Harga indeks pasar biodiesel September 2020 ditetapkan sebesar Rp 9.003 per liter
Kontan.co.id | Senin, 7 September 2020
Harga indeks pasar biodiesel September 2020 ditetapkan sebesar Rp 9.003 per liter
Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menetapkan besaran Harga Indeks Pasar (HIP) Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis Biodiesel bulan September 2020 sebesar Rp 9.003 per liter. Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebutkan, penetapan HIP tersebut sudah mempertimbangkan kelanjutan program B30 di tengah selisih harga antara indeks pasar biodiesel dengan indeks pasar solar pada masa pandemi Covid-19. Mengacu pada hasil rapat Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada 18 Agustus 2020 dan berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 105 K/12/MEM/2020 pada 2 Juni 2020 tentang HIP BBM Jenis Biodiesel yang dicampurkan ke dalam Bahan Bakar Minyak pada masa kedaruratan kesehatan Covid-19, maka besaran konversi Crude Palm Oil (CPO) menjadi biodiesel adalah sebesar US$ 85 per metrik ton. “Dan besaran HIP BBN Jenis Biodiesel bulan September 2020 adalah sebesar Rp 9.003 per liter ditambah dengan besaran ongkos angkut yang berlaku efektif pada 1 September 2020,” sebut Arifin sebagaimana yang dikutip dari lama Ditjen EBKTE Kementerian ESDM, Senin (7/9). Adapun, formula yang dimaksud adalah HIP = (rata-rata CPO KPB + US$ 85 per ton) x 870 kg/m3 + ongkos angkut. Maka, HIP Biodiesel September 2020 diperoleh Rp 9.003 per liter + ongkos angkut. Besaran ongkos angkut mengacu pada besaran maksimal ongkos angkut BBN jenis biodisel yang dicampurkan ke dalam BBM sebagaimana diatur dalam Kepmen. Sementara itu, konversi nilai kurs menggunakan referensi rata-rata kurs tengah Bank Indonesia periode 25 Juli 2020 sampai dengan 24 Agustus 2020 sebesar Rp 14.716 per dolar Amerika Serikat (AS).
Jawapos.com | Senin, 7 September 2020
Makin Diminati, Konsumsi Biodiesel Naik 68 Persen secara Tahunan
Implementasi campuran 30 persen fatty acid methyl ester (FAME) ke dalam minyak solar mendongkrak pemanfaatan biodiesel. Khususnya B30. Sejak awal tahun, kebutuhannya meningkat. Namun, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sempat menghambat. Hingga paro pertama tahun ini, penyerapan biodiesel mencapai 4,36 juta kiloliter (kl). Jumlah itu naik hingga 68 persen jika dibandingkan dengan penyerapan tahun lalu. Namun, pandemi Covid-19 memperlambat serapan biodiesel dan FAME. Sebab, PSBB melumpuhkan sektor transportasi yang merupakan konsumen utama biodiesel. “Pemerintah optimistis akhir tahun nanti penyerapan FAME lebih tinggi daripada tahun sebelumnya karena dampak implementasi B30,” ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi akhir pekan lalu. Dia menyatakan, konsumsi biodiesel naik signifikan sejak 2016. Pada 2018, konsumsinya mencapai 3,75 juta kl atau meningkat hampir 50 persen bila dibandingkan dengan 2017. “Kebijakan mandatory berlanjut hingga 2019 sehingga konsumsi biodiesel tahun itu mencapai 6,39 juta kl,” jelas Agung. Selain bisa mengurangi ketergantungan terhadap BBM impor, pemanfaatan biodiesel memberikan multiplier effect terhadap petani sawit. Manajer Riset Traction Energy Asia Ricky Amukti berharap kebijakan pemanfaatan biodiesel itu bisa membawa dampak positif. “Ke depannya, petani swadaya bisa langsung berkontribusi dalam rantai pasok biodiesel. Selain itu, saya berharap ada kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong kontribusi tersebut,” paparnya. Dia juga mengapresiasi upaya pemerintah dalam mendukung para petani sawit melalui kebijakan biodiesel tersebut. Ricky berharap upaya itu bakal mendukung terciptanya kesejahteraan petani sawit.
CNBCIndonesia.com | Senin, 7 September 2020
Duh! Ada ‘Ramalan’ Serapan FAME 2020 Hanya 8,25 Juta KL
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memproyeksikan serapan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sampai akhir tahun 2020 hanya mencapai 8,25 juta kilo liter (kl). Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan sampai dengan Agustus 2020 baru disalurkan sebanyak 4,8 juta kilo liter (kl). “Sampai akhir tahun diproyeksikan sebesar 8,25 juta kl (FAME yang digunakan di dalam negeri),” ungkapnya kepada wartawan, akhir pekan di Gedung Prijadi Praptosuhardjo Kementerian Keuangan. Secara volume ini lebih rendah dibandingkan target awal 2020 di mana untuk kebutuhan biodiesel diproyeksikan akan menghabiskan FAME sebanyak 9,6 juta kl. Turunnya serapan FAME ini menurutnya sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang membuat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) menurun. Pandemi Covid-19 sampai hari ini belum selesai, oleh karena itu BPDPKS memproyeksikan kebutuhan FAME untuk 2021 mencapai 9,59 juta kl atau tidak ada perubahan dari alokasi tahun ini. “Sampai saat ini masih ditetapkan B30. Kami masih menunggu dari Komite Pengarah, apakah rencana B40 pada Juli 2021 akan tetap dilanjutkan. Nah kalau iya, B40 itu berasal dari campuran 30% FAME dan 10% dari D100 yang diproduksi Pertamina, di-mix sehingga jadi 40%,” paparnya.
Sementara itu ia menyebut dana pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya sampai dengan Agustus 2020 mencapai Rp 10,4 triliun. Eddy mengatakan dari dana yang terkumpul ini akan dimanfaatkan untuk peremajaan sawit rakyat, mendukung program biodiesel, riset, pengembangan sumber daya manusia, dan promosi lainnya. Dia pun menyebut dana pungutan ini akan cukup untuk memberikan subsidi biodiesel (B30) hingga akhir tahun ini. “Sampai dengan Agustus untuk tahun 2020 ini sudah dikumpulkan pungutan sebesar Rp 10,4 triliun. Insya Allah cukup (subsidi biodiesel sampai akhir tahun),” paparnya. Namun demikian, menurutnya dana yang sudah disalurkan sampai Agustus lebih tinggi daripada iuran yang telah dipungut, yakni mencapai sebesar Rp 13,2 triliun. Tapi sayang dia tidak menjelaskan alasan lebih lanjut. Dana tersebut menurutnya untuk membiayai subsidi bahan campuran untuk biodiesel yakni Fatty Acid Methyl Ester (FAME).
Wartaekonomi.co.id | Senin, 7 September 2020
Pertamina Ekspor 200.000 Barel Solar HSD ke Negeri Jiran
PT Pertamina (Persero) melalui Refinery Unit (RU) V Balikpapan, selaku pemain hilir, melakukan ekspor perdana, yakni pengapalan dan penyaluran produk minyak solar atau biosolar High Speed Diesel (HSD) 50 PPM Sulphur ke negeri jiran Malaysia sejumlah 200.000 barel atau setara dengan 31.800 kiloliter melalui kapal MT Ridgebury Katherine Z. Ekspor perdana HSD tersebut dilakukan dalam menjawab permintaan pasar akan bahan bakar diesel bermutu tinggi. Pengapalan HSD pada Sabtu (5/9/2020) itu disaksikan langsung oleh General Manager RU V Balikpapan, Eko Sunarno beserta jajarannya. Kapal yang mengangkut produk HSD 0.005-%S akan menempuh waktu 4-5 hari hingga sampai ke Malaysia dengan bernilai ekspor US$9,5 juta atau setara dengan Rp138 miliar (kurs Rp14.500). Eko mengungkapkan bahwa produk ini merupakan hasil dari fraksi diesel di Unit Secondary Kilang RU V Balikpapan, yang memiliki kualitas Sulphur 50 ppm atau setara dengan produk diesel standard Euro 4, yang merupakan produk bahan bakar mesin diesel terbaru yang pernah diproduksi Kilang RU V. “Tentunya pandemi Covid-19 menyebabkan adanya penurunan demand akan bahan bakar, milestone yang baik bagi Pertamina terkhusus RU V untuk berkomitmen mengupayakan keberlanjutan pasokan energi dan operasional kilang dengan menjawab tantangan dan demand pasar akan produk HSD tersebut,” ujar Eko dalam siaran pers, Minggu (6/9/2020).
Selain produk diesel yang berstandar Euro 4 dan berkualitas Sulphur 0.005-%S atau 50 ppm, produk ini memiliki kelebihan lain, yaitu Cetane Index minimal 50 (Cetane Number minimal 53) dan flash point minimal 60 derajat celcius. Eko menjelaskan, jenis BBM HSD 0.005%S ini sudah memenuhi spesifikasi yang dipersyaratkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 20/2017, yaitu ditetapkan spesifikasi BBM jenis solar memiliki Cetane Number minimal 51 dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm. “Patut berbangga, di Indonesia yang dapat memproduksi produk tersebut hanya RU V Balikpapan dengan kapasitas 200.000 barel per bulan dan RU II Dumai dengan kapasitas saat ini 100.000 barel per bulan,” ucap Eko. Eko menambahkan, ke depannya akan ada rencana ekspor kembali pada periode Oktober hingga Desember 2020, sejumlah 200.000 barel (31.800 KL) setiap bulan dengan tujuan pasar internasional.
Jawa Pos | Senin, 7 September 2020
Nantikan Multiplier Effect Biodiesel
Implementasi campuran 30 persen fatty acid methyl ester (FAME) ke dalam minyak solar mendongkrak pemanfaatan biodiesel. Khususnya B30. Sejak awal tahun, kebutuhannya meningkat. Namun, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sempat menghambat. Hingga paro pertama tahun ini, penyerapan biodiesel mencapai 4,36 juta kiloliter (kl). Jumlah itu naik hingga 68 persen jika dibandingkan dengan penyerapan tahun lalu. Namun, pandemi Covid-19 memperlambat serapan biodiesel dan FAME. Sebab, PSBB melumpuhkan sektor transportasi yang merupakan konsumen utama biodiesel. “Pemerintah optimistis akhir tahun nanti penyerapan FAME lebih tinggi daripada tahun sebelumnya karena dampak implementasi B30,” ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi akhir pekan lalu. Dia menyatakan, konsumsi biodiesel naik signifikan sejak 2016. Pada 2018, konsumsinya mencapai 3,75 juta kl atau meningkat hampir 50 persen bila dibandingkan dengan 2017. “Kebijakan mandatory berlanjut hingga 2019 sehingga konsumsi biodiesel tahun itu mencapai 6,39 juta kl,” jelas Agung. Selain bisa mengurangi ketergantungan terhadap BBM impor, pemanfaatan biodiesel memberikan multiplier effect terhadap petani sawit. Manajer Riset Traction Energy Asia Ricky Amukti berharap kebijakan pemanfaatan biodiesel itu bisa membawa dampak positif. “Ke depannya, petani swadaya bisa langsung berkontribusi dalam rantai pasok biodiesel. Selain itu, saya berharap ada kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong kontribusi tersebut,” paparnya. Dia juga mengapresiasi upaya pemerintah dalam mendukung para petani sawit melalui kebijakan biodiesel tersebut. Ricky berharap upaya itu bakal mendukung terciptanya kesejahteraan petani sawit.