Gapki Siapkan Kaltim sebagai Pusat Biodiesel

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kaltim.prokal.co | Sabtu, 28 Agustus 2021

Gapki Siapkan Kaltim sebagai Pusat Biodiesel

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim kembali melaksanakan rapat kerja cabang (rakercab). Rencana kerja setahun ke depan akan mengacu pada kebijakan pusat dan di daerah. Program kerja di daerah, mengarahkan Kaltim sebagai pusat biodesel untuk kawasan Indonesia timur. Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Muhammadsjah Djafar mengatakan, rakercab merupakan kegiatan tahunan yang sudah menjadi kalender wajib di Gapki Kaltim yang berisi tentang evaluasi program kerja pada tahun sebelumnya dan rencana program kerja untuk tahun berikutnya. Rakercab 2021 yang digelar di Balikpapan Selasa (24/8) lalu itu dihadiri 96 persen anggota Gapki Kaltim, baik yang hadir secara offline maupun virtual (Zoom Meeting) atau sudah mencapai kuorom dalam tata aturan AD/ART pelaksanaan rakercab. “Saya berharap semua kinerja yang kami lakukan bisa mengacu pada kebijakan pusat dan kebijakan di daerah,” jelasnya, Kamis (26/8). Dia menjelaskan, untuk mengacu pada kebijakan dan program kerja tingkat nasional, antara lain menyukseskan capaian kewajiban 20 persen kebun plasma, dan Kaltim sudah memenuhi kewajiban tersebut. Selanjutnya, Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), yang juga terus dilakukan dan pada masa pandemi Covid-19 diharapkan tetap mempertahankan kinerja kebun atau pabrik. Sehingga tidak ada kebijakan Merumahkan Karyawan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada karyawan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, mengacu pada kebijakan dan program kerja di daerah Kaltim dan kabupaten di dalamnya. “Salah satunya, kita masih ingat Wakil Gubernur Kaltim saat acara Borneo Forum III di Pontianak Maret 2019 lalu, yang melontarkan wacana Kaltim sebagai pusat biodiesel untuk kawasan Indonesia Timur,” tuturnya.

Barangkali saja hal ini masih relevan, artinya Kaltim persiapan unit usaha sebagai penyedia bahan baku/CPO untuk diolah lebih lanjut melalui refinery yang akan ada. Apakah akan diposisikan di KIPI Maloy atau Kariangau Balikpapan. Tinggal menunggu keputusan, Gapki siap mewujudkan daerah ini menjadi pusat biodesel di Indonesia kawasan timur. Untuk bahan baku dipastikan sangat aman. Selain itu, mengacu pada permasalahan yang sedang dan sering dihadapi oleh para anggota Gapki Kaltim yang membutuhkan Solusi. Satu di antaranya bagaimana mengelola kelompok serikat pekerja atau buruh agar benar-benar menjadi mitra yang bersinergi dengan pengusaha dalam menjalankan usaha di kebun atau pabrik. Sehingga perusahaan tempat bernaung dapat menjadi usaha lebih produktif, Kompetitif, dan berkelanjutan. Penting juga, agar program kerja yang disusun tersebut bersifat strategis, artinya merupakan program prioritas dan penting untuk saat ini, dan harus diseleksi serta dibuat skala prioritasnya, bersifat realistis artinya dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya yang dimiliki atau utamanya dana, dan bersifat merata artinya ada keseimbangan antar-kompartemen dan komisariat, baik menyangkut kuantitas maupun kedalaman program kerjanya.

https://kaltim.prokal.co/read/news/390072-gapki-siapkan-kaltim-sebagai-pusat-biodiesel.html

 

Kompas.com | Sabtu, 28 Agustus 2021

Sekelompok Pemuda Buka “Bank” Minyak Jelantah di Riau, Diekspor ke Singapura, Italia hingga Belanda Jadi Bahan Biodiesel

Minyak jelantah atau bekas pakai kebanyakan menjadi limbah di tengah masyarakat. Bahkan, minyak jelantah dibuang ke selokan rumah hingga menjadi pencemaran lingkungan. Namun, siapa sangka, sekelompok pemuda di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau yang tergabung dalam CV Arah Baru Sejahtera, justru menjadi ladang bisnis minyak jelantah. Bagi mereka minyak jelantah bisa menghasilkan uang dan menjadi bisnis yang menjanjikan hingga di ekspor ke luar negeri untuk diolah menjadi biodiesel. Minyak jelantah itu sendiri merupakan minyak bekas pemakaian, bisa dalam kebutuhan rumah tangga, kebutuhan restoran dan lainnya, yang meliputi minyak sawit dan segala minyak goreng lainnya. Muhammad Rizky Ramadan, selaku pimpinan CV Arah Baru Sejahtera menjelaskan, ide ini muncul saat ia bersama pemuda lainnya melihat lingkungan kurang terjaga dari limbah minyak jelantah. Selain peduli lingkungan, kehadiran bisnis minyak bekas ini juga wujud peduli kesehatan.

