Biodiesel Indonesia Lebih Unggul dari Eropa? Ini Buktinya!
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) menegaskan bahwa biodiesel Indonesia memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan biodiesel yang diproduksi di Eropa. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Riset dan Teknologi APROBI, Jummy Bismar Sinaga, yang menjelaskan bahwa biodiesel Indonesia terus berkembang dalam hal kualitas dan standar teknis. Pada awalnya, biodiesel Indonesia hanya memiliki 7 parameter kualitas, namun saat ini jumlahnya telah meningkat menjadi 23 parameter.
“Dulu, warna tidak menjadi faktor yang dipertimbangkan. Namun, demi penerimaan yang lebih baik dari konsumen, warna kini menjadi salah satu parameter yang diatur. Dari 7 parameter, kini ada 23, termasuk kadar air yang saya soroti. Di Eropa, kandungan air masih 500 PPM, sementara di Indonesia sudah mencapai 320 PPM. Ke depan, biodiesel B40 Indonesia akan memiliki kualitas yang lebih baik lagi,” ungkap Jummy dalam diskusi yang digelar di Pekan Riset Sawit (PERISAI) 2024, Nusa Dua, Bali.
Biodiesel Ramah Lingkungan dan Telusur
Kualitas biodiesel Indonesia yang semakin baik menjadi bukti keseriusan negara ini dalam memproduksi bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Biodiesel Indonesia diproduksi dari bahan baku minyak sawit yang diolah tanpa melalui praktik deforestasi, menjadikan produk ini lebih berkelanjutan. Untuk memperkuat hal ini, Indonesia tengah mengembangkan Indonesia Bioenergy Sustainability Indicator (IBSI) sebagai alat untuk menelusuri rantai pasok biodiesel, mulai dari hulu hingga hilir.
“Dengan IBSI, kita bisa menunjukkan kepada dunia bahwa biodiesel Indonesia dapat memenuhi regulasi European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR). Konsumen bisa menelusuri biodiesel kita—dari Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan hingga produksi kebun kelapa sawitnya, apakah terlibat dalam praktik deforestasi atau tidak. IBSI ini sudah dikembangkan oleh Direktorat Jenderal EBTKE (Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi),” ujar Jummy.
Tantangan Teknologi dalam Produksi Biodiesel
Meski memiliki keunggulan, biodiesel Indonesia tetap menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam hal teknologi. Peningkatan spesifikasi yang diperlukan seiring dengan penambahan kadar campuran biodiesel dalam solar menuntut peningkatan kualitas produk secara keseluruhan. Hal ini berarti industri biodiesel harus berinovasi dengan mengadopsi teknologi baru atau melakukan rekayasa pada pabrik-pabrik yang sudah ada.
“Untuk mencapai kualitas terbaik, kami akan terus melakukan adopsi teknologi baru, seperti instalasi mesin-mesin canggih. Misalnya, kadar monogliserida yang dulu 0,8 kini turun menjadi 0,5 dan bahkan akan mencapai 0,47 untuk biodiesel B50. Ini merupakan tantangan besar bagi industri biodiesel kami,” jelas Jummy.
Tantangan Logistik dan Penyimpanan Biodiesel
Selain tantangan teknologi, aspek logistik dan penyimpanan juga menjadi perhatian dalam industri biodiesel Indonesia. Biodiesel diproduksi sesuai standar yang ditetapkan, namun saat proses pengiriman yang memakan waktu, kualitasnya bisa menurun.
“Misalnya, pengiriman biodiesel dari Dumai ke Balikpapan bisa memakan waktu satu minggu, dan setelah tiba di sana, butuh waktu tiga hari lagi untuk bongkar muat. Ini menyebabkan penurunan kualitas biodiesel yang menjadi tantangan besar bagi kami,” tambah Jummy.
Ketidakpastian Harga dalam Bisnis Biodiesel
Dari sisi bisnis, produsen biodiesel juga menghadapi ketidakpastian dalam penentuan harga. Menurut Jummy, harga biodiesel tidak selalu mencerminkan perubahan yang terjadi pada biaya produksi, seperti harga bahan baku atau bahan kimia yang digunakan dalam proses pembuatan biodiesel.
“Saat ini, harga CPO plus alfa (fix USD per metrik ton) menjadi patokan. Namun, beberapa variabel biaya produksi seperti metanol, katalis, dan natrium metilat selalu mengikuti harga pasar yang berubah setiap hari. Ketika ada permintaan untuk meningkatkan kualitas biodiesel, tetapi harga tidak mengikuti, ini menjadi tantangan besar bagi kami sebagai produsen,” tegas Jummy.
Pengembangan Biodiesel B50 dan Tantangan Stok
Jummy juga menyinggung tentang pengembangan biodiesel B50, yang kemungkinan besar akan menghadapi tantangan dalam hal ketersediaan stok. Meskipun stok biodiesel B40 saat ini mencukupi, peningkatan ke B50 akan memerlukan langkah-langkah signifikan untuk memastikan ketersediaan bahan baku yang cukup.
“Kami yakin stok B40 cukup. Namun, untuk B50, stok mungkin tidak akan mencukupi. Kualitas memang bisa ditingkatkan, tetapi kita juga perlu mempertimbangkan pengembangan alternatif seperti HVO (Hydrogenated Vegetable Oil) oleh Pertamina. Dalam hal ini, sinkronisasi antara BUMN dan swasta sangat penting, karena masalah stok terkait langsung dengan ketersediaan minyak sawit dan bahan baku minyak nabati lainnya. Kebijakan yang komprehensif sangat diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini,” tutup Jummy.
Biodiesel Indonesia terus berkembang dengan kualitas yang semakin baik dan upaya untuk memenuhi standar internasional seperti EUDR. Meskipun masih dihadapkan pada tantangan teknologi, logistik, dan harga, industri ini menunjukkan potensi besar sebagai solusi bahan bakar berkelanjutan. Dengan pengembangan teknologi baru, adopsi IBSI, dan sinkronisasi kebijakan antara pemerintah dan sektor swasta, biodiesel Indonesia berpeluang menjadi pemain utama dalam transisi energi bersih di dunia.