Aprobi: Penundaan program B40 tidak berdampak ke industri biodiesel dan sawit
Kontan.co.id | Kamis, 4 Februari 2021
Aprobi: Penundaan program B40 tidak berdampak ke industri biodiesel dan sawit
Pemerintah menunda pemberlakuan program pencampuran biodiesel 40% atau B40. Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, penundaan program B40 tidak berdampak ke industri biodiesel, justru malah menjamin ketercukupan pasokan di dalam negeri. Pemerintah sendiri masih akan menjalankan program B30 dengan target penyaluran sebanyak 9,2 juta kiloliter. “Sampai saat ini kami juga belum menerima informasi dari usaha CPO tentang potensi dampak. Namun untuk CPO, kami rasa juga tidak berdampak, karena volume pemakaian biodiesel kira-kira akan sama dengan tahun lalu,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (4/2). Paulus menyebutkan, meskipun ada investasi baru berupa perluasan kapasitas dan juga penambahan industri biodiesel, tentunya akan ada kapasitas produksi yang berlebih. Aprobi mengupayakan untuk mengeskpornya ke pasar internasional. Suwandi Winardi, Wakil Sekretaris Jenderal Aprobi menambahkan, penundaan mandatori B40 tentu ada alasan dan kajian mendalam yang sudah dilakukan pemerintah. “Kami semua optimistis B40 menjadi roadmap program pemerintah jangka panjang dan menengah,” jelasnya dalam acara virtual, Kamis (4/2). Kata Suwandi, di tahun 2021 ini, pemerintah sudah menetapkan alokasi biodiesel sebesar 9,2 juta kilo liter yang diharapkan dapat dicapai seluruhnya. Tentu ada tantangan yang harus dihadapi khususnya dari segi teknis dan logistik. Di sisi lain juga dari segi harga sawit karena market yang bergerak dinamis. Mengenai hasil program B30 di 2020, Suwandi menjelaskan, total produksi biodiesel dari anggota Aprobi mencapai 8,59 juta kiloliter dengan rincian distirbusi ke domestik sekitar 8,4 juta kiloliter, sedangkan untuk angka ekspor 27.000 kiloliter. “Kecilnya angka ekspor ini disebabkan paling banyak karena kondisi pasar yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya banyak eskpor. Namun, dengan dukungan program pemerintah, kami bisa mengalihkan itu semua ke pasar domestik,” kata Suwandi.
Kontan.co.id | Kamis, 4 Februari 2021
Begini tanggapan Aprobi soal penundaan program B40
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk menunda melanjutkan program mandatori biodiesel 30 persen (B30) menjadi biodiesel 40 persen (B40) di tahun ini. Penundaan tersebut lantaran adanya kenaikan harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO) akibat dampak dari pandemi Covid-19. Menanggapi hal tersebut, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan adanya penundaan program B40 tahun ini. Pertama, terkait pertimbangan teknis. Saat ini pemerintah bersama dengan stakeholders yang meliputi Litbang ESDM, Pertamina, Aprobi, Gaikindo dan lainnya masih melakukan pengkajian lebih lanjut untuk bahan baku B40. “Untuk saat ini masih dilakukan penelitian mana campuran bahan yang paling baik untuk B40 apakah 10% harus di campur dengan destilasi biodiesel atau bahan biohidrokarbon yang saat ini diupayakan Pertamina,” kata Paulus saat dihubungi KONTAN, Rabu (3/2). Kedua yakni faktor penyediaan kapasitas B40. Paulus mengatakan, saar ini kapasitas pabrik biodiesel hanya sekitar 1,6 juta kiloliter. Sehingga, apabila ada pertimbangan campuran bahan lain sekitar 10% baik dari destilasi biodiesel maupun biohidrokarbon maka Aprobi perkirakan akan membutuhkan kapasitas pabrik 3 juta hingga 4 juta kiloliter. “Yang kita punya hanya kapasitas 1,6 juta kiloliter itu juga untuk kapasitas biodiesel kita. Artinya bukan tambahan ya memang kita sudah ada kapasitasnya namun belum cukup di tahun ini. Untuk membangun pabrik saja membutuhkan waktu 7 bulan sampai 1 tahun, belum lagi dana dan lain-lain,” katanya.
Ketiga yakni pertimbangan untuk kecocokan B40 pada setiap mobil-mobil. Menurutnya, sampai saat ini belum ada result atau hasil yang paling baik terkait kecocokan B40 pada kendaraan mobil. Adapun faktor Keempat yakni pertimbangan harga B40. “kalau menggunakan B40 dengan campuran destilasi biodiesel maupun biohidrokarbon 10% pasti harganya beda dan pastinya akan lebih tinggi sehingga harus kita perhitungkan juga,” tambahnya. Sementara itu, Paulus juga menyebutkan bahwa pihaknya telah memperhitungan adanya faktor pengembangan mobil listrik di Indonesia. Namun pihaknya tak khawatir dengan faktor tersebut, sebab segmen kendaraan yang menggunakan B40 terutama adalah truk. “Ada juga perhitungan karena adanya mobil listrik di Indonesia tapi B40 ini kebanyakan untuk truk-truk jadi kita tidak terlalu khawatir. Adapun juga luar negeri terutama di Eropa dan China sangat butuh biodiesel,” ujarnya. Untuk itu, dengan adanya faktor-faktor tersebut, ia memastikan pertimbangan itu akan segera di selesaikan tahun ini. “Sehingga apabila bisa dituntaskan maka proyeksinya tahun depan akan berjalan program B40,” tutupnya.
BERITA BIOFUEL
Kontan.co.id | Kamis, 4 Februari 2021
Sejumlah emiten CPO akui tidak kena dampak negatif penundaan B40
Sejumlah emiten sawit mengakui tidak akan kena dampak negatif penundaan program mandatori biodiesel 40% (B40) di tahun ini. Head of Investor Relations PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) Michael Kesuma menjelaskan ditundanya program B40 tidak berdampak negatif bagi SGRO. Alasannya, secara volume tahun ini pemerintah menetapkan serapan biodiesel sekitar 9,2 juta kiloliter yang jika dibandingkan dengan tahun lalu ada peningkatan. Namun, untuk memerinci dampaknya positifnya ke SGRO diakui Michael cukup sulit dijabarkan karena Sampoerna Agro secara internal tidak memproduksi biodiesel, melainkan pelanggan SGRO yang memasok untuk biodiesel. “Untuk saat ini kami memprioritaskan untuk bisa memaksimalkan kinerja perusahaan yang berlandaskan dari dua aspek, yakni operasional dan keuangan,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (4/2). Lebih rinci, dari segi operasional, SGRO akan semaksimal mungkin menerapkan protokol kesehatan di kebun maupun di area pabrik. Selain itu, SGRO juga akan meningkatkan volume produksi. Kemudian dari sisi keuangan, SGRO berupaya menjual produk di harga terbaik di lokal maupun luar negeri. Khusus di pasar domestik, saat ini SGRO melihat pasar lokal masih terbuka lebar khususnya dengan adanya program B30. Begitu juga dengan PT Mahkota Group Tbk (MGRO) yang tidak secara langsung memasok biodiesel dan masih melihat prospek bisnis yang cemerlang di dalam negeri. “MGRO tidak secara langsung memasok produk ke Pertamina karena bukan merupakan produsen biodiesel. Namun, MGRO memiliki optimisme yg tinggi akan pertumbuhan industri kelapa sawit karena konsumsi minyak nabati akan semakin meningkat di berbagai belahan dunia,” jelasnya saat dihubungi terpisah. Menurut Elvi hal ini seiring dengan semakin banyaknya kebutuhan manusia yang bisa dihasilkan dari CPO menjadi produk akhir. Maka dari itu, MGRO tidak hanya menggali pasar domestik saja, tetapi juga akan memperdalam pasar ekspor yang targetnya bisa mencapai 50% dari total penjualan MGRO. Target ini akan dicapai hingga 2023 mendatang. Mahkota Group menilai, secara margin, pasar ekspor lebih kompetitif walaupun ada beban biaya ekspor serta risiko selisih kurs. Elvi mengatakan perusahaan secara rutin menganalisa perkembangan pasar baik ekspor maupun lokal. Adanya peluang dari pasar domestik dan ekspor ini, MGRO menargetkan volume produksi CPO di 2021 akan tumbuh 20% dari target tahun sebelumnya yang sebesar 230 ribu ton. “Saat ini kami belum ada rencana penambahan kapasitas baru,” kata Elvi.
CNBCIndonesia.com | Kamis, 4 Februari 2021
Tak Tinggal Diam, Ini Jurus Pertamina Kurangi Impor Bensin
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan akan melakukan berbagai upaya untuk mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) khususnya bensin pada tahun ini. Dia menyebutkan program bio energi menjadi kunci dalam mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM). Pertama, melalui B30 yang berasal dari CPO sawit yang akan ditingkatkan menjadi B40. Saat ini bersama Kementerian ESDM tengah melakukan kajian untuk meningkatkan B30 menjadi B40. Secara teknis, menurutnya kilang Pertamina sudah bisa memproduksi green diesel (D100) di Kilang Dumai dan juga akan memproduksi lagi sebanyak 6.000 barel per hari (bph) di Kilang Cilacap. “Kami juga akan membangun green refinery di Plaju, sehingga bisa menurunkan impor. Kemudian, untuk menurunkan impor gasoline atau bensin, Pertamina dan ESDM sedang uji coba GME program, jadi gasoline (bensin) dicampur dengan 15% metanol dan 5% etanol,” kata Nicke dalam acara “Energy Outlook 2021: Bedah Nasib Sektor Energi di Tengah Ketidakpastian” di CNBC Indonesia, Kamis (04/02/2021). Dengan begitu, menurutnya nantinya perseroan bisa mengurangi 20% permintaan bensin yang mencapai sekitar 40-42 juta kilo liter (kl) per tahun. Jika uji coba ini diterima oleh Kementerian ESDM, maka menurut Nicke, Pertamina bisa langsung menyiapkan program dan menjalankannya. Dia mengatakan, sumber metanol bisa diproduksi dari sumber daya alam di dalam negeri, baik dari gas atau batu bara melalui proyek gasifikasi. “Untuk etanol, kita punya potensi untuk membangun bioetanol dari singkong atau produk lainnya. Ini upaya Pertamina menurunkan impor, selain kapasitas kilang ditingkatkan,” ujarnya. Dia mengatakan kapasitas kilang pun terus ditingkatkan. Seperti diketahui saat ini perseroan tengah membangun satu kilang baru (New Grass Root Refinery) di Tuban, Jawa Timur, bersama perusahaan asal Rusia, Rosneft, dan juga meningkatkan kapasitas kilang yang telah ada saat ini melalui program Refinery Development Master Plan (RDMP) seperti di Kilang Balikpapan, Balongan, Cilacap, Plaju, dan Dumai. Selain itu, lanjutnya, Pertamina juga telah melakukan program Kilang Langit Biru di Cilacap, sehingga impor bensin dengan kualitas nilai oktan (RON) 92 ke atas atau dengan merek dagang Pertamax bisa turun sebesar 670 ribu barel per hari (bph). Penurunan impor ini menurutnya bisa menghemat US$ 700 juta per tahun. Upaya lainnya untuk mengurangi impor bensin ini menurutnya yaitu dengan mengoptimalkan cadangan gas dan memanfaatkan sumber gas di dalam negeri. Gas bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar gas (BBG) untuk sektor transportasi, bahan baku industri, pembangkit listrik, serta rumah tangga. Perseroan pun akan meningkatkan pembangunan jaringan gas kota (jargas) untuk pemakaian rumah tangga, sehingga bisa menurunkan impor LPG, selain meningkatkan produksi LPG dan mengembangkan proyek gasifikasi batu bara yakni mengonversi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME). “Kuncinya yaitu dengan meningkatkan cadangan gas kita dan pembangunan infrastruktur di midstream dan downstream (hilir),” ujarnya.
Wartaekonomi.co.id | Kamis, 4 Februari 2021
BPDPKS Lakukan Penyerahan Perjanjian Pembiayaan Bahan Bakar Nabati Biodiesel 2021
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melakukan penyerahan Perjanjian Pembiayaan Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel untuk dicampur dengan Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Periode Januari – Desember 2021 yang telah ditandatangani oleh Eddy Abdurrachman selaku Direktur Utama BPDPKS dengan Badan Usaha (BU) Bahan Bakar Nabati (BBN) Jenis Biodiesel. “Penandatangan kerjasama ini merupakan bentuk konsistensi Pemerintah dalam melakukan perbaikan neraca perdagangan Indonesia dengan cara mengurangi impor BBM jenis minyak solar dan mendukung pembangunan industri sawit yang berkelanjutan sekaligus mendorong peningkatan ketahanan dan kemandirian energi,” kata Eddy Abdurrachman. Pembiayaan pengadaan BBN jenis biodiesel oleh BPDPKS ditujukan untuk menutup selisih kurang harga indeks pasar (HIP) minyak solar dengan HIP BBN jenis biodiesel, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dan peraturan turunannya yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 41 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel Dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Terdapat 20 (dua puluh) BU BBN yang harus menandatangani perjanjian dengan BPDPKS. Jumlah ini didasarkan pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 252. K/10/MEM/2020 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel serta Alokasi Besaran Volume untuk Pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Periode Januari– Desember 2021. Total alokasi volume Biodiesel untuk pengadaan 2021 yang akan dicampur dengan bahan bakar minyak (BBM) jenis minyak solar adalah sebesar 9,2 juta kilo liter. BU BBM yang melakukan pencampuran Biodiesel dengan minyak solar merupakan BU BBM yang memiliki kilang di dalam Negeri dan/atau yang melakukan impor Minyak Solar, sehingga diharapkan seluruh Minyak Solar yang beredar di dalam negeri adalah Minyak Solar yang dicampur dengan Biodiesel (B30). Sampai saat ini, total kapasitas terpasang produksi biodiesel dari 20 Badan Usaha BBN jenis Biodiesel yang melakukan perjanjian mencapai 12,9 juta kilo liter per tahun.
Jumlah ini lebih dari cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan alokasi pengadaan biodiesel untuk dicampur dengan Minyak Solar di Tahun 2021, sebesar 9,2 juta kilo liter. Lebih lanjut Eddy Abdurrachman menyatakan, “Dari penyaluran biodiesel sebesar 9,2 juta kilo liter tersebut, diharapkan dapat menghemat devisa dari pengurangan impor minyak solar sebesar USD 3,56 miliar dan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 13,75 juta ton CO2e.” Pelaksanaan pengadaan Biodiesel untuk dicampur dengan Minyak Solar dengan dukungan dana perkebunan kelapa sawit ini dapat terlaksana, tidak terlepas dari dukungan penuh para pihak terkait. Untuk itu BPDPKS memberikan apresiasi atas kontribusi aktif dalam program penyediaan dan pemanfaatan Biodiesel melalui kerangka pembiayaan dana sawit ini kepada para pihak terkait tersebut antara lain Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJ EBTKE), Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (DJ MIGAS), Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Deputi Bidang Pengembangan Usaha BUMN, Riset, dan Inovasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 20 BU BBN jenis Biodiesel dan 20 BU BBM. Program penyediaan dan pemanfaatan BBN Jenis Biodiesel melalui kerangka dukungan pembiayaan dana perkebunan kelapa sawit, diharapkan dapat meningkatkan penyerapan produk dari minyak sawit (CPO), mengurangi impor BBM khususnya minyak solar, mendukung industri hilir sawit sekaligus mendorong peningkatan ketahanan dan kemandirian energi yang diharapkan dapat meningkatkan dan menjaga kestabilan harga CPO, yang akhirnya juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani sawit. Pembiayaan Selisih Kurang HIP Minyak Solar – HIP Biodiesel Untuk menjaga stabilitas harga minyak sawit pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengembangkan biodiesel guna menyerap kelebihan stock akibat meningkatnya produksi sawit. Pemerintah mewajibkan BU BBM untuk mencampur BBM Solar dengan BBN Biodiesel dan menjual dengan harga Solar. BU BBN yang terdaftar diwajibkan menyalurkan biodiesel ke BU BBM dengan harga solar. Dalam hal harga biodiesel yang ditetapkan oleh pemerintah lebih tinggi dari harga solar yg ditetapkan pemerintah, maka BPDPKS ditugasi untuk menutup selisih tersebut dengan membayarkan kepada BU BBN. Pembiayaan untuk menutup selisih kurang HIP Minyak Solar dan HIP Biodiesel dengan membayarkan kepada BU BBN tersebut adalah salah satu wujud keberpihakan pemerintah kepada masyarakat. Sumber dananya dari pungutan ekspor CPO dan turunannya, bukan dari Rupiah Murni, sehingga negara tidak mengeluarkan uang untuk insentif ini. Dana yang digunakan berasal dari pungutan yang dibayarkan oleh perusahaan yang melakukan ekspor komoditas kelapa sawit dan turunannya. Dana ini dikelola oleh BPDPKS untuk pengembangan industri sawit yang berkelanjutan.
Dukungan Dana Pembayaran Selisih Kurang HIP Minyak Solar – HIP Biodiesel diberikan kepada Badan Usaha BBN jenis Biodiesel karena perusahaan tersebut memproduksi Biodiesel untuk dicampur dengan Minyak Solar sesuai dengan program Mandatori Biodiesel yang merupakan salah satu dari program pengembangan energi terbarukan dan ketahanan energi Pemerintah. Semua perusahaan yang mempunyai ijin usaha niaga yang dikeluarkan Kementerian ESDM, dan memproduksi Biodiesel dengan memenuhi syarat kualitas sebagaimana dipersyaratkan oleh Kementerian ESDM dapat menjadi penyalur Biodiesel. Besarnya Dukungan Dana yang diberikan, tergantung besarnya jumlah biodiesel yang disalurkan. Besarnya jumlah yang disalurkan sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh Menteri ESDM, yang salah satu pertimbangannya adalah berdasarkan Kapasitas Produksi dari perusahaan tersebut. Semakin besar kapasitas produksi, semakin besar jumlah alokasi biodiesel yang disalurkan. Untuk tahun 2020, realisasi penyaluran biodiesel adalah sebesar 8,4 juta kilo liter, naik 132% dibandingkan penyaluran biodiesel tahun 2019 yang sebesar 6,37 juta kilo liter. Sedangkan besarnya Dana Pembayaran Selisih HIP yang dibayarkan oleh BPDPKS di tahun 2020 adalah sebesar 28,01 juta kilo liter. Besarnya Dana Pembayaran Selisih HIP yang dibayar di tahun 2020 ini karena adanya kenaikan harga CPO, di sisi lain terjadi penurunan harga crude oil dunia sebagai dampak dari terjadinya wabah pandemi Covid-19. Tanpa Dukungan Dana Pembayaran Selisih HIP, pemanfaatan biodiesel sebagai energi terbarukan sulit dilakukan saat ini, hal ini karena harga indeks pasar Biodiesel lebih tinggi dari harga indeks pasar Minyak Solar. Pemberian Dukungan Dana Pembayaran Selisih HIP untuk pengadaan biodiesel ini sifatnya sementara, jika harga indeks pasar Minyak Solar naik dan menyamai atau melebihi harga indeks pasar Biodiesel, maka dukungan dana tersebut tidak diperlukan lagi. Pemberian Dukungan Dana Pembayaran Selisih HIP juga bisa dialihkan jika terdapat alternatif untuk menyerap hasil produksi CPO untuk pasar dalam negeri dalam jumlah yang besar.
Kontan.co.id | Kamis, 4 Februari 2021
Pertamina masih mempersiapkan implementasi program B40
Pemerintah dipastikan belum akan merealisasikan program mandatori biodiesel 40% (B40) pada tahun ini. PT Pertamina (Persero) yang menjadi pelaksana program tersebut masih terus melakukan persiapan secara intensif. SVP Corporate Communication & Investor Relations Pertamina Agus Suprijanto mengatakan, saat ini Pertamina sedang bekerja sama dengan Badan Litbang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk persiapan program B40. Apabila pemerintah sudah menentukan kebijakan mengenai penyaluran B40, Pertamina dipastikan siap untuk menjalaninya. “Dalam perencanaan produksi tersebut, diupayakan dapat dimulai pada kuartal keempat tahun ini,” imbuh dia, Kamis (4/2). Lebih lanjut, Pertamina berkomitmen melaksanakan mandatori B30 yang kembali diberlakukan pada tahun ini. Pendistribusian B30 oleh Pertamina dilakukan melalui jalur-jalur yang sudah ditentukan pemerintah, baik untuk sektor transportasi maupun industri. “Untuk penyalurannya akan sejalan dengan permintaan dari masyarakat maupun sektor industri yang menjadi pengguna B30,” ujar Agus. Dia juga menyebut, setiap tahun pemerintah sudah menunjuk perusahaan-perusahaan yang memasok Fatty Acid Methyl Ester (FAME) kepada Pertamina. Alhasil, perusahaan pelat merah ini dipastikan sudah mendapat komitmen untuk ketersediaan bahan baku B30 yang akan disalurkan kepada konsumen. Sebagai informasi, pemerintah menargetkan volume penyaluran B30 di tahun ini sebesar 9,2 juta kiloliter (KL) dengan proyeksi besaran subsidi sebesar Rp 46 triliun. Pada tahun 2020, penyaluran biodiesel melalui program B30 mencapai 8,46 juta KL. Penyaluran biodiesel ini berdampak pada penghematan devisa sekitar US$ 2,66 miliar. Tapi, realisasi tersebut masih di bawah target awal pemerintah sebesar 9,5 juta KL.
CNBCIndonesia.com | Kamis, 4 Februari 2021
RI Tak Lagi Impor Solar, B30 Nggak Boleh Kendor
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto menegaskan bahwa sudah seharusnya program B30 di 2021 jalan terus guna mengurangi impor solar. “B30 nggak boleh kendor. Jalan terus. Awalnya impor solar banyak, dengan B30, seperti yang sudah disampaikan bahwa Pertamina sudah tidak impor solar,” katanya dalam CNBC Indonesia, Energy Corner Special Edition: Energy Outlook 2021 di Jakarta, Kamis (4/2/2021). Tak hanya menggalakkan Bakar nabati (BBN), pemerintah juga akan mengurangi impor bensin melalui pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Diharapkan banyak rumah tangga yang akan memanfaatkan solar cell untuk kebutuhan listrik di rumahnya. “Kita dorong rumah tangga menggunakan kompor listrik dari solar cell. Terus menggunakan motor listrik dari solar cell,” katanya. Adapun tahun ini, pemerintah hampir selesai menyusun grand strategy energi nasional guna mewujudkan ketahanan kemandirian energi. Salah satunya dengan mendorong sekuat tenaga, memanfaatkan energi terbarukan. “Kita akan berupaya kurangi impor energi. Impor bensin 60%, minyak bumi 30%, harus dikurangi,” katanya. Pengurangan impor energi dilakukan bukan tanpa alasan. Sebab ancaman krisis energi bisa saja terjadi jika Indonesia masih tergantung impor energi dari negara lain. “Apabila negara tersebut menaikkan harga, maka akan beban negara, menjadi beban tekanan ekonomi. Untuk itu pemerintah berupaya meningkatkan produksi, menekan impor sekuat tenaga. Menyusun grand energi nasional, tahun 2040 mengurangi demand energi fosil kita,” pungkasnya.
Kontan.co.id | Kamis, 4 Februari 2021
MGRO tidak akan mengurangi permintaan pasar secara signifikan meski B40 ditunda
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk menunda melanjutkan program mandatori biodiesel 30 persen (B30) menjadi biodiesel 40 persen (B40) di tahun ini. Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Perusahaan PT Mahkota Group Tbk (MGRO), Elvi mengatakan penundaan program mandatori B40 ini lantaran masih adanya ketidakpastian kondisi perekonomian nasional yang tinggi. “Selain itu harga minyak kelapa sawit atau CPO juga masih fluktuasi dan belum selesainya pengkajian secara konprehensif atas program mandatori B40. Sehingga hal tersebut menjadi faktor utama bagi pemerintah untuk melakukan penundaan,” kata Elvi saat dihubungi KONTAN, Rabu (3/2). Meski demikian, emiten sawit itu yakin bahwa program B50 akan tetap berlanjut. MGRO juga akan mendukung penuh keberlangsungan program tersebut, sebab pada program sebelumnya terlihat nyata mampu untuk mengurangi emisi karbon dan menghemat devisa negara. Adapun, meski pemerintah menunda program B40, MGRO mengungkapkan bahwa tidak ada dampak secara langsung terhadap perusahaan. Sebab, perusahaan tidak secara langsung melakukan produksi biodiesel melainkan hanya menjual sawit kepada perusahaan atau produsen biodiesel. “Walaupun terdapat penundaan tahun ini namun tidak sampai mengurangi permintaan pasar karena masih bisa dialokasikan untuk ekspor maupun untuk menghasilkan produk turunan lainnya,” tutupnya.
Bisnis Indonesia | Jum’at, 5 Februari 2021
Daya Pacu Industri Metanol
Sebagai tumpuan perekonomian nasional, sektor industri di Indonesia perlu diperkuat. Salah satunya melalui pengembangan subsektor industri petrokimia, yaitu industri metanol. Metanol menempati posisi penting di industri hilir karena digunakan menjadi bahan utama tekstil, plastik, resin sintetis, farmasi, insektisida, dan industri kayu lapis. Selain itu juga digunakan sebagai bahan baku methanolisis untuk menghasilkan biodiesel. Namun saat ini Indonesia hanya memiliki satu produsen metanol yang berlokasi di Kalimantan Timur dengan kapasitas produksi maksimum 660.000 ton per tahun. Berdasarkan pangsanya, sekitar 70% dari total produksi diekspor ke Jepang, Korea Selatan, China, dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Di sisi lain, kebutuhan metanol di Indonesia tercatat sangat tinggi, mencapai 1,1 juta ton per tahun yang sebagian besar dipenuhi oleh impor. Nilai impor metanol pada 2019 tercatat US$279,17 juta, jauh lebih tinggi dari nilai ekspornya yang hanya US$63,40 juta, sehingga menjadikan posisi Indonesia sebagai net importir metanol. Tantangan utama yang kerap dihadapi oleh industri metanol di Indonesia adalah di sisi bahan baku gas alam yang memiliki tingkat harga relatif tinggi dan juga terus mengalami natural declining di sisi hulu migas-nya. Di Kalimantan Timur, tempat industri metanol mendapat pasokan gas, terjadi penurunan rata-rata kinerja lifting migas sebesar 13,41% (yoy) per tahun dalam satu dekade terakhir. Selain itu, harga gas di Indonesia yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain membuat biaya produksi industri metanol secara keseluruhan menjadi kurang ekonomis.
Alhasil, Indonesia harus mempertimbangkan bahan baku alternatif lokal yang lebih murah dan berlimpah untuk mengatasi tingginya biaya produksi agar mampu memenuhi permintaan metanol, baik dari dalam negeri maupun global. Dalam kaitan itu, Indonesia terus berkomitmen memenuhi permintaan metanol domestik untuk menekan impor melalui hilirisasi batu bara menjadi metanol. Hal ini bisa menjadi solusi dari keterbatasan bahan baku berupa gas alam sekaligus memaksimalkan potensi nilai batu bara untuk bisa menjadi lebih tinggi. Pasalnya selama ini batu bara tidak dilakukan pengolahan lebih lanjut, sehingga hanya dijual dengan harga rendah. Proyek hilirisasi batu bara menjadi metanol diinisiasi oleh konsorsium PT Bakrie Capital Indonesia (Grup Bakrie), PT Ithaca Resources, dan Air Products dari Amerika Serikat. Konsorsium tersebut telah menandatangani perjanjian definitif kontrak jangka panjang untuk membangun pabrik pengolahan batu bara menjadi metanol berskala global di Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, Indonesia. Nilai investasinya sekitar US$2 miliar dan konstruksinya diharapkan selesai dan siap beroperasi pada akhir 2024. Perusahaan coal to met-hanol tersebut nantinya memiliki kapasitas produksi hingga 1,8 juta ton per tahun metanol dan dipra-kirakan mampu memenuhi 1,1 juta ton per tahun kebutuhan domestik dan juga bisa menjadi sumber cadangan devisa nasional. Berdasarkan analisis Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Timur, adanya inisiasi proyek pengolahan batu bara menjadi metanol ini berpotensi menghemat cadangan devisa hingga US$284,94 juta dan menurunkan defisit rekening koran (CAD) Indonesia. Inisiasi proyek metanol berbasis batu bara ini cukup prospektif dan lebih sustain mengingat melimpahnya ketersediaan sumber daya batu bara di Indonesia. Sumber daya batu bara nasional tercatat mencapai 149 miliar metrik ton pada 2019 dengan rata-rata peningkatan per tahun 4,13% (yoy) dari 2010-2019. Spesifik di Kalimantan Timur, inilah provinsi dengan sumber daya batu bara terbesar di Indonesia, mencapai 40% dari total sumber daya batu bara nasional dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 6,30% (yoy) per tahun dalam satu dekade terakhir. Dengan adanya proyek metanol berbasis batu bara juga akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan, baik bagi Indonesia maupun Kalimantan Timur karena mampu mengakhiri tradisi penjualan komoditas mentah tanpa ada pengolahan lebih lanjut. Sebagai perbandingan, dalam 10 tahun terakhir harga metanol dunia tercatat lebih tinggi 386% dibandingkan dengan harga batu bara global. Ada pula daya tarik di sisi permintaan. Kebutuhan metanol dalam negeri diproyeksikan meningkat setiap tahun seiring dengan program Mandatori B30 biodiesel yang terus digalakkan. Pemerintah menargetkan pendistribusian biodiesel hingga 9,20 juta kiloliter (kl) B30 pada 2021, jauh lebih tinggi dari pencapaian tahun sebelumnya sebesar 8,46 juta kl karena munculnya dampak pandemi Covid-19. Keberlanjutan dan perluasan program mandatori biodiesel di Indonesia yang diprakirakan targetnya terus meningkat akan memperkuat prospek cerah industri metanol sebagai salah satu bahan baku utama pembuatan biodiesel.