Bioetanol Sorgum Siap Mengguncang Industri dan Ciptakan Ribuan Lapangan Kerja
Dalam upaya memperkuat ketahanan energi sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi, Pertamina terus mengembangkan biofuel atau bahan bakar hijau. Salah satu inovasi terbaru mereka adalah bioetanol yang berasal dari tanaman sorgum. Bioetanol sorgum berhasil diuji coba dalam ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024. Uji coba ini menunjukkan peningkatan performa kendaraan dan pengurangan emisi dibandingkan dengan bahan bakar bensin konvensional.
Mengapa Biofuel Penting?
Oki Muraza, Senior Vice President Research Technology and Innovation Pertamina, menjelaskan bahwa pengembangan biofuel oleh Pertamina memiliki dua tujuan utama. Pertama, biofuel merupakan langkah strategis untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Dengan ketergantungan Indonesia pada impor BBM, Pertamina melihat biofuel sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan tersebut. Hal ini menjaga stabilitas energi di tengah situasi geopolitik global yang dinamis. Kedua, pengembangan biofuel dapat menciptakan sentra-sentra ekonomi baru yang memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
“Kami berharap, dengan adanya pabrik biofuel, seperti bioetanol dan renewable diesel, akan tercipta lapangan kerja baru dan efek berganda bagi perekonomian lokal,” ujar Oki. Ia mencontohkan bahwa pabrik biofuel dapat menciptakan berbagai peluang ekonomi, mulai dari pengangkutan bahan bakar hingga berkembangnya sektor-sektor pendukung di sekitar pabrik.
Menyiapkan Wilayah Percontohan
Sebagai langkah awal, Pertamina mempersiapkan wilayah-wilayah percontohan untuk mengembangkan biofuel. India, misalnya, berhasil meningkatkan penggunaan bioetanol dari 0% menjadi 20% dalam waktu delapan tahun, yang berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan sentra-sentra ekonomi baru. Oki berharap Indonesia dapat mengikuti jejak tersebut untuk mendukung ketahanan energi dan mencapai target net zero emissions sesuai Perjanjian Paris.
Potensi Pengembangan Biofuel di Indonesia
Oki menjelaskan bahwa biofuel yang paling berpotensi dikembangkan di Indonesia meliputi tiga jenis bahan bakar utama, yaitu diesel, gasoline, dan bahan bakar untuk transportasi udara. Pertamina telah berhasil mengembangkan biodiesel dengan kandungan minyak nabati 35% (B35) dan sedang berupaya menuju pengembangan B40. Selain itu, Pertamina juga mengembangkan renewable diesel, yang memiliki keunggulan lebih tinggi dibandingkan biodiesel karena kandungan oksigennya sudah dihilangkan, sehingga stabilitasnya lebih baik.
Selain biodiesel dan renewable diesel, Pertamina juga aktif mengembangkan bioetanol. Brazil dan India telah menunjukkan kesuksesan dalam mengurangi ketergantungan impor melalui pengembangan bioetanol, sekaligus menciptakan sentra ekonomi baru. Di Indonesia, bioetanol masih menghadapi tantangan, terutama terkait keterbatasan bahan baku.
Tantangan Pengembangan Bioetanol
Bahan baku utama untuk bioetanol di Indonesia adalah molase, produk sampingan dari industri gula. Namun, dengan produksi gula nasional yang masih terbatas—sekitar 2 juta ton per tahun—ketersediaan molase juga terbatas. Sebagian besar molase juga digunakan untuk kebutuhan lain, seperti pembuatan monosodium glutamate (MSG). Dengan kapasitas bioetanol saat ini yang masih rendah, yakni sekitar 40 ribu kiloliter per tahun, Pertamina perlu mencari solusi untuk meningkatkan produksi.
Salah satu solusi yang sedang dikembangkan adalah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40/2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol. Implementasi Perpres ini melibatkan pembukaan lahan baru untuk perkebunan tebu di Papua, yang diharapkan dapat membantu Indonesia mencapai swasembada gula pada 2030 dan meningkatkan ketersediaan molase untuk produksi bioetanol.
Bahan Baku Alternatif untuk Bioetanol
Selain molase, Pertamina juga mengeksplorasi bahan baku alternatif untuk bioetanol. Pada GIIAS 2024, Pertamina mendemokan bioetanol yang berasal dari tanaman sorgum. Menurut Oki, sorgum adalah tanaman yang mudah ditanam dan dapat tumbuh di lahan kering maupun basah dengan kebutuhan pupuk dan air yang rendah. Selain itu, tanaman sorgum dapat digunakan untuk ketahanan energi melalui bioetanol. Sekaligus mendukung ketahanan pangan sebagai pengganti gandum yang masih diimpor dalam jumlah besar.
Selain sorgum, Pertamina juga tertarik untuk mengembangkan bioetanol dari bahan baku nipah. Nipah, salah satu jenis mangrove, dapat menghasilkan getah yang disadap dan difermentasi menjadi bioetanol. Saat ini, Pertamina bekerja sama dengan berbagai lembaga riset untuk mencari cara mekanisasi proses pengolahan nipah, yang masih memerlukan teknologi lebih lanjut.
Teknologi Bioavtur dan Tantangannya
Selain pengembangan bioetanol, Pertamina juga fokus pada pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau bioavtur. Teknologi SAF di Pertamina sudah cukup maju, dengan katalis dan reaktor yang sudah siap. Namun, tantangan utama dalam pengembangan SAF adalah ketersediaan bahan baku, seperti minyak sawit mentah (CPO) atau minyak jelantah.
Oki menjelaskan bahwa minyak jelantah memiliki potensi besar sebagai bahan baku bioavtur, mengingat konsumsi minyak goreng di Indonesia yang mencapai 8 juta ton per tahun. Jika 1 juta ton di antaranya digunakan sebagai minyak bekas atau jelantah, jumlah ini sudah cukup untuk memasok bahan bakar pesawat.
Dukungan Pemerintah dan Peran Strategis Biofuel
Untuk memastikan keberhasilan pengembangan biofuel, Pertamina membutuhkan dukungan dari pemerintah, termasuk dalam hal kebijakan pajak dan insentif lainnya. Pengembangan biofuel tidak hanya penting untuk ketahanan energi dan penurunan emisi karbon. Tetapi juga untuk ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui ekonomi sirkuler. Petani sorgum, nipah, dan sawit, serta masyarakat yang menyediakan minyak jelantah, semuanya dapat diberdayakan dalam rantai pasok biofuel, menciptakan sentra-sentra ekonomi baru yang akan menghidupkan perekonomian setempat.
Dengan berbagai inovasi dan dukungan yang tepat, Pertamina optimis. Pengembangan biofuel di Indonesia akan mampu mendukung transisi energi nasional menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.