Badan Usaha BBN Dukung Program Strategis Biodiesel Nasional
Liputan6.com | Kamis, 22 September 2022
Badan Usaha BBN Dukung Program Strategis Biodiesel Nasional
Pemerintah terus mendorong peran serta Badan Usaha (BU) Bahan Bakar Nabati (BBN) dalam pelaksanaan program pengembangan biodiesel. Seiring dengan peningkatan kebutuhan biodiesel dari tahun ke tahun, Badan Usaha BBN diharapkan dapat berkomitmen dalam penyediaan pasokan/feedstock, ketersediaan bahan pendukung, perbaikan mutu dan dukungan moda penyaluran, serta komitmen mendahulukan kebutuhan biodiesel domestik. “Sejak dilaunching pada tahun 2006, penyediaan dan pemanfaatan biodiesel secara nasional terus mengalami peningkatan yang signifikan, baik dari segi volume produksi, persentase campuran, jumlah perusahaan yang terlibat dalam penyediaan biodiesel dan peningkatan kualitas produk. Karena kebutuhannya terus meningkat, kami berharap seluruh Badan Usahan BBN dapat mempersiapkan segala sesuatunya,” tutur Edi Wibowo, Direktur Bioenergi pada seremonial perluasan pabrik biodiesel PT Smart Tbk di Desa Tarjun, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan (Rabu, 21/9). Menurut Edi, pada tahap awal pengembangan biodiesel, hanya terdapat kurang dari 10 Badan Usaha BBN dengan produksi 1,7 juta kL per tahun. Kondisi kini, total kapasitas terpasang industri Biodiesel dari 43 perusahaan mencapai 18,3 juta kL. Namun dari total tersebut, hanya 23 BU BBN yang aktif berproduksi dengan kapasitas terpasang sebesar 16,65 juta kL, yang mayoritas berlokasi di wilayah Indonesia Bagian Barat. Dengan selesainya pengembangan Pabrik Biodiesel PT Smart Tahap II ini, akan meningkatkan kapasitas sebesar 1.650 ton/hari. Hal ini akan semakin meningkatkan ketahanan pasokan Biodiesel di wilayah tengah dan timur Indonesia. Ke depannya, Pemerintah berharap akan semakin meningkat pengembangan industri Biodiesel di wilayah timur Indonesia, sehingga penyaluran Biodiesel dapat semakin efisien. Program Mandatori Biodiesel merupakan program strategis nasional yang dicanangkan Pemerintah dengan tujuan utama untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi nasional, mengurangi ketergantungan impor bahan bakar fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca, serta untuk stabilisasi harga sawit melalui penyerapan produksi sawit yang masif dan berkesinambungan untuk kepentingan domestik. Selain itu, program pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan menjadi salah satu program prioritas dalam pengembangan EBT dan upaya pemerintah dalam mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. “Implementasi mandatori B30 pada tahun 2021 dengan total penyaluran domestik sebesar 9,3 juta kL telah memberikan manfaat berupa penghematan devisa sebesar Rp 66 T, menciptakan lapangan pekerjaan bagi lebih dari satu juta orang, serta menurunkan emisi Gas Rumah Kaca, dan meningkatkan kualitas lingkungan sebesar 24,6 juta ton CO2e. Sedangkan untuk tahun 2022 ini, dari total alokasi sebesar 11,02 juta kL, hingga minggu kedua September 2022 sudah terealisasi sebesar 7,03 juta kL atau mencapai lebih dari 63,7% dari total alokasi,” jelas Edi. Selain nilai manfaat yang sudah disebutkan, lanjut Edi, pengembangan Biodiesel dapat lebih memberi manfaat melalui prioritas penggunaan komponen dalam negeri. Pada kesempatan ini, Edi mengapresiasi PT SMART Tbk yang telah menunjukkan komitmen tinggi dalam mendukung implementasi mandatori Biodiesel. PT SMART telah menunjukkan dukungannya pada program Pemerintah, dengan berkomitmen pada penyaluran Biodiesel sejak mengikuti pengadaan di tahun 2016 hingga sekarang. Juga telah memprioritaskan penggunaan komponen dalam negeri, dibuktikan dengan sertifikat TKDN lebih dari 90%.
Harian Neraca | Jum’at, 23 September 2022
Indonesia Perlu Diversifikasi Bahan Bakar Nabati
Pemerintah Indonesia perlu melakukan diversifikasi bahan bakar nabati (BBN) dengan memilih bahan baku yang tidak bersinggungan dengan pangan supaya harga BBN lebih stabil. Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia Azis Kurniawan dalam diskusi bertajuk Dinamika Diskursus Bahan Bakar Nabati yang dipantau di Jakarta, Kamis (22/90, menyebutkan pihaknya tidak ingin para ibu rumah tangga antre mendapatkan minyak goreng. “Kita tidak mau terulang emak-emak mengantre, beratus-ratus orang antre mendapatkan minyak goreng, pasti kita tidak mau ini terulang. Sedikit banyak biodiesel ambil bagian dalam proses itu,” ujarnya. Aziz menuturkan bahan bakar nabati jangan hanya berasal dari kelapa sawit, tetapi juga tanaman-tanaman lain yang non-edible dan tidak berkompetisi dengan pangan, seperti jarak dan nyamplung. Apabila bahan baku biofuel diambil dari komoditas pangan maka harganya lebih berfluktuasi mengikuti hargd pangan dan kondisi geopolitik global. Meski bahan bakar nabati meski tergolong energi terbarukan, namun dari sisi harga berbeda dengan jenis energi terbarukan lainnya seperti surya, angin, dan air. Harga panel surya, kincir angin, maupun pembuatan pembangkit listrik tenaga air cenderung menurun atau mirip dalam waktu beberapa tahun terakhir. Sedangkan, bahan baku biofuel yang bisa dikonsumsi manusia cenderung mengalami peningkatan harga Bila mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional, maka diversifikasi mendapatkan penekanan khusus dengan mengacu kepada potensi daerah dan kondisi geografis. “Biofuel fluktuatif, jadi harganya mengikuti harga pangan. Ini akibat berkompetisi secara harganya lebih mengikuti harga pangan. Jadi, ki ta mendorong pengembangan biofuel yang tidak berbasis pangan, seperti jarak, nyamplung pasti punya harga yang cenderung stabil,” terang Aziz.
Emisi Karbon
Disisi Iain, Peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan Kukuh Ugie mengungkapkan BBN menjadi salah satu strategi untuk mengurangi emisi karbon karena rendah emisi gas buang. “Secara umum emisi gas buang biofuel ini lebih rendah ketimbang bahan bakar minyak. Namun, hal yang harus menjadi catatan adalah jumlah emisi itu juga akan berbeda antara bahan baku,” ka-tanya.Ia menjelaskan bahan bakar nabati dapat terbuat dari berbagai macam bahan baku, mulai dari Kelapa Sawit yang sering digunakan di Indonesia hingga kedelai dan biji bunga matahari. Bahan baku yang beragam itu, kata dia, memberikan nilai lebih terhadap bahan bakar nabati dibandingkan bahan bakar fosil.
Okezone.com | Kamis, 22 September 2022
RI Bakal Produksi Bioetanol 10, Apa Itu?
Kementerian BUMN menargetkan produksi bahan bakar berupa Bioetanol 10 (E10) dilakukan 3-5 tahun mendatang. Proses produksi bahan bakar pun dilakukan secara bertahap. Wakil Menteri BUMN I, Pahala Nugraha Mansury mencatat dalam waktu dekat pemerintah melalui perusahaan pelet merah akan memproduksi Bioetanol 5 (E5). Setelah itu, dilanjutkan produksi E10, lalu E20. “E10, kita berharap dalam waktu 3-5 tahun lagi bisa diharapkan (produksi), memang mungkin harus bertahap kita mulai dari E5 terlebih dahulu kemudian baru menuju E10, mungkin bisa mencapai E20 nantinya,” ujar Pahala saat ditemui Wartawan, Kamis (22/9/2022). Bioetanol pada dasarnya merupakan Ethanol yang digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan. Pembakaran bahan ini lebih sempurna dan gas buang menjadi lebih bersih. Pemerintah sendiri berupaya menjadikan Etanol sebagai bahan bakar pengganti BBM. Meski menjadi prioritas pemerintah, lanjut pahala, bahan baku dasar produksi Bioetanol berupa tebu masih digunakan untuk gula konsumsi. Lantaran pemerintah juga memperkuat swasembada gula di dalam negeri. Setelah swasembada gula terpenuhi, pemerintah akan mengalokasikan tebu untuk bahan baku produksi Etanol. Pahala memastikan pemerintah menetapkan kebijakan terkait perluasan lahan tebu agar hasilnya bisa digunakan untuk bahan bakar alternatif pengganti BBM. “Memang prioritas utama tentunya adalah menghasilkan gula konsumsi terlebih dahulu, tapi tentu nantinya bagaimana melalui kebijakan yang kita miliki, penambahan luas lahan bagi penanaman tebu juga kedepannya bertahap kita bisa memenuhi kebutuhan untuk bisa mencapai E5 dan E10 ke depannya,” pungkasnya.
https://economy.okezone.com/
Tempo.co | Kamis, 22 September 2022
Peneliti Dorong Pengembangan Biofuel Tak Berbasis Pangan
Pemerintah Indonesia perlu melakukan diversifikasi bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel dengan memilih bahan baku yang tidak bersinggungan dengan pangan supaya harga BBN lebih stabil. Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia Azis Kurniawan dalam diskusi bertajuk Dinamika Diskursus Bahan Bakar Nabati yang dipantau di Jakarta, Kamis, 22 September 2022, menyebutkan pihaknya tidak ingin para ibu rumah tangga antre mendapatkan minyak goreng. “Kita tidak mau terulang emak-emak mengantre, beratus-ratus orang antre mendapatkan minyak goreng, pasti kita tidak mau ini terulang. Sedikit banyak biodiesel ambil bagian dalam proses itu,” ujarnya. Aziz menuturkan bahan bakar nabati jangan hanya berasal dari kelapa sawit, tetapi juga tanaman-tanaman lain yang non-edible dan tidak berkompetisi dengan pangan, seperti jarak dan nyamplung. Apabila bahan baku biofuel diambil dari komoditas pangan, maka harganya lebih berfluktuasi mengikuti harga pangan dan kondisi geopolitik global. Meski bahan bakar nabati meski tergolong energi terbarukan, namun dari sisi harga berbeda dengan jenis energi terbarukan lainnya, seperti surya, angin, dan air. Harga panel surya, kincir angin, maupun pembuatan pembangkit listrik tenaga air cenderung menurun atau mirip dalam waktu beberapa tahun terakhir. Sedangkan, bahan baku biofuel yang bisa dikonsumsi manusia cenderung mengalami peningkatan harga. Bila mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional, maka diversifikasi mendapatkan penekanan khusus dengan mengacu kepada potensi daerah dan kondisi geografis. “Biofuel fluktuatif, jadi harganya mengikuti harga pangan. Ini akibat berkompetisi, secara harganya lebih mengikuti harga pangan. Jadi, kita mendorong pengembangan biofuel yang tidak berbasis pangan, seperti jarak, nyamplung pasti punya harga yang cenderung stabil,” terang Aziz.
https://tekno.tempo.co/read/