Diadang Hambatan Dagang, Eksportir Siapkan Strategi

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Bisnis.com | Selasa, 29 Desember 2020

Diadang Hambatan Dagang, Eksportir Siapkan Strategi

Upaya peningkatan ekspor pada 2021 menghadapi tantangan seiring semakin protektifnya negara mitra dagang lewat pemanfaatan instrumen trade remedies. Meski demikian, pelaku usaha di dalam negeri tetap melihat peluang untuk menggenjot ekspor produk yang rawan diganjar trade remedies. Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan produksi biodiesel Indonesia pada 2021 berpotensi meningkat 25 sampai 30 persen seiring dengan bertambahnya kapasitas pabrik produksi. Sebaliknya, serapan domestik di dalam negeri diperkirakan menurun. Turunnya konsumsi ini membuka peluang akan ekspor untuk produk biodiesel. Sebagaimana diketahui, sepanjang 2020 Indonesia sama sekali tak melakukan eksportasi karena serapan domestik mencapai 9,6 juta kiloliter. “Kapasitas biodiesel pada 2021 akan meningkat dan kami produsen akan mencari pasar yang kuat karena konsumsi dalam negeri diperkirakan berkurang. Dalam hal ini kami akan konsultasi ke Direktorat Pengamanan Perdagangan soal potensi trade remedies,” kata Paulus, Selasa (29/12/2020). Produk biodiesel RI memang menjadi salah satu komoditas dengan hambatan dagang yang besar. Catatan Bisnis menunjukkan bahwa produk ini diganjar tuduhan subsidi dan dumping oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa. Nilai ekspor produk ini ke Eropa sempat menyentuh US$532,50 juta dan US$255,56 juta ke pasar Amerika Serikat. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta mengemukakan produk tekstil Indonesia masih berpeluang menggenjot ekspor dengan memanfaatkan tren pasar ke depan. Dia menjelaskan pasar tekstil akan mengarah pada kebutuhan pakaian medis dan pakaian ramah lingkungan. “Memang tren selama pandemi banyak negara yang protektif, tetapi ada peluang dari dua aspek ini. Untuk sisi pakaian medis kita sudah siap dari sisi hulu sementara aspek sustainability terus digenjot,” kata Redma. Seperti biodiesel, produk tekstil Indonesia pun rentan menghadapi trade remedies. Redma mengatakan sampai saat ini eksportir Indonesia harus menghadapi tarif tambahan di Turki, India, dan Brasil akibat pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) dan tindak pengamanan (BMTP). Di sisi lain, surplus neraca perdagangan tekstil Indonesia pun disebutnya makin tergerus. “Saya rasa ke depan tata niaga tekstil harus dibenahi. Terutama antisipasi produk China. Kapasitas mereka besar sehingga mau tidak mau harus ekspor. Dalam hal ini mereka akan menyasar pasar yang tak diproteksi seperti Indonesia,” kata Redma.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20201229/12/1336631/diadang-hambatan-dagang-eksportir-siapkan-strategi

The Jakarta Post | Rabu, 30 Desember 2020

Depleting CPO fund endangers biofuel program

With its 30 percent palm oil-mixed biodiesel (B30) program, now going B40, the government eventually Has to pay the price. With crude Palm Oil (CPO) prices soaring, the government has to pay ballooning biodiesel subsidies. To reduce the burden on the budget, the government recently raised exports levy for CPO, penalizing plantation companies and smallholders. Earlier this month, the finance minister revised the export levy structure for Palm Oil exports, from a fixed rate to a progressive rate linked to the reference price of CPO. As such, the export levy is raised by US$15 per ton for every $25 per ton increase in the CPO reference price beyond $670 per ton and up to $995 per ton. With the new rules, the new export levy would now range from $55 to $255 per ton. Previously, the export levy was fixed at $55 per ton. The funds collected from the CPO export levy goes to the CPO Fund (BPDP KS), mainly to subsidize biodiesel producers to compensate for the price differential between biodiesel and fos- , sil diesel. On top of the levy, the-. government also collects export tax of $33 per ton of CPO. Sources said the changes in the levy\’s structure, which results in a steep rise in the levy, are to help rebuild the country\’s CPO Fund, which is nearly empty as a result of the widening price gap between domestic biodiesel and international CPO prices. At the end of 2019, the CPO Fund had collected a total of Rp 47 trillion ($3.2 billion) from export levy, of which more than 80 percent was allocated for biodiesel subsidy. As international CPO prices soar in the second half of this year, reaching an eight-year high of $856 per ton earlier this week, the biodiesel subsidy also rises, and the CPO Fund could not finance the rising subsidy. The government provided an additional budget of Rp 2.78 trillion through the national economic recovery (PEN) budget to help plug the widening biodiesel subsidy this year. But the government does not want to shoulder the rising biodiesel subsidy for next year, and, therefore, it changed the levy structure. With Indonesia\’s CPO exports projected to reach 34 million tons in 2021, under the revised export levy structure, the funds collected are expected to be able to fund the B30 biodiesel program. Oil palm smallholder associa-tionsgrouped in the Federation of Oil Palm Farmers Organizations (POPSI) lamented the changes in the export levy, which would benefit biodiesel producers but penalize oil palm farmers. POPSI protested earlier this year when the government increased the export levy frorn $50 to $55 per ton, and now they are even more displeased by the new levy structure. POPSI also protests the government\’s additional Rp 2.78 trillion budget that is used to subsidize biodiesel this year, arguing that the government should help oil palm farmers more than the biodiesel producers, many of whom are conglomerates that ownmassive Palm Oil plantations such as Wilmar, Musim Mas and Sinar Mas (SMART). POPSI urges the government to allocate 30 percent of the Rp 2.78 trillion to help smallholders. The biodiesel policy, however, does not include smallholders as the beneficiaries. The policy is meant to create demand for CPO to prevent CPO prices from falling, and in this case, benefit farmers. However, when CPO prices rise, farmers would enjoy few benefits as the new, higher export levy would eventually be passed on to oil palm farmers. The government created the CPO Fund back in 2015 to collect export levies and support the government\’s biodiesel program, which did not really take off until 2018, when Indonesia suffered from a big oil and gas deficit and falling prices of CPO – Indonesia\’s main export commodity. In 2018, the government adopted the B20 biodiesel program and expanded the use of biodiesel to nonsubsidized sectors. The government tasked the CPO Fund with supporting the program by providing subsidies to biodiesel producers to com- pensate for the price differential . between biodiesel and fossil diesel. With the program, the government aimed to kill two birds with one stone – reducing the oil and gas deficit and raising CPO prices by boosting domestic demand. Increasing domestic demand is important to anticipate falling international demand, especially from the European Union that has adopted the Delegated Act on biofuels to phase out the use of CPO in biofuels. Under the regulation, the use of Palm Oil for biofuels in the EU will be capped at 2019 levels until 2023, after which it will be phased out by 2030. Some 2.45 million tons of palm oil-based biodiesel may be impacted by the ruling, or 33 percent of the EU\’s annual Palm Oil imports. Indonesia has been cooperating with Malaysia, the world\’s second-largest producer, to increase domestic absorption of CPO through the biodiesel mandate in a bid to reduce global supply and eventually boost prices. Indonesia and Malaysia dominate the global CPO market with a combined share of more than 80 percent. With the B20 biodiesel mandate, Indonesia has managed to increase domestic absorption of Palm Oil in line with the increasing consumption of biofuels. Domestic biodiesel sales increased by 50 percent from 2.57 million \’kiloliters in 2017 to 3.75 million kiloliters in 2018 and to 6.7 million kiloliters in 2019. The rising consumption of biodiesel reduces Indonesia\’s need to import fuels, which saved the country $3.5 billion in 2019, according to the Indonesian biodiesel Producers Association (APROBI). In January 2020, the government implemented the B30 program, which helped increase consumption of Palm Oil as a result of a higher percentage of Palm Oil in the fuel blend and rising consumption of biofuel. biodiesel consumption already reached 4.37 million-kiloliters in the first semester of this year and is projected to reach 8.7 million kiloliters for the whole year. As consumption of biodiesel increases year after year, the subsidy is also increasing, especially when international CPO prices keep rising. Nevertheless, the regime change in the export levy is believed to ensure the continuity of the B30 and even B40 biodiesel program as well as cushioning any downside to CPO prices.

Bisnis Indonesia | Rabu, 30 Desember 2020

ARAL MENGINTAI DI BALIK MITRA PAKTA

TANTANGAN EKSPOR 2021

Utilisasi paba dagang bakal dijadikan pemungkas untuk mengatrol ekspor pada 2021. Faktanya, hambatan teknis perdagangan justru lebih banyak datang dari negara yang sudah menjalin kerja sama internasional dengan Indonesia. Dalam konteks itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati meng-afirmasi perluasan akses pasar ekspor dan investasi asing pada 2021 akan diintensifkan melalui pemanfaatan empat instrumen fasilitasi perdagangan internasional. Keempatnya a.l. Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Indonesia-EFTA CEPA, Indonesia-Korea CEPA, dan generalized system of preference (GSP). “Terutama untuk GSP, di mana dari 3.572 produk yang tercakup, Indonesia baru memanfaatkan untuk 700 produk dengan nilai hanya US$1,8 miliar pada 2019. Jadi potensinya masih sangat besar karena masih banyak pengusaha yang belum well informed tentang GSP,” ujarnya, Selasa (29/12). Permasalahannya, tegas Pradnya, negara yang sudah memiliki pakta dagang dengan Indonesia selama ini justru tercatat paling dominan dalam menerapkan hambatan teknis perdagangan (HTP) terhadap produk-produk ekspor RI. Berdasarkan rekapitulasi Kemen-dag, sepanjang 2020 setidaknya terdapat 10 kasus HTP yang dihadapi Indonesia dari 7 negara. {Lihat infografis) Dari ketujuh negara tersebut, 5 di antaranya dalam proses atau bahkan sudah menjalin pakta dengan Indonesia, baik secara bilateral maupun regional. Mereka a.l. China, Uni Eropa, Jepang, Vietnam, dan Bangladesh. Menjelaskan fenomena itu, Pradnya berpendapat kerja sama perdagangan dunia dalam beberapa tahun terakhir memang mengarah pada tren deglobalisasi yang mengakibatkan tiap negara cenderung berusaha melindungi kepentingan nasional masing-masing. Terlebih, lanjutnya, pandemi Covid-19 menjadi katalis perubahan dalam rantai nilai global atau global value chain, khususnya dalam hal pengembangan teknologi baru, peningkatan nasionalisme ekonomi, dan pengedepanan produk-produk berkelanjutan. “Kombinasi deglobalisasi dan pandemi inilah yang mendorong peningkatan kebijakan perdagangan yang makin protektif. Instrumen hambatan teknis perdagangan pun makin disukai negara-negara di dunia. Kita harus mengantisipasi hambatan ini, karena yang banyak menerapkan justru negara-negara yang sudah menerapkan kerja sama dengan Indonesia,” ungkapnya. Dia menjelaskan pada saat suatu negara terpaksa menurunkan tarif karena terikat kesepakatan dalam pakta, kecenderungan mereka untuk menggunakan hambatan nontarif makin tinggi sebagai alternatif proteksi pasar domestiknya. Hal itu menjadi penyebab hambatan teknis perdagangan lebih banyak dilakukan oleh mitra kerja sama dagang RI. Pradnya menyebut hambatan teknis perdagangan yang belakangan ini cukup sering digunakan mitra dagang adalah kesepakatan sanitary and phytosanitary untuk produk pangan. Contohnya, ekspor susu RI sempat terganjal isu ini di Hong Kong karena masalah label. Tidak terpenuhinya persyaratan keamanan pangan, mutu barang, dan standar oleh negara tujuan ekspor dituding sebagai musabab maraknya hambatan teknis perdagangan terhadap produk ekspor Indonesia yang berujung pada penolakan di negara tujuan. “Untuk itu, meski sudah ada kerja sama perdagangan, saya mengimbau agar pelaku usaha sebisa mungkin comply dengan persyaratan di negara tujuan ekspor supaya produk ekspor kita tidak terus terkena HTP,” jelas Pradnya. Tak hanya itu, instrumen pengamanan perdagangan atau trade remedies kian aktif diimplementasikan banyak negara selama pandemi. Tahun ini, RI diadang 47 kasus trade remedies. Sebanyak 37 di antaranya adalah kasus baru. Sebelum pandemi, sebut Pradnya, RI hanya menghadapi 14-20 kasus. Artinya, jerat trade remedies terhadap Indonesia selama pandemi melesat hampir 100% dibandingkan dengan periode prapandemi. Adapun, negara-negara Asean tercatat menjatuhkan 12 kasus pengamanan perdagangan terhadap RI, India 7 kasus, dan Amerika Serikat 4 kasus. “Jadi sekarang penggunaan trade remedies bukan saja dilakukan negara maju, tetapi juga berkembang akibat deglobalisasi,” kata Pradnya. Sekadar catatan, Kementerian Perdagangan menargetkan ekspor pada 2021 mencapai US$180 miliar, naik dari target tahun ini senilai US$130 miliar. Sepanjang Januari-November 2020, RI sudah melampaui target dengan capaian ekspor senilai US$146,78 miliar.

SUDAH TEPAT

Di lain sisi, kalangan pengusaha menilai Indonesia telah berada di jalur yang tepat dalam menjalin pakta meski tren proteksionisme global kian marak. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Ramdani mengatakan jalinan kerja sama dagang penting untuk jaminan iklim berdagang antarnegara di tengah berlangsungnya reformasi WTO selaku wasit perdagangan internasional. “FTA maupun CEPA penting bagi Indonesia untuk menjamin iklim perdagangan dan akses ekspor nasional di tengah ketidakpastian yang terjadi secara multilateral.” Makin maraknya penggunaan hambatan teknis perdagangan dan trade remedies pun disebut Shinta tidak bisa dihindari karena merupakan hak semua negara dan diperkenankan dalam aturan WTO. Untuk itu, koordinasi antara pemerintah dan eksportir perlu dibenahi sehingga pembelaan bisa dilakukan secara efisien. Di samping itu, dia mengharapkan industri dalam negeri bisa terus meningkatkan kapasitas agar bisa bersaing di pasar global. “Bila ekspor nasional terus menerus didominasi oleh komoditas tertentu, stabilitas penerimaan ekspor rentan hancur seketika bila diserang hambatan dagang di negara tujuan,” ujarnya. Tak hanya itu, kalangan pengusaha mengaku siap untuk menghadapi hambatan teknis perdagangan berupa rumitnya persyaratan teknis di negara tujuan ekspor pada 2021. Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wiraswasta mengatakan ekspor produk pertekstilan pada 2021 akan diarahkan untuk kebutuhan pakaian medis dan sandang ramah lingkungan. “Memang tren selama pandemi banyak negara yang protektif, tetapi ada peluang dari dua aspek ini. Untuk sisi pakaian medis, kami sudah siap dari sisi hulu sementara aspek sustainability terus digenjot,” kata Redma. Senada, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Paulus Tjakrawan mengatakan produk biodiesel RI siap kembali diekspor pada 2021 dan memenuhi persyaratan teknis di negara tujuan. Sebagaimana diketahui, sepanjang 2020 Indonesia sama sekali tak melakukan ekspor biodiesel karena serapan domestik mencapai 9,6 juta kiloliter. “Kapasitas biodiesel pada 2021 akan meningkat dan kami produsen akan mencari pasar yang kuat karena konsumsi dalam negeri diperkirakan berkurang. Dalam hal ini kami akan konsultasi ke Direktorat Pengamanan Perdagangan soal potensi trade remedies.” Biodiesel memang menjadi salah satu komoditas dengan hambatan dagang yang besar. Catatan Bisnis menunjukkan produk ini diganjar tuduhan subsidi dan dumping oleh AS dan UE. rn

Tersandung Mitra Dagang

Hambatan teknis perdagangan (HTP) masih jamak ditemui Indonesia. Ironisnya, negara yang paling banyak menerapkan HTP terhadap produk Indonesia adalah mitra dagang utama atau justru negara yang sudah memiliki kesepakatan kerja sama dengan RI. Ketentuan SPS untuk keamanan produk pangan menjadi salah satu isu HTP yang paling sering dihadapi Indonesia.

BERITA BIOFUEL

Sindonews.com | Selasa, 29 Desember 2020

Program B30 Berpotensi Buat Pasokan CPO Defisit pada 2023

Pemerintah meluncurkan program B30 pada Januari 2020 untuk mendorong penggunaan bahan bakar nabati (BBN) melalui program biodiesel. Saat ini, pemerintah mengandalkan minyak sawit mentah ( crude palm oil/CPO ) sebagai bahan baku pembuatan biodiesel untuk menghasilkan B30 sebagai bahan bakar pengganti solar. Manajer Riset Traction Energy Asia Ricky Amukti mengatakan, keberlanjutan program B30 ini bukan tanpa risiko. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan, program B30 berpotensi menyebabkan defisit pasokan CPO pada 2023 karena meningkatnya permintaan CPO untuk memenuhi permintaan dari sektor biodiesel. Menurut dia, status defisit pasokan CPO akan tiba lebih cepat jika produksi bauran biodiesel semakin tinggi. Potensi defisit ini mengancam kawasan hutan karena ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan pasokan bahan baku biodiesel. “Maka itu yang kami tawarkan adalah menggunakan minyak jelantah sebagai komplementer program biodiesel. Tidak untuk menggantikan CPO tetapi untuk melengkapi. Hal ini selain baik untuk lingkungan, baik juga untuk kesehatan dan ekonomi di masyarakat,” ujarnya dalam webinar, Selasa (29/12/2020). Dia menuturkan, konsumsi minyak goreng Indonesia tahun 2019 sebesar 13 juta ton atau 16,2 juta kiloliter (KL) di mana berpotensi menjadi biodiesel sebesar 3,24 juta KL. Sementara minyak jelantah yang dikumpulkan di Indonesia tahun 2019 sebesar 3 juta KL di mana dari rumah tangga dan perkotaan sebesar 1,6 juta KL. Dari sekitar 3 juta KL minyak jelantah, hanya kurang dari 570.000 KL yang dimanfaatkan sebagai biodiesel maupun untuk kebutuhan lainnya. Sebagian besar digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor. “Hal yang mengkhawatirkan adalah jika minyak goreng daur ulang ini dikonsumsi kembali. Ini berpotensi memunculkan masalah kesehatan lainnya,” jelasnya, Sementara perkembangan ekspor minyak jelantah Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat, dari hanya kisaran 55.000 ton pada tahun 2014 naik menjadi kisaran 148.000 ton pada tahun 2019. “Minyak jelantah punya potensi ekonomi yang luar biasa. Ini sebenarnya bisa kita manfaatkan disituasi saat ini,” tandasnya.

https://ekbis.sindonews.com/read/283960/34/program-b30-berpotensi-buat-pasokan-cpo-defisit-pada-2023-1609236768

Kabaroto.com | Selasa, 29 Desember 2020

Biodiesel 30 Persen Dinilai Beri Dampak Positif Pada Ekonomi Masyarakat

Pemerintah terus konsisten menjalankan program biodiesel 30% yang mulai diimplementasikan pada tahun 2021. Belum juga diterapkan di seluruh kendaraan bermesin diesel, dampaknya sudah dirasakan industri kelapa sawit di Indonesia. Martias Fangiono, dari Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengatakan, saat pemerintah konsisten menjalankan B30, akan memberi dampak harga sawit yang stabil. “Selain itu, program ini menjadi bagian Indonesia Incorporated. Program B30 masih kata dia, memberikan banyak manfaat dari aspek perekonomian. B30 dapat memberikan pekerjaan bagi 17 juta orang yang terlibat di industri sawit. “Alhasil, mereka dapat hidup layak,” terangnya, saat diskusi virtual dengan media, beberapa waktu lalu. Program B30 juga menghemat devisa, sehingga berdampak positif bagi neraca perdagangan dan transaksi berjalan. “Impor solar juga berkurang yang digantikan campuran FAME,” tambahnya. Biodiesel juga bisa memperkuat ketahanan energi terbarukan sebagai kebijakan strategis. Karena produksi minyak bumi dalam negeri sebesar 800 ribu barel per hari, namun kebutuhan mencapai 1,5 juta barel per hari. “B30 merupakan solusi bagus bagi ketahanan energi terbarukan. tentunya ramah lingkungan,” terangnya lagi. Beberapa APM bus dan truk seperti Hino, Isuzu, Mercedes-Benz dan lainnya sudah siap dengan B30. Mereka persiapkan mesin yang khusus untuk bahan bakar nabati tersebut. Sementara itu, Pertamina juga sudah memasarkan biodisel B30 di beberapa SPBU-nya, sehingga ke depan program ini akan berjalan dan memberi dampak positif bagi masyarakat dan kualitas udara di Indonesia.

https://kabaroto.com/post/read/biodiesel-30-persen-dinilai-beri-dampak-positif-pada-ekonomi-masyarakat

Sindonews.com | Selasa, 29 Desember 2020

Simak Nih, Peluang Bisnis Biodiesel dari Minyak Jelantah

Minyak jelantah disebut bisa menjadi salah satu opsi bisnis menjanjikan di masa depan. Pemanfaatan minyak jelantah untuk biodiesel ini menjadi salah satu opsi yang baik sebagai bagian dari peningkatan sirkular ekonomi. Peneliti International Council on Clean Transportation (ICCT) Tenny Kristiana mengatakan, sumber minyak jelantah di Indonesia berasal dari hotel, restoran dan rumah tangga. Semua sumber ini ada yang buang dan ada yang diolah lagi menjadi minyak curah. “Ada juga yang diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat. Dua pasar ini untuk beberapa tahun terakhir sedang gencar mencari sumber waste untuk dijadikan biodiesel di sana dan biofuel yang lain,” ujarnya dalam webinar, Selasa (29/12/2020). Tenny melanjutkan, secara rata-rata, minyak jelantah yang dapat dikumpulkan di Indonesia baru mencapai 3 juta kiloliter atau hanya 18,5% dari total konsumsi minyak goreng sawit nasional. Berdasarkan hasil penelitian ICCT, harga minyak jelantah di Indonesia rata-rata studi perkotaan yang paling rendah sekitar Rp2.500 dan yang paling tinggi sekitar Rp7.000 digunakan untuk ekspor. “Rata-rata harga Rp3.700 per liter. Ini harga bahan baku yang paling utama karena untuk produksi biodiesel dari harga bahan baku tadi,” tuturnya. Menurut dia, ada potensi penghematan subsidi sebesar Rp4,2 miliar per tahun jika menggunakan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel berdasarkan perhitungan ICTT. “Total biaya produksi biodiesel dengan jelantah itu Rp5.000, sementara dengan sawit sekitar Rp8.500. Penghematan Rp4,2 miliar dengan asumsi subsidi flat dari total biodiesel yang dihasilkan dari minyak jelantah 1,2 juta biodiesel per liter,” ungkapnya.

https://ekbis.sindonews.com/read/283748/34/simak-nih-peluang-bisnis-biodiesel-dari-minyak-jelantah-1609225970

Merdeka.com | Selasa, 29 Desember 2020

Pabrik Bahan Bakar dari Sawit di Musi Banyuasin akan Beroperasi Tahun Depan

Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, menargetkan tahun depan mengoperasikan pabrik pengolahan bensin kelapa sawit. Pembangunan pabrik ini utamanya meningkatkan perekonomian petani. Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex mengungkapkan, operasional pabrik tersebut seyogyanya dilakukan pada tahun ini, namun ada perubahan pengalokasian anggaran akibat pandemi Covid-19. Uji coba pemakaian nantinya dilakukan pada kendaraan dinas Pemkab Musi Banyuasin. “Insya Allah tahun depan pabrik bensin kelapa sawit sudah dioperasikan, mudah-mudahan tidak ada halangan lagi,” ungkap Dodi, Selasa (29/12). Dikatakan, pembangunan pabrik tersebut sebagai peningkatan pengelolaan TBS menjadi biofuel atau bahan bakar nabati. Pabrik ini diproyeksikan dapat menampung kelapa sawit petani agar harganya meningkat dan bagian dari konsep pengembangan kawasan industri hijau di daerah terkaya di Sumsel. “Dengan ada pabrik pengolahan sendiri otomatis berpengaruh pada peningkatan harga sawit petani,” ujarnya. Selain pabrik bensin kelapa sawit, pihaknya juga merealisasikan percepatan operasional pabrik aspal karet pertama di Indonesia. Sebagian jalan di kabupaten itu sudah dibangun menggunakan aspal karet. “Alhamdulillah beroperasional di tahun 2020 ini, sesuai target. Berkat realisasinya, kini harga karet petani rakyat bisa stabil,” jelasnya.

Dia menambahkan, meski dihadapkan pada pandemi Covid-19, namun percepatan pembangunan dan capaian realisasi program tidak terhenti. Bahkan, terjadinya pemotongan anggaran APBD 2020 mencapai Rp1,1 triliun juga tidak memberikan pengaruh signifikan lada realisasi program di Bumi Serasan Sekate. “Alhamdulillah, meski pandemi ini banyak terjadi pengurangan anggaran, tetapi Musi Banyuasin tetap maju berjaya di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya. Menurutnya, Musi Banyuasin tetap bisa andil dengan maksimal dalam percepatan pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan warga. Pertumbuhan ekonomi meningkat 4,7 persen, dan penanganan dampak wabah Covid-19 tetap berjalan maksimal. “Untuk penanganan wabah Covid-19, sedikitnya kami mengucurkan anggaran sebesar Rp303 miliar yang menyasar kepada masyarakat terdampak hingga pemulihan ekonomi. Semuanya dapat ditangani dengan baik dan berjalan lancar,” kata dia. Sementara itu, Wakil Bupati Musi Banyuasin Beni Hernedi menambahkan, pada 2021 mendatang pihaknya akan memaksimalkan serapan tenaga kerja lokal dengan banyaknya investasi yang masuk ke kabupaten itu, Blok Saka Kemang salah satunya. Pengembangan Blok Saka Kemang akan menjadi momentum penting dan strategis dalam pengembangan pelatihan SDM Migas bagi warga dan keterlibatan tenaga kerja lokal dalam bidang migas. Menurut dia, dukungan SKK Migas juga dibuktikan dengan telah dilakukan penandatanganan kesepakatan Bersama (MoU) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang industri Migas antara Pemkab Musi Banyuasin dan perusahaan K3S. SKK Migas memfasilitasi keterlibatan SDM lokal dalam proyek hulu Migas yang beroperasi dalam wilayah Musi Banyuasin. “Sudah saatnya tenaga kerja lokal menjadi pemain, kami siapkan tenaga profesional dan bersertifikasi agar memenuhi syarat perusahaan,” kata dia.

https://www.merdeka.com/peristiwa/pabrik-bahan-bakar-dari-sawit-di-musi-banyuasin-akan-beroperasi-tahun-depan.html

Sindonews.com | Selasa, 29 Desember 2020

Minyak Jelantah Jadi Bahan Baku Biodiesel Perlu Dimulai dari Pemda

Penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel perlu dimulai dari kebijakan pemerintah, khususnya pemerintah daerah (pemda). Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Joko Tri Haryanto mengatakan, terdapat tiga instrumen kebijakan yang perlu diterapkan untuk memobilisasi pengumpulan minyak jelantah dari sektor rumah tangga dan sektor usaha hotel, restoran dan kafe. Pertama, diperlukan regulasi di level pemerintah daerah (Peraturan Daerah, Peraturan Walikota/Peraturan Bupati) untuk menekan para penghasil minyak jelantah untuk menyerahkan limbah jelantah yang dihasilkan. Kedua, diperlukan mekanisme insentif dan disinsentif sebagai stimulus bagi para penghasil minyak jelantah agar mereka mau menyerahkan minyak jelantah. Mekanisme insentif dapat berupa kebijakan fiskal seperti pemberian diskon pajak hotel dan restoran serta kebijakan non fiskal yang terkait dengan proses pengurusan perpanjangan izin usaha. Ketiga, diperlukan model bisnis untuk mengelola industri pemanfaatan minyak jelantah dengan sistem sinergi antara pemerintah dan publik (CSO, bank sampah/bank jelantah). Pemerintah dapat berperan sebagai pengelola industri minyak jelantah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Kombinasi ketiga instrumen kebijakan tersebut diperlukan untuk menjamin ketersediaan pasokan bahan baku biodiesel dari minyak jelantah. “Pemanfaatan minyak jelantah wajib diawasi karena terkait aspek kesehatan, lingkungan, dan keamanan. Minyak jelantah juga harus memiliki penyimpanan yang bersih,” ujarnya dalam webinar, Selasa (29/12). Manajer Riset Traction Energy Asia Ricky Amukti menambahkan, masih terdapat tantangan besar dalam pemanfaatan minyak jelantah untuk diolah menjadi biodiesel seperti dalam proses pengumpulan minyak jelantah. Kemudian transportasi minyak jelantah dari masyarakat ke pusat produksi, teknologi pengolahan baik oleh masyarakat maupun produsen skala pabrik, hingga standarisasi kualitas biodiesel minyak jelantah. “Tantangan terbesarnya dalam proses pengumpulannya karena itu perlu kampanye atau promosi dalam pengumpulan minyak jelantah,” tuturnya.

https://ekbis.sindonews.com/read/284434/34/minyak-jelantah-jadi-bahan-baku-biodiesel-perlu-dimulai-dari-pemda-1609261973

Medcom.id | Selasa, 29 Desember 2020

Minyak Jelantah Bisa sebagai Pengganti CPO untuk Biodiesel

Minyak jelantah (minyak goreng bekas pakai) bisa digunakan untuk sebagian pasokan bahan baku crude palm oil (CPO) dalam program biodiesel Indonesia. Selain itu, langkah ini juga bermanfaat bagi pengurangan emisi gas rumah kaca dan mendukung pembangunan daerah, demikian kesimpulan sekelompok ahli dalam acara refleksi akhir tahun tentang program biodiesel Indonesia. Pemerintah meluncurkan B30 pada Januari 2020 untuk mendorong penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) melalui program biodiesel. Saat ini, pemerintah mengandalkan CPO sebagai bahan baku pembuatan biodiesel untuk menghasilkan B30 sebagai bahan bakar pengganti solar. “Berlanjutnya program B30 ini bukan tanpa risiko. Menurut riset kami, program B30 berpotensi menyebabkan defisit pasokan CPO pada 2023 karena meningkatnya permintaan CPO untuk memenuhi permintaan dari sektor biodiesel. Status defisit pasokan CPO akan tiba lebih cepat jika produksi bauran biodiesel semakin tinggi,” kata Manajer Riset Traction Energy Asia Ricky Amukti dalam keterangan resminya, Selasa, 29 Desember 2020. Dia menjelaskan bahwa potensi defisit ini mengancam kawasan hutan karena ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan pasokan bahan baku biodiesel. Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel untuk mengurangi risiko dampak buruk lingkungan dari minyak jelantah yang kerap dibuang begitu saja ke saluran pembuangan atau didaur ulang kembali untuk menjadi minyak goreng kemasan curah. Di 2019 konsumsi minyak goreng Indonesia menghasilkan 13 juta ton minyak jelantah Indonesia. Angka ini cukup besar lantaran Uni Eropa menghasilkan 22,7 juta ton, Amerika menghasilkan 16 juta ton dan dan India 23 juta ton. Peneliti The International Council for Clean Transportation (ICCT) Tenny Kristiana menjelaskan penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel dapat mengatasi resiko peningkatan kadar Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biological Oxygen Demand (BOD) di perairan terlebih lagi minyak jelantah tergolong sebagai limbah kategori bahan beracun dan berbahaya (B3). Sementara dari bidang pengurangan gas rumah kaca, riset ICCT menunjukkan meskipun penggunaan biodiesel B30 mengurangi 30 juta ton emisi CO2, namun jika dihitung dari analisis daur hidup (life cycle) dari sektor hulu (perkebunan sawit) hingga hilir (konsumsi biodiesel), jumlah emisi CO2 bertambah sekitar 52 juta ton akibat dari ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan bahan baku biodiesel.

https://m.medcom.id/ekonomi/sustainability/lKYwPVQb-minyak-jelantah-bisa-sebagai-pengganti-cpo-untuk-biodiesel

Tribunnews.com | Selasa, 29 Desember 2020

Tantangan Untuk Menciptakan Energi Terbarukan Melalui Biodiesel 100

Rencana pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menciptakan energi terbarukan melalui Biodiesel 100 atau B100 mendapat banyak tantangan. Pemerintah pusat menargetkan 14 Juta hektare (ha) kebun sawit di Indonesia pada tahun 2022, sebagai langkah mendukung energi terbarukan. Namun, dalam prakteknya masih banyak perusahaan sawit terutama di Sumatra Selatan yang melakukan kebijakan atau praktek jahat dalam pembukaan lahan. “Langkah pemerintah, mewujudkan B100 membutuhkan 14 juta ha lahan sawit baru. Kondisi ini ada potensi konflik pembukaan lahan baru. Apa lagi beberapa perusahaan yang ditunjuk tidak memiliki kebijakan NDPE, ” ungkap Direktur Perkumpulan Lingkar Hijau Sumsel, Hadi Jatmiko, dalam diskusi “Isu Penting Energi dan SDA Sumsel” Outlook Series Jurnalis AJI Palembang 2021, Selasa (29/12/2020). Menurut Hadi, dari sepuluh perusahaan sawit yang menyuplai biodiesel di Sumsel, baru ada tujuh perusahaan yang memiliki NDPE. Namun, berapa perusahaan yang telah memiliki NDPE, juga masih kerap melakukan pelanggaran. “Perlu upaya dari pemerintah dalam merevisi kebijakan, untuk beberapa perusahaan yang diberikan mandat mengelola energi. Perlu melibatkan masyarakat (petani), pegiat lingkungan hidup dan pegiat ham agar kebijakan pengelolaan lingkungan dapat lebih transparan,” jelas dia. Selama ini pemerintah, belum pernah melibatkan perumusan kebijakan energi terbarukan yang melibatkan masyarakat. Keuntungan pun hanya berputar di perusahaan besar. “Sejauh ini belum ada keuntungan bagi petani, program pemerintah hanya membantu pengusaha dalam hal ini setelah muncul penolakan sawit Indonesia di Eropa tahun 2016 lalu,” jelas dia. Sementara itu, Akademisi Universitas Sriwijaya Dr Umar Harun melihat, untuk mewujudkan kebijakan B100 dimasa mendatang pemerintah memang perlu melibatkan penggunaan sawit masyarakat. Sebab untuk membuka lahan baru, sulit dilakukan jika melihat kebutuhan lahan di Sumsel.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), untuk lahan sawit baru dianggap sulit dilakukan sebab luasan lahan kosong di Sumsel semakin terbatas. “Yang perlu dilihat bukan soal luasan sawitnya tetapi hasil produksi yang dikejar,” jelas dia. Dirinya mengakui, sejak 20 hingga 30 tahun terakhir, sawit menjadi primadona tidak hanya bagi perusahaan besar tetapi juga masyarakat. Kelapa sawit dianggap sebagai tanaman yang tidak sulit dirawat. “Makanya dalam berapa tahun terakhir banyak bermunculan lahan sawit-sawit baru. Mulai banyak perusahaan dan masyarakat yang melanggar regulasi membuka lahan di lokasi gambut hingga membuat kerusakan. Secara langsung itu dapat merusak keragaman hayati, keanekaragaman hayati, ekosistem dan konflik,” jelas dia. Dinas Perkebunan Sumsel, mencatat perusahaan kelapa sawit di Sumsel sudah mencapai 1,2 juta ha. Hampir 59 persennya masih dikuasai oleh perusahaan sedangkan 41 persen izin diberikan ke petani plasma dan swadaya. Menurut mereka untuk pembukaan lahan baru, akan sulit diwujudkan jika melihat moratorium dan izin pembukaan lahan baru dibatasi. “Pemerintah sepakat jika peremajaan sawit adalah opsi bukan menambah lahan yang ada. Untuk itu perlu peremajaan untuk sawit rakyat,” jelas Kasi Lahan, Kebakaran, Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan, Dinas Perkebunan Sumsel, Herlan Kagami. Untuk mencapai target pengembangan biodiesel Sumsel dianggap masih tertatih dalam pengembangannya. Berapa perusahaan masih belum memiliki sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai standar sawit yang ramah. “Peremajaan harus ditujukan untuk meningkatkan produktifitas, sebab selama ini perkebunan sawit masyarakat banyak yang telah menua dan produktifitasnya semakin menurun,” tutup dia.

https://sumsel.tribunnews.com/2020/12/29/tantangan-untuk-menciptakan-energi-terbarukan-melalui-biodiesel-100?page=all

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *