Aspindo minta pengembangan green diesel dilakukan bersamaan dengan biodiesel

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kontan.co.id | Kamis, 24 September 2020

Aspindo minta pengembangan green diesel dilakukan bersamaan dengan biodiesel

Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) meminta pemerintah mulai mengembangkan sumber energi green diesel yakni solar berbahan baku kelapa sawit bersamaan dengan pengembangan biodiesel. Direktur Eksekutif Aspindo Bambang Tjahjono mengungkapkan, pemanfaatan B30 sebagai bahan bakar alat pertambangan masih menemui sejumlah masalah seperti memperpendek umur filter hingga meningkatkan tingkat konsumsi ketimbang dengan solar. Ia melanjutkan, penggunaan green diesel memiliki keunggulan ketimbang FAME. “Dampak negatif karakteristik dalam FAME tidak ditemukan di green diesel,” ungkap Bambang dalam diskusi virtual, Kamis (24/9). Kendati demikian, Bambang mengungkapkan harga bahan bakar green diesel saat ini masih tergolong tinggi yakni Rp 14.000 per liter. Adapun, asumsi harga tersebut ditetapkan dengan perhitungan pengolahan kelapa sawit dilakukan pada Kilang BBM. Harga yang tinggi juga dikarenakan kebutuhan investasi yang tinggi di mana dibutuhkan hidrogen dalam proses produksi. “Perusahaan swasta harus ditantang untuk berpartisipasi dalam kembangkan green diesel dan green gasoline,” kata Bambang.

https://industri.kontan.co.id/news/aspindo-minta-pengembangn-green-diesel-dilakukan-bersamaan-dengan-biodiesel

CNBCindonesia.com | Kamis, 24 September 2020

Pakai B30, Konsumsi BBM Diklaim Lebih Boros, Gimana B100 Ya?

Program mandatori biodiesel 30% (B30) yang sudah berjalan tahun ini bukan tanpa kendala. Konsumsi B30 ini dianggap menimbulkan banyak dampak negatif terutama kepada mesin kendaraan. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Bambang Tjahjono dalam sebuah diskusi daring pada Kamis (24/09/2020). Bambang mengatakan penggunaan B30 menimbulkan konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi daripada penggunaan solar fosil (diesel fuel) biasa. Menurutnya, penggunaan B30 untuk otomotif bisa lebih boros sekitar 1-3% dibandingkan penggunaan diesel biasa tanpa campuran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) tersebut. Untuk menghasilkan energi yang sama, dibutuhkan pedal gas yang lebih dalam, alhasil, imbuhnya, bahan bakar yang dibutuhkan lebih tinggi. Seperti diketahui, B30 yaitu biodiesel yang setiap satu liter solarnya telah dicampur dengan 30% FAME. “Lalu uji coba untuk B100, ternyata lebih boros 7-10%, dan di alat berat lebih boros 2-5%. Lebih boros karena tenaga yang dihasilkan lebih rendah daripada bahan bakar dari fosil,” tuturnya dalam diskusi daring tersebut. Selain itu, sifat dari biodiesel yang mudah menyerap air dari udara bebas, menurutnya ini nantinya akan berdampak pada jangka panjang yang akan menghasilkan mikroba dan gel. Oleh karena itu, dibutuhkan perawatan tangki mesin yang lebih intens.

Dia mengatakan, oksidan itu mudah menghasilkan endapan, dan bila terjadi di tangki bahan bakar, maka mudah terserap oleh filter. Akibatnya, umur filternya pendek, pada umumnya hanya setengahnya. Biasanya berlaku empat sampai lima kali periode penggantian filter, namun setelah itu akan normal kembali. “Ini tidak terjadi seterusnya, hanya untuk periode pendek. Tidak terjadi pada mobil dan alat baru,” ujarnya. Bambang pun menyarankan untuk sistem penyimpanan biodiesel tidak direkomendasikan lebih dari tiga bulan. Kecuali, penyimpanan di dalam tangki yang dilengkapi dengan N2 blanketing ataupun filter udara atau biodiesel yang dibubuhkan sejumlah sejumlah antioksidan. Penyimpanan biodiesel pun disarankan tidak dilakukan dalam tangki bawah tanah. Melihat ke belakang, FAME dari minyak sawit (CPO) yang saat ini dipakai untuk biodiesel dulunya adalah komoditas andalan ekspor. Namun dalam perjalanannya mendapatkan black campaign dari Eropa. “Karena murah, sementara Eropa ada bunga matahari dan lainnya yang biayanya lebih mahal. Itulah salah satu sebab penyerapan biodiesel di dalam negeri dipercepat, supaya menolong sawit. Keuntungan FAME ini mengurangi polusi karena ini kadar karbon tidak ada ya,” jelasnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200924200558-4-189323/pakai-b30-konsumsi-bbm-diklaim-lebih-boros-gimana-b100-ya

CNBCindonesia.com | Kamis, 24 September 2020

Pakai Green Diesel tapi Harganya Meroket ke Rp 14.000, Mau?

Harga solar dari bahan baku kelapa sawit atau dikenal dengan istilah green diesel diproyeksikan bakal meroket sampai dengan Rp 14.000 per liter. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Bambang Tjahjono dalam sebuah diskusi daring pada Kamis (24/09/2020). Bambang mengatakan harga tersebut dengan asumsi kelapa sawit diolah langsung di kilang bahan bakar minyak (BBM) atau dikenal dengan istilah green refinery, sehingga produknya dikenal menjadi green diesel. Mahalnya harga green diesel ini menurutnya tak terlepas dari kebutuhan investasi yang tinggi untuk mengolah sawit menjadi BBM. “Diperlukan hidrogen untuk proses green diesel ini, dan ini mahal. Investasi tinggi juga dialami pada proyek green refinery Pertamina di Dumai,” jelasnya. Dia mengatakan, standar harga dari biodiesel 30% atau B30 saat ini masih berdasarkan dari minyak solar. Bila harga FAME lebih mahal, maka selisih harga tersebut selama ini ditanggung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari dana pungutan ekspor kelapa sawit. Program B30 ini yaitu dalam satu liter produk solar, di dalamnya terdapat campuran 30% kandungan Fatty Acid Methyl Esters (FAME). Namun menurutnya ada batasan kemampuan dari BPDPKS untuk membiayai subsidi ini. “Kalau tingkat persentasenya tinggi, akan semakin berat.

Kalau Pertamina ada solusinya, tapi perusahaan yang lain saya tidak tahu. Info yang saya dapat Pertamina hampir stop impor solar karena adanya program B30 ini. Kalau B40, bahkan akan ekspor kelebihan solar,” paparnya. Namun demikian, berdasarkan uji coba antara Pertamina dan Institut Teknologi Bandung, semua dampak negatif yang selama ini ada pada Fatty Acid Methyl Esters (FAME) dalam campuran biodiesel, ini tidak ditemukan pada produk green diesel. Untuk itu, menurutnya perusahaan swasta juga perlu didorong untuk membangun green refinery ini yang nantinya bisa menghasilkan produk green diesel dan green gasoline, sehingga diharapkan nantinya harga produk bisa menjadi lebih kompetitif. Terkait dengan rencana pemerintah meningkatkan kadar biodiesel menjadi 40% di dalam solar atau dikenal dengan program B40, pihaknya memberikan rekomendasi sebanyak 10% dicampur dengan green diesel, sehingga kandungan FAME hanya maksimal 30%. Pasalnya, selama ini dengan ada pencampuran FAME sampai 30% menimbulkan efek negatif bagi kendaraan. “Sampai dengan B50 mungkin masih oke, tapi seharusnya secara bersamaan green gasoline harus diproduksi juga,” jelasnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200924164449-4-189255/pakai-green-diesel-tapi-harganya-meroket-ke-rp-14000-mau

Sindonews.com | Kamis, 24 September 2020

Jangan Mau Kalah dengan Negara Tetangga, RI Perlu Terapkan BBM Ramah Lingkungan

Pengamat otomotif Mukiat Sutikno mengingatkan, bahwa Indonesia perlu segera menerapkan bahan bakar minyak (BBM) yang ramah lingkungan karena negara-negara tetangga termasuk di kawasan Asia Tenggara sudah menggunakannya. Menurutnya Indonesia perlu segera mengikuti karena akan semakin ketinggalan jika tidak menerapkan BBM ramah lingkungan, yakni BBM yang memiliki RON di atas 90. “Kebanyakan negara lain sudah Euro 4. Bahkan Singapura sudah Euro 5 ke Euro 6. Di Indonesia sendiri Euro 2 dan 3 masih ada,” kata Mukiat di Jakarta. Lebih lanjut terang Mukiat, Indonesia mau tidak mau harus segera beralih menggunakan BBM dengan oktan tinggi karena perpindahan dari RON rendah ke RON tinggi ini sangat penting. “Hal ini, untuk memastikan kita comply dengan negara-negara tetangga, karena Indonesia memang paling ketinggalan. Dibandingkan Thailand, kita juga ketinggalan sekali,” ujarnya. Dari perspektif industri otomotif, desakan peningkatan angka oktan BBM tersebut mendesak, karena hampir semua merk kendaraan bermotor di Indonesia juga dijual di luar negeri. Dengan demikian, lanjut Mukiat, industri otomotif mau tidak mau memang harus melakukan penyesuaian kondisi mesin, sebelum melakukan penjualan ke mancanegara. Dan hal itu, lanjut dia, tentu berdampak terhadap biaya produksi. “Tetapi kalau BBM kita sudah serentak pakai RON tinggi, tentu industri tak perlu melakukan adjusment,” katanya. Jika dilihat dari sudut pandang konsumen, BBM oktan rendah memang berpengaruh buruk terhadap performa kendaraan dan bahkan kondisi mesin. Secara teknis lanjutnya, BBM dengan oktan rendah berdampak jelek terhadap kendaraan. Selain menurunkan performa, juga bisa berpengaruh terhadap keawetan mesin. “Bisa mengelitik, bikin ruang bakar dan gas buang, serta memperpendek umur mesin,” jelas Mukiat. Apalagi saat ini, spesifikasi mesin kendaraan bermotor keluaran terbaru sebenarnya sudah disesuaikan untuk BBM dengan angka oktan tinggi. “Dan jika diisi dengan BBM yang tidak sesuai, yaitu yang lebih rendah, tentu berpengaruh terhadap mesin. Karena harusnya dikasih minuman sehat, tetapi diberikan agak kotor, bisa sakit perut tuh mobil. Jadi intinya memang jelek untuk kendaraan,” ujarnya.

https://ekbis.sindonews.com/read/175694/34/jangan-mau-kalah-dengan-negara-tetangga-ri-perlu-terapkan-bbm-ramah-lingkungan-1600960158

Jurnas.com | Kamis, 24 September 2020

SPKS: Program B30 Tak Sejahterakan Petani, Untungkan Konglomerat

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan, Program B30 yang dikalaim pemerintah mampu mensejahterakan petani sawit ternyata justru menguntungkan konglomerat. Demikian kata Sekjen SPKS, Darto Mansuetus dalam webinar bertema `Sawit Untung Petani Buntung` yang digelar oleh jurnas.com bersama SPKS di Jakarta, Kamis (24/9). “Semunya mengaku program B30 ini berkah buat petani sawit dan bisa meningkatkan keaejahteraan petani sawit, termasuk bapak Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraannya pada 14 Agustus kemarin bahwa porgram ini mampu mensejahterakan petani Sawit di seluruh negeri,” ujar Darto. “Nah, tetapi apa yang terjadi? Sekarang rantai pasok B30 untuk energi baru terbarukan adalah industri biodisel itu memperoleh bahan bakunya dari kebun-kebun mereka (industri, Red) sendiri,” sambungnya. Menurut Darto, selama ini petani sawit masih menjual komoditasnya ke tengkulak yang terhubung dengan industri biodiesel, yang selama ini bermain di sektor hulu dan hilir. “Klaim yang dibangun Pertamina saat ini melaui dirutnya bahwa program B100 ataupun B30 itu bahan bakunya dari petani itu adalah penipuan besar. Semua korporasi sawit yang mengelolah B30 juga mengelolah sektor hulu yang bahan bakunya diperoleh oleh mereka,” tegas Darto. Darto juga membeberkan bahwa potongan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk intensif B30 bersumber dari petani sawit melalui potongan harga sebesar 124 rupih per kg. “Yang dipotong BPDPKS itu adalah CPO. Kita taju bahwa CPO itu sebagai hal yang fundamental untuk menghitung harga TBS di petani. Kalau mislnya CPO itu dipotong untuk B30, maka tentunya akan berdampak kepada petani sawit,” ujarnya. Jumlah dana yang dihimpun BPDP-KS sejah tahun 2015-2019 senilai Rp47, 28 triliun. Namun, masyoritas dana tersebut untuk intensif biodiesel  korporasi atau konglomerat sebesar Rp30,2 trilun,” sambungnya. Padahal prioriatas Undang-Undang Perkebunan khusnya pasal 93 ayat 4 diperuntukan untuk Program PSR,Pengembangan dan Penelitian, Sarpras, Promosi Kemitraan dan Pengembangan SDM. Darto menyebutkan ada tiga konglomerat besar yang menunggangi BPDPKS, yaitu Prijono Sugiarto dari Astra Internasional, yang memiliki anak usaha dengan nama Astra Agro Lestari dengan luas lahan sawit sebesar 461,072 hektare. Kedua Martias dari Surya Damai, yang mengusai lahan sawit perkebunan 201,001 hektare. Dan terakhir, T.P Rahmat dari Tri Putra, yang menguasai kahan perkebunan 430,591 hektare.

https://www.jurnas.com/artikel/79415/SPKS-Program-B30-Tak-Sejahterakan-Petani-Untungkan-Konglomerat/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *