(BAHAN BAKAR NABATI) Babak Baru Biodiesel

| Berita
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kompas | Sabtu, 10 Juli 2021

(BAHAN BAKAR NABATI) Babak Baru Biodiesel

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana, dalam sebuah webinar, mengatakan, pemerintah akan menyusun kriteria tentang pasokan minyak Kelapa Sawit mentah (CPO) yang mesti dipenuhi produsen biodiesel. Salah satu kriteria itu akan mencakup aspek kesejahteraan petani sawit Ini menjadi kabar baik bagi petani sawit Indonesia CPO adalah bahan baku biodiesel. Selanjutnya biodiesel ini menjadi bagian dari solar B-30. Nama pasarnya adalah biosolar. Solar B-30 mengandung 30 persen biodiesel dan 70 persen solar murni. Mandatori B-30 secara resmi berlaku sejak 1 Januari 2020. Sejatinya, biosolar sudah diperkenalkan ke publik sejak 2015 dengan kadar 15 persen (B-15). Kadar pencampuran naik menjadi 20 persen (B-20) periode 2016 hingga 2019. Pemanfaatan biodiesel, selain untuk memproduksi bahan bakar yang lebih bersih, ditujukan untuk menekan impor bahan bakar- minyak (BBM). Langkah ini berpotensi menghemat devisa sebesar 16,8 miliar dollar AS per tahun selama periode 2021-2040. Pemerintah mengklaim kebijakan B-20 pada 2018 mampu menghemat devisa 1,88 miliar dollar AS setara Rp 26 triliun. B-30 diperkirakan bisa menghemat devisa sampai 4,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 67 triliun. Apa dampak dari langkah tersebut terhadap petard sawit Indonesia? Petani adalah ujung tombak dalam mata rantai pasokan industri CPO domestik, baik bertujuan ekspor maupun untuk pemanfaatan dalam negeri. Dalam pemberitaan Kompas, mandatori pencampuran biodiesel ke dalam solar belum berdampak positif secara signifikan terhadap kemakmuran para petani sawit Indonesia. Dana hasil pungutan dari ekspor CPO lebih banyak digunakan untuk program biodiesel daripada pemberdayaan petani dan penanaman kembali tanaman sawit (Kompas.id, 30 Juni 2019). Menurut catatan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), pada 2018 sebanyak 85 persen dari total dana pungutan ekspor minyak sawit dan produk turunannya dialokasikan untuk program biodiesel. Peningkatan ekspor CPO juga belum berdampak signifikan bagi kemakmuran petani sawit, khususnya petani swadaya. Pada saat harga CPO berada di atas 1.000 doUar AS, harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani mandiri Rp 1.4OO-Rp 1.500 per kilogram. Ini berbeda dengan harga TBS di tingkat petani plasma yang mencapai Rp 3.200-Rp 3.300 per kilogram. Kesenjangan harga ini terjadi karena petani mandiri menjual TBS ke pengepul atau tengkulak sehingga harga TBS di tingkat petani tertekan (Kompas, 17/6/2021). Selain itu, salah satu keluhan pengusaha dan petani sawit adalah tingginya pungutan ekspor CPO dan produk turunannya, serta bea ekspor. Pada Juni 2021, dengan harga referensi CPO sebesar 1.223,90 dollar AS per ton, bea keluar ekspor yang dikenakan mencapai 183 dollar AS per ton. Kemudian, dengan harga CPO di atas 1.000 dollar AS per ton, tarif pungutan ekspor yang dikenakan sebesar 255 dollar AS per ton. Dengan demikian, total pungutan dan bea keluar ekspor CPO sebesar 438 dollar AS per ton. Sampai akhirnya, Kementerian Keuangan menerbitkan kebijakan untuk menurunkan pungutan ekspor CPO dan produk turunannya pada 25 Juni 202L Kebijakan tersebut menetapkan batas bawah harga referensi CPO dari 670 dollar AS per ton menjadi 750 doUar AS per ton. Apabila harga CPO di bawah atau sama dengan 750 dollar AS per ton, tarif pungutan ekspor produk crude (mentah) sebesar 55 dollar AS per ton. Selanjutnya, setiap kenaikan harga sebesar 50 dollar AS per ton, tarif pungutan ekspor meningkat 20 dollar AS per ton untuk produk crude dan 16 dollar AS per ton untuk produk turunan sampai harga mencapai 1.000 dollar AS per ton. Jika harga di atas 1.000 dollar AS per ton, pungutan ekspor tetap sesuai dengan tarif tertinggi setiap produk (Kompas.id, 29 Juni 2021). Dasar pertimbangan penyesuaian tersebut adalah untuk memperkuat daya saing produk Kelapa Sawit Indonesia di pasar global sembari tetap memperhatikan kesejahteraan petani sawit Begitu pula dukungan terhadap mandatori biodiesel untuk bahan bakar. Sejumlah perubahan kebijakan terkait biodiesel dan CPO tersebut di atas, selain diharapkan menguntungkan negara, juga bisa menyejahterakan petani sawit. Sudah sepantasnya para petani menikmati keuntungan yang layak karena peran vital mereka dalam rantai pasok biodiesel. Apalagi, biodiesel menjadi program an-dalan pemerintah untuk mengurangi impor BBM dan menjadi aspek strategis pada program transisi energi di sektor transportasi. Apabila aspek kesejahteraan petani sawit benar-benar diterapkan dalam penyusunan kriteria pasokan CPO, tentu ini menjadi kabar gembira bagi para “pahlawan devisa” tersebut Sebaiknya, pemerintah benar-benar bersungguh-sungguh dengan rencana ini.

 

Infosawit.com | Sabtu, 10 Juli 2021

PT Jhonlin Agro Raya Bangun Pabrik Biodiesel Sawit di Tanah Bumbu

Mendukung rencana pemerintahn yang memutus ketergantungan terhadap bahan bakar berbasis fosil. PT Jhonlin Agro Raya membangun pabrik bahan bakar nabati atau yang tren dikenal biodiesel sawit. Kabarnya pabrik itu akan berkapasitas 60 ton per jam atau sebanyak 1,6 juta liter per hari jika aktif selama 24 jam, dan berdiiri diatas lahan seluas 6 hekter. Pendirian pabrik ini diperkirakan bakal menyerap tenaga kerja dan bakal menampung buah kelapa sawit dari petani sekitar. Dikatakan Bupati Tanah Bumbu, Zairullah Azhar, harapannya pabrik ini akan menyerap tenaga kerja lokal dan meningkatkan pendapatan petani sawit, saat mengunjungi lokasi pabrik di di Desa Sungai Dua, kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Sementara dikutip Radar Banjarmasin, Direktur PT Jhonlin Agro Raya, Sabrina Lubis mengatakan, untuk saat ini pihaknya hanya mampu memasok 30% dari kapasitas pabrik, sehingga sisanya akan mengambil pasokan buah sawit. “Dan itu memerlukan CPO (minyak sawit mentah) sekitar 1.600 metrik ton per hari, identik dengan 6.800 tonase TBS (tandan bua segar) per hari,” tandas dia.

 

https://www.infosawit.com/news/11029/pt-jhonlin-agro-raya-bangun-pabrik-biodiesel-sawit-di-tanah-bumbu

 

Nusadaily.com | Sabtu, 10 Juli 2021

IPB Bicarakan Perkembangan Bahan Bakar Alternatif Bioetanol

IPB University bekerja sama dengan beberapa lembaga mitra menyelenggarakan webinar bertajuk “2nd Generation of Bioethanol from Lignocellulosic Materials” yang membicarakan perkembangan bahan bakar alternatif bioetanol dari bahan baku limbah agroindustri. Siaran pers IPB University yang diterima di Bogor, Kamis, menyebutkan webinar tersebut diselenggarakan Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian (TIN Fateta) IPB University bekerja sama dengan Asosiasi Agroindustri Indonesia, Halal Science Center IPB University, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ketua Divisi Bioindustri Departemen TIN Fateta IPB University, Prof Khaswar Syamsu, mengatakan, pemerintah masih mengupayakan pengembangan sumber energi alternatif dari bahan baku sumber daya berkelanjutan, salah satunya adalah bioetanol. Menurut Khaswar, pembuatan bioetanol sebagai sumber bahan bakar alternatif ini masih menghadapi kendala yakni bersaing dengan industri pangan, karena bahan bakunya seperti sawit, singkong, dan molase, adalah bahan baku pangan. “Biaya produksinya juga belum ekonomis, karena masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga bahan bakar minyak (BBM),” katanya. Khaswar menjelaskan, limbah agroindustri yang disebut “lignocellulosic biomass” ini cukup tersedia dengan harga yang murah dan dapat dimanfaatkan untuk menekan kompetisinya bagi kebutuhan pangan. “Dimanfaatkannya limba agroindsutri ini dapat juga menurunkan biaya produksi serta mengurangi limbah,” katanya. Kendala utamanya, kata dia, adalah prosesnya cukup lama dan sulit, terutama untuk menghilangkan lignin serta menghidrolisa selulosa menjadi gula.

Meningkatkan Produksi

Menurut dia, solusinya dengan menggunakan metode silmutaneous saccharification and fermentation (SSF) untuk mempercepat proses hidrolisa. Metode tersebut diterapkan untuk meningkatkan produksi bioethanol secara langsung dari sweet sorgumbagasse menggunakan kapang dan khamir. “Dari hasil penelitian, dapat menghasilkan produk bioetanol lebih tinggi dibandingkan cara konvensional,” katanya. Sementara itu, Peneliti dari Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Euis Hermiati, mengatakan, penelitian terkait fraksionasi atau pretreatment pada biomassa saat ini masih diminati, yakni terlihat dari jumlah publikasi yang meningkat. Menurut Euis, penggunaan material lignocelulosa dalam produksi bioetanol juga dapat mengatasi kompetisi antara industri bahan bakar dan pangan. “Umumnya, metode fraksionasi lebih optimal untuk mengembangkan potensi bioproduk dan bioenergi,” katanya.

 

https://nusadaily.com/metro/ipb-bicarakan-perkembangan-bahan-bakar-alternatif-bioetanol.html