Dirikan bank jelantah

Rizky menyebut, banyak pelaku usaha UMKM yang mungkin bahan dasar membuat usahanya dari minyak goreng, takutnya dari pada dibuang atau disalah gunakan yang membahayakan kesehatan, bisa dikumpulkan dan dijual kembali. “Kita peduli lingkungan sekaligus peduli kesehatan, kita hadirkan program Bank Jelantah. Ini untuk membantu masyarakat dan pelaku usaha dari pada dibuang bisa dijual lagi bisa juga ditukar dengan sembako, emas atau uang,” ucap Rizky dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (28/8/2021). Ia menuturkan, untuk mengumpulkan minyak jelantah ini, pihaknya mendirikan Bank Jelantah yang mitranya sudah ada di kabupaten dan kota se Provinsi Riau. Hal ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam menjual minyak bekas pakai.

Diekspor ke Singapura, Italia, Belanda

Minyak jelantah setelah dikumpulkan dari para supplier, akan difilter dan dilakukan uji laboratorium terlebih dahulu. Setelah spesifikasinya cocok dengan permintaan perusahaan luar negeri, baru kemudian diekspor. Alumni Ilmu Hukum Universitas Lancang Kuning (Unilak) ini mengungkapkan, masing-masing negara memiliki spesifikasi tersendiri untuk minyak jelantah tersebut. Adapun, pihaknya mengekspor minyak bekas ini tergantung cocok tidaknya spesifikasi dari negara mana. “Kita ekspor kadang ke Singapura, Italia dan Amsterdam (Belanda). Tergantung spesifikasi apa yang mereka butuhkan. Itu diuji dulu di laboratorium yang biasanya kami bekerja sama dengan Politeknik Kabupaten Kampar,” ungkap Rizky.

Diubah jadi biodiesel

Dia menjelaskan, sebetulnya minyak jelantah ini tidak hanya bisa diolah sebagai biodiesel. Tetapi, juga bisa diolah menjadi lilin, sabun dan lain sebagainya. Alasan pihaknya mengekspor untuk biodiesel, karena menurutnya biodiesel menjadi salah satu olahan yang menjanjikan karena merupakan energi terbarukan. Untuk diketahui, biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaru seperti minyak sayur atau lemak hewan, dan salah satunya bisa dibuat menggunakan minyak jelantah. “Di luar negeri, orang sudah menggunakan biodiesel, karena lebih ramah lingkungan dan sumber energi terbarukan,” sebut Rizky.

Beberapa kali kena tipu supplier

Ia mengaku, bisnis yang ini dimulai sejak tahun 2018 lalu dan mulai berbadan hukum pada tahun 2019. Menurutnya, bisnis ini tidak berjalan mulus begitu saja. Bahkan, Rizky juga sempat beberapa kali ditipu oleh supplier yang berbuat curang karena mencampur minyak jelantah dengan oli atau lainnya. Namun, menurutnya lagi, hal tersebut menjadi tantangan bagi dia dan rekan-rekannya untuk berbuat lebih baik lagi dan lebih teliti ketika membeli jelantah dari para penjual minyak jelantah. “Namanya, bisnis tidak mungkin berjalan mulus, sempat juga kena tipu. Tapi, kami ambil pelajaran saja semuanya,” tutur Rizky. Ia menyebutkan, perharinya bisa mengumpulkan satu sampai dua ton minyak jelantah yang disuplai dari Bank Jelantah dari kabupaten dan kota se Riau. Untuk ekspornya, dilakukan sekali sebulan dengan kapasitas satu sampai dua kontainer, dengan jumlah minyak jelantah per kontainernya sebanyak 21 ton. “Sekarang antusias masyarakat sudah cukup tinggi untuk menjual minyak jelantahnya, karena kan bisa dijadikan uang lagi,” kata Rizky. Namun, dia mengaku volume minyak jelantah berkurang selama pandemi Covid-19. Menurutnya, mungkin karena banyak tempat makan yang tutup. Biasanya, sebulan bisa ekspor tiga kontainer.

Cara warga jual minyak jelantah

Masih kata Rizky, bagi masyarakat yang ingin menjual minyak jelantahnya bisa melalui Bank Jelantah atau langsung ke kantornya di Kompleks Pergudangan Golden City Nomor B10, Jalan Air Hitam Kota Pekanbaru, Riau. Masyarakat juga bisa juga menghubungi melalui instagram bankjelantah_pekanbaru atau menghubungi di nomor 085264385912/082298354357. Rizky menyebutkan, untuk harga minyak jelantah per kilo dibeli dengan harga Rp 7.000 dan itu merupakan harga standar. Jika volume jelantahnya lebih tinggi, maka bisa dibeli dengan harga yang tinggi pula. “Untuk mengumpulkan minyak jelantah ini, kita juga bekerja sama dengan Yayasan Sahabat Cinta Ummat dalam program sedekah jelantah, dan juga dengan Bank Sampah Pekanbaru, serta komunitas pegiat lingkungan lainnya,” ungkap Rizky. Ia berharap, ke depannya minyak jelantah ini tidak hanya diekspor kemudian diolah negara luar menjadi biodiesel, namun ia berharap minyak bekas bisa diolah sendiri di Provinsi Riau. Namun, saat ini keterbatasan dalam pengelolaan biodiesel minyak jelantah adalah harga mesin yang cukup mahal, sumber daya manusia yang belum mumpuni, serta belum adanya pasar yang jelas ke mana biodiesel tersebut akan disalurkan. “Tentu berharap juga kita yang mengolah sendiri. Tapi, saat ini kita masih terbatas. Sebetulnya, di Politeknik Kampar itu sudah bisa mengolahnya jadi biodiesel, tapi pasarnya belum ada, jadi belum dilanjutkan,” kata Rizky.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/29/104958578/sekelompok-pemuda-buka-bank-minyak-jelantah-di-riau-diekspor-ke-singapura?page=all

Infosawit.com | Sabtu, 28 Agustus 2021

Uni Eropa Akan Perkuat Standar Berkelanjutan Sawit Lewat European Green Deal

Dikatakan Petrus Gunarso yang saat ini menjadi tim ahli di Kementerian Perdagangan, upaya peningkatan standar berkelanjutan terus dilakukan pihak Uni Eropa. Setelah produk sawit untuk bahan bakar baru dan terbarukan yang terkena kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II, dimana dalam kebijakan itu berupaya mengelurakan biodiesel sawit dari sumber energi di Uni Eropa tahun 2030. Saat ini kebijakan keberlanjutan itu akan diperluas, kini penguatan standar berkelanjutan pun akan dilakukan untuk minyak sawit yang di ekspor untuk bahan baku makanan di Uni Eropa. “Akan ada namanya kebijakan EU Green Deal, yanga akan menuntut semua produk termasuk makanan harus memenuhi standar berkelanjutan yang ditetapkan Uni Eropa,” kata Petrus Gunarso, dalam webinar yang dihadiri InfoSAWIT, Jumat (27/8/2021). Sebelumnya, merujuk informasi dari weforum.org, hampir dua tahun setelah Komisi Eropa meluncurkan Kesepakatan European Green Deal pada Desember 2019, lanskap UE telah sangat berubah, dengan pandemi COVID-19 menyebabkan terjadinya kontraksi PDB kawasan tersebut sebesar 6,1% pada tahun 2020. Namun ketika negara-negara melanjutkan kampanye vaksinasi dan fokus pada pemulihan ekonomi, ada harapan perekonomian kawasan tersebut kembali membaik. IMF memproyeksikan bahwa PDB Eropa pada tahun 2022 dapat kembali ke tingkat sebelum pandemi. Kesepakatan The European Green Deal (Uni Eropa Hijau) memiliki potensi untuk memainkan peran kunci tidak hanya dalam memastikan pemulihan ini dalam jangka pendek tetapi juga dalam mengatasi ancaman perubahan iklim jangka panjang. Peluncuran paket “Fit for 55” belum lama ini diharapkan menandai langkah penting dalam merombak kebijakan iklim dan memungkinkan UE untuk memenuhi komitmennya untuk mengurangi emisi sebesar 55% pada tahun 2030.

Tercatat fokus European Green Deal, mencakup delapan bidang kebijakan – keanekaragaman hayati, sistem pangan berkelanjutan, pertanian berkelanjutan, energi bersih, industri berkelanjutan, pembangunan dan renovasi, mobilitas berkelanjutan, penghapusan polusi dan aksi iklim – kesepakatan tersebut merupakan upaya yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk meninjau lebih dari 50 undang-undang Eropa dan mendesain ulang publik kebijakan. Kesepakatan itu bertujuan untuk mencapai tiga tujuan utama, pertama, fokus pada pencapaian emisi nol bersih dengan mengusulkan strategi khusus yang dapat membantu mereduski emisi di semua sektor, dengan fokus utama pada energi, yang merupakan lebih dari 75% dari total gas rumah kaca UE-27. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi UE. Kedua, Uni Eropa berencana untuk memisahkan pertumbuhan dari eksploitasi sumber daya. Sementara pengurangan emisi telah dicapai dalam dekade terakhir, Eropa tetap menjadi salah satu kontributor utama konsumsi sumber daya di dunia. Digambarkan sebagai “generation-defining task,” mencapai tujuan ini tidak hanya membutuhkan dorongan dalam kemajuan teknologi tetapi juga memikirkan kembali gaya hidup, komunitas, dan masyarakat. Ketiga adalah kebutuhan untuk mendorong transisi hijau yang inklusif dan tidak meninggalkan siapa pun, didukung melalui Mekanisme Transisi yang Adil, yang akan menyediakan antara 65€ dan 75€ miliar selama periode 2021-2027 untuk mengurangi dampak sosial-ekonomi dari transisi.

https://www.infosawit.com/news/11214/uni-eropa-akan-perkuat-standar-berkelanjutan-sawit-lewat-european-green-deal