Harga Biodiesel di Eropa Mahal Tetap Dibeli Demi Jaga Kesehatan dan Lingkungan

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Bensinkita.com | Senin, 9 November 2020

Harga Biodiesel di Eropa Mahal Tetap Dibeli Demi Jaga Kesehatan dan Lingkungan

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Parulian Tumanggor, mengatakan, di Eropa harga biodiesel lebih mahal dari Indoneia, yakni  mencapai Rp 15 ribu per liter. Meski mahal, warga Eropa tetap membeli green energy demi menjaga kesehatan dan lingkungan. Namun, kata Tumanggor, kesadaran semacam itu belum terbangun di Indonesia karena umumnya belum memikirkan dampak buruk polusi udara terhadap kesehatan dan kerusakan lingkungan. Untuk itu, Tumanggor sangat mengapresiasi peran Presiden Joko Widodo dalam pengembangan biodiesel dengan mencanangkan produksi B30, B40, hingga B100. Menurut Tumanggor, penggunaan biodiesel penting dilakukan karena Indonesia kini telah menjadi negara net importir minyak mentah. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan melimpah berupa CPO yang dapat diolah menjadi bahan bakar nabatai yang ramah lingkungan. “Kita harus bersyukur menjadi produsen CPO terbesar di dunia, karena tidak semua negara bisa menanam sawit, sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan kemudian, cinta penggunaan BBN juga makin diketatkan,” ujar Tumanggor. Disebutkan, Aprobi saat ini memiliki 19 perusahaan anggota yang membeli membeli CPO untuk diproduksi menjadi unsur nabati FAME (fatty acid methyl ester) yang kemudian dicampurkan dengan solar. Produk akhir ini dikirimkan ke stasiun bahan bakar yang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM dan PT Pertamina. Terkait insentif yang didapatkan Aprobi, Tumanggor mengatakan dana tersebut bukan dari APBN, tetapi dari BPDPKS yang dihimpun dari dana para eksportir sawit. Namun, lanjut Tumanggor, pengembangan biodiesel di Indonesia masih perlu diperkuat lagi dan memerlukan dukungan dari masyakat serta kerja sinergis multipihak guna mencari solusi soal penentun nila keekonomiannya. “Masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik,” kata Tumanggor.

https://bensinkita.com/harga-biodiesel-di-eropa-mahal-tetap-dibeli-demi-jaga-kesehatan-dan-lingkungan/

BERITA BIOFUEL

Tagar.id | Senin, 9 November 2020

Konversi BBM ke Energi Bersih, APBN Bisa Hemat Rp 300 Triliun

Peneliti Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman menilai pemerintah yang menggalakkan penggunaan energi bersih terbarukan dalam transportasi merupakan keputusan tepat. Sebab, upaya tersebut bisa menghemat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan APBN. “Ini belum ditotal keseluruhan, kalau kemarin kan sudah kelihatan penghematan penggunaan B20, pokoknya gede itu penghematannya. Penggunaan minyak diesel saja bisa menghemat Rp 110 triliun APBN, karena penggunaa B20 sudah 6 juta kiloliter,” kata Ferdy saat dihubungi Tagar, Minggu, 8 November 2020. Terlebih, kata Ferdy, saat ini penggunaan B30 ditingkatkan menjadi 9,5 juta Kiloliter. Dengan demikian diharapkan penghematannya bisa mencapai Rp 200 triliun dengan penggunaan biodiesel. “Jadi itu baru dari biodiesel saja belum yang lain-lain, karena kita belum ada hitungannya ya, itu baru dari satu sisi saja, kita sudah hemat kok,” ucap pengamat energi itu.  Sementara dari yang lain, kata dia, seperti dari tenaga uap, tenaga surya, tenaga angin lebih murah.Nantinya bisa menghemat APBN mencapai Rp 300 triliun jika direalisasikan semua. “Itu belum penghematan dari yang lain-lain. Jadi lumayan menghemat, karena harganya murah, potensinya besar, dan ada daerah yang potensi energi baru terbarukannya besar salah satunya NTT,” ujar Ferdy. Sebagai informasi, pemerintah terus menggalakkan penggunaan energi bersih terbarukan. Sebab, energi bersih terbarukan dinilai lebih ramah lingkugan dan bisa mengurangi dampak kerusakan lingkungan.

https://www.tagar.id/konversi-bbm-ke-energi-bersih-apbn-bisa-hemat-rp-300-triliun

Borneo24.com | Senin, 9 November 2020

Setiap Desa di PPU Bakal Dibangun Pertashop, Apa itu?

Setiap desa di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur bakal bangun Pertashop atau Pertamina Shop. Pembangunan tersebut akan memilih yang jaraknya jauh dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Penjam Paser Utara Usep Supriyatna mengatakan, pada tahun ini pembangunan Pertashop desa baru sebatas sosialisasi, dan akan dilanjutkan pada tahun 2021. “Kami mulai sosialisasikan rencana pembangunan petrashop di desa untuk mudahkan warga dapatkan bahan bakar minyak,” katanya, Senin (9/11). “Pembangunan Petrashop itu mulai digagas pada tahun ini, khususnya untuk wilayah perdesaan yang jauh dari lokasi SPBU,” imbuhnya. Nantinya, jenis BBM yang dijual di Pertashop kelasnya berbeda dengan yang di SPBU. Untuk BBM jenis pertalite dan pertamax menggunakan RON92. Adapun BBM jenis solar atau dexlite menggunakan HSE sehingga memudahkan masyarakat untuk mendapatkan BBM. Jika terealisasi, Pertashop di setiap resa dikelola oleh masing-masing badan usaha milik desa (BUMDes). Menurut dia, sosialisasi terus berjalan dan ada beberapa desa yang berminat. Ketika BUMDes membuat unit baru, menurut dia, harus melakukan studi kelayakan dan memasukkannya dalam perencanaan desa. Pertashop, kata Usep Supriyatna, juga bisa menaikkan pendapatan asli desa dan menjadi salah satu usaha yang dapat menyokong kegiatan pembangunan perekonomian desa. Ia menegaskan bahwa Pertamina Shop merupakan lembaga penyaluran di tengah desa yang resmi dari pemerintah.

https://borneo24.com/seputar-borneo/kalimantan-timur/setiap-desa-di-ppu-bakal-dibangun-pertashop-apa-itu

IndoPos | Senin, 9 November 2020

Mesin Pakai biodiesel Bikin Boros Filter (Industri Belum Sepenuhnya Terima B20 dan B30)

Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) memang sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Namun, setelah publik bisa mengakses UU tersebut, justru mencuatkan tanda tanya lantaran banyak penulisan di produk hukum tersebut yang tidak tepat (baca: typo). Yang menarik dibahas warganet di sosial media ada pada pasal 40 UU Ciptaker mengatur tentang perubahan UU no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal 1 ayat 3 UU Migas terdapat pengertian “Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi” Kerancuan arti kalimat tersebut lantas menimbulkan banyak asumsi. Misalnya saja, muncul pertanyaan jika kalimat hukumnya demikian, apakah bio-solar (biodiesel) bukan bagian dari minyak bumi? Padahal, sejak 15 Agustus 2018 lalu, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Per- pres ini menjadi payung hukum bagi perluasan penerapan B20 untuk sektor Publik Service Obligation (PSC maupun non-PSO. Dalam prakteknya, 1 engembangan mandatory 1 rluasan biodiesel 20 dan yi persen menampilkan sejum ah risiko, keuntungan, dan potensi dari penggunaan balian nabati ini dalam mesin industri. Salah satu risikonya adalah penggantian filter akan lebih sering, namun mesin akan menjadi lebih bersih. Perusahaan pelat merah PT PLN (Persero) menjadi salah satu pemakai bahan bakar biodiesel. PLN memakai biodiesel untuk kebutuhan mesin pembangkit listrik. Executive Vice President Corporate Communication PT PLN (Persero) Agung Murdifi yang dikonfirmasi INDOPOS mengatakan, pada prinsipnya pihaknya mendukung program Pemerintah RI menggunakan biodiesel. Sebab penggunaan bahan bakar nabati tersebut memberi dampak ramah lingkungan dan dapat menghemat devisa negara. Dia menambahkan, saat ini PLN menggunakan jenis biodiesel FAME (Fatty Acid Methyl Ester). Hal tersebut sesuai dengan spesifikasi pada Keputusan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konversi Energi No 189K/10/DJE/2019 pada 5 November 2019 yang dicampur-kan bersama HSD (High Speed Diesel) dengan perbandingan 30 persen FAME. Perbandingan campuran ini sesuai Keputusan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konversi Energi No 197K/10/DJE/2019 pada 18 November 2019) dan 70 persen HSD murni sejak 1 Januari 2020. “Penggunaan biodiesel sudah kami lakukan dan pembangkit kami tetap dapat beroperasi,” akunya di Jakarta, Minggu (8/11). Namun, dia juga tidak memungkiri, ada perubahan dalam hal efisiensi sejak pembangkit memakai energi biodiesel. Sebab, nilai tara kalor biodiesel lebih rendah dibandingkan nilai tara kalor pada HSD murni. Agung juga mengakui, penggunaan biodiesel memang menambah biaya pemeliharaan pembangkit khususnya untuk penyediaan filter.

Karena spesifikasi biodiesel berbeda dengan HSD murni. “Namun demikian, kami pastikan ini tidak mengganggu cashflow PLN,” yakinnya. Dia hanya berharap, ke depannya agar spesifikasi biodisel yang diproduksi oleh produsen dapat ditingkatkan kualitasnya. “Sehingga penggunaan biodiesel untuk pengoperasian pembangkit PLN menjadi lebih baik,” harapnya. Beberapa dampak yang mungkin timbul dari penggunaan biodiesel pada pembangkit listrik adalah, periode pemeliharaan pembangkit listrik atau untuk mesin industri jadi lebih pendek, frekuensi penggantian filter jadi lebih banyak, dan penggunaan ba-han bakar lebih tinggi. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dieni Mansur mengungkapkan, sejumlah tantangan penggunaan bahan bakar biodiesel untuk industri di tanah air. Menurutnya, penerapan biodiesel itu ada dua. Biodiesel di Indonesia saat ini adalah mandatory atau diproduksi berdasarkan mandat dari Presiden RI. “Mandatnya yaitu buat B20 (campuran 20 persen biodiesel dengan 80 persen solar), lalu naikin ke B30, lalu naikin lagi ke B40. Artinya bahan bakarnya harus dimodifikasi dengan mencampurkan biodiesel dengan solar,” ungkapnya kepada INDOPOS di Jakarta, Minggu (8/11). Upaya tersebut ditempuh untuk menyesuaikan mesin yang sebelumnya menggunakan bahan bakar solar. Sedangkan biodiesel voluntary belum dapat diterapkan di Indonesia. Sebab, saat ini di dalam negeri belum ada mesin yang cocok dijalankan B100 atau biodiesel 100 persen yang sudah diproduksi. Bahkan, ditambahkannya, di luar negeri pun belum ada mesin industri yang seratus persen cocok menggunakan B100. “Untuk itulah jika nanti ada industri yang mesinnya sertus persen cocok dengan penggunaan B100 maka industri tersebut akan mendapat pengurangan pajak (insentif) dari pemerintah,” sebutnya. Dirinya juga mengatakan, B100 yang diproduksi saat ini adalah methyl ester yang berbahan baku kelapa sawit. Ma- salahnya saat ini belum ada mesin yang bisa dijalankan dengan methyl ester. Dikatakan, methyl ester bersifat pelarut yang dapat merusak sejumlah komponen mesin berbahan tertentu. Seperti seal-seal yang berbahan karet akan mudah rusak oleh methyl ester. Sejumlah industri mengaku, mesinnya menjadi kotor setelah mengganti bahan bakar solar ke biodiesel. Apakah betul biodiesel bisa mengotori mesin? Dia mengatakan sebaliknya. Justru bahan bakar biodiesel membuat ruang bakar mesin menjadi bersih. Kenapa terlihat gas buang menjadi kotor itu karena proses pelarutan kotoran-kotoran yang di ruang bakar mesin. Kotoran-kotoran itu adalah karban yang dihasilkan dari solar. Dia juga menyebut, tenaga mesin yang dihasilkan dari ba-han bakar biodiesel juga lebih rendah dibandingkan bahan bakar solar. Berdasarkan pengalaman pelaku industri, penggunaan bakar biodiesel lebih boros dibandingkan solar.

Bukan Memaksa Industri

Pemerintah telah memperluas pemanfaatan bauran minyak sawit dalam solar sebesar 30 persen (Biodiesel 30/B30), ke sejumlan sektor non PSO (Public Service Obligation). Seperti industri dan pertambangan. Kebijakan itu sukses menurunkan impor solar. Impor solar digadang-gadang menjadi salah satu penyebab neraca perdagangan defisit. Namun saat Pandemi C0V1D-19, penerapan B30 mendapat tantangan. Sebab, harga BBM anjlok saat pandemi. Selain itu, juga timbul banyak pertanyaan bahwa industri terkesan dipaksakan menggunakan B30. Ada juga yang mempertanyakan bauran energi tersebut dengan dampak terhadap mesin. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, memang agak ber- beda menggunakan solar biasa dengan bio solar dari tumbuhan nabati. Kadar air menjadi lebih banyak. “Jadi dari pengguna harus sering-sering membersihkan mesinnya. Filternya. Jadi harus lebih intens dalam melakukan perawatan terhadap mesin. Misalnya ganti filter lebih cepat. Mesin sering dicek supaya jangan sampai mesin terganggu. Sebenarnya lebih ke situ,” sarannya. Lebih lanjut, dia menjelaskan, biosolar salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi energi fosil. Sebab energi fosil tidak bisa diperbaharui. Termasuk, ini adalah upaya memenuhi target bauran energi 2025 sebesar 23 persen. Yang hingga saat ini pemanfaatan energi baru terbarukan masih jauh dari target. “Biosolar ataupun biofuel ini menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menjalankan ketertinggalan tersebut. Disamping memang, saat ini kalau bicara sawit itukan saat ini sedang ada kampanye hitam yang dilakukan sejumlah negara di Eropa,” bebernya. Program mandatory B30, kata dia juga salah satu upaya pemerintan membantu pengusaha dan petani sawit. Sehingga produknya masih bisa terus digunakan. “Jadi bukan karena memaksakan ke industri. Sebenarnya semua sudah dilakukan ujicoba. Di tes, diteliti semuanya. Dan saya kira dengan program multi tes yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, BPPT, dan Pertamina harusnya sudah pada tahapan konklusi bahwa biofuel ini layak digunakan untuk mesin. Memang harus ada perawatan ekstra dan lebih yang harus dilakukan,” terangnya lagi. Dia menambahkan, penggunaan biofuel secara jumlah dibandingkan energi fosil, belum banyak. Namun saat ini sudah berjalan. “Paling tidak pemerintah / I 1 J W telah mengupayakan digunakan di BUMN, seperti PLN, Pelni, Kereta Api dan PLN. Perusahaan-perusahaan tambang sekarang juga sudah banyak menggunakan biosolar ini. Swasta juga sudah banyak,” jelas Mamit. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono saat dikonfirmasi mengatakan, kebijakan pemerintah terkait biosolar berbahan dasar sawit terus berjalan. Dari pembuatan B7,5, B20, dan tahun ini B30. “Untuk suplai enggak ada masalah. Karena secara produksi kita berlimpah,” ujar Joko Supriyono kepada INDOPOS, Jumat (6/11) lalu. Dia mengatakan, produksi sawit domestik sebelumnya dominan untuk kepentingan ekspor. Karena ada peluang dalam negeri, maka peluang domestik tersebut diutamakan. Lebih jauh ia mengungkapkan, dalam hal suplai demand sawit domestik tidak ada kendala. Tapi karena program pemerintah B30 maka sawit berpeluang berkembang di industri hilir dalam negeri. Sehingga ada nilai tambah di dalam negeri. “Dengan biosolar dari sawit ini berpotensi mengurangi impor solar secara langsung,” ungkapnya. Impor solar secara langsung tersebut, lanjutnya, selama ini ditengarai penyebab defisit transaksi perdagangan bisa ditekan. Dia menambahkan, sawit produksi domestik tergantung pada kondisi suplai pasar global. Hal ini kemudian menyebabkan sawit menjadi over, salah satunya pada 2017 lalu. Namun, kondisi tersebut, menurutnya tidak terjadi setiap tahun. “Tergantung situasi kondisi. Seperti tahun ini ekspor kita mengalami hambatan karena pandemi. Tapi produksi bio solar dalam negeri terus berjalan. Tadinya terjadi over suplai, bisa penyaluran domestik yang terus tumbuh,” bebernya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *