Dukung Energi Hijau, Industri Biodiesel Bantu Ekonomi Negara
Rmco.id | Senin, 30 November 2020
Dukung Energi Hijau, Industri Biodiesel Bantu Ekonomi Negara
Industri biodiesel mendukung program energi hijau yang dicanangkan pemerintah melalui pencampuran biodiesel dengan bahan bakar fosil. Komitmen ketahanan energi ini merupakan dukungan bagi pemerintah yang sedang berjibaku menjaga stabilitas ekonomi bangsa. “Untuk mendukung program B30, saat ini program terbesar di dunia, produsen biodiesel telah merencanakan penambahan kapasitas produksi. Namun, pandemi Covid-19 mengakibatkan rencana penambahan produksi ditunda,” ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), MP Tumanggor, Senin (30/11). Tumanggor menjelaskan, penambahan kapasitas produksi mundur pelaksanaannya hingga tahun 2021 dan 2022 setelah adanya penyesuaian kondisi pandemi Covid-19. Pada 2020, direncanakan ada penambahan kapasitas produksi sebesar 3,6 juta Kilo Liter (KL) menjadi mundur ke 2021 3,4 juta KL. Menurutnya, kelanjutan program B30 di tahun 2020 dapat berjalan optimal dengan dukungan ketersediaan pasokan bahan baku dan kelancaran kegiatan transportasi logistik. Memang ada kendala tapi dapat teratasi dengan baik. Hal ini terlihat dari data APROBI bahwa produksi dari Januari sampai Oktober 2020 sebesar 7,197 juta KL. Dari jumlah ini, penyaluran domestik sebesar 7,076 juta KL dan ekspor sebesar 16.331 KL. Ketua Harian APROBI, Paulus Tjakrawan menyebutkan, implementasi B30 merupakan upaya memenuhi komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26 persen dari Business As Usual (BAU) pada 2020 dan pengurangan emisi 29 persen pada 2030. “Kontribusi B30 berdampak positif bagi pengurangan emisi gas rumah kaca, tahun ini diproyeksikan 26 juta ton CO2 ekuivalen, atau 68 persen dari target pengurangan emisi di sektor energi dan transportasi tahun 2020. Sedangkan untuk target pengurangan emisi 2030 pada sektor energi program biodiesel saat ini telah berkontribusi 8,82 persen,” imbuh Paulus. Dari aspek ekonomi, dikatakan Paulus, tenaga kerja sektor hulu yang terserap sebanyak 1,2 juta, penyerapan biodiesel di dalam negeri menjaga keseimbangan suplai dan permintaan kelapa sawit. Selain itu, harga Tandan Buah Segar (TBS) petani juga stabil mengikuti pergerakan harga CPO. “Tanpa didukung program B30, harga TBS petani bisa tertekan di tengah pelemahan ekonomi dunia,” ujarnya.
Selain itu, program hilirisasi sawit juga bergerak untuk meningkatkan nilai tambah. Dijelaskan Paulus, implementasi biodiesel mampu menggerakkan hilirisasi sawit sebagaimana arahan Presiden Jokowi. Kini, Indonesia tidak lagi dikenal sebagai pemain di sektor hulu melainkan sudah membangun kekuatan hilir. Paulus menyebutkan pencampuran biodiesel dengan solar mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional. Impor solar dapat terus berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelum B30 berjalan. Dampak positifnya adalah defisit neraca dagang dapat berkurang. Implementasi B30 membuat Indonesia menghemat devisa dari impor migas hingga 5 miliar dolar AS sekitar Rp 70 triliun. Saat ini, Kementerian ESDM berencana untuk dapat meningkatkan lagi pencampuran kadar biodiesel menjadi B40. Kegiatan penelitian uji coba seperti uji kinerja dan uji jalan yang akan di laksanakan pada 2021 mendatang. Biasanya, dari pengalaman lalu pada uji coba sebelumnya yang membutuhkan waktu sampai 7 hingga 9 bulan lamanya. Selain uji kinerja, dikatakan Paulus, pemerintah telah melakukan juga penyesuaian sementara HIP yaitu CPO + 85 Dolar/Ton. “Dengan harapan bahwa dengan program B40 mendatang dapat makin meningkatkan harga TBS sawit, sehingga hasil yang maksimal dapat dirasakan pula oleh petani sawit di seluruh Indonesia,” tambahnya. Sebagai informasi, program mandatori biodiesel di Indonesia pertama kali diimplementasikan pada tahun 2006 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5 persen. Lalu secara bertahap peningkatan kadar biodiesel mencapai hingga 7,5 persen pada 2010. Pada periode 2011-2015 campuran biodiesel ditingkatkan lagi dari 10 persen menjadi 15 persen, yang selanjutnya pada 1 Januari 2016, kembali kadar biodiesel ditingkatkan menjadi 20 persen (B20). Program mandatori B20 berjalan baik yang disertai pemberian insentif dari BPDPKS untuk sektor PSO. Pada 1 September 2018 pemberian insentif diperluas ke sektor non-PSO. Peningkatan pencampuran kadar biodiesel dengan bakan bakar minyak jenis solar kembali di laksanakan karena melihat tingkat keberhasilan dalam implementasi Program B20 sebelumnya yang sudah berjalan selaras dengan target pencampuran biodiesel yang tertuang pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Penerapan peningkatan pencampuran biodiesel sebesar 30 persen (B30) juga diharapkan dapat mengurangi laju impor BBM sehingga meningkatkan devisa negara. Program B30, walaupun sudah diresmikan pada bulan Desember 2019, tapi efektif baru dijalankan pada awal bulan Januari 2020. Agar program bodiesel di 2021 semakin lancar dan tidak ada hambatan di permulaan tahun 2021, maka produsen mengharapkan dukungan dari semua pihak termasuk percepatan keluarnya Peraturan.
Kontan.co.id | Senin, 30 November 2020
Industri biodiesel dukung energi hijau untuk topang ekonomi di tengah pandemic
Industri biodiesel mendukung program energi hijau yang dicanangkan pemerintah melalui pencampuran biodiesel dengan bahan bakar fosil. Komitmen ketahanan energi ini merupakan dukungan bagi pemerintah yang sedang berjibaku menjaga stabilitas ekonomi bangsa. “Untuk mendukung program B30, saat ini program terbesar di dunia, produsen biodiesel telah merencanakan penambahan kapasitas produksi. Namun, pandemi Covid-19 mengakibatkan rencana penambahan produksi ditunda,” ujar MP Tumanggor, Ketua Umum Asoasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) dalam keterangan resmi, Senin (30/11). Tumanggor menjelaskan penambahan kapasitas produksi mundur pelaksanaannya hingga tahun 2021 dan 2022 setelah adanya penyesuaian kondisi pandemi covid-19. Pada 2020, direncanakan ada penambahan kapasitas produksi sebesar 3,6 juta KL menjadi mundur ke tahun 2021 3,4 juta KL. Menurutnya kelanjutan program B30 di tahun 2020 dapat berjalan optimal dengan dukungan ketersediaan pasokan bahan baku dan kelancaran kegiatan transportasi logistik. Memang ada kendala tapi dapat teratasi dengan baik. Hal ini terlihat dari data Aprobi bahwa produksi dari Januari sampai Oktober 2020 sebesar 7,197 juta Kl. Dari jumlah ini, penyaluran domestik sebesar 7,076 juta Kl dan ekspor sebesar 16.331 Kl. Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Aprobi menyebutkan bahwa implementasi B30 merupakan upaya memenuhi komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% dari BAU (Business As Usual) pada 2020 dan pengurangan emisi 29% pada tahun 2030. “Kontribusi B30 berdampak positif bagi pengurangan emisi gas rumah kaca, tahun ini diproyeksikan 26 juta ton CO2 ekuivalen, atau 68% dari target pengurangan emisi di sektor energi dan transportasi tahun 2020. Sedangkan untuk target pengurangan emisi 2030 pada sektor energi program biodiesel saat ini telah berkontribusi 8,82%,” imbuh Paulus.
Dari aspek ekonomi, dikatakan Paulus, tenaga kerja sektor hulu yang terserap sebanyak 1,2 juta, penyerapan biodiesel di dalam negeri menjaga keseimbangan suplai dan permintaan kelapa sawit. Selain itu, harga TBS petani juga stabil mengikuti pergerakan harga CPO. “Tanpa didukung program B30, harga TBS petani bisa tertekan di tengah pelemahan ekonomi dunia,” ujarnya. Selain itu, program hilirisasi sawit juga bergerak untuk meningkatkan nilai tambah. Dijelaskan Paulus, implementasi biodiesel mampu menggerakkan hilirisasi sawit sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo. Kini, Indonesia tidak lagi dikenal sebagai pemain di sektor hulu melainkan sudah membangun kekuatan hilir. Paulus menyebutkan pencampuran biodiesel dengan solar mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional. Impor solar dapat terus berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelum B30 berjalan. Dampak positifnya adalah defisit neraca dagang dapat berkurang. Implementasi B30 membuat Indonesia menghemat devisa dari impor migas hingga US$ 5 miliar sekitar Rp 70 triliun (kurs Rp 14.000) Saat ini, Kementerian ESDM RI berencana untuk dapat meningkatkan lagi pencampuran kadar biodiesel menjadi B40. Kegiatan penelitian uji coba seperti uji kinerja dan uji jalan yang akan di laksanakan pada tahun 2021 mendatang. Biasanya, dari pengalaman lalu pada uji coba sebelumnya yang membutuhkan waktu sampai 7 hingga 9 bulan lamanya. Selain uji kinerja, dikatakan Paulus, pemerintah telah melakukan juga penyesuaian sementara HIP yaitu CPO + 85 Dollar/Ton. “Dengan harapan bahwa dengan program B40 mendatang dapat makin meningkatkan harga TBS sawit, sehingga hasil yang maksimal dapat dirasakan pula oleh petani sawit di seluruh Indonesia,” tambahnya. Sebagai informasi, program mandatori biodiesel di Indonesia pertama kali diimplementasikan pada tahun 2006 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5%. Lalu secara bertahap peningkatan kadar biodiesel mencapai hingga 7,5% pada tahun 2010. Pada periode 2011-2015 campuran biodiesel ditingkatkan lagi dari 10% menjadi 15%, yang selanjutnya pada tanggal 1 Januari 2016, kembali kadar biodiesel ditingkatkan menjadi 20% (B20). Program mandatori B20 berjalan baik yang disertai pemberian insentif dari BPDPKS untuk sektor PSO. Pada tanggal 1 September 2018 pemberian insentif diperluas ke sektor non-PSO. Peningkatan pencampuran kadar biodiesel dengan bakan bakar minyak jenis solar kembali di laksanakan karena melihat tingkat keberhasilan dalam implementasi Program B20 sebelumnya yang sudah berjalan selaras dengan target pencampuran biodiesel yang tertuang pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Penerapan peningkatan pencampuran biodiesel sebesar 30%(B30) juga diharapkan dapat mengurangi laju impor BBM sehingga meningkatkan devisa negara. Program B30, walaupun sudah diresmikan pada bulan Desember 2019, tapi efektif baru dijalankan pada awal bulan Januari 2020. Agar program bodiesel di tahun 2021 semakin lancar dan tidak ada hambatan di permulaan tahun 2021, maka produsen mengharapkan dukungan dari semua pihak termasuk percepatan keluarnya Peraturan.
Detik.com | Senin, 30 November 2020
Kapasitas Produksi Biodiesel Tambah 3,4 Juta KL Tahun Depan
Produsen biodiesel berencana menambah kapasitas produksi pada tahun ini. Namun, penambahan itu tertunda karena adanya pandemi COVID-19 sehingga baru dilakukan tahun depan. “Untuk mendukung program B30, saat ini program terbesar di dunia, produsen biodiesel telah merencanakan penambahan kapasitas produksi. Namun, pandemi COVID-19 mengakibatkan rencana penambahan produksi ditunda,” kata Ketua Umum Asoasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor dalam keterangannya, Senin (30/11/2020). Tumanggor menjelaskan penambahan kapasitas produksi mundur pelaksanaannya hingga tahun 2021 dan 2022 setelah adanya penyesuaian kondisi pandemi COVID-19. Pada 2020, direncanakan ada penambahan kapasitas produksi sebesar 3,6 juta KL menjadi mundur ke tahun 2021 sebesar 3,4 juta KL. Menurutnya kelanjutan program B30 di tahun 2020 dapat berjalan optimal dengan dukungan ketersediaan pasokan bahan baku dan kelancaran kegiatan transportasi logistik. Memang ada kendala tapi sudah teratasi. Hal tampak dari data Aprobi di mana produksi dari Januari sampai Oktober 2020 sebesar 7,197 juta KL. Dari jumlah ini, penyaluran domestik sebesar 7,076 juta KL dan ekspor sebesar 16.331 KL.
Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan, menyebut implementasi B30 mengurangi emisi gas rumah kaca. “Kontribusi B30 berdampak positif bagi pengurangan emisi gas rumah kaca, tahun ini diproyeksikan 26 juta ton CO2 ekuivalen, atau 68% dari target pengurangan emisi di sektor energi dan transportasi tahun 2020. Sedangkan untuk target pengurangan emisi 2030 pada sektor energi program biodiesel saat ini telah berkontribusi 8,82%,” imbuh Paulus. Dari aspek ekonomi, dikatakan Paulus, tenaga kerja sektor hulu yang terserap sebanyak 1,2 juta, penyerapan biodiesel di dalam negeri menjaga keseimbangan suplai dan permintaan kelapa sawit. Selain itu, harga TBS petani juga stabil mengikuti pergerakan harga CPO. “Tanpa didukung program B30, harga TBS petani bisa tertekan di tengah pelemahan ekonomi dunia,” ujarnya. Selain itu, implementasi B30 membuat Indonesia menghemat devisa dari impor migas hingga US$ 5 miliar sekitar Rp 70 triliun (kurs Rp 14.000).
Sindonews.com | Selasa, 1 Desember 2020
Dukung Energi Hijau, Produsen Biodiesel Terus Tingkatkan Kapasitas Produksi
Industri biodiesel mendukung program energi hijau yang dicanangkan pemerintah melalui pencampuran biodiesel dengan bahan bakar fosil. Komitmen ketahanan energi ini merupakan dukungan bagi pemerintah yang sedang berjibaku menjaga stabilitas ekonomi bangsa. “Untuk mendukung program B30, saat ini program terbesar di dunia, produsen biodiesel telah merencanakan penambahan kapasitas produksi. Namun, pandemi Covid-19 mengakibatkan rencana penambahan produksi ditunda,” ujar Ketua Umum Asoasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor di Jakarta, Senin (30/11/2020). Tumanggor menjelaskan penambahan kapasitas produksi mundur pelaksanaannya hingga tahun 2021 dan 2022 setelah adanya penyesuaian kondisi pandemi covid-19. Pada 2020, direncanakan ada penambahan kapasitas produksi sebesar 3,6 juta KL menjadi mundur ke tahun 2021 3,4 juta KL. Menurut dia, kelanjutan program B30 di tahun 2020 dapat berjalan optimal dengan dukungan ketersediaan pasokan bahan baku dan kelancaran kegiatan transportasi logistik. Memang ada kendala tapi dapat teratasi dengan baik. Hal ini terlihat dari data Aprobi bahwa produksi dari Januari sampai Oktober 2020 sebesar 7,197 juta Kl. Dari jumlah ini, penyaluran domestik sebesar 7,076 juta Kl dan ekspor sebesar 16.331 Kl. Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan menyebutkan bahwa implementasi B30 merupakan upaya memenuhi komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dari Business As Usual (BAU) pada 2020 dan pengurangan emisi 29% pada tahun 2030. “Kontribusi B30 berdampak positif bagi pengurangan emisi gas rumah kaca, tahun ini diproyeksikan 26 juta ton CO2 ekuivalen, atau 68 persen dari target pengurangan emisi di sektor energi dan transportasi tahun 2020. Sedangkan untuk target pengurangan emisi 2030 pada sektor energi program biodiesel saat ini telah berkontribusi 8,82%,” imbuh Paulus.
Dari aspek ekonomi, dikatakan Paulus, tenaga kerja sektor hulu yang terserap sebanyak 1,2 juta, penyerapan biodiesel di dalam negeri menjaga keseimbangan suplai dan permintaan kelapa sawit. Selain itu, harga TBS petani juga stabil mengikuti pergerakan harga CPO. “Tanpa didukung program B30, harga TBS petani bisa tertekan di tengah pelemahan ekonomi dunia,” ujarnya. Selain itu, program hilirisasi sawit juga bergerak untuk meningkatkan nilai tambah. Dijelaskan Paulus, implementasi biodiesel mampu menggerakkan hilirisasi sawit sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo. Kini, Indonesia tidak lagi dikenal sebagai pemain di sektor hulu melainkan sudah membangun kekuatan hilir. Paulus menyebutkan pencampuran biodiesel dengan solar mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional. Impor solar dapat terus berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelum B30 berjalan. Dampak positifnya adalah defisit neraca dagang dapat berkurang. Implementasi B30 membuat Indonesia menghemat devisa dari impor migas hingga USD 5 miliar sekitar Rp 70 triliun (kurs Rp 14.000). Saat ini, Kementerian ESDM RI berencana untuk dapat meningkatkan lagi pencampuran kadar biodiesel menjadi B40. Kegiatan penelitian uji coba seperti uji kinerja dan uji jalan yang akan di laksanakan pada tahun 2021 mendatang. Biasanya, dari pengalaman lalu pada uji coba sebelumnya yang membutuhkan waktu sampai 7 hingga 9 bulan lamanya. Selain uji kinerja, dikatakan Paulus, pemerintah telah melakukan juga penyesuaian sementara HIP yaitu CPO + 85 Dollar/Ton. “Dengan harapan bahwa dengan program B40 mendatang dapat makin meningkatkan harga TBS sawit, sehingga hasil yang maksimal dapat dirasakan pula oleh petani sawit di seluruh Indonesia,” tambahnya.
Sebagai informasi, program mandatori biodiesel di Indonesia pertama kali diimplementasikan pada tahun 2006 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5%. Lalu secara bertahap peningkatan kadar biodiesel mencapai hingga 7,5% pada tahun 2010. Pada periode 2011-2015 campuran biodiesel ditingkatkan lagi dari 10% menjadi 15%, yang selanjutnya pada tanggal 1 Januari 2016, kembali kadar biodiesel ditingkatkan menjadi 20% (B20). Program mandatori B20 berjalan baik yang disertai pemberian insentif dari BPDPKS untuk sektor PSO. Pada tanggal 1 September 2018 pemberian insentif diperluas ke sektor non-PSO. Peningkatan pencampuran kadar biodiesel dengan bakan bakar minyak jenis solar kembali di laksanakan karena melihat tingkat keberhasilan dalam implementasi Program B20 sebelumnya yang sudah berjalan selaras dengan target pencampuran biodiesel yang tertuang pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Penerapan peningkatan pencampuran biodiesel sebesar 30%( B30) juga diharapkan dapat mengurangi laju impor BBM sehingga meningkatkan devisa negara. Program B30, walaupun sudah diresmikan pada bulan Desember 2019, tapi efektif baru dijalankan pada awal bulan Januari 2020.
Liputan6.com | Senin, 30 November 2020
Di Tengah Pandemi, Industri Biodiesel Bantu Ekonomi Pulih
Industri biodiesel mendukung program energi hijau yang dicanangkan pemerintah melalui pencampuran biodiesel dengan bahan bakar fosil. Komitmen ketahanan energi ini merupakan dukungan bagi pemerintah yang sedang berjibaku menjaga stabilitas ekonomi bangsa. “Untuk mendukung program B30, saat ini program terbesar di dunia, produsen biodiesel telah merencanakan penambahan kapasitas produksi. Namun, pandemi Covid-19 mengakibatkan rencana penambahan produksi ditunda,” ujar MP Tumanggor, Ketua Umum Asoasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (30/11/2020). Tumanggor menjelaskan penambahan kapasitas produksi mundur pelaksanaannya hingga tahun 2021 dan 2022 setelah adanya penyesuaian kondisi pandemi covid-19. Pada 2020, direncanakan ada penambahan kapasitas produksi sebesar 3,6 juta KL menjadi mundur ke tahun 2021 3,4 juta KL. Menurutnya kelanjutan program B30 di tahun 2020 dapat berjalan optimal dengan dukungan ketersediaan pasokan bahan baku dan kelancaran kegiatan transportasi logistik. Memang ada kendala tapi dapat teratasi dengan baik. Hal ini terlihat dari data APROBI bahwa produksi dari Januari sampai Oktober 2020 sebesar 7,197 juta Kl. Dari jumlah ini, penyaluran domestik sebesar 7,076 juta Kl dan ekspor sebesar 16.331 Kl. Ketua Harian APROBI Paulus Tjakrawan menyebutkan bahwa implementasi B30 merupakan upaya memenuhi komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26 persen dari BAU (Business As Usual) pada 2020 dan pengurangan emisi 29 persen pada 2030. “Kontribusi B30 berdampak positif bagi pengurangan emisi gas rumah kaca, tahun ini diproyeksikan 26 juta ton CO2 ekuivalen, atau 68 persen dari target pengurangan emisi di sektor energi dan transportasi tahun 2020. Sedangkan untuk target pengurangan emisi 2030 pada sektor energi program biodiesel saat ini telah berkontribusi 8,82 persen,” imbuh Paulus. Dari aspek ekonomi, dikatakan Paulus, tenaga kerja sektor hulu yang terserap sebanyak 1,2 juta, penyerapan biodiesel di dalam negeri menjaga keseimbangan suplai dan permintaan kelapa sawit. Selain itu, harga TBS petani juga stabil mengikuti pergerakan harga CPO. “Tanpa didukung program B30, harga TBS petani bisa tertekan di tengah pelemahan ekonomi dunia,” ujarnya. Selain itu, program hilirisasi sawit juga bergerak untuk meningkatkan nilai tambah. Dijelaskan Paulus, implementasi biodiesel mampu menggerakkan hilirisasi sawit sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo. Kini, Indonesia tidak lagi dikenal sebagai pemain di sektor hulu melainkan sudah membangun kekuatan hilir. Paulus menyebutkan pencampuran biodiesel dengan solar mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional. Impor solar dapat terus berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelum B30 berjalan. Dampak positifnya adalah defisit neraca dagang dapat berkurang. Implementasi B30 membuat Indonesia menghemat devisa dari impor migas hingga USD 5 miliar sekitar Rp 70 triliun (kurs Rp 14.000) Saat ini, Kementerian ESDM RI berencana untuk dapat meningkatkan lagi pencampuran kadar biodiesel menjadi B40. Kegiatan penelitian uji coba seperti uji kinerja dan uji jalan yang akan di laksanakan pada tahun 2021 mendatang. Biasanya, dari pengalaman lalu pada uji coba sebelumnya yang membutuhkan waktu sampai 7 hingga 9 bulan lamanya. Selain uji kinerja, dikatakan Paulus, pemerintah telah melakukan juga penyesuaian sementara HIP yaitu CPO + 85 Dollar/Ton. “Dengan harapan bahwa dengan program B40 mendatang dapat makin meningkatkan harga TBS sawit, sehingga hasil yang maksimal dapat dirasakan pula oleh petani sawit di seluruh Indonesia,” tambahnya.
Mandatori Biodiesel
Sebagai informasi, program mandatori biodiesel di Indonesia pertama kali diimplementasikan pada tahun 2006 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5 persen. Lalu secara bertahap peningkatan kadar biodiesel mencapai hingga 7,5 persen pada tahun 2010. Pada periode 2011-2015 campuran biodiesel ditingkatkan lagi dari 10 persen menjadi 15 persen, yang selanjutnya pada tanggal 1 Januari 2016, kembali kadar biodiesel ditingkatkan menjadi 20 persen (B20). Program mandatori B20 berjalan baik yang disertai pemberian insentif dari BPDPKS untuk sektor PSO. Pada tanggal 1 September 2018 pemberian insentif diperluas ke sektor non-PSO. Peningkatan pencampuran kadar biodiesel dengan bakan bakar minyak jenis solar kembali di laksanakan karena melihat tingkat keberhasilan dalam implementasi Program B20 sebelumnya yang sudah berjalan selaras dengan target pencampuran biodiesel yang tertuang pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Penerapan peningkatan pencampuran biodiesel sebesar 30%(B30) juga diharapkan dapat mengurangi laju impor BBM sehingga meningkatkan devisa negara. Program B30, walaupun sudah diresmikan pada bulan Desember 2019, tapi efektif baru dijalankan pada awal bulan Januari 2020. Agar program bodiesel di tahun 2021 semakin lancar dan tidak ada hambatan di permulaan tahun 2021, maka produsen mengharapkan dukungan dari semua pihak termasuk percepatan keluarnya Peraturan.
BERITA BIOFUEL
Bisnis.com | Senin, 30 November 2020
Program B100, Kemenperin : Teknis Sudah Bisa, Tinggal Skala Ekonominya
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan akan mendorong hilirisasi industri minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) ke arah industri bahan bakar nabati. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo menargetkan adanya fasilitas produksi B100 atau 100 persen bahan bakar nabati di dalam negeri pada 2022. Adapun, saat ini penggunaan B100 telah dapat dilakukan secara teknis pada tahun ini, namun pemangku kepentingan masih meneliti agar produksi B100 memiliki skala ekonomi yang cukup. “Secara teknis sudah bisa, tapi masih menggunakan RBDPO. [RBDPO] ini kan harganya mahal, jadi Kemenperin bersama dengan pihak-pihak terkait mengembangkan bahan baku yang lebih murah yang disebut industrial vegetable oil (IVO) dan industrial lauric oil (ILO),” kata Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kemenperin Edi Sutopo kepada Bisnis, Senin (30/11/2020). RBDPO atau refined, bleached, deodorized, palm oil merupakan hasil paling akhir dari pemrosesan CPO. Secara umum, RBDPO merupakan bahan baku dalam produk oleopangan, seperti minyak goreng, margarin, shortening, dan sebagainya. Adapun B100 yang dimaksud Edi adalah green diesel yang biasa disebut D100. Sejauh ini, pembuatan D100 masih menggunakan RBDPO sebagai bahan baku utamanya. Di samping itu, IVO maupun ILO merupakan minyak nabati hasil pemrosesan tandan buah segar dengan proses yang lebih ramping. Dengan kata lain, harga IVO maupun ILO akan jauh lebih rendah dari RBDPO.
IVO dan ILO juga memiliki keleluasaan lebih dibandingkan RBDPO dari sisi tandan buah segar (TBS) yang dapat dijadikan bahan baku. Edi menyampaikan pembuatan IVO maupun ILO dapat menggunakan TBS yang sudah melebihi masa panen alias over ripped. “Kalau [TBS yang] diambil untuk food grade itu 20-23 persen yield-nya. [Karena perbuatan IVO/ILO] yang over ripped bisa diambil, [yield-nya] sampai 30 persen [per TBS],” ucapnya. Edi menyatakan saat ini telah dibangun pabrikan IVO/ILO uji coba di Pelalawan, Riau. Edi menyampaikan tujuan dari pabrik uji coba tersebut adalah menurunkan harga IVO/ILO agar tidak jauh berbeda dengan harga bahan bakar solar. Berdasar situs resmi Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), lembaga donor asal Amerika Serikat, Millenium Challenge Corporation, memberikan dana hibah senilai US$110 juta untuk pembangunan tiga pabrikan di Pelalawan. Adapun, ketiga pabrik tersebut akan dibangun di Kawasan Teknopolitan Pelalawan. Sejauh ini, Kabupaten Pelalawan telah menyiapkan lahan seluas 3.754 hektar untuk Kawasan Teknopolitan Pelalawan. Adapun, luas kebun sawit di Pelalawan mencapai 393.000 hektar, dengan 40 persen wilayah kebun tersebut dikelola oleh petani sawit swadaya. Edi optimistis pihaknya dapat mencapai target produksi B100 pada 2022. Pasalnya, menurutnya, saat ini pemangku kepentingan tinggal menurunkan biaya produksi agar mencapai skala keekonomian. “[Target] ini memang agak ambisius, tapi mudah-mudahan bisa karena secara teknis bisa. Kami lagi otak-atik ekonominya.”
Tirto.id | Senin, 30 November 2020
Program B100, Kemenperin : Harganya Lebih Mahal dari Solar, Tapi..
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan harga bahan bakar nabati murni pada 2023 masih akan lebih tinggi dari bahan bakar fosil. Namun, dampak dihasilkan oleh bahan bakar nabati dinilai akan lebih baik bagi perekonomian nasional. Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kemenperin Edi Sutopo mengatakan proyeksi tingginya harga bahan bakar nabati (BBN) murni berdasarkan selisih harga solar dan minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil/CPO) saat ini. Berdasar situs resmi Pertamina, rentang harga solar nonsubsidi Rp9.400-Rp9.800 per liter, sedangkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mendata harga CPO mencapai Rp11.685 per kilogram. “Meskipun [BBN] agak mahal, tapi untuk ketahanan supply ke depan dan lebih ramah lingkungan. [Selain itu,] sekarang neraca perdagangan migas sudah defisit sejak 2016. Ini [salah satu tujuannya] untuk mengurangi neraca dagang [migas],” ujarnya kepada Bisnis, Senin (30/11/2020). Kemenperin saat ini mencoba menurunkan biaya produksi BBN. Adapun, cara yang digunakan adalah mengubah bahan baku BBN ke produk yang hemat proses. RBDPO atau refined, deodorized, bleached palm oil merupakan hasil paling akhir dari pemrosesan CPO. Secara umum, RBDPO merupakan bahan baku dalam produk oleopangan, seperti minyak goreng, margarin, shortening, dan sebagainya.
Sementara itu, BBN yang dimaksud Edi adalah green diesel yang biasa disebut D100. Sejauh ini, pembuatan D100 masih menggunakan RBDPO sebagai bahan baku utamanya. Di samping itu, IVO maupun ILO merupakan minyak nabati hasil pemrosesan tandan buah segar dengan proses yang lebih ramping. Dengan kata lain, harga IVO maupun ILO akan jauh lebih rendah dari RBDPO. “Kalau [harga BBN] setara solar, susah. [Harga bahan bakar] fosil murah sekali, sedangkan [harga] CPO-nya mahal banget harganya. Paling tidak, perbedaanya tidak terlalu besar,” ucapnya. Edi menilai selisih yang dipersempit akan membuat BBN menjadi lebih atraktif. Pasalnya, menurutnya, penggunaan BBN membuat pemakaian kendaraan lebih ramah lingkungan. Edi menilai kendaraan yang menggunakan BBN sebagai bahan bakar akan memiliki standar Euro 4. Seperti diketahui, mayoritas kendaraan di dalam negeri masih memiliki standar Euro 2.
Mongabay.co.id | Senin, 30 November 2020
Studi LPEM Sebut Kebijakan Biodiesel Rawan Rugikan Keuangan Negara dan Lingkungan Hidup
Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, menyebutkan, kebijakan biodiesel punya risiko ekonomi dan lingkungan hidup serius. Kebijakan biodiesel ini lewat pencampuran solar dengan fatty acid methyl ester (FAME) yang bersumber minyak sawit untuk mengurangi konsumsi dan impor bahan bakar solar. Target bauran terus ditingkatkan sejak rilis 2006. Tahun ini campuran sampai 30%, biasa disebut B30. Ke depan naik jadi B40, B50 hingga B100. “Manfaat untuk penghematan impor solar belum bisa dikatakan signifikan. Kebijakan biodiesel membawa risiko fiskal dan lingkungan hidup,” kata Alin Halimatussadiah, Ketua LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, dalam diskusi pekan lalu. Kajian ini memetakan risiko ekonomi dan lingkungan hidup dari kebijakan biodiesel saat ini. Beberapa indikator mereka pakai yakni perhitungan neraca perdagangan dan potensi kehilangan ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit yang berdampak pada devisa negara. Kebijakan biodiesel saat ini memproyeksi, kalau permintaan CPO domestik meningkat, impor solar akan turun dan devisa akan bertambah. Sisi lain, kata Alin, Indonesia bisa kehilangan potensi ekspor yang justru menurunkan devisa. Studi ini dilakukan dengan tiga skenario rentang waktu hingga 2025. Pertama, skenario jika biodiesel turun menjadi B20. Kebijakan saat ini, masuk dalam skenario kedua, gunakan B30 hingga 2025. Skenario ketiga, dengan ambisi B50 hingga 2025. “Skenario berbeda memberikan dampak ekonomi berbeda,” katanya. Skenario ini kemudian untuk mencari tahu kapan Indonesia akan mengalami defisit CPO. Pada skenario pertama, kalau hanya gunakan B20, defisit akan terjadi pada 2025 sebesar 1,26 juta ton. Skenario kedua menemukan defisit pada 2023, 40 juta ton. Defisit paling cepat terjadi pada skenario ketiga, yakni tahun ini sekitar 108,63 juta ton. Dari angka ini, LPEM kemudian menghitung berapa penghematan impor solar. Menurut Alin, meskipun terjadi penghematan biaya impor, namun proporsi defisit neraca perdagangan berkisar antara 0,43-0,68% per tahun. Sedangkan proporsi penghematan terhadap defisit neraca berjalan (2015-2019) berkisar antara 0,09-0,18% per tahun. Dengan kata lain, katanya, penghematan bersih dari kebijakan biodiesel lebih rendah. “Selisih penghematan impor dengan potensi kehilangan ekspor, itulah yang menjadi devisa kita,” terangnya. Dengan kondisi sebelum ada pandemi COVID-19, studi menunjukkan potensi kehilangan ekspor lebih tinggi daripada penghematan impor. Hal lain yang disoroti kajian ini adalah mekanisme insentif biodiesel melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang diambil dari pungutan ekspor. Sejak 2015-2019, insentif biodiesel ke produsen biodiesel mencapai 61,8%. Saat itu pencampuran biodiesel antar 15-20%. Beberapa tahun terakhir pengeluaran insentif lebih tinggi karena campuran lebih tinggi dan ekspor berkurang. “Bahkan 2020, cashflow-nya lebih banyak yang dikeluarkan daripada diterima.” Meskipun dana ini bukan dari APBN, kata Alin, namun akhirnya bisa menimbulkan risiko bagi APBN. Tahun ini, pemerintah menyuntik Rp2,78 triliun untuk mendukung biodiesel. “Sebelumnya, tak ada intervensi APBN. Karena ini PSN (proyek strategis nasional), APBN menyuntik dana untuk ini. Pengelolaan BPDPKS akhirnya menimbulkan risiko fiskal,” katanya. Kajian ini juga membuat dua skenario untuk subsidi biodiesel. Ketika subsidi FAME per liter lebih besar dari subsidi solar, pemerintah perlu memberi insentif yang lebih besar kepada industri biodiesel, begitu juga sebaliknya.
Ekspansi lahan
LPEM juga menggarisbawahi risiko lingkungan hidup yang berpotensi muncul dari kebijakan ini. Risiko lingkungan berkaitan dengan ekspansi lahan terkait dengan tiga skenario saat CPO mulai defisit.Data Kementerian Pertanian 2019, luas lahan sawit produktif 13,3 juta hektar. Dengan asumsi tak ada peremajaan, perkiraan lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan biodiesel pada skenario pertama, adalah 30%. Untuk skenario dua dan tiga, masing-masing 39 dan 70%.Untuk skenario tiga, tahun ini bisa perlu 1,69 juta hektar ekspansi lahan untuk memenuhi kebutuhan B50. Tahun 2022, butuh 1,11 juta hektar lagi.“Itu hanya untuk memenuhi kebutuhan sampai 2025. Karena itu perlu ada mitigasi serius untuk menahan ekspansi lahan,” ujar Alin.
Dampak makro
Bagaimana dampak kebijakan biodiesel saat ini untuk ekonomi makro? Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan, melihat dari konsep opportunity cost atau manfaat yang dilewatkan karena memilih salah satu alternatif, kebijakan ini berdampak terhadap defisit neraca perdagangan. Menurut studinya, pendapatan ekspor yang hilang karena konsumsi biofuel mencapai Rp57,1 triliun. Pada 2018, sebesar Rp48,7 triliun. Sedangkan pendapatan ekspor hilang karena pemakaian biodiesel pada 2018 dan 2019 berturut-turut adalah Rp28,2 triliun dan Rp41,7 triliun. Devisa yang dapat dihemat dari impor solar pada 2019 mencapai Rp69 triliun dan Rp39,3 triliun pada 2018. “Devisa yang tidak dapat dihemat berupa biaya solar dalam biodiesel pada 2019, Rp55,3 triliun.” Dengan menghitung opportunity cost yang hilang karena tidak ekspor CPO dan biofuel, katanya, transaksi perdagangan pada 2019 mengalami defisit Rp85,2 triliun dan 2018, Rp72,1 triliun. Defisit transaksi perdagangan pada 2019 karena tak dapat mengekspor CPO adalah Rp43,4 triliun. “Tidak terjadi apa yang diharapkan. Tidak menghemat devisa justru kecenderungan menggerogoti devisa.” Dalam konteks global, katanya, ada kecenderungan konsumsi biofuel menurun dalam berbagai produk nabati, hingga 2029. Kalau Indonesia terus produksi banyak biofuel, pasar internasional akan makin menyusut. “Karena itulah dibutuhkan bumper. Pasar dalam negeri yang jadi sasaran. Jadi, dibikin jaring-jaring pengaman buat produsen biofuel yang cuma sedikit itu.” Kata Faisal, selain mengabaikan tren penurunan konsumsi biodiesel di Eropa dan Amerika Serikat hingga 2029, kebijakan ini juga tak mempertimbangkan teknologi permesinan dunia yang tak didesain untuk gunakan biodiesel. “Amerika Serikat dan Eropa adalah ujung tombak teknologi permesinan dunia.” Menurut Faisal, ancaman produsen besar dunia juga harus jadi pertimbangan karena Amerika dan Brazil merupakan produsen besar yang lebih baik keekonomiannya, hingga lebih efisien. Kedua negara ini juga tak terkena dampak renewable energy directive (RED II) yang mengklasifikasikan biodiesel berbasis CPO sebagai kategori tinggi dalam risiko perubahan penggunaan lahan tak langsung. Kendala lain, katanya lagi, penerapan produksi berkelanjutan mempengaruhi produksi CPO termasuk biodiesel karena permintaan negara maju menuntut CPO bebas deforestasi. Juga mensyaratkan sertifikasi keberlanjutan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel. Pilihan kebijakan pajak ekspor sebagai solusi utama maupun kedua, kata Faisal, juga tak dapat dibenarkan. Pajak ekspor mendistorsi perdagangan internasional. Banyak kesepakatan perdagangan regional maupun bilateral melarang ini. “Pajak ekspor hampir dipastikan tak akan efektif ketika perjanjian perdagangan bebas yang bersifat bilateral dan regional mulai berjalan efektif hingga mengikat Indonesia.”
Masukan
Faisal menyarankan, Indonesia bisa belajar dari Malaysia, yang mengurangi produksi CPO untuk menaikkan harga, bukan dengan pengenaan pajak ekspor. “Malaysia gunakan dana sawit bukan untuk biodiesel tapi mereka sadar, melindungi petani sawit skala kecil merupakam prioritas,” katanya. Era perubahan iklim membuat pajak ekspor CPO tidak akan efektif meningkatkan keuntungan konsumen CPO dan produsen biodiesel di Indonesia dalam jangka menengah dan panjang. Karena masih ada CPO ada risiko tinggi konversi lahan. “Pajak ekspor mengancam merusak kelestarian sumber daya alam,” katanya. Pajak ekspor ancam alam karena memberikan insentif untuk merusak lingkungan hidup sekaligus turunkan harga CPO. Produsen cenderung memilih cara produksi kian murah dengan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan pembangunan berdasarkan lingkungan hidup. Kondisi ini, katanya, tentu ancaman bagi pengembangan energi terbarukan lebih ramah lingkungan. Pajak ekspor menurunkan harga CPO dalam negeri hingga industri biodiesel diuntungkan dan mengurangi permintaan konsumsi dari sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan. “Jadi, kalau subsidi untuk sumber yang haus lahan, maka alternatif yang lebih baik akan dirugikan. Lebih mahal.” Sisi lain, kebijakan pengembangan biodiesel selalu lebih tinggi dari harga solar. Menurut dia, tidak akan efektif menghilangkan subsidi. Dengan begitu, kata Faisal, risiko fiskal bukan makin kecil tetapi tambah besar. Secara politik, mereka yang dapat manfaat ini akan melobi terus untuk mempertahankan kebijakan ini. Dia nilai, produsen biodiesel mampu beraksi memperanguhi proses politik. “Sudah dapat manfaat besar, akan lakukan lobi politik. Makin besar kapasitas pabrik makin besar pula subsidi yang diperoleh. Padahal, dengan skala ekonomi seharusnya biaya rerata menjadi lebih rendah hingga subsidi seharusnya menurun.” Dalam subsidi biodiesel ini, kata Faisal, kebijakan ada untuk menyelamatkan produsen CPO. “Orang kaya kita subsidi terus.” Faisal mengingatkan, era ekonomi baru bukan dengan merambah hutan, maupun merusak lingkungan hidup.
Emisi
Dari sisi emisi. Arkian Suryadarma, Juru Kampanye Greenpeace mengingatkan, biodiesel kurang tepat kalau untuk reduksi emisi. Belum lagi, pemerintah mendorong industri nikel dan baterai, sisi lain tetap menggenjot biofuel dengan campuran makin tinggi. Dia khawatirkan, akan ada aset hilang saat kebijakan kelak mengarah ke salah satunya, nikel atau biofuel. Ekspansi lahan, ujar Arkian, juga sangat berbahaya belum lagi bisa menimbulkan kompetisi lahan untuk energi dan pangan. “Ada juga beberapa perusahaan punya land banking yang belum digunakan. Kemungkinan besar untuk keperluan CPO dan B50,” katanya. Catatan Greenpeace, lima perusahaan yang mensuplai B30 mendapat dana BPDPKS, juga perusahaan yang melakukan deforestasi hingga menyebabkan kebakaran berulang dalam konsesi pada 2015-2019. Sanksi yang mereka dapat juga sangat minim. Ada yang sudah membayar denda, ada juga belum. “Ini sangat mengkhawatirkan.”
Kesempatan terbuang
Kebijakan biodiesel ini cenderung membuang potensi energi terbarukan yang melimpah. Potensi tenaga surya 207,9 gigawatt baru terpakai 0,9 gigawatt. Begitu juga tenaga angin, potensi 60,6 gigawatt, pemanfaatan baru 0,076 gigawatt. Lewat program pemulihan ekonomi nasional, katanya, merupakan momentum mengubah kebijakan ini.Greenpeace merekomendasikan, lahan yang tersedia harus teralokasi terutama untuk produksi makanan. Bila perlu, dengan pengurangan konsumsi daging dan susu atau reboisasi maupun restorasi ekosistem lain untuk memaksimalkan manfaat bersih emisi gas rumah kaca dan konservasi kekayaan hayati.Selain itu, produksi bioenergi yang tersedia tak boleh menimbulkan dampak negatif pada sumber daya alam dunia seperti hutan dan ekosistem alam lain termasuk keragamanhayati, kesuburan tanah dan sumber daya air.Produksi bioenergi, juga tak boleh menimbulkan dampak negatif pada mata pencaharian atau akses masyarakat ke makanan bergizi dan sehat.“Perampasam tanah dan air, konflik penggunaan lahan, dan konflik sosial lain harus dicegah. Tidak boleh merusak ketahanan pangan, kebutuhan lokal harus diutamakan, seefisien mungkin sumber daya, dan menghasilkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang signifikan dibanding dengan sistem energi fosil.”Produksi biofuel, katanya, sebaiknya dari biomassa yang tersedia secara regional dan memenuhi kebutuhan energi regional untuk menutup siklus dan mengurangi emisi CO2.“Gunakan krisis ini untuk berubah. Indonesia harus mampu membajak momentum krisis ekonomi dan program PEN untuk reorientasi pembangunan yang memiliki koneksi antara manusia, lingkungan hidup dan ekonomi.”Caranya, dengan reindustrialisasi berkelanjutan dan hijau, fokus pada industri yang punya nilai tambah tinggi dan ramah lingkungan. Juga, pengembangan usaha mikro dan kecil untuk memberdayakan inklusif tenaga kerja Indonesia dan penguatan ekonomi berbasis desa, komunal, dan masyarakat adat.
Investor Daily Indonesia | Selasa, 1 Desember 2020
Cegah Kerugian Proyek Kilang, Pertamina Integrasikan Pabrik Petrokimia
PT Pertamina (Persero) akan mengintegrasikan proyek kilang bahan bakar minyak (BBM) dengan pabrik petrokimia. Hal ini dilakukan agar proyek tetap ekonomis, mengingat margin bisnis pengolahan BBM tergerus akibat jatuhnya harga minyak mentah. Senior Vice President Corporate Strategic Growth Pertamina Daniel Purba mengatakan, jatuhnya harga minyak membuat crack spread kilang diproyeksikan masih cukup rendah dalam dua tahun ke depan di masa pemulihan pasca pandemi Covid-19. Crack spread yakni selisih antara harga produk jadi (BBM) dan harga minyak mentah. Semakin rendah selisih harga, maka marjin yang diperoleh dari proyek kilang semakin kecil. Kondisi ini berdampak pada minat investor terhadap proyek kilang global. “Ini menjadi tantangan saat ini dan ke depan, dengan rendahnya crack spread ini. Crack spread makin kecil berpengaruh pada pembangunan kilang di dunia,” kata dia dalam diskusi daring di Jakarta, Senin (30/11). Diakuinya, kondisi tersebut berdampak pada proyek-proyek kilang perseroan, baik proyek perbaikan dan peningkatan kapasitas kilang eksisting (upgrading) maupun pembangunan kilang baru. Namun, sebagai BUMN, Pertamina tetap harus menyediakan BBM di seluruh Indonesia. Karenanya, pihaknya menyiapkan strategis untuk membuat proyek kilang perseroan tetap menguntungkan. Perseroan, lanjut Daniel, akan mengintegrasikan seluruh proyek kilang dengan pabrik petromiki-mia. Sehingga, produksi kilang Pertamina tidak lagi dominan BBM. “Saat ini tren dalam pembangunan kilang tidak hanya untuk BBM, namun juga petrokimia, sehingga value added yang didapatkan bisa men-justified investasi yang dilakukan,” jelas dia. Proyek kilang Pertamina yang diintegrasikan dengan pabrik petrokimian diantaranya adalah Kilang Tuban. Proyek kilang di Jawa Timur ini direncanakan memproduksi produk-produk petrokimia,yakni polipropilen 1,3 juta ton per tahun, polietilen 0,65 juta ton per tahun, stirena 0,5 juta ton per tahun dan paraksilen 1,3 juta ton per tahun. Pertamina juga sempat merencanakan Proyek Kilang Bontang terintegrasi petrokimia. Namun, proyek kilang ini kemudian ditunda. Selain itu, Pertamina telah menandatangani frame work agreement dengan China Petroleum Corporation (CPC) Taiwan membangun komplek petrokimia di Balongan, Jawa Barat senilai US$ 6,49 miliar. Fasilitas yang dibangun yakni pabrik naphta cracker dan unit pengembangan sektor hilir petrokimia berskala global di Indonesia. Proyek akan dikerjakan dengan skema joint venture antara Pertamina, CPC Taiwan, dan beberapa mitra hilir potensial lainnya. Pabrik naphtha cracker diharapkan akan memproduksi paling sedikit 1 juta ton ethylene per tahun. Selain itu, keduanya juga akan membangun unit hilir yang akan memproduksi produk turunan kilang lainya untuk memenuhi kebutuhan industri di Indonesia. Sementara untuk kilang yang telah beroperasi, jelasnya, perseroan perlu mengupayakan optimasi marjin dan jenis produk. Strategi ini dilakukan dengan mengendalikan tingkat produksi kilang untuk mitigasi akses produk kilang. Kemudian kilang beroperasi dengan mode gasoline (bensin) guna mengurangi impor produk tersebut dan juga avtur. Pertamina menurunkan level stok minyak mentah domestik. “Kemudian memilih minyak mentah impor dan domestik yang dapat mengoptimalkan marjin dan menggunakan teknologi untuk meningkatkan efektivitas program optimal,” tambah Daniel.
Masih Diminati
Dalam menggarap seluruh proyek kilangnya, Pertamina membuka peluang kerja sama dengan perusahaan lain. Menurut Daniel, proses pencarian mitra ini terus bergulir. Namun, pihaknya optimis proyek kilang perseroan tetap akan menarik bagi investor. “Dalam mencari mitra, cukup banyak yang berminat karena pasar yang cukup besar untuk energi dengan penduduk Indonesia yang cukup besar,” ujar dia. Pertamina saat ini menggarap upgrading lima kilang miliknya, yakni Kilang Dumai, Plaju, Balikpapan, Balongan, dan Cilacap. Selain itu, perseroan juga membangun satu unit kilang baru berkapasitas 300 ribu barel per hari (bph) di Tuban, Jawa Timur dan proyek kilang hijau atau green refinery di Komplek Kilang Plaju. Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina Kilang Internasional Ignatius Tallulembang menuturkan, perseroan membutuhkan mitra dalam merampungkan seluruh proyek kilangnya. Pasalnya, total kebutuhan investasi proyek kilang ini mencapai sekitar US$ 48-50 miliar. “Ini kalau menggunakan dana Pertamina sendiri, tentu tidak sanggup. Sehingga, dalam membangun kilang, Pertamina sangat butuh partner. Karena selain share pendanaan, bisa share risiko,” kata dia. Tallulembang menjelaskan, dalam kemitraan, perusahaan juga akan tetap mengucurkan kas. Namun, pembiayaan proyek kilang juga akan ditanggung oleh mitra. Pertamina membuka dua skema kemitraan, yakni mitra strategis (strategic investor) dan finansial (financial investor). Mitra strategis biasanya adalah perusahaan migas ternama dan pernah membangun kilang, serta akan terlibat dalam pengerjaan proyek dan pemasaran produk. Selanjutnya, mitra finansial biasanya hanya terlibat untuk pendanaan saja. Setelah seluruh proyek kilang rampung, kapasitas kilang perseroan akan naik dari 1 juta bph menjadi 1,8 juta bph. Selanjutnya, produksi BBM akan meningkat dari 700 ribu bph menjadi 1,5 juta bph dan produk petrokimia dari 44 ribu bph menjadi 258 ribu bph. Peningkatan produksi BBM dari kilang Pertamina dan program biodiesel 30% (B30) membuat Indonesia tak lagi impor BBM pada 2026.