Indonesia Butuh Investasi Besar untuk Net Zero Emission pada 2060, G-20 Jadi Momentum

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kontan.co.id | Selasa, 15 Maret 2022

Indonesia Butuh Investasi Besar untuk Net Zero Emission pada 2060, G-20 Jadi Momentum

Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dengan menetapkan target Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat jika mendapat dukungan internasional. Akan tetapi, untuk mewujudkan misi tersebut Indonesia memerlukan dana investasi perubahan iklim sebesar Rp 3.799 triliun jika merajuk pada NDC (Nationally Determined Contribution), atau komitmen untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon nasional untuk mengurangi dampak perubahan iklim. “Dana yang tersedia untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada tahun 2020 adalah 100 juta US$ untuk diberikan kepada negara miskin dan berkembang sebagaimana dikonfirmasi pada COP-26 di Glasgow Scotland pada November 2021,” tutur Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/3). Pemenuhan lainnya berasal dari pendanaan internasional seperti GCF (Green Climate Fund) melalui program REDD+, sukuk hijau global, sukuk hijau ritel, APBD, pajak karbon, dan perdagangan karbon. Sebagai informasi, harga jual karbon dunia saat ini berkisar 5-10 US$/ton CO2. Hasil Kesepakatan COP-26 semakin meningkatkan permintaan global akan kredit karbon, sehingga membuat harga jual karbon menjadi lebih tinggi. Sementara, hutan dan lautan Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan kredit karbon yang dapat ditransaksikan di tingkat global untuk pencapaian target penurunan emisi di banyak negara. Airlangga memandang, presidensi G-20 dapat digunakan untuk melakukan kerja sama ini dengan negara-negara maju. Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar US$ 565,9 miliar atau setara dengan Rp 8.000 triliun dari perdagangan karbon dari hutan, mangrove dan gambut Terdapat lima sektor penyumbang emisi karbon, yaitu kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk. Berbagai kebijakan pun telah disiapkan untuk menanggulangi emisi karbon di berbagai sektor tersebut. Kebijakan di bidang pertanahan, antara lain restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, dan pencegahan deforestasi menjadi lahan pertanian. Kebijakan di bidang persampahan, termasuk pengelolaan sampah melalui ekonomi sirkular. Kebijakan di sektor fiskal mencakup penerapan pajak karbon dan penghapusan subsidi energi secara menyeluruh pada tahun 2030. Kebijakan yang diterapkan di bidang energi dan transportasi, misalnya dengan beralih ke kendaraan listrik hingga 95% dari total kendaraan dan menggunakan Energi Baru dan Terbarukan mendekati 100% pada tahun 2060. Dalam kaitannya dengan Energi Baru dan Terbarukan, Indonesia telah menerapkan program mandatori biodiesel B30. Dampak dari kebijakan mandatori biodiesel antara lain pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 23,3 juta ton CO2e (carbon dioxyde equivalent). Program tersebut telah berhasil meningkatkan penggunaan energi terbarukan, mengurangi emisi karbon, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan petani kecil.

https://g20.kontan.co.id/news/indonesia-butuh-investasi-besar-untuk-net-zero-emission-pada-2060-g-20-jadi-momentum

 

Harian Kontan | Rabu, 16 Maret 2022

Ekspor Minyak Jelantah Distop, IKM Protes (Minyak jelantah Indonesia untuk biodiesel di Eropa)

Paguyuban Pengumpul Minyak Jelantah (PPMJ) merasa keberatan dengan kebijakan pemerintah yang melarang ekspor minyak jelantah (used cooking oil). Kebyakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Ketua Umum Pengurus Pusat Paguyuban Pengumpul Minyak Jelantah (PPMJ) H. Hermansyah menilai, Permen-dag No 2/2022 sebenarnya hadir sebagai bentuk respons pemerintah atas kelangkaan minyak goreng. Lewat beleid tersebut, pemerintah berupaya melarang ekspor minyak Kelapa Sawit atau crude Palm Oil (CPO) jika kebutuhan domestik belum terpenuhi. Namun, PPMJ mengkritik peraturan itu karena seharusnya minyak jelantah tak perlu ikut dilarang ekspor juga. Padahal, ekspor minyak jelantah sudah rutin dilakukan selama sekitar 15 tahun terakhir. Produk minyak jelantah Indonesia juga dihargai dengan baik di luar negeri (lihat tabel). Larangan ekspor itu tentu merugikan eksportir maupun pengumpul minyak jelantah. Khusus pengumpul, dampaknya akan lebih terasa karena mayoritas pelaku usaha adalah industri kecil menengah (IKM) yang melibatkan masyarakat kelas menengah ke bawah. “Kalau ekspor dilarang, eksportir tidak akan beli minyak jelantah dari pengumpul. Akibatnya, minyak jelantah akan menumpuk. Ini berbahaya karena bisa berakhir menjadi limbah atau balikan tindakan pengoplosan,”” ungkap dia, Selasa (15/3). Selama ini para pengumpul biasa mengumpulkan minyak jelantah dari restoran, penjual gorengan, dan industri yang mengonsumsi minyak goreng lainnya. Ada ribuan pengumpul minyak jelantah yang tersebar di Tanah Air. Indonesia bisa mengekspor 20.000 ton minyak jelantah ke luar negeri seperti Eropa dan Asia. Di luar negeri, minyak jelantah kerap digunakan untuk industri biodiesel. Namun, minyak jelantah belum dimanfaatkan secara optimal di dalam negeri, sehingga dikhawatirkan malah disalahgunakan. “Sejauh ini belum ada solusi dari pemerintah. Kami yang berada di bawah mencoba bersuara karena sudah tidak tahan dengan kondisi ini,” ucap Hermansyah.

Antaranews.com | Selasa, 15 Maret 2022

Akankah biosolar mengikuti jejak premium di Riau?

Masih segar dalam ingatan kita persis di bulan yang sama tahun 2021 lalu. Antrean panjang kendaraan baik roda dua maupun roda empat terjadi di setiap Stasiun Pengisian Bahar Bakar Umum (SPBU) yang ada di Pekanbaru untuk memperebutkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium. Antrean mengular terjadi akibat adanya pengurangan kuota BBM bersubsidi jenis premium kala itu. Namun antrean itu tidak berlangsung lama karena kebijakan pengurangan premium dibarengi dengan peluncuran program langit biru, yakni penjualan pertaliteseharga premium. Langkah itu ternyata mumpuni membawa perubahan pola konsumsi di masyarakat yang tadinya menggunakan premium kini beralih ke non subsidi jenis pertalite.Pertamina tak lagi menjual Premium di SPBU kecuali penugasan pada daerah tertentu. Seperti mengulang, kali ini biosolar juga nyaris mengalami hal yang sama. Ibarat minyak goreng, sejak sebulan terakhir biosolar diperebutkan oleh kendaraan mulai dari roda empat hingga truk gandeng. Mereka rela menanti berjam-jam demi menikmati subsidi pemerintah tersebut, padahal Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Swasta Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Riau Tuah Laksamana Negara mengatakan, Pemprov sudah punya aturan siapa saja yang berhak atas barang tersebut. Ia mengatakan, seluruh pengusaha SPBU sudah diberi tahu tentang syarat perdagangan biosolar ke masyarakat mengacu kepada Surat Edaran Gubernur No 272/SE/DESDM/2021 tentang Pengendalian Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Jenis Minyak Solar Bersubsidi di Riau. Diantaranya kendaraan dinas, jenis truk industri tidak dibenarkan menggunakannya. Namun penerapannya di lapanganbelum ada. Terbukti kala ada pengurangan kuota dari pemerintah, mereka yang telah nyaman dan terbiasa memakai BBM murah itu rela antre berlama-lama. “Kita akan sosialisasikan surat edaran gubernur yang terbaru ini ke seluruh anggota Hiswana yang pengusaha SPBU,” katanya di Pekanbaru, Sabtu.

Kuota berkurang

Banyaknya antrean biosolar di semua SPBU diakui Pertamina akibat adanya pengurangan kuota biosolar untuk wilayah Riau tahun 2022 sebesar 7-9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. “Kuota biosolar tahun 2022 bagi Riau sebesar 794.787 kiloliter sedangkan realisasi 2021 sekitar 824.000 kiloliter, lebih kecil 4 persen dibandingkan realisasi 2021,”sebut Section Head Communication dan Relation PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut Agustiawan. Diakuinya, pengurangan itu telah membuat antrean kendaraan memanjang di sejumlah SPBU di Provinsi Riau, seperti di perbatasan Riau-Sumatera Utara dan daerah lainnya. Pengamat Ekonomi Unri Dahlan Tampubolon mengungkapkan kondisi ini terjadi saat ekonomi mulai menggeliat karena adanya pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) maka dibutuhkan jumlah biodiesel yang lebih banyak dibanding tahun lalu karena industri dan transportasi kembali normal. “Sementara kuota yang diterima berkurang, wajar kalau ada gap antara kebutuhan yang terus naik dengan suplai yang dikurangi,” katanya. Selain itu, dia menilai ini juga dampak sejak Kementerian Perdagangan mengeluarkan Permendag tentang Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO), ada kewajiban eksportir olein untuk menjual 20 persen ke domestik, malah sudah 30 persen, dan menetapkan DPO harga CPO domestik sekitar Rp9.300 per kg, sementara harga patokan sudah Rp17.340 per kg untuk CPO ekspor. Berarti selisih Rp8.000 harus ditanggung oleh produsen olahan CPO, termasuk fatty acid methyl ether (FAME) untuk bahan biodiesel maupun minyak goreng. CPO untuk biodiesel, harga jual pertamina Rp14.436, berarti produsen biodiesel harus menjual di bawah harga tersebut. Sedangkan harga bahan baku saja sudah jauh di atas itu. “Selisih harga beli Pertamina dengan harga ekonomi, ditutupi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari kutipan pungutan ekspor (PE). Semakin besar nilai ekspor, semakin besar akumulasinya, semakin tinggi harga minyak mentah dunia semakin tinggi harga solar dan biodiesel. Maka cadangan dari BPDPKS akan berkurang menutupi selisihnya,” ulasnya. Sehingga industri olein termasuk biodisel yang terintegrasi dari kebun (hulu) hingga produk akhir (hilir), bisa memasok CPO nya yang dari DMO 20-30 persen karena yang 70-80 persen mereka ekspor. Dengan harga Rp9.300 ke industri mereka sendiri atau dalam kelompoknya. “Persoalannya adalah pada industri olein yang orientasi ekspor tapi tidak terintegrasi dengan hulunya. Mereka harus menjual oleinnya 20 persen ke domestik dengan harga yang ditetapkan Kementerian energi sementara, hulunya (penghasil CPO) tidak ada yang mau jual ke mereka pada harga Rp9.300,” ungkapnya.

Larang ASN gunakan biosolar

Menyikapi antrean pengisian biosolar di SPBU Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau mengeluarkan larangan bagi kendaraan dinas di lingkungan setempat menggunakan Bahan Bakar Minyak bersubsidi terutama jenis biosolar. Sekretaris Daerah Provinsi Riau SF Hariyanto bahkan mengingatkan seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk tidak menerima bukti pembayaran pengisian BBM menggunakan biosolar, kecuali kendaraan untuk pelayanan umum. “Mobil plat merah tidak boleh mengisi biosolar, edaran ini sudah kami sampaikan ke OPD agar tidak menerima bukti pembayaran BBM biosolar,” kata SF Hariyanto. Dikatakan dia, kebijakan ini juga menindaklanjuti Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 191 Tahun 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM. Lebih lanjut, SF Hariyanto mengatakan permasalahan kelangkaan biosolar di sejumlah SPBU perlu segera ditindaklanjuti. Apalagi sebentar lagimemasuki bulan suci Ramadhan, dimana kegiatan angkutan barang sangat tinggi. “Teknisnya akan dirapatkan lagi nanti kita ajak Forkopimda, dan usulkan saran salah satunya penjagaan polisi di SPBU pengawasan kendaraan,” ujarnya.

Revisi kontrak transportasi

Salah satu solusi yang bisa dilakukan oleh pemilik usaha transportasi angkutan barang atas langkanya biosolar, Anggota Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia wilayah Riau Arsyadjuliandi Rachman angkat bicara, ia mendorong asosiasi transportasi angkutan barang setempat untuk melakukan negosiasi ulang kontrak kerjasama dengan industri pemberi kerja dengan menggunakan harga BBM non subsidi. Imbauan ini juga sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya penyaluran biosolar tidak tepat sasaran yang selama ini diduga banyak dilakukan oleh truk industri yang beroperasi di Riau. “Kita coba tawarkan jalan keluar dari hulu agar solar bersubsidi ini tepat sasaran. Kalau harga kontrak angkutan dengan industri itu sudah menggunakan komponen biaya BBM industri. Saya pikir bisa meminimalisir penggunaan solar bersubsidi,” kata Arsyadjuliandi Rachman di Pekanbaru, Jumat. Anggota Komisi II DPR RI ini menjelaskan, sesuai dengan aturan pemerintah truk roda enam dan lebih tidak boleh lagi mengisi biosolar. Faktanya, ribuan truk besar yang beroperasi di Riau, sebagai mitra dari industri besar mulai dari kehutanan, perkebunan, pertambangan serta minyak dan gas serta industri besar lainnya seperti semen, besi, pabrik, juga transportasi industri lainnya menikmati biosolar. Hal ini disinyalir erat kaitannya dengan nilai kontrak pengangkutan bersama industri yang ditekan sedemikian mungkin, sehingga diyakini masih menggunakan ongkos BBM bersubsidi. Terbukti di lapangan banyak terjadi truk besar berburu solar bersubsidi di SPBU karena harganya jauh lebih murah. Apalagi, tambah Gubernur Riau tahun 2016-2018 ini, harga komoditas industri besar di Riau ini sedang sangat bagus. Jadi, memungkinkan untuk negosiasi ulang harga angkutan yang tidak menyedot BBM bersubsidi. “Karena memang, hampir 60 persen dari biaya jasa angkutan itu untuk BBM,” katanya. Kalau asosiasi tidak bisa bernegosiasi dengan industri tadi, maka bisa minta pemerintah untuk memediasi karena memang tujuannya agar solar bersubsidi itu memang bisa dipakai oleh masyarakat umum yang lebih berhak. Walaupun diakuinya tidak akan menghilangkan 100 persen penggunaan solar bersubsidi oleh truk yang tidak berhak tadi, maka harus diikuti dengan pengawasan yang ketat. “Untuk itu, kita harus sama-sama ikut mengawasi kalau kendaraan kendaraan industri tadi tidak boleh menikmati solar bersubsidi. Ini harus diawasi bersama,” ujarnya. Sampai kapan pemindahan pola konsumsi masyarakat dari subsidi ke non subsidi ini akan terjadi? Akankah pemerintah membuat kebijakan program langit biru lainnya sebagai stimulus merangsang pengguna BBM murah beralih ke yang lebih berkualitas dan terbiasa meninggalkan yang bukan haknya. Mari kita nantikan.

https://riau.antaranews.com/berita/271489/akankah-biosolar-mengikuti-jejak-premium-di-riau

 

Voi.id | Selasa, 15 Maret 2022

Minyak Goreng Langka akibat Rebutan Pasokan dengan Biodiesel?

Kelangkaan minyak goreng masih terjadi hingga saat ini. Kelangkaan minyak goreng di dalam negeri dinilai bukan disebabkan oleh kurangnya pasokan minyak sawit mentah (CPO) dalam negeri, tetapi karena pasokannya yang terbagi untuk sektor energi yakni biodiesel. Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengakui pasokan kelapa sawit nasional memang lebih banyak diserap untuk biodiesel. Sebab, kebutuhan minyak goreng nasional hanya berkisar 5,6 juta ton. Berdasarkan data GAPKI, total konsumsi CPO di dalam negeri pada Januari 2022 mencapai 1,506 juta ton. Jumlah tersebut didominasi oleh penggunaan untuk biodiesel sebesar 732 ribu ton. Sementara, untuk pangan hanya 591 ribu ton dan sisanya sebanyak 183 ribu ton untuk oleokimia. Sementara, pada Desember 2021, total konsumsi CPO di Indonesia sebesar 1.666 juta ton. Dari total CPO tersebut, 781 juta ton untuk konsumsi biodiesel. Jumlah tersebut lebih tinggi dari konsumsi pangan yang mencapai 705 juta ton. GAPKI juga mencatat bahwa konsumsi CPO untuk biodiesel yang melampaui untuk penggunaan pangan telah terjadi sejak November 2021. “Oh iya itu jelas (lebih banyak untuk biodiesel) memang,  kebutuhan minyak goreng itu kan paling 5,6 juta ton saja. Itu kan tidak bisa, mau kita pasok 10 juta juga buat apa,” katanya kepada VOI, Senin, 14 Maret. Namun, Eddy menjelaskan kelangkaan minyak goreng saat ini bukan karena kurangnya pasokan yang terbagi dengan biodiesel tetapi karena kondisi yang abnormal. “Jadi tidak ada masalah. Untuk kondisi pasokan itu tidak ada masalah, untuk biodiesel tidak ada masalah, untuk minyak goreng gak ada masalah. Ini kan karena kondisi abnormal aja,” tuturnya. Permasalahan minyak goreng karena pasokan terbagi untuk Biodiesel Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic Law and Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah tidak perlu memberlakukan kebijakan DMO CPO sebesar 30 persen untuk mengatasi permasalahan minyak goreng saat ini. Sebab, kondisi saat ini bukan disebabkan karena kurangnya pasokan CPO di dalam negeri, tapi CPO yang ada terbagi antara kebutuhan biodiesel dan minyak goreng. “Jadi masalah pasokan dalam negeri itu kan rebutan B30 dengan minyak goreng. Akar masalahnya disitu. Kebijakan DMO 30 persen tidak menyelesaikan masalah,” ucapnya. Karena itu, Bhima menyarankan CPO diprioritaskan dulu untuk minyak goreng katimbang untuk bahan bakar atau biodiesel. “Jadi turunkan target dari B30. Jadi di antara dilema untuk energi dan pangan, pilih dulu untuk kebutuhan pangan. Ini yang paling urgent sekarang,” jelasnya.

https://voi.id/ekonomi/145324/minyak-goreng-langka-akibat-rebutan-pasokan-dengan-biodiesel

 

Suara.com | Selasa, 15 Maret 2022

Petani Kelapa Sawit Duga Ada Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat di Industri Biodiesel

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menduga adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak usaha dalam industri Biodiesel. SPKS bersama Koperasi Karya Mandiri dan Koperasi Perkebunan Renyang Bersatu bersama tim Advokasi Keadilan Perkebunan juga telah melaporkan praktik tersebut ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Menurut SPKS, terdapat tiga perusahaan yang mendominasi industri Biodiesel yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT SMART, Tbk dan PT Musim Mas sebagai Para Terlapor. Kuasa hukum SPKS Janses Sihaloho menjelaskan, ada beberapa perbuatan perusahaan yang diduga terkait dengan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yakni oligopsoni dan/atau integrasi vertikal terhadap industri bahan bakar nabati jenis biodiesel. Ia melanjutkan, mekanisme penunjukan langsung terhadap jumlah alokasi biodiesel hanya ditujukan kepada Para Terlapor melalui anak-cucu perusahaannya. Hal tersebut terbukti dengan adanya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 1935K/10/MEM/2018, hingga Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 2018k/10/MEM/2018, “Indikasi lain adanya peningkatan lahan kelapa sawit setiap tahun milik para terlapor yang melampaui 100 ribu hektare menurut aturan. Peningkatan lahan ini menunjukkan adanya peningkatan permintaan pasar terhadap pasok TBS Sawit,” ujar Janses dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (15/3/2022). Seharusnya, tutur Janses, kesejahteraan para pekebun swadaya dan pekebun kemitraan-pun juga semakin meningkat, namun faktanya tidak demikian. Masih banyak pekebun swadaya dan pekebun kemitraan yang dirugikan atas harga jual TBS sawitnya. Hal tersebut diduga telah memenuhi unsur pada Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) huruf c UU No. 5/1999 yakni penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. “Selain itu, tim Pelapor juga menyoroti penggunaan dana kelapa sawit yang tidak sesuai dengan UU Perkebunan,” katanya. Diketahui, total dana perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh BPDP-KS sejak tahun 2015-2019 sebesar Rp 47,28 triliun. Mayoritas total dana ini dialokasikan bukan untuk kepentingan petani, melainkan industri biodiesel. Ketimpangan alokasi itu tergambar jelas pada realisasi anggaran pada 2015-2019, di mana 89,86% dari total dana atau sebesar Rp 30,2 triliun dialokasikan untuk insentif biodiesel. Dalam kesempatan yang sama, Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Gunawan berharap laporan ini tidak hanya membongkar praktik oligopsoni dalam biodiesel, tetapi juga melihat ketidakadilan rantai pasok sawit secara keseluruhan. “Dan juga berimbas pada ketersediaan produk makanan, seperti krisis minyak goreng yang terjadi akhir-akhir ini,” kata Gunawan.

https://www.suara.com/bisnis/2022/03/15/213401/petani-kelapa-sawit-duga-ada-praktik-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat-di-industri-biodiesel?page=all