Bioetanol Bisa Jadi Bahan Bakar, Kapan RI Mau Ngembangin?

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

CNBCIndonesia.com | Rabu, 3 Agustus 2022

Bioetanol Bisa Jadi Bahan Bakar, Kapan RI Mau Ngembangin?

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan pengembangan bioetanol di Indonesia masih menemui sejumlah tantangan. Salah satunya yakni mengenai jaminan ketersediaan bahan baku. Padahal jika ditarik lebih jauh, pemanfaatan bioethanol dalam bauran energi bersih bisa menjadi salah satu opsi untuk mengurangi emisi karbon di transportasi. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan untuk pengembangan bioethanol sendiri belum dapat dijamin keberlanjutan pasokannya. Mengingat, tetes tebu yang merupakan bahan baku produksi bioethanol juga dimanfaatkan untuk kebutuhan industri lain. Meski begitu, saat ini pihaknya mencoba menjalin komunikasi dengan dua pabrik di Jawa Timur yakni di Malang dan Mojokerto terkait pengembangan bioethanol. “Kita bahan bakunya gak bisa dijamin, kalau dari sisi hilir Kementerian ESDM hanya tahu setelah jadi bahan bakar, kalau urusan hulu kita gak bangun pabrik kebun sawit. Kalau sekarang belum cukup kalau diolah nanti ribut pasti, ini mengganggu untuk keperluan yang lain, tetes tebu,” kata dia saat ditemui di Kementerian ESDM, Selasa (2/8/2022). Lebih lanjut, Dadan menilai pemakaian bioethanol sebagai bahan bakar untuk saat ini cukup tepat. Pasalnya harga keekonomiannya sudah biasa bersaing dengan bahan bakar fosil yang saat ini cukup tinggi. “Bioetanol secara keekonomian masuk. Nanti ke depannya Menteri berkunjung ke Jawa Tengah, ada demo plan mengolah sawit jadi bensin secara teknologi udah bisa dikuasai mudah-mudahan ini nanti bisa keekonomiannya masuk,” katanya. Seperti diketahui, ketergantungan Indonesia terhadap minyak saat ini masih cukup tinggi. Meski begitu, pemerintah akan berupaya menurunkan bauran energi minyak bumi. Salah satunya dengan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti bioethanol yang potensi pengembangannya besar dan produktivitasnya tinggi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja melaksanakan uji jalan bahan bakar campuran solar dengan minyak nabati B40 pada kendaraan penumpang dan niaga. Dadan mengatakan uji jalan implementasi B40 ini berlangsung selama 3 bulan. Sehingga selesai pada bulan Desember nanti. Hanya saja dia belum berani memastikan kapan implementasi B40 ini dilakukan “Ya nunggu hasilnya ini dulu, kebijakan itu dilihat keteknikan dulu, lalu keperluan administrasi legal, sekarang ini baru sisi teknis,” kata Dadan kepada wartawan usai peluncuran uji jalan B40, Rabu (27/7/2022). Kementerian ESDM menggandeng, BPDPKS, BRIN, Gaikindo, hingga Aprobi untuk melakukan uji jalan ini. Di mana dipersiapkan 12 unit mobil yang diantaranya 6 mobil penumpang bermesin diesel seperti Kijang Innova, Mitsubishi Triton, hingga Hyundai Tucson. Sementara untuk mobil niaga disiapkan berbagai jenis truk seperti Fuso, Hino, hingga Elf. Adapun untuk jarak tempuh yang dilakukan mencapai 50.000 kilometer dengan target 560 kilometer per hari melewati Subang, Cipali, Tegal, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, hingga Tegal dan kembali lagi untuk mobil yang memiliki bobot kurang dari 3,5 ton. Sementara untuk mobil yang dengan bobot lebih dari 3,5 ton akan menempuh jarak hingga 40.000 kilometer, yang melewati Cikampek, Bandung, Subang, Cipali, hingga Cirebon. Tidak hanya kendaraan yang minum bahan bakar B40, dalam uji coba ini Kementerian ESDM juga mencobakan bahan bakar B30D10 atau bahan bakar yang dicampurkan minyak nabati sebanyak 30%, ditambah diesel biohidrokarbon.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20220803174912-4-360887/bioetanol-bisa-jadi-bahan-bakar-kapan-ri-mau-ngembangin

 

BERITA BIOFUEL

 

Kumparan.com | Rabu, 3 Agustus 2022

Kementan Klaim Temukan Teknologi B100, Investasi Hanya Rp 1,4 M

Kementerian Pertanian (Kementan) mengaku berhasil menemukan teknologi yang bisa memproduksi biodiesel 100 persen atau B100 dengan teknologi. Adapun investasinya disebut hanya Rp 1,4 miliar. Dirjen Tanaman Pangan Kementan Suwandi mengatakan temuan tersebut adalah hasil riset balai litbang Kementan di Paringkuda Sukabumi. “Beberapa waktu lalu litbang kita, balai litbang di Paringkuda Sukabumi dikenalkan teknologi pengolahan CPO menjadi biodiesel. Bukan B30, B35 yang selama ini, tapi B100,” kata Suwandi pada webinar bertajuk Prospek Pemulihan Ekonomi Indonesia di Tengah Perubahan Geopolitik Pascapandemi, Rabu (3/8). “Itu alat-alatnya atau investasinya sekitar Rp 1,4 miliar. Itu bisa menghasilkan per hari 8 ton,” imbuh dia. Suwandi mengatakan, dari produksi harian mencapai 8 ton tersebut, jika dihitung BEP-nya, maka bisa menjualnya dengan harga Rp 11.500 per liter. “Ini masih kompetitif dibanding Pertamina Dex itu kan 16.000. Artinya sekarang ini kompetitif sekali. Peluang yang bagus ini kita membuka investor, ini perlu,” ujar dia. Suwandi mengatakan B100 tersebut sudah dilakukan test drive pada kendaraan mobil dan traktor. Dia mengatakan, temuan tersebut bisa menjadi pengganti solar. “Itu cukup dari CPO, langsung ada (nilai investasi) Rp 1,4 miliar (berupa) mesin diolah langsung jadi biodiesel pengganti solar,” pungkasnya.

https://kumparan.com/kumparanbisnis/kementan-klaim-temukan-teknologi-b100-investasi-hanya-rp-1-4-m-1yagDJnRQiv/full

 

Katadata.co.id | Rabu, 3 Agustus 2022

ESDM Luncurkan Bioetanol 2,5% Tahun Ini, Mampu Tingkatkan Oktan Bensin

Kementerian ESDM akan segera meluncurkan bahan bakar nabati (BBN) bioetanol dengan komposisi bauran 2,5% tetes tebu dan 97,5% bensin. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana, mengatakan campuran tetes tebu bisa meningkatkan kadar oktan atau kualitas bensin. “(Tahun ini) tinggal nyampur doang, kajiannya sudah. Kalau Pertamina sudah siap dari tangkinya, sudah bisa jalan,” kata Dadan di Kantor Kementerian ESDM pada Selasa (2/8). Dadan mengaku pengembangan bioetanol lebih sulit daripada pengembangan biodiesel yang saat ini sudah mencapai B40. Alasan utamanya yakni belum tersedianya suplai bahan baku tetes tebu untuk menjamin keberlanjutan pasokan. Tetes tebu, kata Dadan, saat ini masih digunakan sebagai bahan baku di industri pemanis dan menjadi komoditas ekspor. “Bahan bakunya tidak bisa dijamin karena jumlahnya gak banyak. Dia juga dibutuhkan di industri lain dan jadi komoditas ekspor juga. Kalau dipakai berlebih, bakal mengganggu untuk keperluan yang lain,” ujarnya. Walau begitu, pihaknya tetap mengupayakan agar pemanfaatan bioetanol bisa diwujudkan. Dadan mengatakan saat ini Kementerian ESDM telah menjalin komunikasi dengan dua pabrik bioetanol di daerah Malang dan Mojokerto. “Kita ingin supaya tidak hanya solar saja yang ada campurannya, tapi bensin juga ada. Semoga nanti keekonomiannya bisa masuk,” harap Dadan. Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal EBTKE, Edi Wibowo, menyampaikan bahwa pabrik bioetanol yang berlokasi di Malang memiliki kapasitas produksi tahunan sejumlah 10.000 kilo liter (kl). Sementara pabrik yang terletak di Mojokerto mampu memproduksi bioetanol hingga 30.000 kl per tahun. “Pabrik di Malang mereka produksi untuk industrial grade (suplai Industri). Sementara untuk fuel grade (bahan bakar kendaraan) untuk keperluan sendiri atau sesuai permintaan. karena suplai etanolnya juga terbatas, jadi belum bisa diimplementasikan secara nasional,” jelas Edi. Adapun bioetanol bisa digunakan pada moda transportasi darat berbahan bakar gasoline atau bensin. Edi menambahkan, saat ini ada dua lembaga yang fokus pada pengembangan bioetanol. Yakni Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati. “Bioetanol bisa dicampur untuk bensin RON berapa saja,” ujar Edi. Pengembangan bioetanol diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Di sana, diatur penggunaan bioethanol E5 pada 2020 dan secara bertahap meningkat ke E20 pada 2025. Namun dalam perjalanannya, rencana tersebut menghadapi kendala. Pemerintah akhirnya menurunkan kandungan etanol menjadi 2%. Setelah serangkaian uji coba dilakukan termasuk dengan Pertamina, penerapan E2 pun masih jauh dari harapan karena terkendala ongkos produksi yang masih tinggi, sehingga kehadiran etanol dinilai kurang kompetitif sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan.

https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/62ea1bd968552/esdm-luncurkan-bioetanol-2-5-tahun-ini-mampu-tingkatkan-oktan-bensin

Wartaekonomi.co.id | Rabu, 3 Agustus 2022

Industri Sawit Menjadi Bagian dari Solusi Krisis Energi Dunia

Industri sawit dapat menjadi bagian dari solusi krisis energi dunia. Kenaikan harga-harga energi fosil dunia khususnya sejak awal tahun 2021, telah mendorong kenaikan biaya produksi dan distribusi barang global yang memperburuk dampak resesi ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan alternatif energi yang dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil baik di level lokal, nasional, dan global. “Industri sawit berkontribusi pada penyediaan energi terbarukan (renewable energy) bagi masyarakat dunia. Tiga generasi energi terbarukan berbasis sawit ditawarkan industri sawit untuk masyarakat dunia,” catat laporan PASPI. Renewable energy Generasi Pertama yakni pengolahan minyak sawit untuk menghasilkan biodiesel/FAME (Fatty Acid Methyl Ester), green diesel, green gasoline, dan green avtur. Renewable energy Generasi Kedua yakni pemanfaatan biomassa sawit untuk menghasilkan energi seperti bioethanol, biopellet, briket arang, biocoal, biogas, dan biolistrik.  Sementara itu, renewable energy Generasi Ketiga yakni pemanfaatan limbah padat dan cair untuk menghasilkan energi seperti biogas (dari methane capture palm oil mill effluent/POME), biodiesel algae (pemanfaatan limbah cair CPO mill untuk kolam algae), dan pemanfaaatan Spent Bleaching Earth (SBE) dari refinery untuk energi. Laporan PASPI mencatat secara internasional, renewable energy berbasis sawit sudah banyak digunakan di berbagai negara seperti biodiesel/FAME dan bio-coal. Produk renewable energy generasi pertama lainnya yaitu green fuel sawit (green diesel, green gasoline, dan green avtur) sedang dikembangkan di Indonesia. Sementara itu, produk renewable energy generasi kedua dan generasi ketiga (biogas) sudah digunakan pada tingkat lokal. Tidak hanya itu, laporan PASPI juga mencatat pada industri biodiesel global, minyak sawit memiliki peran penting dalam industri biodiesel global. Volume penggunaan minyak sawit pada industri biodiesel dunia meningkat dari 3,9 juta ton tahun 2011 menjadi 15,2 juta ton pada tahun 2021.

https://wartaekonomi.co.id/read434018/industri-sawit-menjadi-bagian-dari-solusi-krisis-energi-dunia

Bisnis.com | Rabu, 3 Agustus 2022

Siap-siap, Kuota Biosolar di Riau Bakal Habis November 2022

Pertamina mencatat konsumsi bahan bakar bersubsidi biosolar mengalami kenaikan pada 2 bulan terakhir yaitu Juni dan Juli 2022 lalu. Akibatnya kuota biosolar yang sudah ditetapkan untuk Riau tahun ini diprediksi akan habis pada November mendatang. Section Head Communication and Relation Pertamina Patra Niaga Sumatra Bagian Utara Agustiawan menjelaskan pada dua bulan terakhir, angka konsumsi biosolar melonjak ke posisi 2.800 kiloliter (KL) per hari. “Konsumsi biosolar di Riau dalam dua bulan terakhir naik signifikan, data kami mencatat Juni 2022 rata-rata penyaluran di angka 2.800 KL kemudian pada Juli 2022 turun tipis ke 2.700 KL. Sedangkan dari penetapan pemerintah untuk penyaluran Riau hanya sebesar 2.200 KL perhari,” ujarnya, Rabu (3/8/2022). Apabila angka konsumsi biosolar ini tidak diatur, diperkirakan kuota biosolar yang sudah ditetapkan untuk Riau akan habis pada November 2022 mendatang. Jika kondisi ini terjadi, tentu akan menjadi masalah yang memberatkan masyarakat. Guna mengantisipasi hal itu, Pertamina Patra Niaga bersama Hiswana Migas sebagai pengelola SPBU melakukan penataan ulang distribusi BBM subsidi biosolar ke masyarakat. Mulai Agustus 2022, pihaknya menetapkan jumlah penyaluran biosolar untuk Riau sebesar 2.400 KL perhari, atau masih lebih tinggi dari penetapan pemerintah namun lebih rendah dari penyaluran dua bulan terakhir di Riau. Memang ada konsekuensi dari kebijakan itu, yakni mulai nampak antrean panjang kendaraan di sejumlah SPBU di Kota Pekanbaru, khususnya antrean pembelian BBM biosolar oleh mobil pribadi, truk, hingga bus. Meski demikian dengan upaya penataan distribusi dan penyaluran ini diharapkan kuota BBM subsidi biosolar di Riau bisa terjaga dan tetap tersedia sampai akhir tahun ini. Kemudian pihaknya juga mendorong masyarakat pemilik kendaraan roda empat untuk segera mendaftarkan identitas diri dan kendaraan ke laman website subsiditepat mypertamina.id. “Karena kedepan sesuai arahan pemerintah dalam hal pengendalian distribusi BBM bersubsidi, Pertamina akan menerapkan sistem pembelian dengan memanfaatkan perkembangan teknologi digital yaitu QR Code. Namun pembeli tidak harus memiliki smartphone, cukup mendaftarkan diri dan kendaraan kemudian akan mendapatkan kode yang dikirim ke email pendaftar, lalu bisa dicetak kode tersebut untuk kebutuhan transaksi BBM bersubsidi.” Adapun sebelumnya Gubernur Riau Syamsuar telah menyampaikan surat usulan penambahan kuota jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) tertentu Biosolar Tahun 2022 sebesar 884.590 KL kepada Badan Pengatur Hilir Minyak Bumi dan Gas (BPH Migas), dengan nomor surat 541/DESDM-02/765. Pengiriman penyampaian surat usulan penambahan kuota ini berkenaan dengan adanya kelangkaan jenis BBM tertentu Biosolar di Provinsi Riau dan merujuk pada Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran bahan bakar minyak. Selanjutnya Surat Kepala BPH Migas nomor T-273/MG.05/BPH/2020 tanggal 31 Januari perihal penyampaian kuota jenis bahan bakar minyak tertentu tahun 2022. Data Pertamina mencatat kuota biosolar untuk Riau tahun ini sebesar 794.787 KL, dan diharapkan dengan adanya pengajuan surat gubernur Riau, kuota itu dapat ditambah menjadi 884.590 KL.

https://sumatra.bisnis.com/read/20220803/534/1562661/siap-siap-kuota-biosolar-di-riau-bakal-habis-november-2022