CNBCindonesia.com | Selasa, 15 September 2020
CNBCindonesia.com | Selasa, 15 September 2020
Pemerintah Dorong Pengembangan Biofuel, Ini Road Map-nya
Pemerintah terus mendorong pengembangan energi berkelanjutan dan memanfaatkan sumber bahan baku dari dalam negeri guna mengurangi impor minyak yang pada akhirnya mengurangi defisit perdagangan RI. Salah satu sumber energi yang akan terus dikembangkan yakni biofuel yakni bahan bakar minyak berbasis sawit (CPO). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan melanjutkan program biodiesel dengan kandungan Fatty Acid Methyl Esters (FAME) 30% di dalam solar, lalu meningkatkan hingga B40, mendukung produksi solar berbahan baku CPO 100% atau D100 hingga pengembangan kilang BBM berbasis sawit atau green refinery. “Terkait energi berkelanjutan, pemerintah akan terus dorong. B30 dilanjutkan, lalu telah dicobanya D100 atau diesel berbasis CPO, dan kami confident melakukan B40 dan kami juga dorong kendaraan listrik,” tutur Airlangga dalam “Sarasehan Virtual 100 Ekonom” di CNBC Indonesia, Selasa (15/09/2020). Airlangga menjelaskan, untuk jangka pendek, pemerintah akan terus melanjutkan program B30 dan menyesuaikan alokasi B30 sesuai penurunan permintaan solar, lalu penerapan dana tambahan pemerintah kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), serta penetapan pungutan ekspor BPDPKS pada setiap level harga.
Untuk jangka menengah, lanjutnya, akan dilanjutkan ke program B40 dan memberikan insentif investasi untuk pengembangan B40 yang menggunakan teknologi baru. Sedangkan untuk jangka panjang, menurutnya akan dikembangkan green refinery dan pemerintah akan memberikan insentif investasi untuk pengembangan green refinery ini. “Rencananya akan ada green certificate juga,” ujarnya. Pemerintah juga mendorong kendaraan listrik di mana dalam jangka menengah pemerintah akan memberikan insentif investasi sub komponen battery pack dan dalam jangka panjang akan memberikan insentif investasi pengembangan bus listrik. Sementara untuk penggunaan BBM jenis solar, dalam jangka pendek menurutnya pemerintah akan melakukan penyesuaian sedikit pada harga retail dan mengurangi atau mencabut subsidi BBM jenis solar. Ini dengan asumsi perekonomian nasional minus 0,4% dan harga minyak masih relatif rendah. Untuk jangka menengah, akan didorong pembuatan tempat penyimpanan (storage) BBM. Ini dengan asumsi perekonomian tumbuh 5-6% dan harga minyak mulai membaik. “Untuk jangka panjang direncanakan pengenaan carbon tax untuk mengendalikan konsumsi dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7-8% dan harga minyak sudah normal,” tuturnya.
Gatra.com | Selasa, 15 September 2020
Biodiesel Yes, Tambah Luasan Kebun Sawit No
Program biodiesel yang sedang dilaksanakan pemerintah hendaknya mengoptimalkan lahan sawit yang telah ada. Wakil Direktur Eksekutif Wahana lingkungan hidup (Walhi) Riau, Fandi Rahman, menyebut jika program biodiesel direspon dengan penambahan luasan kebun sawit, hal tersebut dikhawatirkan dapat menambah antrian persoalan lingkungan hidup. “Idealnya untuk pasokan minyak sawitnya dari optimalisasi luasan kebun yang sudah ada, bukanya menambah luasan kebun. Kalau luasan kebunnya ditambah,maka akan menambah persoalan seperti berkurangnya luasan tutupan hutan, tumpang tindih lahan hingga berujung konflik dengan masyarakat,” jelasnya kepada Gatra.com di kota Pekanbaru, Selasa (15/9). Adapun program biodiesel merupakan pembauran antara solar murni dengan minyak sawit. Bauran tersebut ditingkatkan seiring waktu, saat ini pemerintah menerapkan bauran 30 persen minyak sawit ke solar murni. Program ini dikenal B30. Diketahui, sepanjang tahun 2019 penerapan B20 dapat menghemat impor minyak senilai Rp43,8 triliun. Sedangkan Pertamina selaku perusahaan negara yang bergerak disektor minyak, menaksir dapat menghemat impor minyak sebesar Rp63,4 triliun pada tahun 2020 dengan penerapan B30. Riau, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2019,merupakan provinsi dengan lahan sawit terluas, dengan luasan 2,74 juta ha atau sekitar 19% dari total luasan kebun sawit Indonesia yang mencapai 14,23 juta hektare. Posisi tersebut dengan sendirinya menempatkan Riau sebagai sentra penghasil minyak sawit di Indonesia.
Data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura Dan Perkebunan Provinsi Riau, menyebut produksi minyak sawit Riau menembus angka 8 juta ton. Jumlah tersebut mewakili hampir 25 persen produksi minyak sawit Indonesia. Fandi menambahkan, selama ini upaya optimalisasi lahan kebun sawit di Indonesia dihadapkan dengan rendahnya produktivitas kebun sawit, khususnya yang dimiliki petani. Hal tersebut menurutnya tidak bisa diurai hanya dengan program peremajaan lahan sawit. “Peremajaan lahan sawit itu satu hal. Masih ada problem lainya, misal pemahaman penanaman kelapa sawit hingga pemilihan bibit. Dan itu memerlukan pendampingan terhadap petani sawit. Jadi solusinya bukan sekadar menambah luasan lahan sawit,” pungkasnya. Adapun luasan kebun sawit yang digarap petani di Indonesia mencapai 41 persen dari total luasan kebun sawit 14,23 juta hektare. Persentase tersebut tergolong besar, namun masih kalah oleh luasan kebun sawit yang digarap perusahaan swasta yang mencapai 54 persen. Sedangkan pengelolaan kebun sawit oleh negara hanya 5 persen.
CNNindonesia.com | Selasa, 15 September 2020
Pertamina Klaim Sudah Ekspor B100
PT Pertamina (Persero) menyatakan telah mengekspor bahan bakar nabati dari turunan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) atau B100. “Dengan CPO, kami menghasilkan B100 Alhamdulillah sudah diekspor,” ujar Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam diskusi Primetime News Metro TV, Senin (14/9). Nicke tak merinci negara tujuan ekspor bahan bakar nabati itu. Namun, ia mengungkapkan keberhasilan memproduksi B100 juga akan dilanjutkan dengan produksi avtur dengan campuran CPO atau bioavtur pada akhir tahun ini. Nicke melanjutkan tahun depan perseroan juga akan menambah kapasitas Kilang Cilacap untuk meningkatkan kapasitas produksi B100 secara bertahap sampai dengan 6.000 barel per hari (bph). “Kemudian kami akan bangun di Plaju 20 ribu barel per hari untuk biodiesel,” imbuhnya. Selain itu Pertamina juga akan masuk ke biogasoline dengan melanjutkan program yang sebelumnya telah dikerjasamakan dengan Lemigas. “Mudah-mudahan akhir tahun ini sudah selesai dan tahun depan sudah dimulai itu mencampur 15 persen dari metanol yang dari gas dan 5 persen dari etanol. Etanolnya pun bioetanol,” terang Nicke. Di luar itu, Pertamina juga terus mengembangkan produksi gas dengan mencari sumber-sumber gas baru yang ada di Blok Mahakam. Meski harga gas di dunia sedang turun, ujar Nicke, perseroan berupaya tetap melakukan eksplorasi sumur setiap 3 hari sekali. Sebelumnya, pada 2019 lalu, perusahaan pelat merah ini telah menyelesaikan seismik di area terbuka sepanjang 31 ribu kilometer dan diklaim sebagai terpanjang di Asia Tenggara. Selain itu, perseroan juga akan melakukan eksplorasi pada 68 cekungan. “Kami melakukan pengeboran di Mahakam. Selama setahun, yang kami lakukan di Mahakam itu ada 240 sumur dan kami melakukan seismik untuk recovery,” tandasnya.
Infosawit.com | Rabu, 16 September 2020
Menakar Manfaat Program Biodiesel Sawit 30% (B30)
Tahun 2024 diprediksi kebutuhan minyak biodiesel 100% (B100) bertambah 10% menjadi 15,07 juta Kl, artinya ada 17,3 juta ton CPO yang dibutuhkan. Jika menggunakan asumsi yang sama dengan yang sebelumnya, maka “laba bersih” yang dibayarkan kepada perusahaan kelapa sawit akan bertambah menjadi Rp 166,116 triliun. Suatu jumlah yang berarti untuk memperbaiki perekonomian negara kita. Apakah benar ada penghematan devisa? Benar sekali jika dilihat dari sektor, karena impor minyak solar berkurang, akan tetapi jika dilihat dari sektor perkebunan ada peluang ekspor yang hilang, artinya penghematan devisa secara nasional tidak terjadi. Namun demikian fungsi yang paling utama adalah membantu menyerap CPO nasional dan menjaga kestabilan harga telah tercapai. Alokasi ekpor CPO ke Uni Eropa sudah dapat ditutupi oleh pembelian domestik untuk biodiesel. Dampaknya negara luar sulit untuk mendikte RI dalam masalah ini, CPO saat ini telah menjadi komoditi strategis, yang dapat diandalkan, sayangnya masih didominasi oleh perusahaan asing. Perusahaan perkebunan, hidupnya tergantung dari jumlah produksi yang dihasilkan, sehingga produktivitas menjadi kunci keberhasilan perusahaan ini.
Metoda Production Force Management yang terdiri dari manajemen akar dan kanopi, telah memungkinkan mendongkrak produktivitas antara 30-100% dengan biaya yang relatif sama. Artinya keuntungan yang akan diperoleh oleh petani dan perusahaan akan bertambah besar. Jika saja seluruh uang diperoleh berada tetap di dalan negeri, tentu manfaatnya menjadi besar buat kemakmuran bangsa. Sebaliknya jika uang hasil perkebunan dibawa ke luar negeri tentu hanya orang asing yang akan menikmatinya. Penulis berharap kedepan Kementerian Pertahanan harus menjadi koordinator di dalam program strategis seperti ini, sehingga komoditi strategis dapat dijadikan “senjata” juga dalam negosiasi dan percaturan politik dengan luar negeri. Masalah kelapa sawit bukan hanya masalah perdagangan biasa, karena menyangkut nasib jutaan orang yang terlibat dalam industri terbarukan ini serta jutaan ha lahan yang digunakan beserta seluruh multiplier effect yang dihasilkannya serta martabat bangsa.
CNBCindonesia.com | Selasa, 15 September 2020
Dipandang Sebelah Mata, Pertanian Ternyata Kebal Corona!
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria menampik anggapan bahwa sektor pertanian dinilai menjadi sumber yang kurang potensial khususnya di tengah Pandemi Covid-19 seperti saat ini. Dia mengatakan justru sektor yang satu ini menjadi potential winner, dimana mencatat pertumbuhan di atas sektor lain seperti tambang, pengolahan dan perdagangan. “Pertumbuhan sektor pertanian 2,19% dibanding sektor lain tambang, pengolahan, perdagangan yang semua minus. Ekspansi sektor pertanian, pertanian, perkebunan, menyumbang pertumbuhan positif,” katanya dalam Virtual Sarasehan “Transformasi Ekonomi Indonesia Menuju Negara Maju dan Berdaya Saing” di Jakarta, Selasa (15/9/2020). Persoalan jangka pendek terkait dengan pertanian ini adalah bagaimana meningkatkan nilai tambah. Apalagi saat ini negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam sedang menahan produksi dari produk pangan. “Ini bisa dijadikan kemandirian pangan berbasis alam,” tegasnya. Dalam kesempatan yang sama, masih terkait dengan pertanian dan perkebunan, Ekonom Bustanul Arifin menyoroti terkait dengan sawit.
Hasil perkebunan yang satu ini menjadi sumber pangan utama dan ekspor utama. “Komponen sawit masih tumbuh. Konteks hari ini, sustainability sawit akan ditonjolkan, apalagi diversifikasi jadi biofuel B30, kemudian D-100, kalau konsisten mengembangkan potensi dalam negeri nyambung,” katanya. “Kita fokus memelihara pasar tradisional, uni eropa. Tapi kita juga mengembangkan pasar baru. Oke, identifikasi dulu, pasar baru termasuk sentral asia menjadi giant,” imbuhnya. Selanjutnya, Ekonom Bayu Krisnamurthi mengatakan, terkait dengan pertanian dan perkebunan ini, tak perlu ada pengkotak-kotakan, bagaimana pertanian, industri dan jasa melakukan tugasnya. Dia juga mencontohkan bagaimana pengolahan kelapa sawit yang membutuhkan tiga komponen tersebut yaitu pertanian, industri dan jasa. “Butuh kebunnya dan setelah jadi minyak goreng biofuel, dibutuhkan jasa, financing, branding, promotion, itu dilakukan seimbang,” katanya. Namun lagi-lagi, diperlukan nilai tambah dari suatu produk pertanian agar bisa digunakan untuk sesuatu yang lebih luas. Dia berkomentar bagaimana tandan kosong kelapa sawit yang dijadikan rompi anti peluru oleh ITB. “Saya bereaksi, bisa nggak dipakai untuk sesuatu lebih luas. Misal jala nelayan dibuat dari serat sawit sehingga kalau jala jatuh ke laut tidak menjadi polusi. Atau dipakai net (jala) petani atau banyak hal sangat usable,” pungkasnya.
Investor.id | Selasa, 15 September 2020
Tata Niaga Sawit Petani Perlu Diperbaiki
Rencana pemerintah untuk memperluas mandatori biodiesel campuran 30% (B30) mendapatkan dukungan berbagai pihak termasuk petani. Alasannya, program biodiesel sangat efektif menjaga keseimbangan stok sawit di dalam negeri dan dapat menjaga harga sawit, namun implementasi B30 makin sukses di lapangan jika tata niaga tandan buah segar (TBS) juga diperbaiki. Sekjen DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino mengatakan, apabila tata niaga TBS sudah diperbaiki maka tidak ada kecurigaan bahwa B30 hanya menguntungkan perusahaan besar. Hal itu mengingat selama ini banyak isu yang beredar bahwa B30 hanya menguntungkan perusahaan besar sawit dan petani cenderung dilupakan. “Bagi petani, persoalan pungutan ekspor dan B30 ini harus menguntungkan semua pihak, dari konteks petani kami ingin mendapatkan harga TBS yang wajar dan berkeadilan, kuncinya adalah wajib diperbaiki tata niaga TBS di tingkat petani,” ujar dia di Jakarta, Senin (14/9). Dia menuturkan, program B30 merupakan kebijakan strategis nasional untuk meningkatkan serapan produksi minyak sawit dalam negeri dan bisa menjaga harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) agar ekonomis.
Apkasindo mendukung kelanjutan program tersebut bagi ketahanan energi nasional dan program itu perlu mendapatkan dukungan semua pihak karena bisa memberikan nilai tambah bagi perekonomian dan bisa menekan impor bahan bakar minyak (BBM). “Pemerintah mempunyai tanggung jawab atas keberlanjutan dari B30 hingga B100, dalam perdagangan internasional bahwa saat ini selisih harga CPO dan minyak bumi semakin melebar sehingga berdampak pada pemberian insentif B30,” jelas Rino. Dengan rata rata harga CPO US$ 600 per ton maka harga TBS petani seharusnya Rp 1.500-1.700 per kilogram (kg) harga inilah yang seharusnya dapat dinikmati petani di seluruh Indonesia. Fakta di lapangan, petani tidak memperoleh harga tersebut dan jauh di bawah harga tersebut. Berdasarkan koordinasi petani Apkasindo di 22 Provinsi dan 118 Kabupaten, fakta lapangan yang selalu menjadi keluhan utama yaitu rendahnya harga TBS, petani sawit di Indonesia bagian timur selisih harganya lebih rendah. Sebaiknya, pemerintah mengkaji benar rencana kenaikan pungutan ekspor dengan memperbaiki tata niaga TBS, sehingga keadilan harga TBS dapat dinikmati petani.