BBM Dicampur Sama Tanaman, Mobil Tetap Jalan

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Liputan6.com | Senin, 31 Agustus 2020

BBM Dicampur Sama Tanaman, Mobil Tetap Jalan

Ternyata di dalam bahan bakar minyak solar yang dijual di SPBU dicampur minyak dari tanaman. Campurannya bahkan sebanyak 30% dan 70% lainnya adalah minyak solar. Lho kok bisa? Banyak orang yang belum tahu, apa manfaatnya. Minyak dari tanaman tersebut adalah minyak dari tanaman sawit yang diproses sehingga menjadi senyawa bernama fatty acid methyl ester (FAME). FAME inilah yang disebut sebagai biodiesel dan digunakan untuk campuran minyak solar di SPBU dan menjadi bahan bakar kendaraan bermesin diesel. Manfaat luar biasa konsumsi minyak solar di dalam negeri jadi berkurang dan impor solar berkurang. Sehingga neraca perdagangan migas lebih sehat. Sekarang lagi dilakukan uji coba agar pencampuran bisa lebih banyak dari 30 persen menjadi 40%. Per Januari 2020, pemanfaatan sawit sebagai campuran BBM sudah sampai 30 persen, dikenal sebagai B30 (campuran 30% FAME dan 70% solar). Tak hanya menghemat devisa karena mengurangi impor BBM, melalui pemanfaatan sawit untuk B30 memberikan multiplier effect pada penyerapan tenaga kerja (petani sawit), peningkatan nilai tambah CPO menjadi biodiesel, pengurangan emisi, hingga peningkatan konsumsi domestik biodiesel. Tak berhenti sampai B30, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah melakukan kajian terhadap pencampuran 40 persen biodiesel atau B40. Saat ini sedang dilakukan uji ketahanan 1.000 jam pada engine test bench di laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” terhadap dua formulasi B40.

Formulasi yang pertama adalah B40, yakni campuran 60% solar dengan 40% FAME. Formulasi yang kedua adalah campuran 60% solar dengan 30% FAME dan 10% Distillated Fatty Acid Methyl Esther (DPME).  Setelah uji ketahanan 1.000 jam selesai, tim kajian B40 akan melakukan persiapan dan pelaksanaan uji presipitasi dan stabilitas penyimpanan. Usai seluruh tahapan kegiatan uji selesai, akan dilakukan segera melakukan evaluasi, pelaporan, dan penyusunan rekomendasi terkait hasil kajian penerapan B40 ini. Selain informasi terkait B30 dan B40, ternyata banyak juga yang belum tahu fakta menarik terkait sawit. Berikut fakta sawit yang berhasil dihimpun tim Liputan6.com: Pertama, Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia dengan jumlah lebih dari 700 perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia. Total luas lahan sawit sekitar 14,68 juta hektar, dimana 40% dimiliki petani kecil. Mayoritas produksi sawit Indonesia saat ini diekspor dan menghasilkan devisa lebih dari USD20 miliar per tahun. Kedua, produksi sawit secara nasional pada 2015 sebesar 31,07 juta ton, lalu 2016 sebesar 31,73 ton dan terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2019, produksi sawit nasional mencapai 42,87 juta ton. Peningkatan produksi sawit nasional tersebut diikuti dengan peningkatan produksi biodiesel berbasis sawit nasional. Adapun produksi biodiesel berbasis sawit nasional pada tahun 2016, 2017, 2018 dan 2019 adalah sebesar 3,65 juta KL, 3,41 juta KL, 6,16 juta KL, dan 8,37 juta KL. Ketiga, kelapa sawit bukanlah penyebab deforestasi. Konvensi hutan primer untuk pemanfaatan lain telah dimulai sebelum ekspansi perkebunan kelapa sawit dimulai. Perkebunan sawit tumbuh dan menempati lahan yang sudah terdegradasi. Menariknya, kelapa sawit justru mengubah lahan terdegradasi menjadi area produktif. Perkebunan kelapa sawit yang dikonversi langsung dari hutan produksi hanya sekitar 3%.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4344317/bbm-dicampur-sama-tanaman-mobil-tetap-jalan

Riauonline.co.id | Senin, 31 Agustus 2020

Banyak Kebun Sawit, Edwin Pratama Dorong Riau Jadi Pusat Produksi B30

Ketua DPD RI lakukan kunjungan kerja ke Pekanbaru, bersama jajaran pemerintah Provinsi Riau dan pemerintah daerah lainnya, Senin, 31 Agustus 2020. Dalam hal ini ada pembahasan penting terkait produksi B30 atau biosolar. Mengingat, seluruh pendapatan yang ada di Riau masih ditopang sebagian besar oleh minyak bumi fosil dan gas bumi. Kebijakan B30 saat ini sedang digalakan oleh pemerintah pusat melalui Kementrian ESDM. Senator Edwin Pratama Putra dari Provinsi Riau terus mendorong pemerintah pusat agar Provinsi Riau mampu menjadi pusat produksi B30. “Salah satu agenda kunjugan kerja ini yaitu melihat ke Pertamina dan Chevron secara langsung, sebab kita dapat informasi di Dumai saat ini ada produksi B100,” kata Edwin kepada Riau Online. Edwin yang saat ini berada di komite dua mencoba mendorong bagaimna pengelolaan ini bisa berada di Provinsi Riau. Alasannya menurut Edwin, dilihat dari peta Sumatera, Riau menjadi daerah titik tengah atau pusatnya Sumatera. “Riau untuk CPO nya paling tinggi, dan kenapa pengelolaan itu saat ini di Pulau Jawa? Padahal Riau memiliki potensinya,” tegas senator muda ini. Lanjut Edwin, karena dari Kementerian ESDM saat ini masih ada tahap pengembangan oleh pemerintah dan UPT untuk ini bisa dikomersilkan B30 tersebut. “Saat ini dari B30 menuju B40, dan dari hasil penelitian yang disampaikan oleh pemerintah pusat sebetulnya kita sudah bsa B100,” lanjut Edwin. Dijelaskannya lagi, jika hal ini bisa diterapkan, maka untuk kedepannya pemerintah daerah tidak perlu lagi ekspor keluar untuk kebutuhan bahan bakar dan minyak. B30 adalah pencampuran antara bahan bakar diesel atau solar dengan FAME (Fatty Acid Methyl Ester). Komposisinya yaitu 70% solar dan 30% FAME. FAME ini didapatkan dari kelapa sawit.

https://www.riauonline.co.id/riau/read/2020/08/31/banyak-kebuh-sawit-edwin-pratamadorong-riau-jadi-pusat-produksi-b30

Merdeka.com | Senin, 31 Agustus 2020

Pemerintah Diminta Tak Bebankan Kinerja Perusahaan BUMN

Ekonom Senior, Faisal Basri meminta pemerintah tidak menekan kinerja perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab, tekanan dan banyaknya tuntutan yang berlebih justru akan mempengaruhi kinerja BUMN menjadi buruk. “Jangan paksa macem-macem, cakep banget buat BUMN. Jangan ada beban tambahan. Kan sekarang ini ada beban tambahan,” kata dia saat rapat dengan Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Senin (31/8). Dia khawatir, jika pemerintah mendorong BUMN melebihi normal, dunia usaha dan swasta justru akan berbondong-bondong keluar. Bahkan, semakin besar peranan BUMN nantinya justru semakin turun pula pertumbuhan ekonominya. Dia mencontohkan. Misalnya saja terjadi di PT Pertamina (Persero). Perseroan didorong pemerintah menciptakan bahan bakar hayati atau biofuel seperti B100. Sementara B100 itu harganya Rp18.000. Di tambah, Pertamina harus menanggung biaya subsidi tersebut. “Subsidinya berapa? pemerintah kan tidak punya kemampuan subsidi. Tanggung sendiri Pertamina. yang untung siapa? Yang punya biofuel,” kata dia. Fasial menambahkan, jika kemudian Menteri BUMN, Erick Thohir menargetkan perusahaan pelat merah meningkat PDB-nya itu bukan sama sekali tujuan BUMN dan bangsa. Sebab, BUMN jadi ujung tombak. “Pertamina bisa jual dengan harga kompetitif. jadi saya amat takut dengan cara-cara (penekanan). Jadi ayo kita lihat BUMN sebagai katalisator yang perannya lebih fair, akan meningkat lebih natural. Jangan sampai membahayakan,” tandas dia.

https://www.merdeka.com/uang/pemerintah-diminta-tak-bebankan-kinerja-perusahaan-bumn.html

Merdeka.com | Senin, 31 Agustus 2020

Biodiesel Dinilai Bukan Solusi Kurangi Defisit Perdagangan Bidang Energi

Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan biodiesel bukan solusi untuk menghemat dan mengurangi defisit perdagangan energi Indonesia. Menurutnya, salah satu tujuan pengembangan biodiesel adalah untuk menekan impor minyak, sehingga memperbaiki transaksi perdagangan dan current account defisit. Namun, kenyataannya justru bertolak belakang. “Untuk menghemat, agar uang kita tidak terlalu banyak untuk mengimpor maka diperkenalkan biodiesel. Itung-itungan kami berdasarkan opportunity cost boro-boro menghemat dan mengurangi defisit perdagangan, akibat dari kebijakan biofuel ini malahan naik defisit perdagangannya, dari tahun 2018 Rp 72,1 triliun, dan 2019 Rp 85,2 triliun, jadi tidak benar kalau biofuel itu membantu neraca perdagangan,” jelas Faisal dalam diskusi bersama dengan Komisi VI DPR RI, secara virtual di Jakarta, Senin (31/8). Selain itu, petani sawit sangat dirugikan karena harga sawit ditingkat petani semakin tertekan, pengusaha biodiesel menikmati rente (zero sum game). “Jadi petani penderita keuntungannya diambil pengusaha biodiesel,” ujarnya. Dia menjelaskan, subsidi beralih dari Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi subsidi Biodiesel. Dana BPDPKS bulan depan habis, akibatnya subsidi sudah dianggarkan tahun ini untuk program B30 sebesar Rp 2,78 triliun menjadi atas nama pandemi. “Pandemi dijadikan alat memberikan subsidi untuk biofuel karena dana BPDPKS nya habis,” ujarnya. Maka menurutnya butuh tambahan lahan sekitar 5 juta hektar untuk merealisasikan program B30 dan B40. “Lahan darimana lagi, lahan di Indonesia sudah habis,” pungkasnya.

https://www.merdeka.com/uang/biodiesel-dinilai-bukan-solusi-kurangi-defisit-perdagangan-bidang-energi.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *