Bagini kata Menko Luhut soal hilirisasi batubara menjadi DME dan methanol

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kontan.co.id | Senin, 14 September 2020

Bagini kata Menko Luhut soal hilirisasi batubara menjadi DME dan methanol

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memaparkan potensi peningkatan nilai tambah atau hilirisasi batubara di Indonesia. Luhut menyoroti dua jenis hilirisasi dalam bentuk gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) dan menjadi Metanol. Dia mengatakan, hilirisasi batubara merupakan langkah yang penting untuk meningkatkan nilai tambah, dibandingkan dengan terus-terusan menjual barang mentah. Dengan hilirisasi, cadangan batubara Indonesia bisa dimanfaatkan lebih optimal. Mengingat penggunaan batubara di dalam negeri masih lebih rendah ketimbang batubara yang diekspor. Sebagai gambaran, pada tahun lalu penggunaan batubara domestik masih sebesar 138 juta ton, sedangkan yang diekspor mencapai 375 juta ton, dengan nilai ekspor sekitar US$ 19 miliar. “Penjualan batubara sebagian besar diekspor, kita perlu maintenance batubara ini. Karena cadangan tidak banyak, jadi perlu melihat itu,” kata dia saat memberikan paparan dalam rangkaian acara 30 tahun Perhapi, Senin (14/9). Luhut memaparkan, produk turunan bisa memberikan nilai tambah hingga 2-3 kali lipat. Pengolahan batubara menjadi metanol (coal to methanol), misalnya, bisa memberikan peningkatan nilai ekspor hingga 2,4 kali. Sementara peningkatan nilai untuk batubara menjadi DME sebanyak 1,85 kali. Apalagi, hilirisasi batubara menjadi DME dan Methanol bisa menjadi produk substitusi yang dibutuhkan Indonesia. Seperti DME untuk substitusi LPG yang sebagiannya masih diimpor, serta metanol yang bisa dijadikan campuran biodiesel (FAME). Kendati begitu, hilirisasi batubara ini bukan tanpa catatan. Menurut Luhut, sejumlah hal yang masih perlu diperhatikan ialah terkait harga serta tingkat investasi dan pengembalian modalnya alias internal rate of return (IRR). “Nanti di sini masalah itu, mengenai harga dan juga investasi dan IRR-nya DME dan metanol,” sambung Luhut. 

Dia mengklaim, proyek coal to methanol relatif tidak memiliki persoalan yang signifikan. Alasannya, skema yang digunakan untuk proyek tersebut bersifat business to business (B to B) dan tidak memerlukan subsidi dari pemerintah. Lain hal nya dengan proyek coal to DME yang masih membutuhkan kajian lebih mendalam karena berpotensi memerlukan subsidi yang lebih besar dibandingkan LPG pada harga saat ini. Dengan kajian lebih lanjut, imbuh Luhut, manfaat ekonomis diharapkan tidak hanya berupa substitusi impor namun juga pada perbaikan manajemen subsidi energi. “Kalau metanol saya tidak melihat ada masalah, tapi mungkin DME ada sedikit masalah karena menyangkut harga. Tapi itu bisa diomongin lah,” sebut Luhut. Namun dia menegaskan bahwa hilirisasi batubara menjadi DME mesti diimplementasikan. Hal itu penting untuk mengurangi impor LPG sehingga bisa memperbaiki current account deficit (CAD). Pasalnya, impor LPG mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, dan menjadi 5,7 juta ton pada tahun 2019 lalu. “Jadi DME sebagai substitusi LPG, mengurangi impor. Angkanya sangat besar, jumlahnya, nilainya. Itu perlu kita hati-hati jangan sampai CAD juga kena,” imbuhnya. Adapun, proyek gasifikasi batubara menjadi DME akan dilakukan oleh konsorsium PTBA. Nilai investasi untuk proyek yang berlokasi di Sumatra Selatan itu paling tidak mencapai US$ 2,4 miliar dengan produksi mencapai 1,4 juta ton DME per tahun. Dalam paparan Luhut, disebutkan bahwa pemerintah menyiapkan insentif berupa royalti batubara input sebesar 0%, tax holiday 20 tahun, pembebasan pajak impor saat konstruksi dan sedang mengkaji permintaan tambahan untuk subsidi. Sedangkan untuk batubara menjadi metanol akan dikerjakan oleh Grup Bakrie di Kalimantan Timur. Proyek dengan investasi sekitar US$ 1,8 miliar itu akan memproduksi 1,8 juta ton metanol per tahun. Pemerintah menyiapkan insentif berupa royalti batubara input sebesar 0%, tak holiday 20 tahun, dan pembebasan pajak impor saat konstruksi.

https://industri.kontan.co.id/news/bagini-kata-menko-luhut-soal-hilirisasi-batubara-menjadi-dme-dan-metanol?page=all

CNBCindonesia.com | Senin, 14 September 2020

Ini Cara Pemerintah Demi Bisa Kejar Target EBT 23% di 2025

Pemerintah optimis target bauran energi baru terbarukan mencapai sebesar 23% pada 2025 bakal tercapai, meski sampai akhir 2019 capaiannya baru sekitar 9,15%. Artinya, banyak tantangan yang akan dihadapi pemerintah untuk bisa mengejar target bauran energi 23% tersebut. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) F.X. Sutijastoto mengatakan pemerintah akan melakukan sejumlah upaya agar target bauran EBT 23% pada 2025 seperti tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dapat tercapai. Salah satunya yaitu berupaya menurunkan biaya energi baru terbarukan sehingga tarif EBT nantinya bisa masuk secara skala keekonomian yang wajar. Untuk mengejar itu, kebijakan harga dari Menteri ESDM tidak lagi dalam Peraturan Menteri (Permen), namun akan diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres). “Di dalam Perpres (tarif EBT) kita upayakan harga keekonomian yang wajar, namun terjangkau dengan insentif. Kalau untuk panas bumi, kami berikan insentif dengan cara pemerintah ikut melakukan pemboran atau eksplorasi,” ungkapya dalam wawancara khusus dengan CNBC TV Indonesia, Senin (14/09/2020). Dia juga mengatakan, pemerintah melakukan mitigasi risiko dengan menggunakan pendanaan-pendanaan murah misalnya dari World Bank. Lalu, pemerintah menurutnya juga akan berupaya menciptakan pasar bagi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala besar.

Dia menyebutkan, di Sulawesi ada potensi permintaan listrik yang besar yakni dari industri smelter. Untuk itu, diperlukan pembangunan infrastruktur jaringan transmisi agar industri smelter bisa menyerap listriknya. Hal ini menurutnya bisa menjadi peluang bagi sumber energi baru terbarukan di sekitar wilayah itu untuk bisa dikembangkan. Begitu juga di wilayah Indonesia Timur lainnya seperti adanya industri perikanan, sumber ekowisata di Flores, dan lainnya. Di Flores, lanjutnya, ada sumber energi panas bumi 1.000 MW yang bisa dibangun. Selain itu, lanjutnya, bahan bakar PLTU yang semula batu bara juga berpotensi dialihkan menjadi berbahan bakar gas atau biomassa (cofiring) sampai 5%. “Ini semua kita upayakan agar bisa capai 23%. Sisanya, dilakukan melalui program biofuels, B30 sudah baik dan Pertamina sangat konsisten mengembangkan, bahkan bisa bangun kilang D100 di Dumai. Ini strategi capai 23% (target bauran EBT di 2025),” tuturnya. Dia menegaskan Indonesia memiliki potensi EBT sekitar 442.000 MW yang bisa didorong. Oleh karena itu, di dalam Perpres tentang tarif EBT menurutnya ada penugasan kepada Kementerian dan Lembaga untuk mendukung EBT ini, serta perbaikan tata kelola akan dilakukan. “Kami sinergikan dengan pembangunan daerah, berikan iklim investasi mudah. BKPM cukup progresif bahkan ada instruksi presiden agar persetujuan satu pintu itu di BKPM. Ini harus dilaksanakan. Strategi ini melibatkan Kementerian Lembaga terkait, oleh karena itu kami gunakan Perpres,” jelasnya.

Sebelumnya, dia pernah mengungkapkan tujuh urgensi di balik penerbitan Perpres EBT, antara lain potensi EBT sebesar 442 GW, namun baru bisa terimplementasi sebesar 10,4 GW (2,4%).  Adapun realisasi capaian bauran EBT baru 9,15% dari target RUEN sebesar 23% di tahun 2025. “Pasar EBT di Indonesia masih kecil dan belum masuk ke skala keekonomian, seperti PLTS sehingga harganya masih tinggi,” ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa, (28/07/2020). Kedua, Pengembangan EBT menciptakan nilai-nilai ekonomi baru. Ketiga, Perpres harga EBT memberikan nett benefit yang positif. Keempat, harga pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik EBT belum mencerminkan nilai keekonomian yang wajar. Kelima, belum ada kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) pembangkit Independent Power Producer (IPP) yang proses pengadaannya mengikuti ketentuan Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017. Keenam, perlunya dukungan berbagai kementerian dalam mengoptimalkan pemanfaatan EBT. Dan terakhir, perlunya instrumen kebijakan untuk mengnyinergikan dan menyinkronkan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah dari kementerian lembaga terkait guna mendukung EBT. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200914122654-4-186611/ini-cara-pemerintah-demi-bisa-kejar-target-ebt-23-di-2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *