B30 Dongkrak Sawit, Aprobi Dukung PMK No 191/2020

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Indopos.co.id | Sabtu, 12 Desember 2020

B30 Dongkrak Sawit, Aprobi Dukung PMK No 191/2020

Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan tarif pungutan ekspor sawit melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan PMK No 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Aturan ini akan meningkatkan penggunaan sawit di dalam negeri melalui program mandatori B30 dan industri hilir. M.P. Tumanggor, ketua umum Aprobi mengapresiasi komitmen pemerintah dalam program B30 melalui penerbitan PMK No 191/2020. Sebab, mandatori B30 telah terbukti meningkatkan serapan minyak sawit di dalam negeri. Di tengah lesunya pasar ekspor sawit, biodiesel menjadi penyeimbang antara produksi dan permintaan. Alhasil, tren harga sawit terus positif menjelang akhir 2020. “Kami mendukung penyesuaian tarif pungutan di dalam PMK No 191/2020. Aturan ini semakin memperkuat program hilir sawit di tahun depan. Selain itu, konsumsi domestik akan meningkat seiring keberlanjutan B30 yang rencananya ditingkatkan menjadi B40. Targetnya, mandatori biodiesel akan menyerap pemakaian minyak sawit 9,2 juta kiloliter pada 2021,” ujar Tumanggor. Di tengah lesunya pasar global, penggunaan biodiesel di dalam negeri mampu menyerap produksi minyak sawit dan TBS petani. Alhasil, harga CPO menjelang akhir tahun di atas USD 800 per metrik ton. Harga TBS petani rerata di atas Rp1.700 per kilogram (kg), bahkan mampu tembus Rp2.000 per kg. Tumanggor mengatakan, pungutan ekspor sawit telah dirasakan manfaatnya bagi industri sawit. Di bawah pengelolaan BPDPKS yang profesional, mulai dari pengusaha, petani, peneliti, dan masyarakat dapat memanfaatkan dana program sawit. “Tidak benar bahwa pungutan ekspor lebih banyak disalurkan kepada perusahaan. Karena dana ini juga dimanfaatkan bagi pengembangan sawit petani dan pemangku kepentingan lain,” katanya. Paulus Tjakrawan, ketua harian Aprobi berharap pemerintah dapat merealisasikan peningkatan mandatori biodiesel menjadi B40. Tujuannya mengurangi beban pemerintah karena biodiesel dapat menekan impor bahan bakar minyak, penghematan devisa, dan memperkuat ketahanan energi. Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan kajian terhadap Biodiesel 40 persen (B40) untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin diesel. “Dengan penyesuaian tarif pungutan, mandatori biodiesel terus berlanjut. Harapannya dapat ditingkatkan menjadi B40 pada tahun depan. Jika mandatori naik, konsumsi sawit di pasar domestik akan tumbuh. Ini lebih menguntungkan perekonomian Indonesia,” ujar Paulus.

Dengan terjaganya konsumsi biodiesel dalam negeri melalui program mandatory B30, bisa menjaga keberlanjutan indutri hulu sampai hilir, menciptakan kestabilan harga CPO yang pada akhirnya juga akan memberikan dampak positif pada harga Tandan Buah Segar ditingkat petani. Gulat Manurung, ketua umum DPP Apkasindo menjelaskan, petani sedang menikmati harga TBS yang bagus sebagai dampak keberhasilan program Mandatori B30. “Dan hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebentar lagi akan ke B40 yang diharapkan semakin memberikan dampak positif kepada industri sawit dan ekonomi negara,” ujar Gulat. Menurut dia, kebijakan pemerintah menyesuaikan kenaikan tarif pungutan ekspor bertujuan menjaga keberlanjutan program sawit. Program yang dikelola BPDPKS ini mendukung B30, peremajaan sawit, peningkatan SDM, riset, dan promosi. Karena itu, asosiasi meminta gotong royong antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO dan TBS. “Program biodiesel Ini berdampak bagus bagi roda ekonomi 21 juta petani dan keluarganya di tengah Pandemi Covid-19,” ujarnya. Semua pihak harus saling bahu membahu antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO. Ia mengatakan, jika tarif pungutan ekspor tidak disesuaikan dengan kenaikan harga CPO. Dampaknya, program B30 yang sudah berjalan akan mandeg. Jika biodiesel tidak berjalan, maka stok CPO dalam negeri melimpah, tanki penampungan CPO penuh, dan TBS Petani tidak dibeli pabrik. Sebagai solusinya, Gulat mengusulkan kebijakan bea keluar ditunda sebagai langkah relaksasi bagi industri sawit di kala pandemi. Lantaran, industri sawit terbebani dua kali pungutan, yaitu bea keluar dan pungutan ekspor. Di sisi lain, pungutan ekspor tetap harus dijalankan, sehingga program sawit yang dikelola BPDP-KS dapat berjalan. Ini mengingat, filosofi pungutan ekspor adalah dari sawit untuk membiayai kepentingan sawit.

https://indopos.co.id/read/2020/12/12/267740/b30-dongkrak-sawit-aprobi-dukung-pmk-no-191-2020/

Investor Daily Indonesia | Senin, 14 Desember 2020

Tarif Baru Pungutan Ekspor Seimbangkan Industri Sawit

Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan tarif pungutan ekspor (PE) yang ditetapkan Menteri Keuangan. Beleid ini menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan industri dan keberlanjutan program sawit di bawah pengelolaan BPDPKS. Ketua Umum Aprobi, MP Tumanggor mengapresiasi komitmen pemerintah dalam program B30 melalui penerbitan PMK Nomor 191/2020. Sebab, mandatori B30 telah terbukti meningkatkan serapan minyak sawit di dalam negeri. Tarif pungutan ekspor sawit diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Di tengah lesunya pasar ekspor sawit, biodiesel menjadi penyeimbang antara produksi dan permintaan. Alhasil, tren harga sawit terus positif menjelang akhir tahun 2020. “Kami mendukung penyesuaian tarif pungutan di dalam PMK Nomor 191/2020. Aturan ini semakin memperkuat program hilir sawit di tahun depan. Selain itu, konsumsi domestik akan meningkat seiring keberlanjutan B30 yang rencananya ditingkatkan menjadi B40. Targetnya, mandatori biodiesel akan menyerap pemakaian minyak sawit 9,2 juta kiloliter pada 2021,” ujar Tumanggor dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Jumat (11/12/2020). Di tengah lesunya pasar global, penggunaan biodiesel di dalam negeri mampu menyerap produksi minyak sawit dan TBS petani.Dengan demikian, harga CPO menjelang akhir tahun di atas US$ 800 per metrik ton. Harga TBS petani rerata di atas Rp 1.700 per kilogram bahkan mampu tembus Rp 2.000 per kilogram. Tumanggor mengatakan, pungutan ekspor sawit telah dirasakan manfaatnya bagi industri sawit. Di bawah pengelolaan BPDPKS yang profesional, mulai dari pengusaha, petani, peneliti, dan masyarakat dapat memanfaatkan dana program sawit. ‘Tidak benar bahwa pungutan ekspor lebih banyak disalurkan kepada perusahaan. Karena dana ini juga dimanfaatkan bagi pengembangan sawit petani dan pemangku kepentingan lain,” kata Tumanggor.

Realisasi B40

Sedangkan Ketua Harian Aprobi, Paulus Tjakrawan berharap, pemerintah dapat merealisasikan peningkatan mandatori biodiesel menjadi B40. Tujuannya mengurangi beban pemerintah karena biodiesel dapat menekan impor bahan bakar minyak, penghematan devisa, dan memperkuat ketahanan energi. Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan kajian terhadap Biodiesel 40% (B40) untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin diesel. “Dengan penyesuaian tarif pungutan, mandatori biodiesel terus berlanjut. Harapannya dapat ditingkatkan menjadi B40 pada tahun depan. Jika mandatori naik, konsumsi sawit di pasar domestik akan tumbuh. Ini lebih menguntungkan perekonomian Indonesia,” ujar Paulus. Selain itu, kata Paulus, terjaganya konsumsi biodiesel dalam negeri melalui program mandatori B30 bisa menjaga keberlanjutan indutri hulu sampai hilir, menciptakan kestabilan harga CPO, yang pada akhirnya juga akan memberikan dampak positif pada harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani. Sedangkan Ketua Umum DPPApka-sindo, Gulat Manurung menjelaskan bahwa petani sedang menikmati harga TBS yang bagus sebagai dampak keberhasilan program mandatori B30. “Dan hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebentar lagi akan ke B40 yang diharapkan semakin memberikan dampak positif kepada industri sawit dan ekonomi negara,” ujar Gulat. Menurut dia, kebijakan pemerintah menyesuaikan kenaikan tarif pungutan ekspor bertujuan untuk menjaga keberlanjutan program sawit. Program yang dikelola BPDPKS ini mendukung B30, peremajaan sawit, peningkatan SDM, riset, dan promosi. Karena itu, asosiasi meminta gotong royong antara pemerintah, pelaku usaha, dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO dan TBS. “Program biodiesel ini berdampak bagus bagi roda ekonomi 21 juta petani dan keluarganya di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya. Gulat mengimbau, semua pihak harus saling bahu membahu antara pemerintah, pelaku usaha, dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO. Ia mengatakan, jika tarif pungutan ekspor tidak disesuaikan dengan kenaikan harga CPO, program B30 yang sudah berjalan akan mandek. Jika biodiesel tidak berjalan, maka stok CPO dalam negeri melimpah, tanki penampungan CPO penuh, dan TBS Petani tidak dibeli pabrik. Sebagai solusinya, Gulat mengusulkan kebijakan bea keluar ditunda sebagai langkah relaksasi bagi industri sawit di kala pandemi. Lantaran, industri sawit terbebani dua kali pungutan yaitu bea keluar dan pungutan ekspor. Di sisi lain, pungutan ekspor tetap harus dijalankan sehingga program sawit yang dikelola BPDPKS dapat berjalan. Hal itu mengingat filosofi pungutan ekspor adalah dari sawit untuk membiayai kepentingan sawit.

BERITA BIOFUEL

Kontan.co.id | Sabtu, 12 Desember 2020

Strategi pemerintah dorong BBM yang lebih ramah lingkungan

Pemerintah melalui Kementerian ESDM mengaku bakal berkomitmen mewujudkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang ramah lingkungan. Sejumlah langkah telah dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan BBM ramah lingkungan yang berdampak besar mengurangi emisi gas rumah kaca serta mendukung kesehatan masyarakat tersebut. Pelaksana Tugas Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Mustafid Gunawan memaparkan, progres komitmen pemerintah mewujudkan BBM ramah lingkungan, antara lain melalui kilang Pertamina di Plaju dan Cilacap yang sedang dalam tahap penelitian untuk memproduksi green gasoline yaitu bensin yang dihasilkan dari campuran crude oil dan minyak kelapa sawit (85:15) sebagai bahan bakunya. Selain itu, Pertamina juga sedang melakukan uji coba membuat Green Diesel dari 100% tanpa fossil fuel. BBM ini menggunakan bahan baku kelapa sawit dengan spesifikasi setara solar yang bersumber dari fosil, bahkan dengan kualitas yang lebih baik yakni cetane number yang lebih tinggi dan sulfur yang jauh lebih rendah. Kata Mustafid, inovasi ini menggunakan katalis merah putih, yaitu katalis inovasi para ahli katalis Indonesia yang diproduksi sendiri di Indonesia. Kilang Plaju ditargetkan beroperasi pada tahun 2025 dan Dumai pada tahun 2026. Selanjutnya, program mandatori pencampuran 30% biodiesel (FAME) ke BBM solar yang telah dimulai sejak Januari 2020. “Program ini merupakan kelanjutan dari Program B20 yang telah diterapkan sebelumnya dalam rangka menghemat devisa negara, memberdayakan para petani kelapa sawit dalam negeri dan mengurangi penggunaan BBM jenis solar yang berasal dari fosil,” papar Mustafid lewat keterangan tertulis, Jum’at (11/12).

Progres lainnya adalah potensi penggunaan B40 pada tahun 2021 sesuai arahan dari Presiden Joko Widodo. “Saat ini masih dalam tahap penelitian dan kajian baik dari aspek teknis, lingkungan dan keekonomian,” tambahnya. Terakhir, program pencampuran bioethanol sebesar 2% ke BBM jenis bensin dalam rangka peningkatan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Namun saat ini masih ada beberapa kendala tertutama dari aspek keekonomian. Dalam rangka mendukung implementasi BBM ramah lingkungan, untuk solar CN 51, Kementerian ESDM telah menerbitkan SK Dirjen Migas No. 0234.K Tahun 2019 di mana untuk kandungan sulfur CN 51 telah sesuai dengan ketentuan Permen LHK No. 20 Tahun 2017 yakni kandungan sulfur maksimal 50 ppm pada April 2021. Sedangkan untuk CN 48, rencananya akan diterbitkan SK Dirjen untuk menurunkan batasan kandungan maksimal sulfur dari 2500 menjadi 2000 ppm pada tahun 2021 dan dari 2000 menjadi 500 ppm pada 2024 dan 500 ppm menjadi 50 ppm pada 2026. Dalam kesempatan tersebut Mustafid mengingatkan, kebijakan mengenai BBM bukan hanya urusan Kementerian ESDM semata, melainkan keputusan bersama. Hingga saat ini, RON dengan nilai oktan rendah memang masih beredar di masyarakat, ini tentunya dengan berbagai pertimbangan. “Kami sangat mengapresiasi dan mengajak masyarakat yang berkemampuan untuk beralih menggunakan BBM yang lebih ramah lingkungan di kendaraannya,” ujar Mustafid.

https://industri.kontan.co.id/news/strategi-pemerintah-dorong-bbm-yang-lebih-ramah-lingkungan?page=all

Borneo24.com | Sabtu, 12 Desember 2020

Hari Perkebunan Nasional APTRI Minta Pemerintah Lirik Bio Energi Perkebunan

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil mengingatkan kembali potensi ancaman krisis energidan pangan 30 tahun mendatang. Pernyataan ini disampaikan bertepatan dengan Hari Perkebunan Nasional. Pada tahun 2050, diperkirakan jumlah populasi penduduk bumi menembus 10 miliar. Tahun ini saja jumlah manusia berada di angka sekitar 7 miliar jiwa. Sementara luas permukaan bumi kurang lebih sekitar 510.072.000 kilo meter (km) persegi. Dengan luas daratan sekitar 148.940.000 kmpersegi atau setara 29,2% dari total luas permukaan bumi. Sedangkan luas perairan sekitar 361.132.000 km persegi atau sekitar 70,8% dari total luas permukaan bumi. Menurut Arum Sabil, jika populasi umat manusia ini terus tumbuh dan berkembang, sementara luas daratan yang ada hanya 30% dari total luas permukaan bumi, maka yang muncul adalah persoalan pangan dan energi. “Tentu ini akan menjadi persoalan serius di masa yang akan datang,” kata. Oleh karena itu, tegas pria yang akrab disapa Abah Arum ini, tidak ada cara lain. Lahan yang ada saat ini harus benar-benar dimaksimalkan. Manusia tidak bisa terus mengandalkan kebutuhan energi untuk tenaga listrik maupun bahan bakar dari cadangan minyak bumi. Solusinya adalah energi terbarukan. “Mulai saat ini tidak ada waktu lagi. Maka menyiapkan diri menggunakan energi terbarukan. Yaitu energi terbarukan yang kita hasilkan dari hasil pertanian dan perkebunan,” imbuhnya. Energi terbarukan tersebut antara lain seperti biodiesel dan bioethanol yang bersumber dari hasil perkebunan seperti kelapa sawit maupun pohon kelapa yang tumbuh di sekitar masyarakat. “Itu bisa dikembangkan menjadi bio diesel. Itu semua adalah komoditi perkebunan. Brazil misalnya, mampu memanfaatkan perkebunan tebu sebagai penghasil bioethanol,” terang Arum Sabil. Menurutnya, penggunaan bioethanol di Brazil merupakan kebijakan pemerintah. Di mana penggunaan bahan bakar minyak yang berasal dari bioethanol sudah mencapai 95%. “Dan itu landasannya karena memang kebijakan pemerintah mengharuskan menggunakan bioethanol yang dampak manfaatnya adalah ramah lingkungan,” ucapnya. Oleh karena itu, pada Hari Perkebunan Indonesia, Arum Sabil mengajak lintas sektor bersama-sama meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan. Selain itu, pelaku pertanian dan perkebunan terus berinovasi melakukan sinergi dengan pihak-pihak terkait. “Agar hasil pertanian dan perkebunan memberikan masa depan terhadap persoalan dunia yaitu persoalan energi dan pangan di masa yang akan datang,” pungkas Arum Sabil.

https://borneo24.com/nasional/hari-perkebunan-nasional-aptri-minta-pemerintah-lirik-bio-energi-perkebunan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *