rp3.000 menutupi ini tadi insentif ini tadi yang Rp2.000 lagi dari mana? Ini pemerintah mungkin harus betul-betul ikut turun tangan, harus turut memikirkan bagaimana sama-sama dengan DPR,” katanya. Ia mengungkapkan bahwa jika Biodiesel dijual seharga Rp9.900 per liter tidak akan laku dipasaran. Padahal, ada 17 juta petani sawit yang harus bisa memproduksi 48 juta kilo liter.“Sekarang dari 48 juta kilo liter hanya untuk biodiesel 9,6 juta kilo liter. Nantinya itu 20% sudah diserap oleh biodiesel kita juga mengetahui bahwa pada tahun 2019 Rp43 triliun sudah cadangan devisa kita dihemat,” jelas Parulian. Untuk itu, Ia kembali menegaskan bahwa pemerintah harus duduk bersama denegan pengusaha, DPR dan petani untuk mengatasi masalah selisih harga biodiesel dengan solar. Karena, uang yang dipungut pengusaha dari hasil ekspor tidak cukup untuk mengatasi masalah selisih harga tersebut. “Ini haarapan kami dari aprobi sehingga biar jelas ke depan satu pihak kita terus kembangkan tanaman sawit kita terutama melalui kebijakan replanting yang dilakukan pemerintah ini itu cukup baik untuk meningkatkan produksi tanpa memperluas lahan sawit jadi masyarakat terutama petani khususnya sebesar 45% itu betul-betul terbantu. Kita juga berharap agar harga sawit itu jangan lagi jatuh seperti yang terjadi sebelumnya,” pungkas Parulian.

https://www.wartaekonomi.co.id/read308840/aprobi-minta-pemerintah-turun-tangan-atasi-masalah-selisih-harga-biodiesel-dengan-solar

Klikkalsel.com | Selasa, 13 Oktober 2020

BBN Berbasis Biohidrokarbo Jadi Energi Nasional di Bidang Ekonomi

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), tegaskan Bahan Bakar Nabati untuk kemakmuran Pemerintah mendukung penuh pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN). Hal itu dikatakan oleh Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Edi Wibowo, yang hadir sebagai keynote speaker dalam Webminar ‘Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa’. “Sebagai bagian dari ekosistem sawit nasional, kami mendukung penuh upaya pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair berbahan dasar sawit karena manfaatnya sangat banyak bagi masyarakat Indonesia,” ujar Edi, dalam paparannya. Sementara itu, Ketua APROBI, Parulian Tumanggor, yang turut berpartisipasi sebagai salah satu pembicara, menyatakan bahwa penggunaan biodiesel di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 2006. Pria yang akrab disapa Pak Tum ini memaparkan, yang menjadi latar belakang dari penggunaan biodiesel di Indonesia adalah fakta bahwa Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah, serta berlimpahnya produk kelapa sawit Indonesia. “Betapa bersyukurnya kita bahwa Tuhan menganugerahkan kepada kita, posisi sebagai produsen CPO terbesar di dunia, karena tidak semua negara bisa menanam sawit. Sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan kemudian, cinta penggunaan bahan bakar nabati juga makin diketatkan,” jelas Tumanggor, dalam penjelasannya. Di luar kedua hal tersebut, menurut Tumanggor, penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari adanya tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakatai dalam Protokol Kyoto.

Di lain pihak, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi. “Kita bisa menggunakan produk nabati kita menjadi energi nasional dan kita juga perlu menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. Inilah beragam alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” tuturnya. Tak ketinggalan, Tumanggor juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas peran Presiden RI, Joko Widodo, serta seluruh jajarannya atas komitmennya dalam mencanangkan B30, B40, hingga B100. Terkait kualitas biodiesel, Tumanggor mengatakan, “Masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik,” tandas Tumanggor. Posisi APROBI yang beranggotakan 19 perusahaan disebut Tumanggor hanya berperan sebagai ‘tukang jahit’. APROBI sebagai produsen biofuel membeli CPO dari masyarakat dan perusahaan untuk diproduksi menjadi FAME yang kemudian dicampurkan dengan solar. Produk akhir ini nantinya akan dikirimkan ke station-station yang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM dan PT Pertamina. “Agar jangan ada kesimpangsiuran di tengah-tengah masyarakat, seakan-akan produsen ini tadi mengeruk uang yang begitu besar dari uang BPDP, Rp15 triliun atau Rp20 triliun hanya dinikmati oleh 19 perusahaan,” ujarnya. Sekali lagi kata dia, perusahaan ini hanya sebagai tukang jahit mendapatkan biaya proses produksi sekita saat ini US$90 per ton. Terkait insentif yang didapatkan APROBI, Tumanggor dengan tegas mengatakan, yang didapatkan oleh APROBI ini bukan dari APBN, tetapi dari BPDPKS yang dihimpun dari dana para eksportir sawit.

Borneonews.co.id | Selasa, 13 Oktober 2020

APROBI Tegaskan Bahan Bakar Nabati untuk Kemakmuran Bangsa

Pemerintah mendukung penuh pengembangan Bahan Bakar Nabati atau BBN. Hal itu dikatakan oleh Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS, Edi Wibowo, yang hadir sebagai keynote speaker dalam Webminar ‘Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa’. “Sebagai bagian dari ekosistem sawit nasional, kami mendukung penuh upaya pengembangan BBN cair berbahan dasar sawit karena manfaatnya sangat banyak bagi masyarakat Indonesia,” kata Edi dalam paparannya. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia atau APROBI, Parulian Tumanggor yang turut berpartisipasi sebagai salah satu pembicara, menyatakan bahwa penggunaan biodiesel di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 2006. Pria yang akrab disapa Pak Tum ini memaparkan, yang menjadi latar belakang dari penggunaan biodiesel di Indonesia adalah fakta bahwa Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah, serta berlimpahnya produk kelapa sawit Indonesia. “Betapa bersyukurnya kita bahwa Tuhan menganugerahkan kepada kita, posisi sebagai produsen CPO terbesar di dunia, karena tidak semua negara bisa menanam sawit. Sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan kemudian, cinta penggunaan bahan bakar nabati juga makin diketatkan,” kata Tumanggor dalam penjelasannya. Di luar kedua hal tersebut, menurut Tumanggor, penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari adanya tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakatai dalam Protokol Kyoto. Di lain pihak, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi. “Kita bisa menggunakan produk nabati kita menjadi energi nasional dan kita juga perlu menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. Inilah beragam alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” tuturnya.

Tidak ketinggalan, Tumanggor juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI, Joko Widodo beserta seluruh jajarannya atas komitmen dalam mencanangkan B30, B40, hingga B100. Terkait kualitas biodiesel, Tumanggor berpendapat bahwa masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik. Posisi APROBI yang beranggotakan 19 perusahaan disebut Tumanggor hanya berperan sebagai ‘tukang jahit’. APROBI sebagai produsen biofuel membeli CPO dari masyarakat dan perusahaan untuk diproduksi menjadi FAME yang kemudian dicampurkan dengan solar. Produk akhir ini nantinya akan dikirimkan ke station-station yang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM dan PT Pertamina. “Agar jangan ada kesimpangsiuran di tengah-tengah masyarakat, seakan-akan produsen ini tadi mengeruk uang yang begitu besar dari uang BPDP, Rp15 triliun atau Rp20 triliun hanya dinikmati oleh 19 perusahaan. Sekali lagi, perusahaan ini hanya sebagai tukang jahit mendapatkan biaya proses produksi sekita saat ini US$90 per ton,” katanya lagi. Terkait insentif yang didapatkan APROBI, Tumanggor dengan tegas mengatakan bahwa yang didapatkan oleh APROBI ini bukan dari APBN, tetapi dari BPDPKS yang dihimpun dari dana para eksportir sawit.

https://www.borneonews.co.id/berita/188717-aprobi-tegaskan-bahan-bakar-nabati-untuk-kemakmuran-bangsa

BERITA BIOFUEL

Wartaekonomi.co.id | Selasa, 13 Oktober 2020

BBN Salah Satu Sumber Energi Terbarukan, Kementerian ESDM Kejar Target 23%

Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan, Bahan Bakar Nabati (BBN) menjadi salah satu sumber energi terbarukan. Jika melihat target yang sudah ditetapkan pemerintah di dalam kebijakan energi nasional diharapkan pada 2025 nantinya dapat meningkatkan kontribusi Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23%. “Kalau kita melihat dari capaian pada saat ini kita memang masih jauh dari target yang ditetapkan yaitu baru di kisaran 9,15%. Artinya masih cukup besar gap yang harus kita kejar untuk mencapai target 23% di 2025,” kata Feby dalam webinar online, Selasa (13/10/2020). Feby menuturkan, target 9,15% di 2019 jika diperinci lagi, maka 6,2% berasal dari pembangkit-pembangkit EBT dan hampir 3% dari bahan bakar nabati dalam hal ini biodiesel. “Jadi 30% dari target yang kita capai di 2019 itu berasal dari biofuel. Karena saat ini kebetulan biofuel kita yang berkembang secara masif adalah biodiesel, maka biodiesellah yang men-support kontribusi energi baru dan terbarukan sebesar 30% di 2019,” tutur Feby. Feby mengutarakan, perlunya mengembangkan program biofuel khususnya biodiesel untuk meningkatkan ketahanan energi nasional sebab bahan bakar minyak masih impor. “Di sini targetnya di dalam kebijakan energi nasional di 2025 kita bisa menggunakan bahan bakar berbasis biofuel adalah 13,8 juta kl. Kalau kita lihat 2019 pencapaian kita di kisaran 6,39 juta kl. Ini memang kurang lebih 50% dari yang ditargetkan di 2025 sudah kita serap di 2019 kemarin, ini dengan B20. Harapan kami di 2020 ini bisa meningkat lagi dengan program B30 karena memang kita mempunyai stok CPO yang cukup besar,” ujar Feby. Sekadar informasi terkait dengan target di rencana umum energi nasional di setiap tahunnya menetapkan target untuk dicapai. “Sebelum 2020 kita selalu di bawah target. Mudah-mudahan di 2020 kita bisa mencapai target. Alokasi awal kita untuk serapan di 2020 ini adalah 9,6 juta kl,” ujar Feby. Feby mengatakan, jika melihat di rencana umum energi nasional targetnya adalah 8 juta kl, angka 9,6 juta kl yang menjadi target kemungkinan dengan adanya pandemi Covid-19 ini tidak bisa terserap semua. “Jadi, mungkin ada pengurangan di kisaran 10% atau maksimum di 15%,” kata Feby.

https://www.wartaekonomi.co.id/read308849/bbn-salah-satu-sumber-energi-terbarukan-kementerian-esdm-kejar-target-23/0

Sindonews.com | Selasa, 13 Oktober 2020

Menhub Ingin Truk dan Bus Pakai Bahan Bakar Nabati

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyampaikan, dukungannya bagi pengembangan transportasi yang ramah lingkungan di kota-kota besar. Salah satu yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam rangka mengurangi pencemaran atau polusi udara yang menjadi masalah yang terjadi di kota-kota besar, antara lain di Palembang. “Wujudkan Kota Palembang, Kota Tertua di Indonesia Dengan Kualitas Udara Baik Melalui Implementasi BBM Ramah Lingkungan. Saya mengapresiasi YLKI yang mengadakan dialog ini karena isu pencemaran udara merupakan isu global dunia dan sudah sangat mengkhawatirkan. Pelembang memiliki sistem transportasi yang sudah baik, jika ditambah dengan ramah lingkungan tentu akan menjadi lebih hebat,” jelas Menhub di Jakarta. Menhub mengatakan kemacetan yang terjadi di kota-kota besar merupakan penyumbang utama pencemaran udara. Oleh karenanya ia sangat memperhatikan pembangunan integrasi antarmoda transportasi publik di Palembang untuk mengurangi kemacetan. Menurutnya, saat ini Kota Palembang telah memiliki Light Rail Transit (LRT) dan Bus Rapid Transit (BRT) yang keduanya telah terintegrasi dengan cukup baik yang bisa dijadikan contoh untuk dikembangkan juga di tempat lain. Keprihatinan pada masalah pencemaran udara ini diperkuat dengan hasil kajian International Energy Agency (IEA) yang menyebutkan, buruknya kualitas udara akibat pencemaran, menyebabkan kematian 6,5 juta jiwa per tahun yang mayoritas menimpa kota-kota di Asia dan Afrika. “Angka ini diperkirakan bakal mengalami peningkatan drastis jika tidak ada langkah nyata untuk menyediakan energi bersih. Sektor transportasi darat baik berupa mobil pribadi, motor maupun kendaraan umum menyumbangkan 90% pencemaran udara dan perubahan iklim sebagai akibat penggunaan BBM oktan rendah seperti premium yang berdampak buruk secara signifikan bagi kesehatan,” katanya.

Melihat permasalahan tersebut, Kementerian Perhubungan meningkatkan langkah-langkah yang bersifat pull policy seperti : meningkatkan ketersediaan angkutan umum masal berbasis rel, meningkatkan integrasi dan juga tahun ini telah meluncurkan program Bus Buy The Service (BTS) di 5 kota besar yaitu Solo, Palembang, Medan, Denpasar dan Yogyakarta dan menyediakan 45 unit bus untuk melayani 3 koridor. BTS adalah sistem membeli layanan untuk angkutan massal perkotaan kepada operator dengan mekanisme lelang yang berbasis standar pelayanan minimal atau quality licensing. Bus BTS memiliki 6 standar layanan yang mencakup keamanan, keterjangkauan, keselamatan, kesetaraan, kenyamanan, dan keteraturan. “Kita harus memikirkan transportasi berkelanjutan agar memiliki Co-benefit seperti: Buy The Service, dan menerapkan antarmoda yang bersih dan higienis. LRT dan BTS harus dimanfaatkan secara baik di kota Palembang dan tentu di kota-kota lain. Ditambah lagi Pertamina memberikan BBM yang ramah lingkungan maka lingkungan kota akan menjadi lebih baik,” tutur Menhub Budi. Lebih lanjut Menhub mengatakan, pihaknya telah memiliki sejumlah rencana strategis untuk menerapkan diversifikasi energi di bidang transportasi, untuk mengurangi ketergantungan impor migas, diantaranya melalui penggunaan bahan bakar nabati (BBN) seperti biodiesel untuk moda transportasi darat, kendaraan BBG, dan bus listrik. “Rencananya penerapan bahan bakar nabati atau BBN akan diproyeksikan untuk angkutan berat seperti truk dan angkutan umum seperti bus. Demikian pula dengan angkutan berbasis rel dan listrik seperti MRT dan LRT yang tengah dikembangkan di Jakarta dan Palembang. Saya harap dengan adanya dialog ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat menggunakan transportasi umum seperti LRT di Palembang, karena telah memiliki standar keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan kesehatan,” tandasnya.

https://ekbis.sindonews.com/read/194360/34/menhub-ingin-truk-dan-bus-pakai-bahan-bakar-nabati-1602551400?showpage=all

Kompas.com | Selasa, 13 Oktober 2020

Sejarah Panjang, Asal Mula dan Penemu Biodiesel

Pemerintah tengah mendorong penggunaan energi terbarukan ketimbang energi fosil yang terus menyusut. Salah satunya lewat biodiesel, yaitu bahan bakar minyak yang berbasis dari sawit (Crude Palm Oil/ CPO). Baru-baru ini pemerintah telah mengembangkan program biodiesel dengan kandungan Fatty Acid Methyl Esters ( FAME) 30 persen di dalam solar. Rencananya pemerintah akan terus meningkatkan kandungan FAME hingga B40, bahkan produksi solar berbahan baku CPO 100 persen atau D100 juga telah dilakukan risetnya. Dilansir dari laman Biodiesel.com, penggunaan bahan bakar diesel campuran minyak nabati dan minyak bumi ini telah telah dilakukan lebih dari satu abad yang lalu. Cerita ini diawali oleh Rudolf Diesel ketika membuat mesin diesel pertamanya pada 1893. Waktu itu, ia mencoba berbagai bahan bakar alternatif untuk menggerakkan mesin pertamanya. Dari menggunakan solar biasa, debu batubara, sampai minyak nabati. Ia menemukan bahwa bahan bakar diesel berbasis minyak nabati memiliki kandungan energi yang tinggi, hanya masalah waktu sebelum ide ini booming. Ide ini pun mulai dipamerkan pertama kali di World’s Fair 1900 di Paris, Perancis. Waktu itu sebuah mesin diesel dengan bahan bakar dari minyak kacang tanah memukau pengunjung gelaran yang menampilkan pencapaian negara-negara di dunia. Mesin yang dibangun oleh perusahaan Otto atas sponsor pemerintah Perancis ini rencananya akan dipakai sebagai bahan bakar domestik untuk koloni mereka di Afrika. Rudolf Diesel pun percaya minyak nabati akan jadi pendukung utama konsep tersebut. Ia mulai melakukan riset mendalam mengenai bahan bakar nabati.

Tapi ketika Rudolf Diesel wafat pada 1913, ide ini terbengkalai. Sumber tenaga mesin diesel secara bertahap mulai menggunakan proses destilasi minyak bumi (petroleum diesel). Bahan bakar jenis inilah yang kemudian banyak dipakai dalam pengembangan mesin diesel modern. Kondisi ini membuat minyak nabati tidak bisa langsung dipakai sebagai bahan bakar mesin diesel. Sebab viskositas minyak nabati terbilang lebih tinggi dibandingkan petroleum diesel, sehingga menyulitkan proses pembakaran. Namun ide ini kembali mendapat titik terang saat ilmuan Belgia, G. Chavanne, menemukan teknik transesterifikasi untuk mengubah minyak nabati menjadi FAME pada 1937. FAME inilah yang saat ini dipakai menjadi bahan baku pembuatan biodiesel sampai sekarang. Salah satu alasannya karena sifat fisik atau molekulnya yang mirip dengan petroleum diesel. Meski begitu, pengembangan biodiesel mulai dikembangkan serius pada tahun 1970-an, saat isu krisis minyak dunia muncul. Karena menghasilkan emisi yang bersih, produksi dan penggunaan yang mudah, serta manfaat lainnya, biodiesel jadi salah satu bahan bakar alternatif yang tumbuh paling cepat di dunia. Di abad ke-21, penggunaan bahan bakar terbarukan ini turut memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan. Tak heran pengembangan biodiesel pun terus dilakukan hingga hari ini.

https://otomotif.kompas.com/read/2020/10/13/180849915/sejarah-panjang-asal-mula-dan-penemu-biodiesel?page=all

Wartaekonomi.co.id | Selasa, 13 Oktober 2020

Gapki Berikan Rekomendasi Agar Program Biodiesel Pemerintah Bisa Terwujud

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya untuk konsisten melanjutkan program mandatori biodiesel, baik B30, B50, maupun B100, sebagai salah satu upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Sayangnya, hal tersebut harus tersandung masalah selisih harga indeks (HIP) pasar bahan bakar nabati (BBN) jenis Biodiesel dengan HIP bahan bakar minyak (BBM) solar. Pasalnya, hargaBiodiesel saat ini dinilai masih terlalu tinggi untuk masyarakat jika dibandingkan dengan harga solar. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Inddonesia (Gapki) Joko Supriyono memberikan rekomendasi terkait keberlanjutan program tersbeut, dalam acara Webinar Green Energy dengan tema “Strategi dan Peluang Mengelolan BBN berbasis Hidrokaarbon untuk Kemaslahatan Bangsa” yang diselenggarakan Warta Eekonomi, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Joko menyampaikan bila program Biodiesel ini diharapkan bisa berkesinambungan dan berkelanjuatan maka aspek pembiayaan menjadi salah satu aspek penting. “Selama ini program biodiesel self funding, jadi industri ini di biayai oleh industri sendiri. Nah, ini juga kalau bicara ke depan perlu di review terus, karena situasi hari ini funding agak berat karena gap harga antara solar dengan biodiesel cukup lebar. Harga growth yang anjlok sementara harga sawit sedang cukup baik,” ucapnya. Pasalnya, apabila industri biodiesel menggantungkan diri dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Joko menilai ada keterbatasn terhadap kemampuan. Sehingga, program B40 dan B50 tidak mungkin bisa tercapai. “Karena trend global harga growth masih akan berat. Jadi harus ada alternatif, pemerintah mesti turun tangan jadi supaya program ini bisa suistain ke depannya,” ucapnya. Selain itu, agar program biodiesel bisa tercapai maka antara Pemerintah dan pelaku usaha harus membuat road map yang jelas. Karena, tambah Joko ada perbedaan data antara Kementerian ESDM dengan Pertamina. “Saya lihat angkanya Kementrian ESDM ini agak beda dari Pertamina dua minggu lalu. Jadi, pertama roadmap harus firm antara pemerintah dengan pelaku usaha harus match. Ini demi suistanibility program ini ke depannya,” tutup Joko.

https://www.wartaekonomi.co.id/read308852/gapki-berikan-rekomendasi-agar-program-biodiesel-pemerintah-bissa-terwujud

Tribunnews.com | Selasa, 13 Oktober 2020

Konsumsi Avtur Masih Rendah, Ini Kata Pertamina

PT Pertamina (Persero) melalui Marketing Operation Region (MOR) III memastikan kesiapan stok serta sarana dan fasilitas (sarfas) Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) tetap tersedia. Unit Manager Communication Relations & CSR MOR III Eko Kristiawan menyebut meski konsumsi avtur belum optimal, Pertamina tetap menjaga keandalan layanan industri aviasi. “Konsumsi avtur saat ini masih rendah karena pandemi Covid-19 yang membatasi minat perjalanan dengan pesawat udara serta penutupan penerbangan internasional,” jelas Eko, Selasa (13/10/2020). Dia menjelaskan, frekuensi penerbangan di Bandara Internasional Soekarno Hatta Cengkareng mengalami penurunan hingga kurang lebih 45 persen dibandingkan tahun 2019. “Namun kami memastikan pasokan avtur tetap berjalan dan siap memenuhi kebutuhan jika sewaktu-waktu kondisi permintaan kembali normal,” tambahnya. Diketahui, DPPU Pertamina di kawasan Cengkareng terdiri dari dua fasilitas DPPU yakni Soekarno Hatta Fuel Terminal Hydrant Installation (SHAFTHI) dan Soekarno Hatta Into Plane Service (SHIPS). Keduanya melayani distribusi avtur ke pesawat udara di tiga terminal bandara Soekarno-Hatta. Avtur di Soekarno-Hatta memperoleh suplai dari Refinery Unit II Dumai dan Refinery Unit IV Cilacap. Dengan moda distribusi jalur laut, Avtur diterima di DPPU dan dialirkan ke terminal 1, 2 dan 3 di Soekarno-Hatta melalui jalur pipa. Selain Soekarno-Hatta, MOR III yang melingkupi Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten, juga melayani kebutuhan Avtur melalui 5 DPPU lain yang tersebar di Jawa bagian Barat yakni DPPU Halim Perdana Kusuma dan DPPU Pondok Cabe di Jakarta, DPPU Husein Sastra Negara di Bandung dan DPPU Kertajati di Majalengka Jawa Barat.

https://www.tribunnews.com/bisnis/2020/10/13/konsumsi-avtur-masih-rendah-ini-kata-pertamina

Wartaekonomi.co.id | Selasa, 13 Oktober 2020

BPDPKS: Program Insentif BBN untuk Bantu Indonesia

Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo mengatakan, dukungan BPDPKS dalam pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair berdampak langsung pada petani rakyat. BPDPKS melalui program insentif BBN untuk membantu Indonesia mewujudkan stabilisasi harga sawit, menjalankan komitmen dalam bidang lingkungan hidup, dan juga meningkatkan ketahanan energi dengan meningkatkan energi terbarukan. “Bagaimana kita nanti meningkatkan efisiensi biaya usaha berkebun sawit rakyat, juga harga jual yang optimum. Programnya adalah yang terkait dengan peremajaan kemudian program sarana dan prasarana dan program pengembangan SDM,” kata Edi dalam webinar online, Selasa, (13/10/2020). Edi mengutarakan, dampak positif implementasi pemanfaatan biodiesel melalui insentif pendanaan BPDPKS mulai dari 2015 sampai juni 2020 dapat mengurangi efek gas rumah kaca sekitar 37,50 juta ton CO2 dari penggunaan biodiesel sebesar 25,08 juta kiloliter. “Kemudian pajak yang dibayar kepada negara sebesar Rp4,13 triliun. Penghematan devisa akibat tidak perlu impor solar sebesar Rp127,79 triliun. Kemudian peningkatan nilai tambah industri hilir sawit Rp36,12 triliun. Dan penyerapan tenaga kerja yang on farm maupun off farm yang cukup besar.  Totalnya mungkin lebih dari 3 juta orang dengan asumsi harga ICP US$60, kemudian juga kurs USD yang dipakai Rp13.500,” ujar Edi. Edi mengatakan, pihaknya telah menyiapkan program insentif sehingga jika diperlukan terkait pajak ataupun bantuan langsung. “Kita perlu siapkan dari saat ini,” kata Edi. Edi menuturkan, kesadaran masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengetahui bahwa energi hijau lebih bagus daripada energi fosil.  “Itu ke depan perlu kita bangun bersama. Karena energi hijau lebih ramah lingkungan, kemudian juga menjaga kemandirian energi dan juga ketahanan energi nasional,” tutur Edi.

https://www.wartaekonomi.co.id/read308835/bpdpks-program-insentif-bbn-untuk-bantu-indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *