Bos PTPN III: Moratorium Kelapa Sawit Perlu Dicabut untuk Tingkatan Biofuel

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Medcom.id | Senin, 19 Oktober 2020

Bos PTPN III: Moratorium Kelapa Sawit Perlu Dicabut untuk Tingkatan Biofuel

Direktur Utama PTPN III Holding Mohammad Abdul Ghani menyebut pihaknya perlu menambah produksi baru kelapa sawit untuk mendukung ketahanan energi dalam negeri. Peningkatan biofuel dinilai perlu dibarengi dengan pencabutan moratorium pembukaan lahan perkebunan. “Pemerintah sebaiknya segera membuka moratorium kelapa sawit, terutama untuk di area-area dengan kandungan gambut tertentu,” kata Ghani dalam sebuah webinar MarkPlus Roundtable: Pemulihan Ekonomi di Sektor Pertanian, Senin, 19 Oktober 2020. Ia menuturkan bahwa pohon kelapa sawit telah diputuskan menjadi komoditas yang akan diprioritaskan PTPN dalam lima tahun ke depan setelah tebu. Selain bahan baku energi hijau, peningkatan penggunaan sawit dalam negeri ditujukan demi menghindari masalah fluktuasi harga pasar global karena mayoritas produksi untuk ekspor. “Ketergantungan bahan bakar itu disubstitusi dengan penggunaan biofuel dari kelapa sawit, Indonesia masih punya peluang paling tidak memperluas lahan kelapa sawit sampai 20 juta hektare,” paparnya. Meski begitu, kata dia, perluasan area tersebut tetap harus dibarengi dengan pengelolaan yang baik agar produktivitas dapat meningkat. Angka ideal produktivitas yang harus ditingkatkan yakni 4 ton CPO per ha agar bisa bersaing dengan negara produsen seperti Malaysia. Adapun hingga saat ini penggunaan biodiesel di Indonesia baru 4,7 juta kilo liter atau setara 10 persen dari produksi CPO nasional per tahun. Dorongan agar masyarakat beralih menggunakan energi terbarukan juga perlu terus dilakukan pemerintah dengan berbagai stimulus agar bisa maksimal mengurangi ketergantungan impor. “Ke depan kita penuhi energi di dalam negeri berbasis CPO, kebetulan kami sedang kerja sama dengan Pertamina menginisiasi pembangunan kilang-kilang produksi yang bisa memproduksi CPO menjadi biodiesel maupun fame,” tuturnya.

https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/ObzZOvlb-bos-ptpn-iii-moratorium-kelapa-sawit-perlu-dicabut-untuk-tingkatan-biofuel

Kompas.com | Senin, 19 Oktober 2020

Inspirasi Energi: Benarkah Biodiesel Ramah Lingkungan?

Akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan implementasi biodisesel 30 persen ( B30) di salah satu stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta. Diwartakan Kompas.com 23 Desember 2019, Presiden meminta PT Pertamina (Persero) untuk memacu BBM sejenis dengan kandungan nabati dan solar. Alasannya, jika BBM biodiesel ditingkatkan, maka akan mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia. Selain itu, pemerintah juga telah berencana meningkatkan penggunaan bahan bakar biodiesel hingga B100 di masa depan. B30 merupakan campuran bahan bakar solar dengan 30 persen Fatty, Acit, Metil, Eter ( FAME) diolah dari minyak sawit yang didapatkan dari kelapa sawit. Selain mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia, biodiesel juga digadang-gadang membuat emisi kendaraan lebih ramah lingkungan. Namun di sisi lain, para aktivis lingkungan menyebut kelapa sawit adalah salah satu pendorong utama kerusakan hutan hujan tropis. Dilansir dari News Decoder, lebih dari separuh deforestasi di Kalimantan dikaitkan dengan produksi minyak sawit. Meskipun terlihat “hijau”, perkebunan kelapa sawit menyerap karbon jauh lebih sedikit daripada hutan asli dan merusak keanekaragaman hayati. Pembukaan lahan untuk budidaya kelapa sawit berkontribusi pada kabut asap kebakaran hutan yang merusak kesehatan dan mempercepat pemanasan global melalui emisi gas rumah kaca. Di sisi lain, minyak sawit merupakan komoditas yang saat ini diperlukan dalam kehidupan sehari-hari manusia.

Minyak yang serbaguna

Kelapa sawit murah untuk diproduksi dan menghasilkan minyak lima sampai delapan kali lebih banyak per hektare daripada tanaman minyak lainnya seperti kedelai, bunga matahari, dan lobak. Produk turunan ditemukan dalam segala hal mulai dari makanan olahan, kosmetik, sabun, deterjen, bahkan bahan bakar. Sebagai perbandingan, sekitar 5 persen produk yang dijual di supermarket mengandung minyak sawit. Dilansir dari News Decoder, minyak sawit dapat membuat keripik kentang lebih renyah, sabun dan deterjen lebih berbusa, lipstik lebih halus, dan kudapan lebih renyah. Menanggapi berbagai kegunaan dan permintaan pasar yang terus meningkat, budidaya kelapa sawit global cukup meningkat, dengan 75 persen dari produksi diperdagangkan secara internasional. Industri minyak sawit global, senilai 65,73 miliar dollar AS (Rp 968 triliun) pada 2015 diproyeksikan mencapai 92,84 miliar dollar AS (Rp 1.367 triliun) pada 2021. Di Afrika dan Asia Tenggara, industri kelapa sawit menciptakan lapangan kerja, memperluas basis pajak perusahaan dan mendorong investasi sosial di masyarakat agraris yang miskin.

Deforestasi

Indonesia dan Malaysia menyumbang 85 persen dari industri minyak sawit global sebagaimana dilansir dari The Brenthurs Foundation. Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit memicu hilangnya keanekaragaman hayati hutan tropis dengan laju yang sangat menyedihkan lebih dari 1 persen per tahun. Perambahan luas perkebunan kelapa sawit skala besar ke dalam habitat hutan telah mengakibatkan populasi orangutan, gajah, badak, dan harimau di Asia Tenggara diklasifikasikan sebagai “terancam punah” atau “sangat terancam punah” dalam daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). Masa depan Orangutan Sumatera yang sangat terancam punah, yang telah menjadi simbol gerakan anti-kelapa sawit, menjadi semakin tidak pasti. Antara 2001 dan 2018, sekitar 26 juta hektare hutan di Indonesia telah hilang. Dengan hilangnya hutan, serapan karbon akan menjadi berkurang dan malah memperburuk gas rumah kaca dan mempercepat perubahan iklim. Di Kalimantan saja, sebuah pulau yang wilayahnya terbagi untuk Indonesia dan Malaysia, membuka 26 juta hektare hutan antara tahun 2000-2018.

Dalam hal pengejaran kelapa sawit, perselisihan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan telah lama muncul. Meningkatnya permintaan minyak sawit yang tidak berhenti akan semakin mendorong deforestasi, mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, mengancam kepunahan spesies flora dan fauna yang tak terhitung jumlahnya. Flora dan fauna yang hidup di hutan tropis tidak dapat hidup dalam monokultur pohon sawit, dan penurunan jasa ekosistem. Degradasi cepat dari penyerap karbon yang menipis yang disediakan oleh hutan hujan tropis mengakibatkan emisi karbon yang terperangkap ke atmosfer, memperburuk bencana krisis iklim saat ini. Penolakan yang berkembang terhadap perkebunan kelapa sawit yang dipimpin oleh organisasi seperti gerakan “bebas dari minyak sawit” yang sedang tren di kalangan milenial. Kendati demikian, masyarakat harus benar-benar bijaksana. Sebab dengan mengganti minyak sawit dengan minyak nabati lain seperti kedelai, bunga matahari, atau lobak, kemungkinan akan semakin meningkatkan alih lahan hutan yang menyebabkan deforestasi yang lebih besar. Pasalnya, produksi minyak nabati lain seperti kedelai, bunga matahari, atau lobak jauh lebih sedikit dibandingkan minyak sawit per hektare.

https://www.kompas.com/global/read/2020/10/19/121952270/inspirasi-energi-benarkah-biodiesel-ramah-lingkungan?page=all

Kompas (Opini) | Selasa, 20 Oktober 2020

Mencermati Proyek Biodiesel

Dalam berbagai pidato kenegaraan. Presiden Jokowi menyampaikan, pemerintah sedang membangun kemandiri an energi dengan mengembangkan energi biofuel (minyak sawit) B20 dan B30 menjadi bahan bakar minyak. Setelah sukses menerapkan kebijakan penggunaan biodiesel berupa acid methyl ester (FAME) dari minyak sawit 20 persen’tian minyak diesel (B20) 80 persen, mulai awal Januari 2020, pemerintah meningkatkan penggunaan biodiesel menjadi 30 persen dan minyak diesel 70 persen (B30). Jika diimplementasikan dengan baik, secara bertahap akan ditingkatkan menjadi B50. Penggunaan minyak diesel kemudian menjadi lebih kecil dan menghemat anggaran negara Rp 110 triliun (produksi B30 9,5 juta kiloliter). Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 tentang kewajiban menggunakan biodiesel bagi sektor nonsubsidi, seperti transportasi tambang, kereta api, dan alat berat Pengembangan biodiesel menimbang tiga hal. Pertama, energi alternatif. biodiesel menjadi energi baru terbarukan dan ramah lingkungan. Semua negara membutuhkan energi baru terbarukan {renewable energy) karena energi fosil berkurang, sementara konsumsi energi terus meningkat. Maka, diperlukan bahan bakar nabati. Sawit merupakan energi baru terbarukan karena jika habis bisa ditanam lagi (endless resource). Kedua, mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Produksi minyak nasional terus menurun seiring eksploitasi lapangan minyak sejak zaman Orde Baru hingga sekarang. Lapangan-lapangan minyak kita sudah tua dan sulit menaikkan produksi. Jika ingin menaikkan produksi, Pertamina harus mencari ke laut dalam atau ekspansi ke luar negeri dengan biaya investasi besar. Penurunan produksi minyak berdampak pada peningkatan impor BBM, seperti bensin, solar, dan diesel. Ini pemicu defisit neraca perdagangan. Ketiga, paradigma1 pengolahan. Indonesia memasuki era baru, dari menjual bahan baku mentah dengan harga murah menuju industri pengolahan, termasuk pengolahan minyak sawit menjadi biodiesel agar ada nilai tambah ekonomi. Pengolahan sawit menjadi biodiesel mendesak di tengah penurunan harga sawit akibat kampanye negatif parlemen Eropa yang ujungnya berimbas pada menurunnya pendapatan produsen dan penerimaan negara. Pertanyaannya adalah siapa yang diuntungkan dari program biodiesel?

Kolusi kuota

Sektor Kelapa Sawit Indonesia berbeda dengan industri pertambangan mineral atau minyak dan gas. Di pertambangan mineral, kepemilikan lahan dimonopoli korporasi-korporasi asing, swasta nasional, dan negara. Naik turun produksi bahan tambang dan penerimaan dari sektor tambang bergantung pada kinerja korporasi. Di sektor energi pun demi- kian. Lapangan-lapangan migas berskala kecil-besar dioperatori perusahaan negara (Pertamina) serta swasta nasional dan asing. Minyak hasil eksploitasi korporasi nasional-asing dibeli Pertamina untuk diolah di kilang menjadi BBM (bensin, solar, avtur, dan diesel). Struktur kepemilikan seperti itu berbeda dengan sawit. Sejak zaman Orde Baru sampai sekarang, kepemilikan lahan sawit tidak sepenuhnya dimonopoli korporasi. Petani swadaya memiliki lahan besar. Data Kementerian Pertanian (2018) menunjukkan, jumlah petani sawit mencapai 2,6 juta kepala keluarga. Total seluruh lahan sawit 14,3 juta ha; korporasi swasta mengontrol 54 persen (7,7 juta ha), perusahaan negara 7 persen (715.000 ha), dan petani swadaya mengontrol 41 persen (5,8 juta ha). Lahan besar tentu sejalan dengan kinerja produksi. Produksi sawit korporasi swasta mencapai 26,5 juta ton (51 persen), perusahaan negara 2,5 juta ton (6 persen), dan perkebunan rakyat 14 juta ton (33 persen). Produktivitas swasta 4.070 kilogram/ha, perusahaan negara 3.681 kilogram/ha, dan produktivitas petani 3.006 kilogram/ha. Dengan begitu, petani sawit memiliki andil besar mendorong produksi minyak sawit mentah (CPO) dan pertumbuhan ekonomi. Jika saja diperhatikan serius, perkebunan sawit rakyat bisa menjadi tumpuan penerimaan negara dan menjadi penopang di sektor hulu dalam mendorong program biodiesel berkelanjutan. Sawit untuk pengolahan biodiesel semestinya bukan hanya dipasok dari produsen biodiesel yang sudah ditentukan kuotanya oleh negara, melainkan juga petani swadaya. Namun, realitasnya berbeda. Nasib petard sawit dan korporasi berbeda. Kebijakan biodiesel lebih banyak menyasar korporasi sawit Korporasi selalu diberi infrastruktur politik oleh negara melalui kebijakan publik. Dalam kaitan dengan biodiesel, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan hanya memberi kuota kepada 18 perusahaan sawit Ratusan perusahaan kecil dan petani sawit tak menentu nasibnya, apakah bisa menjual sawit ke 18 korporasi di atas atau tidak. Ruang bagi petani menjual sawit ke korporasi sangat kecil karena korporasi-korporasi yang mendapat kuota sudah menguasai sawit hulu-hilir. Tak ada lelang terbuka dalam penentuan kuota. Pemberian kuota biodiesel sama seperti penentuan kuota impor bawang putih dan kuota lainnya Nuansa kolusi dalam pemberian kuota sangat kental, karena sangat tak transparan, sehingga ada satu dua korporasi besar yang mendapat kuota begitu besar. Pemerintah hanya beralasan, pemberian kuota kepada 18 perusahaan lebih karena kesiapan infrastruktur berupa pabrik biodiesel. Padahal di lapangan, korporasi-korporasi ini ada yang baru membangun kilang biodiesel. Jika korporasi-korporasi ini sudah siap, mengapa pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit memberikan insentif berupa dana besar ke mereka untuk pengembangan bisnis dan biodiesel? Tahun 2017,- misalnya, Wilmar Group mendapat Rp 4,16 triliun dan Musim Mas Rp 1,54 triliun. Padahal, korporasi-korporasi besar ini sudah banyak mengeruk untung dari pengolahan sawit Jika digabung pendapatan tujuh perusahaan sawit yang dapat kuota (Sinarmas Agro, Astra Agro Lestari, Salim Invomas, Sampoerna Agro, Tunas Baru Lampung, Eagle High Plantation dan Dharma Satya Nusantara) Rp 42,1 triliun tahun 2019. Tanpa diberi insentif dan dana dari negara, korporasi-korporasi besar ini bisa melakukan ekspansi bisnis, termasuk mengembangkan pabrik biodiesel. Korporasi harus pandai membaca pergerakan pasar dan paradigma sawit ke depan bukan menjual dalam bentuk mentah, melainkan harus diolah menjadi biodiesel atau minyak goreng.

Akses mudah dari negara kepada korporasi-korporasi biodiesel bukan hanya dana, melainkan juga buyer (pembeli). Kekuatan lobi membuat mereka dengan mudah mendapat pasar. Di mana-mana, orang berbisnis harus berkompetisi merebut pasar. Namun, perusahaan-perusahaan ini, tanpa susah-susah promosi, pasarnya sudah ada PT Pertamina adalah pembeli terbesar biodiesel. Tahun 2020, Pertamina mendapat jatah pembelian biodiesel dari korporasi 8,3 juta kiloliter, sisanya dibeli AKR Corporindo (498.683 kiloliter) dan Exxonmobil Lubricants (139.631 kiloliter). Pertamina dipaksa menjadi pembeli biodiesel korporasi-korporasi besar. Ini mengingatkan publik pada Pertamina yang membeli BBM dari trader-trader minyak yang bermain di PT Pertamina Energy Trading (Petral). Pertamina butuh bensin, solar, dan diesel untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Trader-trader itu menjual BBM ke Pertamina dengan harga tinggi. Pola ini membuat Pertamina tak mampu membangun kilang domestik untuk memproduksi bensin dan solar. Jika tak dikritisi, mafia bisa bermain melalui kebijakan kuota biodiesel. Ini lebih berbahaya karena negara membuat kebijakan. Pemerintah tak memiliki political will agar Pertamina membangun diversifikasi bisnis di sektor hilir dengan cara memproduksi biodiesel, bensin, solar, dan avtur sendiri. Pertamina mestinya membangun pabrik biodiesel, bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan perkebunan negara dan petani swadaya sehingga harga tak ditentukan produsen dan negara tak merugi. Sampai kapan pun, Pertamina kalau begini model bisnisnya tidak akan berubah, tetap menjadi inang bagi benalu-benalu korporasi. Ini semua terjadi karena lobi-lobi politik korporasi. Masih ada hal serius lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Pasar biodiesel belum siap menerima perubahan bahan bakar yang akan digunakan. Di industri otomotif, misalnya, kehadiran B20 justru meningkatkan risiko kerusakan pada beberapa komponen pembakaran mesin diesel menggunakan solar. Tanpa ada evaluasi atas program B20, risiko serupa bisa terjadi pada pe- ngembangan B30 atau B50. Penyerapan terhadap produk B20 dan B30 juga masih sangat rendah. Hanya beberapa perusahaan, seperti PT Pertamina, menjadi penyerap B20 dan B30. Suplai yang besar dengan tingkat permintaan yang kecil akan menyebabkan harga produk turunan akan jatuh. Belum lagi jika mencermati kebijakan pemerintah yang akan mempercepat produksi dan penggunaan mobil listrik, panas bumi (geotermal), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Kehadiran energi alternatif dan ramah lingkungan ini juga membuat pasokan energi bertambah dan pasar biodiesel berpotensi tertekan. Pandemi Covid-19 yang menyebar ke seluruh dunia memberi pelajaran berharga bagi perekonomian dunia dan nasional. Pandemi jangan hanya dibaca dari kacamata ekonomi, tetapi lebih luas lagi ke perspektif lingkungan hidup yang selalu diabaikan dalam setiap derap langkah kemajuan. Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam laporan 2020 menunjukkan, risiko kerusakan lingkungan akibat industrialisasi sangat besar. Revolusi Industri dengan kemajuan teknologi terbukti tak mampu meminimalkan risiko kerusakan lingkungan. Siklus pertumbuhan akan terkoreksi jika tak perhitungkan aspek lingkungan. Ekspansi lahan sawit untuk mendorong program biodiesel berupa B20 dan B30 tentu berdampak besar bagi lingkungan. Ekspansi sawit merusak lingkungan karena kebun sawit dibangun dengan membabat jutaan hektar hutan primer. Memusnahkan jutaan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati juga pada keseimbangan ekosistem. Jika pemerintah tidak membuat kalkulasi tepat terkait pengembangan biodiesel, bukan tak mungkin risiko kerusakan lingkungan semakin besar.

Keterlibatan petani

Pemerintah perlu memberikan mandat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan milik negara (BUMN) membeli hasil produksi Kelapa Sawit dari petani swadaya dengan harga sawit yang diatur. Jangan menggunakan harga CPO global, tetapi harga hasil valuasi untuk produk-produk turunan biodiesel. Petani swadaya harus dilibatkan dalam menghasilkan produk turunan biodiesel dengan memberikan subsidi alat produksi, transfer knowledge dari perusahaan dan pemerintah. Pemerintan juga boleh memberlakukan aturan semacam domestic market obligation di perusahaan tambang untuk diberlakukan bagi perusahaan-perusahaan penerimaan kuota untuk membeli 30-40 persen sawit dari petani untuk pengolahan biodiesel.Selain itu. Pertamina perlu bekerja sama dengan petani sawit Pertamina membangun pabrik biodiesel, sementara petani sawit dan perusahaan-perusahaan perkebunan negara menjadi penyedia di hulu. Transformasi bisnis Pertamina di hilir perlu dipikirkan serius agar tak hanya menjadi pembeli di sektor hilir. Pertamina harus menjadi pemain utama agar mampu berkompetisi. Tanpa melakukan transformasi, Pertamina akan mengulang nasib sama menjadi pembeli BBM dari para trader atau seperti PLN yang hanya bertugas membeli batubara dari perusahaan-perusahaan batubara, tetapi tak diberi akses oleh negara mengontrol sektor hulu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *