Aprobi: Penggunaan Bahan Bakar Nabati Perlu Digenjot

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Tribunnews.com | Kamis, 15 Oktober 2020

Aprobi: Penggunaan Bahan Bakar Nabati Perlu Digenjot

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Parulian Tumanggor menyampaikan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) di Indonesia sejatinya sudah berjalan sejak tahun 2006. Penggunaan biodiesel disebabkan Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah, serta berlimpahnya produk kelapa sawit Indonesia. “Kita diposisikan sebagai produsen CPO terbesar di dunia, karena tidak semua negara bisa menanam sawit. Sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan kemudian, cinta penggunaan bahan bakar nabati juga perlu digenjot,” ujar Tumanggor saat Webinar ‘Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa’, Kamis (15/10/2020). Penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari adanya tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakati dalam Protokol Kyoto. Di lain pihak, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi. “Kita bisa menggunakan produk nabati kita menjadi energi nasional dan kita juga perlu menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. Inilah beragam alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” tutur Tum, sapaanya. Tak ketinggalan, Tumanggor juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas peran Presiden Joko Widodo, serta seluruh jajarannya atas komitmennya dalam mencanangkan B30, B40, hingga B100. Terkait kualitas biodiesel, Tumanggor mengatakan masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. “Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik,” imbuhnya. Pemerintah mendukung penuh pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN). Hal itu dikatakan oleh Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Edi Wibowo yang juga hadir sebagai keynote speaker. “Sebagai bagian dari ekosistem sawit nasional, kami mendukung penuh upaya pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair berbahan dasar sawit karena manfaatnya sangat banyak bagi masyarakat Indonesia,” ujar Edi, dalam paparannya.

https://www.tribunnews.com/bisnis/2020/10/15/aprobi-penggunaan-bahan-bakar-nabati-perlu-digenjot

Sindonews.com | Kamis, 15 Oktober 2020

Produksi Sawit RI Potensi Besar Wujudkan Ketahanan Energi

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Parulian Tumanggor, menyatakan bahwa penggunaan biodiesel di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 2006. Pria yang akrab disapa Pak Tum ini memaparkan bahwa yang menjadi latar belakang dari penggunaan biodiesel di Tanah Air adalah fakta bahwa Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah, serta berlimpahnya produk kelapa sawit Indonesia. “Betapa bersyukurnya kita bahwa tuhan menganugerahkan kepada kita, posisi sebagai produsen CPO terbesar di dunia, karena tidak semua negara bisa menanam sawit. Sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan kemudian, cinta penggunaan bahan bakar nabati juga makin diketatkan,” ujar Tumanggor dalam Webminar ‘Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa’ di Jakarta, Kamis (15/10/2020). Di luar kedua hal tersebut, menurut Tumanggor, penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari adanya tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakatai dalam Protokol Kyoto. Di lain pihak, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi. “Kita bisa menggunakan produk nabati kita menjadi energi nasional dan kita juga perlu menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. Inilah beragam alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” tuturnya. Tak ketinggalan, Tumanggor juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas peran Presiden RI, Joko Widodo, serta seluruh jajarannya atas komitmennya dalam mencanangkan B30, B40, hingga B100. “Masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik,” tandas Tumanggor.

Posisi APROBI yang beranggotakan 19 perusahaan disebut Tumanggor hanya berperan sebagai ‘tukang jahit’. APROBI sebagai produsen biofuel membeli CPO dari masyarakat dan perusahaan untuk diproduksi menjadi FAME yang kemudian dicampurkan dengan solar. Produk akhir ini nantinya akan dikirimkan ke station-station yang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM dan PT Pertamina. “Agar jangan ada kesimpangsiuran di tengah-tengah masyarakat, seakan-akan produsen ini tadi mengeruk uang yang begitu besar dari uang BPDP, Rp15 triliun atau Rp20 triliun hanya dinikmati oleh 19 perusahaan. Sekali lagi, perusahaan ini hanya sebagai tukang jahit mendapatkan biaya proses produksi sekita saat ini USD90 per ton,” tegasnya. Terkait insentif yang didapatkan APROBI, Tumanggor dengan tegas mengatakan, yang didapatkan oleh APROBI ini bukan dari APBN, tetapi dari BPDPKS yang dihimpun dari dana para eksportir sawit. Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Edi Wibowo, menambahkan sebagai bagian dari ekosistem sawit nasional, pemerintah mendukung penuh upaya pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair berbahan dasar sawit karena manfaatnya sangat banyak bagi masyarakat Indonesia.

https://ekbis.sindonews.com/read/197796/34/produksi-sawit-ri-potensi-besar-wujudkan-ketahanan-energi-1602778222

Beritasatu.com | Kamis, 15 Oktober 2020

Pemerintah dan Aprobi Gencar Dorong Penggunaan BBN

Pemerintah mendukung pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) berbahan dasar sawit untuk kebutuhan industri dan masyarakat Indonesia. Hal itu dikatakan Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Edi Wibowo, yang hadir sebagai keynote speaker dalam webminar ‘Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa’. “Sebagai bagian dari ekosistem sawit nasional, kami mendukung upaya pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair berbahan dasar sawit karena manfaatnya banyak bagi masyarakat Indonesia,” ujar Edi, dalam paparannya dalam keterangan yang diterima Kamis (15/10/2020). Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Parulian Tumanggor, yang turut berpartisipasi sebagai salah satu pembicara, menyatakan bahwa penggunaan biodiesel di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 2006. Dia memaparkan penggunaan biodiesel di Indonesia berawal karena Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah, serta berlimpahnya produk kelapa sawit Indonesia. “Betapa bersyukurnya bahwa Tuhan menganugerahkan kepada kita, posisi sebagai produsen CPO terbesar di dunia, karena tidak semua negara bisa menanam sawit. Sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan kemudian, cinta penggunaan bahan bakar nabati juga makin diketatkan,” ujar Tumanggor, dalam penjelasannya.

Di luar kedua hal tersebut, menurut Tumanggor, penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakatai dalam Protokol Kyoto. Di lain pihak, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi. “Kita bisa menggunakan produk nabati kita menjadi energi nasional dan kita juga perlu menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. Inilah beragam alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” tuturnya. Tumanggor juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas peran Presiden Joko Widodo, serta seluruh jajarannya atas komitmennya dalam mencanangkan B30, B40, hingga B100. “Masyarakat tidak perlu khawatir karena kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik,” kata dia. Posisi Aprobi yang beranggotakan 19 perusahaan disebut Tumanggor hanya berperan sebagai ‘tukang jahit’. Aprobi sebagai produsen biofuel membeli minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari masyarakat dan perusahaan untuk diproduksi menjadi FAME yang kemudian dicampurkan dengan solar. Produk akhir ini nantinya akan dikirimkan ke station yang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM dan PT Pertamina. “Agar jangan ada kesimpangsiuran di tengah-tengah masyarakat, seakan-akan produsen ini mengeruk uang begitu besar dari BPDP,” kata dia. Terkait insentif yang didapatkan Aprobid Tumanggor mengatakan, dana ini bukan dari APBN, tetapi dari BPDPKS yang dihimpun dari para eksportir sawit.

https://www.beritasatu.com/whisnu-bagus-prasetyo/ekonomi/687659/pemerintah-dan-aprobi-gencar-dorong-penggunaan-bbn

Republika.co.id | Kamis, 15 Oktober 2020

Pengembangan Biodiesel Strategis bagi Perekonomian

Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo mengatakan pemerintah mendukung penuh pengembangan bahan bakar nabati (BBN) biodiesel. Pemanfaatan biodiesel penting untuk energi berkelanjutan sekaligus mendorong perekonomian nasional. “Sebagai bagian dari ekosistem sawit nasional, BPDPKS mendukung pengembangan BBN cair berbahan dasar sawit, karena bernilai strategis dan manfaatnya sangat banyak bagi masyarakat Indonesia,” ujar Edi Wibowo, Kamis (16/10). Menurut Edi, pemanfaatan sumber bahan baku dari dalam negeri dapat mengurangi impor minyak yang pada akhirnya mengurangi defisit perdagangan RI. Salah satu sumber energi yang akan terus dikembangkan, kata dia, adalah biofuel berbasis minyak sawit mentah (CPO). Dalam sebuah webinar Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa, Edi mengatakan dampak positif implementasi pemanfaatan biodiesel melalui insentif pendanaan BPDPKS mulai dari 2015 sampai Juni 2020 dapat mengurangi efek gas rumah kaca sekitar 37,50 juta ton CO2 dari penggunaan biodiesel sebesar 25,08 juta kiloliter. Kemudian, pajak yang dibayar kepada negara bisa mencapai sebesar Rp 4,13 triliun, penghematan devisa sekitar Rp 127,79 triliun, peningkatan nilai tambah industri hilir sawit Rp 36,12 triliun, hingga penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Parulian Tumanggor mengatakan, penggunaan biodiesel di Indonesia sudah berjalan sejak 2006. Latar belakang dari penggunaan biodiesel di Indonesia adalah fakta bahwa Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah serta berlimpahnya produksi CPO. “Kita harus bersyukur menjadi produsen CPO terbesar di dunia, karena tidak semua negara bisa menanam sawit, sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan kemudian, cinta penggunaan BBN juga makin diketatkan,” ujar Tumanggor. Penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sesuai kesepakatan dalam Protokol Kyoto. Di sisi lain, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi. “Kita bisa menggunakan produk nabati menjadi energi nasional dan juga perlu menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. Inilah beragam alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” katanya. Tumanggor mengapresiasi peran Presiden Joko Widodo dalam mencanangkan B30, B40, hingga B100. “Masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik,” kata Tumanggor. Aprobi saat ini memiliki 19 perusahaan anggota yang membeli membeli CPO untuk diproduksi menjadi unsur nabati FAME (fatty acid methyl ester) yang kemudian dicampurkan dengan solar. Produk akhir ini dikirimkan ke stasiun bahan bakar yang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM dan PT Pertamina. Terkait insentif yang didapatkan Aprobi, Tumanggor mengatakan dana tersebut bukan dari APBN, tetapi dari BPDPKS yang dihimpun dari dana para eksportir sawit.

https://republika.co.id/berita/qi97mo416/pengembangan-biodiesel-strategis-bagi-perekonomian

Pikiran-Rakyat.com | Kamis, 15 Oktober 2020

PTPN VIII Perluas Areal Kelapa Sawit dan Bangun Pabrik Sawit Baru

Pengembangan areal komoditas dan produksi minyak sawit dilakukan badan usaha milik negara PT Perkebunan Nusantara VIII di Jawa Barat. Perusahaan tersebut menambah lagi areal kelapa sawit sekitar 10.000 hektar secara bertahap.   SEVP Operasional II PTPN VIII, Jhoni Halilintar Tarigan, kepada DeskJabar, di Bandung, Kamis, 14 Oktober 2020, menyebutkan, pengembangan areal komoditas kelapa sawit mayoritas dilakukan pada tiga unit kebun di Kabupaten Sukabumi. Penanaman dilakukan pada areal di selatan Sukabumi, karena lokasinya secara ketinggian tempat cocok untuk pembudidayaan tanaman kelapa sawit. Untuk mendukung produksi kelapa sawit, dikatakan, PTPN VIII juga bersiap membangun sebuah pabrik baru pengolahan sawit. Rencananya, pabrik minyak sawit baru itu dibuat di Kebun Pasirbadak, di Afdeling Citarik, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Penambahan areal kelapa sawit tersebut, menurut Jhoni H Tarigan, dilakukan dengan mengkonversi komoditas karet, dan menanami areal yang selama ini kurang produktif. Diharapkan, 4 s.d 5 tahun ke depan, sudah berproduksi lalu diolah pada pabrik baru yang akan dibangun di Afdeling Citarik itu. PTPN VIII kini sudah mengusahakan 20.000-an hektar tanaman kelapa sawit, serta memiliki dua pabrik pengolahan sawit, yaitu di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Kertajaya Kabupaten Lebak, Banten, dan PKS Cikasungka, di Kabupaten Bogor. Dengan penambahan areal tanaman sawit dan pabrik pengolahan sawit, PTPN VIII menjadi total akan mengelola 30.000-an hektare kelapa sawit dan tiga pabrik kelapa sawit.   “Mengapa mengembangkan kelapa sawit, karena komoditas itulah yang kini menjadi andalan usaha perkebunan di Indonesia, dan sudah jelas keuntungannya dan prospeknya bagus ke depan. Seiring dengan itu, kebutuhan penambahan tenaga pun muncul, sehingga akan membuka banyak lapangan kerja,” ,” ujar Jhoni H Tarigan.

Disebutkan, prospektifnya komoditas kelapa sawit bakal prospektif ke depan, karena penggunaannya meluas, bukan hanya minyak goreng, juga aneka produksi industri lainnya terus berkembang. Apalagi,, ada pula kebutuhan bahan bakar nabati yang kini dikembangkan di Indonesia, dengan menggunakan bahan sawit, yaitu B20, B30, lalu B50. Pada hari yang sama, Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo mengatakan pemerintah mendukung penuh pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) biodiesel untuk energi berkelanjutan yang sekaligus mendorong perekonomian nasional. Edi Wibowo dalam keterangannya dikutip Kantor Berita Antara, di Jakarta, Kamis 15 Oktioer 2020, mengatakan, pemanfaatan sumber bahan baku dari dalam negeri guna mengurangi impor minyak pada akhirnya mengurangi defisit perdagangan Republik Indonesia. Salah satu sumber energi yang akan terus dikembangkan yakni biofuel berbasis minyak sawit mentah (CPO). Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Parulian Tumanggor mengatakan penggunaan biodiesel di Indonesia berjalan sejak tahun 2006. Latar belakang dari penggunaan biodiesel di Indonesia adalah fakta,  Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah serta berlimpahnya produksi CPO. “Kita harus bersyukur menjadi produsen CPO terbesar di dunia, karena tidak semua negara bisa menanam sawit,” ujar Tumanggor. Disebutkan, penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sesuai kesepakatan dalam Protokol Kyoto. Produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar mewujudkan ketahanan energi. “Kita bisa menggunakan produk nabati menjadi energi nasional dan juga perlu menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. Inilah beragam alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” katanya. Tumanggor mengapresiasi peran Presiden Joko Widodo dalam mencanangkan B30, B40, hingga B100. “Masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik,” kata Tumanggor.

https://deskjabar.pikiran-rakyat.com/ragam/pr-113836193/ptpn-viii-perluas-areal-kelapa-sawit-dan-bangun-pabrik-sawit-baru

Suara.com | Kamis, 15 Oktober 2020

Pemerintah Dorong Upaya Wujudkan Bahan Bakar Nabati Berbasis Sawit

Pemerintah mendukung penuh pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) demi memenuhi energi alternatif di masa depan. Hal itu dikatakan oleh Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kementerian Keuangan, Edi Wibowo dalam sebuah Webminar bertajuk ‘Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa’. “Sebagai bagian dari ekosistem sawit nasional, kami mendukung penuh upaya pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair berbahan dasar sawit karena manfaatnya sangat banyak bagi masyarakat Indonesia,” ujar Edi, dalam paparannya, ditulis Kamis (14/10/2020). Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Parulian Tumanggor yang turut berpartisipasi sebagai salah satu pembicara, menyatakan bahwa penggunaan biodiesel di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 2006. Pria yang akrab disapa Pak Tum ini memaparkan bahwa yang menjadi latar belakang dari penggunaan biodiesel di Indonesia adalah fakta bahwa Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah, serta berlimpahnya produk kelapa sawit Indonesia. “Betapa bersyukurnya kita bahwa Tuhan menganugerahkan kepada kita, posisi sebagai produsen CPO terbesar di dunia, karena tidak semua negara bisa menanam sawit. Sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan kemudian, cinta penggunaan bahan bakar nabati juga makin diketatkan,” katanya.

Di luar kedua hal tersebut, menurut Tumanggor, penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari adanya tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakati dalam Protokol Kyoto. Di lain pihak, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi. Kita bisa menggunakan produk nabati kita menjadi energi nasional dan kita juga perlu menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. “Inilah beragam alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” tuturnya. Tak ketinggalan, Tumanggor juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas peran Presiden RI Joko Widodo, serta seluruh jajarannya atas komitmennya dalam mencanangkan B30, B40, hingga B100. Terkait kualitas biodiesel, Tumanggor mengatakan, Masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. “Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik,” kata Tumanggor. Posisi APROBI yang beranggotakan 19 perusahaan disebut Tumanggor hanya berperan sebagai tukang jahit. APROBI sebagai produsen biofuel membeli CPO dari masyarakat dan perusahaan untuk diproduksi menjadi FAME yang kemudian dicampurkan dengan solar. Produk akhir ini nantinya akan dikirimkan ke station-station yang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM dan PT Pertamina. “Agar jangan ada kesimpangsiuran di tengah-tengah masyarakat, seakan-akan produsen ini tadi mengeruk uang yang begitu besar dari uang BPDP, Rp 15 triliun atau Rp 20 triliun hanya dinikmati oleh 19 perusahaan. Sekali lagi, perusahaan ini hanya sebagai tukang jahit mendapatkan biaya proses produksi sekita saat ini 90 dolar AS per ton. Terkait insentif yang didapatkan APROBI, Tumanggor dengan tegas mengatakan, Dan yang didapatkan oleh APROBI ini bukan dari APBN, tetapi dari BPDPKS yang dihimpun dari dana para eksportir sawit,” pungkas Tumanggor.

https://www.suara.com/bisnis/2020/10/15/084320/pemerintah-dorong-upaya-wujudkan-bahan-bakar-nabati-berbasis-sawit

Industry.co.id | Kamis, 15 Oktober 2020

Miris Masih Menjadi Net Importir Minyak Mentah, Padahal Indonesia Produsen CPO Terbesar di Dunia, APROBI Tegaskan Bahan Bakar Nabati untuk Kemakmuran Bangsa

Pemerintah mendukung penuh pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN). Hal itu dikatakan oleh Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Edi Wibowo, yang hadir sebagai keynote speaker dalam Webminar ‘Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa’. “Sebagai bagian dari ekosistem sawit nasional, kami mendukung penuh upaya pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair berbahan dasar sawit karena manfaatnya sangat banyak bagi masyarakat Indonesia,” ujar Edi, dalam paparannya. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Parulian Tumanggor, yang turut berpartisipasi sebagai salah satu pembicara, menyatakan bahwa penggunaan biodiesel di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 2006. Pria yang akrab disapa Pak Tum ini memaparkan bahwa yang menjadi latar belakang dari penggunaan biodiesel di Indonesia adalah fakta bahwa Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah, serta berlimpahnya produk kelapa sawit Indonesia. “Betapa bersyukurnya kita bahwa Tuhan menganugerahkan kepada kita, posisi sebagai produsen CPO terbesar di dunia, karena tidak semua negara bisa menanam sawit. Sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan kemudian, cinta penggunaan bahan bakar nabati juga makin diketatkan,” ujar Tumanggor, dalam penjelasannya. Di luar kedua hal tersebut, menurut Tumanggor, penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari adanya tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakatai dalam Protokol Kyoto. Di lain pihak, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi. “Kita bisa menggunakan produk nabati kita menjadi energi nasional dan kita juga perlu menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. Inilah beragam alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” tuturnya. Tak ketinggalan, Tumanggor juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas peran Presiden RI, Joko Widodo, serta seluruh jajarannya atas komitmennya dalam mencanangkan B30, B40, hingga B100. Terkait kualitas biodiesel, Tumanggor mengatakan, “Masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik,” tandas Tumanggor. Posisi APROBI yang beranggotakan 19 perusahaan disebut Tumanggor hanya berperan sebagai ‘tukang jahit’. APROBI sebagai produsen biofuel membeli CPO dari masyarakat dan perusahaan untuk diproduksi menjadi FAME yang kemudian dicampurkan dengan solar. Produk akhir ini nantinya akan dikirimkan ke station-station yang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM dan PT Pertamina. “Agar jangan ada kesimpangsiuran di tengah-tengah masyarakat, seakan-akan produsen ini tadi mengeruk uang yang begitu besar dari uang BPDP, Rp15 triliun atau Rp20 triliun hanya dinikmati oleh 19 perusahaan. Sekali lagi, perusahaan ini hanya sebagai tukang jahit mendapatkan biaya proses produksi sekita saat ini US$90 per ton. Terkait insentif yang didapatkan APROBI, Tumanggor dengan tegas mengatakan, “Dan yang didapatkan oleh APROBI ini bukan dari APBN, tetapi dari BPDPKS yang dihimpun dari dana para eksportir sawit,” tegas Tumanggor.

https://www.industry.co.id/read/75610/miris-masih-menjadi-net-importir-minyak-mentah-padahal-indonesia-produsen-cpo-terbesar-di-dunia-aprobi-tegaskan-bahan-bakar-nabati-untuk-kemakmuran-bangsa

Mediaindonesia.com | Kamis, 15 Oktober 2020

APROBI Tegaskan Bahan Bakar Nabati untuk Kemakmuran Bangsa

DIREKTUR Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Edi Wibowo menyatakan bahwa pihaknya  mendukung pengembangan Bakar Nabati.  “Sebagai bagian dari ekosistem sawit nasional, kami mendukung penuh upaya pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair berbahan dasar sawit karena manfaatnya sangat banyak bagi masyarakat Indonesia,” ujar Edi  menjadi  keynote speaker dalam Webminar ‘Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa’.  Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Parulian Tumanggor yang jadi salah satu pembicara dalam webinar itu  menyatakan bahwa penggunaan biodiesel di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 2006.  Pria yang akrab disapa Pak Tum ini memaparkan bahwa yang menjadi latar belakang dari penggunaan biodiesel di Indonesia adalah fakta bahwa Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah, serta berlimpahnya produk kelapa sawit Indonesia.  “Tidak semua negara bisa menanam sawit. Sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan,  kemudian cinta penggunaan bahan bakar nabati juga makin diketatkan,” ujar Tumanggor Di luar kedua hal tersebut, menurut Tumanggor, penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari adanya tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakatai dalam Protokol Kyoto.  Di lain pihak, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi.  “Kita bisa menggunakan produk nabati kita menjadi energi nasional dan kita juga perlu menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. Inilah beragam alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” tuturnya. 

Tak ketinggalan, Tumanggor juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas peran Presiden RI, Joko Widodo, serta seluruh jajarannya atas komitmennya dalam mencanangkan B30, B40, hingga B100. Terkait kualitas biodiesel, Tumanggor mengatakan,  “Masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik,” tandas Tumanggor. Posisi APROBI yang beranggotakan 19 perusahaan disebut Tumanggor hanya berperan sebagai ‘tukang jahit’. APROBI sebagai produsen biofuel membeli CPO dari masyarakat dan perusahaan untuk diproduksi menjadi FAME yang kemudian dicampurkan dengan solar. Produk akhir ini nantinya akan dikirimkan ke station-station yang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM dan PT Pertamina.  “Agar jangan ada kesimpangsiuran di tengah-tengah masyarakat, seakan-akan produsen ini tadi mengeruk uang yang begitu besar dari uang BPDP, Rp15 triliun atau Rp20 triliun hanya dinikmati oleh 19 perusahaan. Sekali lagi, perusahaan ini hanya sebagai tukang jahit mendapatkan biaya proses produksi sekitar saat ini US$90 per ton,”ujarnya.  Terkait insentif yang didapatkan APROBI, Tumanggor dengan tegas mengatakan, “Dana yang didapatkan oleh APROBI ini bukan dari APBN, tetapi dari BPDPKS yang dihimpun dari dana para eksportir sawit.”

https://mediaindonesia.com/read/detail/352987-aprobi-tegaskan-bahan-bakar-nabati-untuk-kemakmuran-bangsa

BERITA BIOFUEL

Wartaekonomi.co.id | Kamis, 15 Oktober 2020

Biodiesel dan Oleokimia Mendominasi Konsumsi Domestik Sawit

Meskipun kinerja ekspor minyak sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya periode Agustus mengalami penurunan 9 persen menjadi US$1,69 miliar (atau sekitar Rp25 triliun) akibat pandemi Covid-19, produksi dan konsumsi dalam negeri mulai menunjukkan pemulihan. Produksi CPO pada Agustus 2020 tercatat mencapai 4,2 juta ton atau sama dengan produksi di Agustus tahun 2019. Kendati demikian, secara total, produksi CPO nasional periode Januari–Agustus 2020 mencapai 6,7 persen lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Tidak hanya mengikuti siklus musim, peningkatan produksi tersebut juga terjadi akibat tanaman sudah mulai pulih setelah melalui fase pemupukan Semester I-2020. Di sisi lain, konsumsi minyak sawit domestik untuk produk pangan dan oleokimia selama dua bulan terakhir tercatat meningkat. Konsumsi minyak sawit untuk pangan periode Agustus naik sekitar 1,9 persen menjadi 654 ribu ton pada m-o-m. Sementara itu, konsumsi domestik untuk produk oleokimia meningkat 2 persen menjadi 151 ribu ton pada periode yag sama. Namun sebaliknya, konsumsi biodiesel mengalami penuruan sebesar 9,8 persen menjadi 576 ribu ton. Secara kumulatif, periode Januari dan Februari (sebelum pandemi Covid-19), konsumsi minyak sawit domestik mengalami peningkatan hingga 16 persen dibandingkan periode yang sama pada y-o-y. Namun, periode Juni–Juli, total konsumsi tersebut turun menjadi 3 persen dan makin menyusut menjadi 2,5 persen pada periode Agustus. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indoensia (Gapki), Mukti Sardjono, mengatakan, “Penurunan utama terjadi pada penggunaan untuk pangan. Secara tahunan sampai dengan Agustus 2020, konsumsi turun 14,9 persen, sedangkan untuk oleokimia dan biodiesel sampai dengan Agustus kemarin naik masing-masing 45,3 persen dan 26,9 persen.” Sementara itu, adanya tren kenaikan produksi yang bersamaan dengan tren kenaikan harga menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan devisa melalui ekspor produk sawit. Sebagai salah satu negara yang sudah mulai pulih dari wabah Covid-19, Indonesia berpeluang besar untuk mengejar ketertinggalan ekspor ke China dari tahun lalu. Lebih lanjut Mukti juga mengatakan, “Kenaikan konsumsi untuk pangan dan oleokimia dua bulan terakhir memberikan harapan kepulihan konsumsi dalam negeri.”

https://www.wartaekonomi.co.id/read309183/biodiesel-dan-oleokimia-mendominasi-konsumsi-domestik-sawit

CNBCIndonesia.com | Kamis, 15 Oktober 2020

Konsumsi Biodiesel RI Masih Lemah, Harga CPO Drop, tapi…

Harga minyak sawit mentah (CPO) melorot pada perdagangan hari ini, Kamis (15/10/2020). Namun ke depan harga minyak sawit diperkirakan justru bakal mengalami kenaikan seiring dengan adanya ancaman penurunan output (produksi) akibat fenomena La Nina. Kamis (15/10/2020), harga CPO untuk kontrak pengiriman Desember di Bursa Malaysia Derivatif Exchange melemah 0,6% dibanding posisi penutupan kemarin ke RM 2.971/ton. Koreksi harga CPO kali ini dipicu oleh adanya sentimen negatif seputar impor minyak sawit Negeri Jiran yang diperkirakan turun dan konsumsi biodiesel di Indonesia yang lambat dan kemungkinan tak mencapai target tahun ini. Investor dan trader kali ini menunggu rilis data survei ekspor minyak sawit Malaysia untuk periode 1-15 Oktober. Namun berdasarkan rumor yang beredar di kalangan para trader, ekspor minyak sawit Malaysia sepanjang bulan ini mengalami penurunan 2% – 3,2% dari bulan sebelumnya. Beralih ke dalam negeri, dalam mandat program B30, target konsumsi bahan bakar nabati tersebut untuk tahun ini dipatok 9,6 juta kilo liter. Namun sampai dengan September konsumsinya baru 6,17 juta ton atau 64% dari target. Selagi mobilitas dan aktivitas ekonomi masih lambat, maka kebutuhan energi belum akan pulih ke level normal. Artinya konsumsi bahan bakar baik di dalam maupun luar negeri belum bisa banyak diharapkan.  “Berita tentang konsumsi biodiesel Indonesia tidak begitu bersahabat dan akan membatasi kenaikan harga minyak sawit mentah,” kata seorang trader yang berbasis di Kuala Lumpur kepada Reuters.

Namun dengan adanya ancaman La Nina yang berpotensi menurunkan output di tengah potensi kenaikan permintaan impor dari berbagai negara terutama China yang semakin dekat dengan tahun baru serta India yang bakal merayakan Diwali November nanti turut mengerek harga. La Nina merupakan fenomena iklim yang melanda kawasan tropis Pasifik dan menyebabkan intensitas hujan yang lebih tinggi dan deras. Berkaca pada pengalaman yang sudah terjadi, fenomena La Nina umumnya dibarengi dengan maraknya banjir di Indonesia dan Malaysia. Banjir selain mengakibatkan gangguan pada aktivitas panen untuk komoditas pertanian juga bisa merusak stok sehingga tidak hanya harga CPO dan turunannya saja yang akan terkerek naik tetapi juga komoditas pertanian lainnya.  Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan curah hujan yang tinggi akibat La Nina ini bakal berlangsung sampai akhir tahun bahkan bisa sampai April tahun depan. Terkait seberapa tinggi harga CPO akan terkerek juga tergantung dari permintaan baik domestik dan ekspor yang akan berpengaruh pada stok akhir minyak sawit. Sebagai informasi, ekspor minyak nabati dan hewani Indonesia menyumbang pangsa ekspor non-migas terbesar. Pada periode Januari-Agustus 2020, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pangsa ekspor minyak nabati dan hewani RI terhadap total ekspor non-migas mencapai 12,4% atau senilai US$ 12,14 miliar.

https://www.cnbcindonesia.com/market/20201015104627-17-194522/konsumsi-biodiesel-ri-masih-lemah-harga-cpo-drop-tapi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *