Dari Sawit: Tidak Ada Kata Setop untuk Daulat Energi!

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Wartaekonomi.co.id | Selasa, 18 Agustus 2020

Dari Sawit: Tidak Ada Kata Setop untuk Daulat Energi!

Pemerintah tentunya sudah tidak main-main untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang mandiri dan daulat energi. Pengembangan dan peningkatan produksi biodiesel dan green diesel berbasis minyak kelapa sawit menjadi salah satu bukti bahwa tujuan tersebut bukanlah sekadar wacana. Program pencampuran 20 persen minyak sawit ke dalam 80 persen diesel (B20) yang telah diimplimentasikan pada 2018 dan 2019 lalu terbukti telah meningkat menjadi B30 di tahun ini. Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menyebutkan, pemerintah dan semua pemangku kepentingan bertekad untuk meneruskan program mandatori B30 meskipun harga minyak bumi terus merosot dan pandemi Covid-19 berpotensi makin mengurangi penggunaan biodiesel di pasar domestik. Ketua Harian Aprobi, Paulus Tjakrawan mengatakan, “sampai Juni, konsumsi biodiesel domestik 4,19 juta kl. Secara total memang berkurang, tapi tidak lebih dari 10 persen dari target kami, dan harapan kami sampai akhir tahun kalaupun turun, tidak lebih dari 10 persen. Tapi, kami informasikan meskipun banyak tantangan, program B30 sudah diputuskan jalan terus.” Data Aprobi mencatat, produksi biodiesel nasional pada semester I-2020 mencapai 4.876.404 kiloliter. Sejak harga minyak bumi merosot, ekspor biodiesel Indonesia menjadi sangat minim. Hal ini dikarenakan permintaan dari pasar global merosot serta masih banyaknya hambatan dagang yang dihadapi kelapa sawit dan produk turunannya. Tidak setop sampai di situ, pemerintah juga menargetkan program B40 dapat diproduksi pada Juni 2021 mendatang. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama beberapa pihak terkait, termasuk Aprobi, tengah melakukan uji coba terhadap program tersebut.

https://www.wartaekonomi.co.id/read299977/dari-sawit-tidak-ada-kata-setop-untuk-daulat-energi

BERITA BIOFUEL

Kontan.co.id | Selasa, 18 Agustus 2020

Pertamina Pasok Biosolar B30 sebanyak 715.000 liter ke PT Garam

PT Pertamina (Persero) melalui Marketing Operation Region (MOR) V Jatimbalinus telah melakukan pengiriman perdana bahan bakar minyak (BBM) jenis Biosolar B30 ke lokasi petani garam milik PT Garam (Persero). Region Manager Corporate Sales V Akhmad Iqdam Hendrawan memaparkan, pada 7 Agustus lalu, Pertamina melakukan pengiriman perdana BBM jenis Biosolar B30 ke PT Garam sebanyak 5.000 liter yang di supply oleh Integrated Terminal Surabaya Group ke lokasi PT Garam di Gresik. Pada Selasa (11/8), Pertamina kembali melakukan pengiriman BBM sebanyak 5.000 Liter ke lokasi PT Garam di Bipolo, Nusa Tenggara Timur yang di supply oleh Fuel Terminal Tenau. Lalu Kamis (13/8), Pertamina kembali melakukan pengiriman BBM sebanyak 5.000 liter ke lokasi PT Garam di Sampang, Madura yang di supply langsung oleh Fuel Terminal Camplong. Hal ini berlanjut pada Jumat (14/8), Pertamina mengirimkan 5.000 liter BBM ke lokasi PT Garam di Segoromadu, Jawa Timur yang kembali di supply langsung oleh Integrated Fuel Terminal Surabaya Group.   “Secara total di dua minggu pertama bulan Agustus, Pertamina telah mengirimkan BBM jenis Biosolar B30 sebanyak 20.000 liter atau 20 KL ke lokasi PT Garam,” ujar Akhmad berdasarkan keterangan tertulis yang dikutip Kontan.co.id, Selasa (18/8). Kerjasama ini nantinya akan berlangsung selama 1 tahun dimulai dari 1 Agustus 2020 sampai dengan 31 Juli 2020. Adapun sesuai dengan perjanjian kerjasama yang telah disepakati kedua belah pihak, Pertamina akan terus memasok Biosolar B30 kepada PT Garam dengan total pasokan nantinya akan mencapai 715.000 liter.

Kebutuhan tersebut untuk dioperasionalkan di Pabrik dan Pegaraman dari PT Garam yang tersebar di total 9 lokasi, yaitu Pegaraman I Nambakor, Pegaraman IV Gresik Putih, Pegaraman Bipolo, Pegaraman Pamekasan, Pegaraman Sampang, Pabrik Camplong, Pabrik Segoromadu, Pabrik Manyar, dan Pegaraman Manyar. “Mekanisme pengiriman layanan BBM B30 dilakukan secara Franco, yaitu serah terima BBM dilakukan di titik serah atau lokasi dari PT Garam”, sebut Iqdam. Adapun, program Biodiesel 30% (B30) sendiri sudah diresmikan penerapannya oleh Presiden Joko Widodo di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) COCO No 31.128.02 MT Haryono Jakarta Selatan, pada Senin, 23 Desember 2019 lalu. Pada tahun 2020, Pertamina akan mengimplementasikan B30 guna mendukung kebijakan pemerintah dalam mengurangi impor minyak. Sementara itu, Manager Corporate Communication PT Garam Miftahol Arifin berharap, sinergi yang dilakukan bersama Pertamina bakal menunjang kegiatan PT Garam. “Kerjasama ini kita lakukan untuk menunjang kegiatan operasional perusahaan agar berjalan dengan lancar dan mendukung sinergi antar BUMN”, pungkas dia.

https://industri.kontan.co.id/news/pertamina-pasok-biosolar-b30-sebanyak-715000-liter-ke-pt-garam?page=all

Suara.com | Selasa, 18 Agustus 2020

Industri Sawit Diharapkan Mampu Tekan Angka Kemiskinan

Pemerintah terus menegaskan komitmennya dalam membangun kemandirian energi sebagai pondasi bangsa Indonesia di masa mendatang. Dalam pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR, misalnya, Presiden Joko Widodo kembali menyatakan, Indonesia berhasil memproduksi dan menggunakan biodiesel 20 persen (B20), kini tengah berupaya meningkatkannya menjadi 30 persen (B30). Tak berhenti di situ, Indonesia berhasil memproduksi bahan bakar diesel yang 100 persen bahan bakunya dari minyak kelapa sawit (D100). Dengan kapasitas produksi 20.000 barel per hari, presiden meyakini minimal satu juta ton sawit bakal terserap dalam setiap proses produksinya. “Belum lagi dalam hal sosial kemasyarakatan, industri sawit sangat membantu dalam upaya penanggulangan kemiskinan,” ujar Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Sunari, dalam diskusi virtual bertajuk Digitalk Sawit, Selasa (18/8/2020). “Data kami mencatat hingga saat ini ada setidaknya 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung yang menggantungkan hidupnya di industri sawit nasional. Di dalamnya, ada sekitar 2,4 juta petani swadaya yang terlibat, dan secara total 4,6 juta pekerja lain yang masuk dalam ekosistem sawit di Indonesia,” Sunari menambahkan. Besarnya manfaat serta sumbangsih industri sawit terhadap perekonomian nasional tersebut, menurut Sunari, sudah seharusnya disampaikan secara masif ke masyarakat, terutama generasi muda, khususnya di kalangan milenial.

Penyampaian informasi itu penting guna mengcounter berbagai berita miring tentang industri sawit yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang merasa terancam ketika nantinya Indonesia benar-benar dapat mencukupi kebutuhan energinya secara mandiri. “Dengan begitu impor minyak kita bakal bisa ditekan, atau bahkan bisa sama sekali tidak impor lagi karena kita sudah bisa mencukupi kebutuhan energi dalam negeri secara mandiri,” kata Sunari. “Nah, kondisi ini harus dipahami betul oleh kalangan milenial, karena mereka bisa dibilang adalah penggerak atau frontliner bagi pengembangan industri sawit nasional di masa mendatang,” Sunari menambahkan. Untuk penyelenggaraan Digitalk Sawit kali ini, dijelaskan Sunari, merupakan gelaran lanjutan yang segaja difokuskan untuk masyarakat muda di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Sebelumnya, acara Digitalk juga digelar dengan berfokus pada generasi muda di wilayah-wilayah lain, seperti Sumatera dan juga Kalimantan. Dengan sengaja digelar dari kota ke kota secara bergiliran, diharapkan juga bakal semakin banyak lagi kalangan milenial yang bisa dirangkul dalam kampanye positif soal industri sawit. “Terakhir, dengan adanya rangkaian acara Digitalk ini, diharapkan dapat mengajak generasi milenial ikut bangga terhadap upaya pemandirian energi lewat pengembangan industri sawit nasional. Selain itu juga dengan pemahaman yang benar, milenial Indonesia dapat ikut mengcounter balik serangan berupa kampanye negatif yang selama ini masih kerap menimpa industri sawit nasional,” tegas Sunari.

Untuk penyelenggaraan Digitalk Sawit kali ini, dijelaskan Sunari, merupakan gelaran lanjutan yang segaja difokuskan untuk masyarakat muda di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Sebelumnya, acara Digitalk juga digelar dengan berfokus pada generasi muda di wilayah-wilayah lain, seperti Sumatera dan juga Kalimantan. Dengan sengaja digelar dari kota ke kota secara bergiliran, diharapkan juga bakal semakin banyak lagi kalangan milenial yang bisa dirangkul dalam kampanye positif soal industri sawit. “Terakhir, dengan adanya rangkaian acara Digitalk ini, diharapkan dapat mengajak generasi milenial ikut bangga terhadap upaya pemandirian energi lewat pengembangan industri sawit nasional. Selain itu juga dengan pemahaman yang benar, milenial Indonesia dapat ikut mengcounter balik serangan berupa kampanye negatif yang selama ini masih kerap menimpa industri sawit nasional,” tegas Sunari.

https://www.suara.com/bisnis/2020/08/18/150826/industri-sawit-diharapkan-mampu-tekan-angka-kemiskinan?page=all

Harian Ekonomi Neraca | Selasa, 18 Agustus 2020

Tantangan dan Peluang Pengembangan EBT Pasca Pandemi

Pandemi Covid 19 telah merubah tatanan hidup masyarakat dalam semua sektor kehidupan, termasuk dalam konsumsi dan produksi energi. Penurunan harga minyak yang sangat dalam hingga mencapai hampir US$ 20 per barrel membuat pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi semakin berat dan menantang. Jurang harga antara energi fosil dengan EBT yang tadinya semakin menyempit kembali mengalami pelebaran yang cukup signifikan. Hal ini menyebabkan produsen energi kembali menggunakan energi fosil dan meninggalkan produksi EBT. Tantangan berat tersebut ditambah dengan kondisi perubahan iklim yang semakin membaiksela-ma masa pandemi. Perbaikan iklim ini sebagai akibat dari menurunnya berbagai aktivitas ekonomi secara massif sebagai dampak dari penerapan PSBB di sebagian besar wilayah di Indonesia te-rutamnadikota-kota besar. Terjadi penurunan emisi karbon yang cukup signifikan terutama di Jakarta sebagai wilayah penghasil emisi karbon terbesar di Indonesia Data BMKG menunjukan bahwa selama2bulanpertamamasapan- demi, polusi di Jakarta berada dalam level terendah selama 3 tahun terakhir. Namun hal yang cukup mengkhawatirkan adalah penurunan emisikarbonini bukan sebagai akibat dari keberhasilan aksi mitigasi di Jakarta terutama di sektor energi dan transportasi. Sehingga dipastikan emisi akan kembali meningkat tajam seiring dengan kembali berputarnya roda perekonomian secara normal.

Pandemi yang terjadi selama hampir 6 bulan ini telah menurunkan permintaan terhadap konsumsi energi terutama energi listrik. PLN mencatat bahwa selama 2 bulan pertama masa pande-mLkonsumsilistrikmasyarakattu-run hingga 10 persen dari sebelum pandemi. Hal ini semakin memperberat tantangan pengembangan pembangkit berbasis EBT di masa mendatang. Tantangan lain akibat pandemi ini adalah terjadinya penundaan bahkan pembatalan realisasi pembangunan proyek EBT di berbagai wilayah di Indonesia. Harga minyak yang turun di masa penademi ini menjadi salah satu penyebab penundaannya berbagai proyek EBT karenasemakintidakbisabersaing dengan pembangkit berbahan bakar konvensional. Berbagai tantangan tersebut membuatpengembanganEBTbe-rada di persimpangan. Di satu sisi, saat ini menjadi semakin tidak menguntungkan dan semakin tidak kompetitif secara ekonomis jika dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar fosil. Di sisi lain, pengembangan EBT yang bersih dan rendah emisi merupakan suatu keharusan dan merupakan energi masa depan. Oleh karena itu, pemerintan mengupayakan agar tetap terjadi energi transisi yang smooth dan gradual dengan tetap mempertimbangkan aspek ekonomis dan penerimaan pasar namun tetap sesuai dengan target penurunan emisi yang telah ditetapkan. Sesuai dengan target Nationally Determined Contribution (NDC), pemerintahan Presiden Jokowi tetap berkomitmen uruk menurunkan emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau 41 persen dengan bantuan luar negeri pada tahun 2030. Sektor energi merupakan salah satu sektor yang ditargetkan cukup tinggi dalam menurunkan emisi yaitu sebesar 11 persen dan merupakan sektornomor2terbesarsetelahke-hutanan yang ditargetkan menurunkan emisi sebesar 17,2 persen. Kegagalan penurunan emisi di 2 sektor inti ini akan berakibat pada kegagalan Indonesia dalam menurunkan target emisi secara keseluruhan. Hal inilah yang membuat pengembangan EBT harus terus diupayakan bagaimanapun kondisinya. Karena tanpa pengembangan EBT, maka penurunan emisi dari sektor energi dipastikan hanya omongkosong belaka.

Salah satu upaya yang di- lakukan pemerintah dalam meningkatkan penggunaan EBT adalah pencanangan program mandatori bahan bakar nabati (BBN) atau biodiesel 30 persen (B30) pada tahun ini. Penggunaan BBN untuk transportasi dan industri ini terus diupayakan agar target penurunan emisi dapat tercapai. Namun akibat pandemi yang menurunkan harga bahan. bakar minyak (BBM) ini membuat harga BBN menjadi lebih tinggi dan gap harga antara BBM dan BBN se-makinmelebar. Implikasi yang terjadi atas kondisi ini adalah insentif yang harus disediakan oleh pemerintah untuk penggunaan BBN menjadi lebih besar, sementara anggaran pemerintah saat ini lebih banyak tersedot untuk penanganan wabah covidl9 dan pemulihan ekonomi nasional. Di sisi lain, krisis yang terjadi akibat pandemi Covidl9 ini dapat menciptakan peluang pengembangan EBT sebagai energi yang bersih dan rendah emisi. Sebagai contoh, Korea Selatan mengambil langkah-langkah untuk pulih dari krisis ekonomi tahun 2008 dengan memfokuskan investasi besar-besaran baru bagi program energi bersih. Hasilnya terasa hingga sekarang, dimana Korea Selatan merupakan salah satu negara dengan emisi sektor energi terendah dan pengguna energi bersih terbesar di dunia. Hal ini semakin menguatkan kita bahwa di setiap tantangan yang terjadi akan tercipta peluangyangharus dimanfaatkan.

Di masa pandemi ini, pemerintah juga sebaiknya tetap mengupayakan akses energi bersih terutama bagi daerah-daerah terpencil dengan memanfaatkan sumber energi local yang ramah lingkungan seperti air, angin, biomassa dan matahari. Pembangunan pembangkit EBT berskala kecil dan remote seperti PLTS, PLT Biomassa dan PLT Mikrohidro da-patmembukapeluangbagi penyediaan energi bersih bagi masya-rakatdidaerahterpenciLSelainitu, pengembangan pembangkit EBT berskala kecil ini dapat memperkuat kemandirian energi daerah ketika krisis serupa terjadi di masa mendatang. International Monetary Fund (IMF) dalam laporan terbarunya menyatakan bahwa krisis Covidl9 tidak akan mengubah tantangan perubahan iklim, namun respon yang tepat dari pemerintah saat pandemi inf dapatmengubahkon-disi perubahan iklim ke depan. Pemerintah kita harus melihat pandemi ini sebagai peluang dan batu loncatan bagu usaha perbaikan iklim, sehingga ketika kondisi ekonomi sudah normal dan membaik, kondisi iklim tidakkem-bali memburuk. Bappenas bahkan menyatakan bahwa pembangunan rendah karbon dapatmenum-buhkan 15,3 juta lapangan kerja dan menurunkan kemiskinan menjadi 4,2 persen pada tahun 2045.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *