Antisipasi Ekspor RI Lebih Baik dari Malaysia, CPO Melesat

| Berita
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

BERITA APROBI

CNBCIndonesia.com | Kamis, 15 April 2021

Antisipasi Ekspor RI Lebih Baik dari Malaysia, CPO Melesat

Harga komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) melesat hari ini, Kamis (15/4/2021) karena mengantisipasi ekspor yang lebih baik dan disertai dengan kenaikan harga minyak mentah.  Harga kontrak CPO yang kadaluwarsa pada 15 Juni 2021 di Bursa Malaysia Derivatif Exchange menguat 1,85% ke level RM 3.799/ton pada 10.35 WIB. Jika apresiasi ini bertahan hingga akhir perdagangan, maka harga minyak sawit sah menguat tiga hari beruntun. Kenaikan harga minyak nabati unggulan ekspor RI dan Malaysia ini menguat karena dipicu oleh beberapa faktor. Pertama adalah kenaikan harga minyak mentah di pasar. Harga si emas hitam melesat 5% kemarin menyusul ada revisi naik perkiraan permintaan global yang dibarengi dengan penurunan stok di AS yang tajam. Melesatnya harga minyak mentah menjadi sentimen positif harga minyak nabati karena merupakan salah satu produk substitusi yang banyak digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Naiknya harga minyak mentah cenderung membuat penggunaan biodiesel dari sawit semakin kompetitif di pasar.  Mengutip Reuters, produsen biodiesel ndonesia diperkirakan dapat mengekspor satu juta kilo liter (KL) biodiesel tahun ini. Hal tersebut diungkapkan oleh Paulus Tjakrawan, wakil presiden Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia pada hari Rabu dalam pameran perdagangan industri Jerman, Hannover Messe. Harga minyak nabati jenis lain juga ikut terkerek. Harga minyak kedelai dan sawit berjangka yang ramai ditransaksikan di bursa Dalian mengalami kenaikan masing-masing sebesar 1,3% dan 1,4%. Pelaku pasar kini menanti rilis data ekspor untuk periode 1-15 April hari ini. Pasar memperkirakan ekspor pada periode tersebut bakal naik 13% dibanding periode yang sama bulan sebelumnya.  Walaupun ada prospek kenaikan stok tetapi dengan kurangnya tenaga kerja di sektor perkebunan sawit Malaysia dan tingginya permintaan berpeluang membuat harga tetap tinggi. Mengutip Reuters, MIDF Research mengatakan harga CPO kemungkinan akan bertahan di level RM 3.000 pada semester pertama tahun ini karena antisipasi ketatnya pasokan serta harga yang menarik dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai. Namun, perusahaan riset memperkirakan harga CPO akan turun di semester II karena tingkat produksi yang lebih baik.

https://www.cnbcindonesia.com/market/20210415103333-17-238052/antisipasi-ekspor-ri-lebih-baik-dari-malaysia-cpo-melesat

BERITA BIOFUEL

Infosawit.com | Jum’at, 16 April 2021

Harga CPO Melambung: Petani Sawit Subsidi Biodiesel

Kenaikan harga jual CPO menjadi kabar gembira bagi banyak orang, bagi para pebisnis minyak sawit nasional, tentu menambah semangat untuk terus bekerja keras dan menorehkan prestasi. Lantaran, kenaikan harga jual CPO, secara nyata akan mendorong pertumbuhan bisnis yang dilakukannya. Terlebih, perkebunan kelapa sawit milik petani, membutuhkan kenaikan harga jual CPO, guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Di tengah kondisi yang penuh tantangan menghadapi COVID 19, sektor perkebunan khususnya kelapa sawit, kerap mendapat dukungan dari banyak pihak. Lantaran kinerja usaha perkebunan kelapa sawit, masih mampu bertahan dan terus bertumbuh, menghadapi situasi yang penuh ketidak-pastian dewasa ini, akibat pandemi yang kian mewabah. Kabar terbaru, Presiden Jokowi memuji keberadaan minyak sawit yang mampu berkontribusi besar terhadap kinerja ekspor nasional. Sambil menyentil keberadaan subsidi pupuk pertanian sebesar Rp 33 Triliun, namun tidak memberikan kontribusi bagi negara. Beliau juga meminta, ada evaluasi besar terhadap pola subsidi pupuk kepada sektor pertanian, yang masih dilakukan hingga saat ini. Sinyal positif diberikan Presiden Jokowi, terhadap kemampuan minyak sawit dan produk turunannya, yang berkontribusi besar terhadap kinerja ekspor nasional, tentu harus mendapat sambutan hangat dari semua pemangku kepentingan usaha minyak sawit. Terlebih, perkebunan kelapa sawit sebagai industri hulunya, memiliki peluang besar untuk mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Sebagai sektor industri non migas yang berkontribusi besar terhadap pendapatan devisa negara, pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, dapat berkoalisi dengan pemerintah pusat dan daerah, guna memajukan industri minyak sawit nasional. Lantaran, hingga dewasa ini, masih banyak regulasi pemerintah, yang menghambat pertumbuhan perkebunan kelapa sawit nasional. Karut marut regulasi yang masih sering terjadi, dapat diajukan kepada pemerintah, untuk ditinjau ulang dan membuat strategic grand design yang mampu mendukung pertumbuhan perkebunan kelapa sawit selama 25 tahun kedepan. Dimana, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit nasional, akan menjadi penopang bagi pertumbuhan industri hilirnya. Di sisi lain, regulasi tentang Bea Keluar dan Pungutan Ekspor BPDP KS yang terlalu besar dan masih membebani perkebunan kelapa sawit, juga dapat ditinjau kembali, untuk diatur ulang besarannya dan direposisi sebagai dana perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Karena dana yang sebagian besar berasal dari perkebunan kelapa sawit juga harus dikembalikan, untuk mendukung keberadaan sektor perkebunan kelapa sawit berkelanjutan nasional. Lantaran persoalan perkebunan seperti infrastruktur perkebunan, pupuk, alat sarana produksi, tangki timbun, dan pelabuhan, masih menjadi kendala besar bagi pertumbuhan industri sawit dari hulu hingga hilir di Indonesia. Sebab itu, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan, guna meningkatkan daya saing industri supaya meningkat dan menjadi unggul dalam persaingan bisnis dunia.

Petani menyubsidi Industri Hilir Sawit.

Industri hilir minyak sawit, yang berawal dari refineri (pabrik minyak goreng), lalu specialty fats industry, oleochemical industry dan biodiesel industry, memiliki ceruk pasar dan problematika yang relatif sama didalam negeri dengan industri hulunya. Namun, memiliki kompleksitas masalah yang jauh berbeda, dengan politik perdagangan luar negeri. Pasalnya, politik perdagangan produk CPO dan produk RBD Olein, stearin dan PFAD, masih mendapat dukungan dari negara tujuan ekspor, sebagai bahan baku industri turunannya. Namun, produk turunan seperti fatty acids, fatty alcohols, glycerine, dan biodiesel, memiliki tingkat kesulitan berbeda terhadap pasar ekspor tujuannya. Sebab itu, keberadaan produk turunan industri hilir, harus dilihat secara jernih dan bebas dari kepentingan. Lantaran, Bea Keluar dan pungutan ekspor BPDPKS, hanya akan menjadi beban bagi  perkebunan kelapa sawit nasional yang sebesar 42% lebih dimiliki petani kelapa sawit. Terlebih besaran BK dan pungutan BPDPKS, dari bulan Desember 2020 sebesar US$ 213/Ton dan Januari sebesar US$ 299/Ton, sangat memberatkan petani kelapa sawit. Seberapa besar kerugian yang diderita petani kelapa sawit, akibat BK dan pungutan ekspor yang dibebankan pemerintah? Secara sederhana, normalnya petani kelapa sawit yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit sebesar 2 hektar dengan hasil panen TBS sebesar 3 Ton per bulan, dengan harga TBS sebesar Rp 1.500.000/Ton, maka hasil kotor yang diterima petani sebesar Rp. 4.500.000/bulan. Namun, adanya BK dan pungutan ekspor BPDPKS sebesar US$ 299/Ton, akan mendistorsi harga jual TBS petani sekitar Rp. 300.000/Ton, alhasil petani hanya menerima Rp. 1.200.000/Ton, maka hasil kotor yang diterima petani menjadi RP. 3.600.000/bulan. Hasil kotor tersebut, akan dipotong berbagai jenis potongan, seperti biaya pupuk, pemeliharaan, perawatan dan sebagainya, sehingga pendapatan petani akan semakin mengecil.  Apabila dana tersebut dapat dikembalikan kepada petani, dalam bentuk subsidi pupuk, subsidi saprodi, perawatan dan sebagainya, maka akan dapat membantu kesejahteraan petani kelapa sawit nasional. Selebihnya, dapat digunakan untuk perbaikan infrastruktur jalan, jembatan, tangki timbun dan pelabuhan, sehingga daya saing industri minyak sawit akan meningkat. Dengan meningkatnya daya saing industri, secara umum akan meningkatkan indeks berusaha di Indonesia, sehingga produk minyak sawit dan turunannya, akan mampu unggul dalam persaingan minyak nabati global. Sebab itu, dibutuhkan pendekatan secara ethics (etika bisnis) yang mengacu kepada moralitas demi kepentingan masyarakat luas. Pasalnya, dengan mengutip pungutan ekspor BPDP KS, yang sebagian besar dananya hanya untuk menyubsidi harga biodiesel, tidak akan mampu meningkatkan daya saing industri minyak sawit. Lantaran, produk biodiesel memiliki kompleksitas masalah yang mengacu kepada bisnis bahan bakar minyak (bbm) yang berbasis petroleum (crude oil). Terlebih, kedua regulasi yang mengatur BK dan pungutan BPDP KS cenderung sama, dan memberikan amanat untuk memperkuat daya saing industri minyak sawit hulu hingga hilir. Sehingga secara etika bisnis, pemerintah tidak boleh mengorbankan industri perkebunan kelapa sawit, hanya untuk kepentingan industri biodiesel semata. Pasalnya, secara nyata, subsidi harga biodiesel yang dikutip dari perkebunan kelapa sawit milik perusahaan dan petani kelapa sawit, ibarat subsidi harga yang dilakukan orang miskin kepada orang kaya. Dimana secara etika bisnis, moralitas yang digunakan adalah salah dan tidak boleh dilanjutkan. Subsidi harga bisa diberikan oleh Pemerintah menggunakan dana APBN sesuai kepentingan negara.

https://www.infosawit.com/news/10761/harga-cpo-melambung–petani-sawit-subsidi-biodiesel-

Infosawit.com | Jum’at, 16 April 2021

Membangun Pasar Biomassa Sawit, Kayu Dan Kelapa Di Jepang

Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berkomitmen mendorong pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), baik yang berasal dari kelapa sawit maupun komoditas lainnya. Selain dapat mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), keberadaan energi terbarukan juga akan meningkatkan daya saing petani. Melanjutkan komitmen tersebut, Kedeputian Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian bersinergi dengan Indonesia-Japan Business Network (IJB-Net) melakukan koordinasikan penyusunan rencana kerja pemenuhan kebutuhan pasar bioenergi di Indonesia, Jepang, dan dunia. “Targetnya, bisa menjadikan Indonesia sebagai produsen bioenergi yang mampu memasok kebutuhan Indonesia, Jepang, dan dunia,” tutur Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto saat Kick Off Meeting Rencana Kerja Pemenuhan Kebutuhan Pasar Bioenergi Jepang, pertengahan November 2020 lalu, yang dihadiri InfoSAWIT. Lebih lanjut, Airlangga menerangkan bahwa kebutuhan bioenergi Indonesia, Jepang, dan dunia terus meningkat. Sebagai informasi, penggunaan EBT Indonesia saat ini mencapai 9,5%, sedangkan pada tahun 2025 ditargetkan sebesar 23% dan tahun 2050 sebesar 31%. Sementara Jepang menargetkan pemakaian EBT sebesar 22-24% dari seluruh kebutuhan energinya, hingga tahun 2030. Negara ini akan melakukan penggantian 100 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dengan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm). “Potensi pengembangan bioenergi di Indonesia sangat besar. Indonesia memiliki potensi lahan dan bahan baku melimpah, limbah industri yang bisa diolah, Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) yang mendukung. Ini harus terus kita dorong,” tegas Airlangga. Pemerintah Indonesia juga akan terus meningkatkan hubungan dengan Pemerintah Jepang untuk mewujudkan kerja sama yang telah dirintis melalui Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) dan lainnya. “Pemerintah akan terus berusaha menjaga kualitas dan kuantitas produk biomassa kita agar dapat memenuhi standar yang dibutuhkan pasar Jepang. Untuk itu, komunikasi yang baik dan promosi antara Indonesia dan Jepang perlu terus dibangun,” tutur Airlangga.

https://www.infosawit.com/news/10755/membangun-pasar-biomassa-sawit–kayu-dan-kelapa-di-jepang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *