Indonesia Jadi Raja Energi Hijau Dunia Berkat Sampah

Sampah menjadikan Indonesia menjadi raja energi hijau. Indonesia kini berada di ambang pengakuan global sebagai kampiun energi berbasis tumbuhan atau Bahan Bakar Nabati (BBN). Bagaimana tidak, konsumsi BBN jenis biodiesel diperkirakan mencapai angka fantastis, 13,1 juta kilo liter (kl) pada tahun 2024 lalu.
Lebih dari itu, PT Pertamina (Persero) melakukan inovasi revolusioner yang berpotensi mengukuhkan posisi Indonesia di peta energi hijau dunia: produksi bahan bakar pesawat yang lebih ramah lingkungan, atau dikenal dengan Sustainable Aviation Fuel (SAF) alias bioavtur.
SVP Research & Technology Innovation Pertamina, Bapak Oki Muraza, dengan penuh keyakinan mengungkapkan, “Kita saat ini memiliki potensi sebagai juara dunia untuk biofuels dengan 13,1 juta kilo liter dari biodiesel. Dan dengan posisi kita nanti sebagai hub dari Sustainable Aviation Fuel akan memperkuat image Indonesia di pentas internasional,” ujarnya dalam program Energy Corner CNBC Indonesia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Ibu Eniya Listiani Dewi, mencatat realisasi penyerapan biodiesel di Indonesia hingga awal Desember 2024. Yang mana telah mencapai 12,07 juta kl, setara dengan 90% dari kuota yang ditetapkan sebesar 13,4 juta kl untuk tahun tersebut. Sejak Agustus 2023, pemerintah secara luas mengimplementasikan mandatori campuran biodiesel 35% atau B35. Pada tahun 2023, B35 mencatatkan penyerapan sebesar 12,2 juta kl. Pada Januari 2025, Indonesia meningkatkan campuran biodiesel menjadi 40% atau B40, dengan target kuota biodiesel naik menjadi 15,62 juta kl.
Inovasi Bioavtur Pertamina: ‘Sampah’ Dapur Jadi Bahan Bakar Langit!
Selain terus memacu penggunaan biodiesel, Pertamina sebagai garda terdepan penyedia energi nasional juga gencar berinovasi menciptakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Bapak Oki mengungkapkan bahwa perseroan kini tengah mengembangkan produksi avtur dengan memanfaatkan bahan baku sampah dapur. Tidak lain yakni minyak goreng bekas atau yang lebih dikenal dengan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO).
Langkah inovatif ini sejalan dengan visi Indonesia untuk mencapai kemandirian energi melalui swasembada energi di Tanah Air. Bapak Oki melihat potensi pengolahan sampah atau minyak jelantah menjadi bahan bakar ramah lingkungan sebagai peluang emas. Tentunya, untuk menciptakan sentra ekonomi baru di berbagai lapisan masyarakat.
“Jika kita melihat program yang sudah dicanangkan oleh pemerintah, Indonesia saat ini sedang berusaha untuk mengejar swasembada energi. Dan kemudian dari situ kita melihat minyak goreng bekas atau minyak jelantah ini adalah salah satu bahan baku yang tersedia cukup besar di Indonesia. Dan harapannya dengan mengolah minyak goreng bekas atau minyak jelantah ini, kita bisa menciptakan sentra ekonomi baru,” jelas Bapak Oki.
Potensi Minyak Jelantah
Potensi minyak jelantah di Indonesia memang sangat besar. Pertamina mengajak partisipasi aktif masyarakat untuk mendistribusikan minyak goreng bekas pakai. Hal ini bertujuan agar dapat diolah kembali menjadi bahan bakar ramah lingkungan yang berpotensi mendunia. Langkah ini tidak hanya akan menggerakkan roda ekonomi sirkular dengan melibatkan masyarakat dalam pengumpulan limbah. Tetapi juga membuka lapangan pekerjaan baru dan memberikan reputasi hijau (green reputation) yang membanggakan bagi Indonesia di mata internasional.
Pemanfaatan minyak jelantah ini merupakan wujud hilirisasi di sektor bahan bakar. Sejalan dengan semangat hilirisasi mineral yang tengah gencar didorong, Pertamina melihat minyak jelantah sebagai aset berharga yang dapat diolah di dalam negeri. Tentunya, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar ramah lingkungan. Ini akan menciptakan lapangan pekerjaan di sektor produksi, distribusi, hingga ritel.
Sebagai langkah nyata, Pertamina melalui PT Pertamina Patra Niaga telah meluncurkan program Green Movement UCO. Sebuah inisiatif pengumpulan minyak jelantah di sejumlah SPBU dan rumah sakit IHC Pertamina di Jabodetabek dan Bandung. Program pilot project ini, yang akan berlangsung selama setahun dengan evaluasi berkelanjutan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mempermudah daur ulang minyak jelantah sebagai bahan baku biofuel.
Riva Siahaan, Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, mengungkapkan bahwa Pertamina Patra Niaga telah berhasil menggunakan UCO sebagai campuran bahan baku sustainable untuk produk avtur, menghasilkan Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang mampu mengurangi emisi hingga 84% dibandingkan dengan bahan bakar jet konvensional. Ini adalah bukti nyata bahwa “sampah” dapur Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk menerbangkan masa depan yang lebih hijau.