Wartaekonomi.co.id | Selasa, 18 Mei 2021
B30 untuk Petani Ibarat Pepatah MInang: Alun Takilek, Alah Takalam di Awak
Persoalan Pungutan Ekspor (leivy) dan B30 sejak setahun terakhir masih menimbulkan asumsi dari beberapa pihak. Padahal, kehadiran B30 Indonesia justru telah membuat mata dunia semakin terbelalak. Mengapa? Pertama, Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang berhasil mengimplementasikan B30, sementara di negara lain hanya B7. Kedua, B30 membuat serapan domestik semakin meningkat. Ketiga, impor bahan bakar fosil solar semakin berkurang. Tidak hanya itu, implementasi B30 dan Pungutan Ekspor yang diberlakukan di Indonesia juga mampu membuat harga tandan buah segar (TBS) petani di daerah sentra sawit meningkat. Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat Manurung mengatakan, sebenarnya dunia tidak akan mampu menjauh dari sawit. Meskipun negara-negara dunia masih memproduksi minyak kedelai maupun minyak rapeseed, tetapi harga minyak nabati tersebut 9,8 kali lebih mahal daripada minyak kelapa sawit. Tidak hanya itu, kelapa sawit juga hanya menggunakan seluas 24 juta hektar lahan dunia, sementara kedelai, rapeseed, dan bunga matahari sudah menghabiskan lebih dari 190 juta hektar lahan dunia. “Kalau bicara TBS, tentu kita akan bicara petani. Sebab dari 16,38 juta hektar kebun sawit Indonesia, 6,8 juta hektar, milik petani. Berarti mandatori ini telah menjaga hajat hidup sekitar 21 juta orang di dalam negeri dan menjadi posisi tawar Indonesia yang luar biasa di luar negeri,” tegas Gulat. Dari semua kenyataan tersebut, tidak salah jika mandatori B30 menjadi catatan sejarah indah Indonesia untuk menjaga harga TBS. “Dan ingat, sekarang negara lain mengimpor CPO enggak melulu lagi untuk pangan, tapi mau membikin biodiesel. Biodiesel ini mau dijual lagi. Ibarat pepatah Minang, alun takilek, alah takalam di awak (orang baru mau mikir, kita sudah berbuat),” kata Gulat. Terkait Pungutan Ekspor, Gulat menjelaskan, “pungutan ini buat siapa? Untuk rakyat juga. Untuk riset, Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), pengembangan, hilirisasi dan sarana prasarana. dapat double petani. Dapat harga bagus, program Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang mengelola dana pungutan itu, pun lancar”. Oleh kedigdayaan sawit inilah, tanaman asal Mauritius Afrika inipun didapuk menjadi lokomotif ekonomi Indonesia, bahkan di masa pandemi.
https://www.wartaekonomi.co.id/read341855/b30-untuk-petani-ibarat-pepatah-minang-alun-takilek-alah-takalam-di-awak
Harian Seputar Indonesia | Selasa, 18 Mei 2021
Pertamina Prioritaskan Proyek Transisi Energi dari Fosil ke EBT
PT Pertamina (Persero) memprioritaskan program transisi energi dari fosil menuju energi baru terbarukan (EBT). BUMN energi ini akan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah di dalam negeri serta mengoptimalkan infrastruktur dari bisnis yang ada. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, program transisi energi menjadi upaya mengatasi defisit transaksi berjalan akibat masih tingginya impor bahan bakar minyak, sekaligus me-ngembangkanpotensisumber daya domestik sebagai bahan baku energi. “Pertamina telah memiliki tiga program prioritas sebagai bagian dari implementasi transisi energi sekaligus ekonomi hijau,” kata Nicke dalam keterangannya di Jakarta kemarin. Program transisi pertama adalah penurunan impor bahan bakar minyak jenis solar melalui implementasi biodiesel. Denganprogramitu, Pertamina berhasil mengurangi impor solar secara signifikan. Bahkan, perseroan tidak lagi mengimpor solar terhitung sejakApril2019. Program kedua adalah pengurangan ketergantungan pada impor elpiji melalui proyek gasifikasi batu bara menjadi dim etil eter yang akan menggantikan penggunaan elpiji di dalam negeri. “Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki cadangan batu bara terbesarber-peluang baik untuk melakukan gasifikasi batu bara menjadi dimetil eter. Kami yakin pengembangan ini dapat mencapai target pemerintah untuk bebas impor elpiji pada 2027,” kata Nicke. Selanjutnya program ketiga adalah penurunan impor bahan bakar minyak jenis gasoline dengan mencampur metanol dan etanol. Dua produk itu dapat diperoleh melalui gasifikasi batu bara maupun sumber bioetanol lainnya. Untuk menjamin keberlangsungan lini bisnis dan mengatasi isu lingkungan dari gasifikasi batu bara, secara bersamaan Pertamina juga menerapkan teknologi carbon capture utilization and storage (CCUS) untuk menekan emisi karbon dan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan produksi migas. Perusahaan pelat merah ini juga menjajaki potensi kerja sama dengan Exxonmobil dan sedang melakukan kerja sama studi injeksikarbondioksida di lapangan eksplorasi Gundih dan Sukowati. “Melalui pemanfaatan carbon capture yang terintegrasi dengan proyek dimetil eter, kami yakin dapat menekan emisi karbon hingga 45%,” pungkas Nicke