Indonesia Terus Mematangkan Implementasi Solar B40 yang Hadapi Sejumlah Kendala

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kompas.com | Kamis, 2 Desember 2021

Indonesia Terus Mematangkan Implementasi Solar B40 yang Hadapi Sejumlah Kendala

Rencana implementasi bahan bakar solar B40 sepertinya tidak berjalan mulus. Ada sejumlah faktor kendala, seperti harga CPO sebagai bahan baku biodiesel, yang melonjak tinggi serta adanya pandemi Covid-19. Melansir dari Kompas.id, dalam 1 liter bahan bakar jenis ini terdiri dari solar murni 60 persen dan biodiesel dari minyak kelapa sawit atau CPO 40 persen. Harga CPO yang tinggi dikhawatirkan mengganggu konsistensi penerapan bahan bakar solar B40. Untuk itu, pemerintah terus berupaya mematangkan persiapan B40 sebelum benar-benar diluncurkan ke pasar. Persiapan tersebut menyangkut teknologi, regulasi, hingga kesiapan badan usaha dan industri. Sebelumnya, program solar B-40 ditargetkan diterapkan pada tahun ini. Namun, karena pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, rencana tersebut tertunda sampai batas waktu yang belum ditetapkan. Untuk sekarang ini, penggunaan yang berlaku adalah solar B30 (biodiesel 30 persen) atau dikenal dengan nama pasar biosolar. “Uji coba solar B40 sebenarnya telah dilakukan. Hasilnya pun telah keluar. Namun, masih ada sejumlah persyaratan lain yang harus dipenuhi hingga bahan bakar tersebut benar-benar dinyatakan layak diterapkan,” terang Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana dalam webinar bertajuk ”Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodisel: Menuju B40”, Selasa (30/11/2021). Pihaknya saa ini tengah menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk spesifikasi biodiesel B40, SNI bahan bakar nabati, teknologi, regulasi, dan insentif. “Dalam waktu dekat, kami akan merealisasikan uji jalan B40,” katanya. Terlepas dari persiapan-persiapan itu, lanjut Dadan, pemerintah terus mendorong penerapan bahan bakar nabati. Badan usaha yang terlibat di bagian produksi didorong untuk mematuhi prinsip-prinsip lingkungan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan kebijakan besar mengurangi emisi gas rumah kaca. Ilustrasi Pemerintah tengah mempersiapkan program B40. (Sumber: btbrd.bppt.go.id) Adapun, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengatakan, sekitar 75 persen kendaraan di Indonesia memakai gasolin (bensin), sisanya mengonsumsi solar. Sejak 2006, di Indonesia sebenarnya telah mengembangkan bahan bakar nabati jenis bioetanol, tetapi perkembangannya tidak optimal hingga sekarang. ”Implementasi bahan bakar nabati di Indonesia sudah sejak 15 tahun lalu, tetapi lebih banyak fokus ke biodiesel. Kalaupun ingin uji coba teknis di jalan untuk jenis B40 dalam waktu dekat, pemerintah perlu memberikan detail mekanisme. Hanya saja, jangan lupakan bahan bakar nabati alternatif lannya,” ujarnya. Sementara itu, Direktur Penyaluran Dana pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo menuturknan, implementasi solar B40 perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain; Pertama, masih ada kekurangan bahan baku untuk penerapan B-40 secara nasional. Kedua, masih perlu kajian keekonomian B-40 secara komprehensif karena menyangkut potensi adanya tambahan investasi industri. Ketiga, kecukupan dana untuk menutup selisih atau kekurangan harga indeks pasar. “Ini karena perubahan harga CPO cukup dinamis,” ujarnya. Keempat, berhubungan dengan persyaratan kandungan air maksimum dalam B-40 sebesar 220 parts per million (ppm).

https://www.kompas.tv/article/237808/indonesia-terus-mematangkan-implementasi-solar-b40-yang-hadapi-sejumlah-kendala?page=all

Wartaekonomi.co.id | Kamis, 2 Desember 2021

Kementerian ESDM Uji Coba B40 Melalui 3 Komposisi, Seperti Apa Hasilnya?

Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM terus mengoptimalkan pemanfaatan potensi energi baru yang melimpah di Indonesia. Setelah diimplementasikan pada Januari 2020 lalu, pemanfaatan B30 berbasis minyak sawit direncanakan akan ditingkatkan menjadi biodiesel 40 persen atau B40. Direktur Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyampaikan, Kementerian ESDM sudah melakukan uji lab terkait pemanfaatan B40 dengan tiga komposisi. Pertama, bauran B40 dimana endapan presipitasi terbentuk pada B40 yang lebih besar dibandingkan B30 (FAME>DPME>HVO). Periode penyimpanan yang lebih lama dan temperatur yang lebih rendah berpengaruh pada pembentukan endapan presipitat yang lebih tinggi. Kedua, B40 dengan menggunakan spek FAME (Fatty Acid Methyl Ester) yang berlaku saat ini yaitu B30 (FAME) ditambah dengan DPME (Distilled Palm Oil Methyl Ester) 10 persen. Uji kinerja terbatas pada sampel B40 dan B30+DPME10 terhadap B30 menunjukkan penurunan torsi dan daya (1,1 – 2,1 persen), peningkatan konsumsi (1,1 persen), dan penurunan opasitas gas buang (1,6 – 3,2 persen). Ketiga, B30 (FAME) ditambah dengan HVO (Hydrogenated Vegetable Oil) 10 persen yang memberikan nilai tambah pada Daya Maksimal 0,6 persen dan Torsi Maksimal 2,6 persen. “Dari hal tersebut kami berpendapat, produksi FAME mencukupi untuk penerapan B40 dari sisi kapasitas. Tetapi, apabila memilih B30+DPME10 persen dari sisi produsen masih memerlukan waktu untuk melakukan destilasi ulang terkait untuk penurunan kandungan air. Kemudian, jika Pertamina mulai memproduksi HVO dalam jumlah besar mulai tahun 2024,” kata Dadan dalam webinar dengan tema Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodiesel: Indonesia Menuju B40 yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia, pada Selasa (30/11/2021). Terkait dengan persiapan B40 atau yang lebih besar di masa mendatang, Dadan menyiapkan 10 langkah strategis di antaranya menyusun SNI, kajian teknis dan tekno ekonomi, mempersiapkan kebijakan pendukung, mempersiapkan intensif, mempersiapkan road test/performance test. “Selanjutnya, memastikan kesiapan BU BBN, proper handling and storage system, memastikan kesiapan infrastruktur, program strstegis nasional, dan sosialisasi secara massif,” ucapnya. Dadan juga menambahkan pihaknya terus mendorong untuk mencapai biodiesel berkelanjutan. “ESDM mendorong untuk Indonesian Biodiesel Sustainable Indicators (IBSI). Kami sama-sama ingin berkontribusi dan sama-sama ingin pemanfaatan biodiesel berbasis sawit berkelanjutan,” pungkas Dadan.

https://wartaekonomi.co.id/read378035/kementerian-esdm-uji-coba-b40-melalui-3-komposisi-seperti-apa-hasilnya

Infosawit.com | Kamis, 2 Desember 2021

Indonesia Bakal Terapkan Sertifikasi Berkelanjutan untuk Biodiesel Sawit

Dikatakan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE), Kemen ESDM, Dadan Kusdiana, pengembangan energi baru terbarukan, temasuk didalamnya biodiesel berbasis minyak sawit kedepannya harus memenuhi aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Standar itu bakal diberi nama Indonesiann Bioenergy Sustainability Indicator (ISBI), pada standar ini proses pemenuhan energi baru dan terbarukan termasuk dari biodiesel berbasis minyak sawit mesti memenuhi 3 apsek, pertama indikator lingkungan yakni rendah emisi, minim limbah dan bisa ditelusuri bahan bakunya. Kedua, indikator sosial yakni, sumber energi itu harus mampu mendukung pendapatan masyarakat, berperan dalam peningkatan tenaga kerja dan sumber bahan baku ini bisa digunakan untuk pengembangan pelayanan energi baru terbarukan. Lantas ketiga, indikator ekonomi, yakni meningkatkan produktivitas sumber bahan baku renewable energy dalam hal ini seperti peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit sehingga mampu menghasilkan minyak sawit untuk biodiesel dengan penggunaan lahan yang lebih hemat, lantas memenuhi neraca perimbagan energi, dan memiliki nilai tambah. “Serta terkait infrastruktur dan logistik untuk pendistribusian bioenergy,” tandas Dadan dalam 17th Indonesian Palm Oil Conference and 2022 Price Outlook (IPOC) 2021) yang diikuti InfoSAWIT, di Jakarta, Rabu (1/12/2021).

https://www.infosawit.com/news/11647/indonesia-bakal-terapkan-sertifikasi-berkelanjutan-untuk-biodiesel-sawit

Investor.id | Kamis, 2 Desember 2021

Wilmar Dorong Hilirisasi dalam Industri Biodiesel

Wilmar berupaya untuk terus mensukseskan program pemerintah dalam program hilirisasi industri kelapa sawit nasional, terutama dalam industri biodiesel. Wilmar percaya bahwa biodiesel akan menjadi industri yang mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Direktur Wilmar Erik Tjia mengatakan, industri biodiesel tidak hanya mencakup soal bisnis saja tetapi juga bentuk kontribusi perusahaan kepada bangsa dan negara. Dengan mendukung industri biodiesel secara tidak langsung ikut mendukung hilirisasi agar manfaat industri kelapa sawit dapat dirasakan sebesar besarnya dalam di negeri. Hal itu juga sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo. Kinerja Wilmar dalam industri biodiesel telah diakui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui pemberian Penghargaan Subroto 2021 kategori pengelolaan produksi dan penyaluran bahan bakar nabati serta pengelolaan kesehatan, keselamatan kerja dan lingkungan. Penghargaan yang diserahkan pada 28 September 2021 merupakan satu satunya penghargaan yang diberikan kepada perusahaan biodiesel dalam ajang tersebut. “Penghargaan subroto merupakan penghargaan tertinggi sektor ESDM yang diberikan kepada para pemangku kepentingan yang telah melakukan kinerja terbaik dalam memajukan sektor ESDM di Indonesia, dan kami sangat bangga karena kerja keras dan karya perusahaan diapresiasi pemerintah,” ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta, Kamis (2/11). Pabrik Wilmar juga telah diakui standarisasinya dengan mendapatkan SNI award dari Badan Standarisasi Nasional (BSN). Kategori peringkat emas diberikan kepada PT Wilmar Nabati Indonesia dan kategori perunggu PT Multimas Nabati Asahan. Dalam upaya hilirisasi, Wilmar juga meningkatkan tingkat komponen dalam negeri dalam industri biodiesel. Unsur TKDN di industri biodiesel Wilmar telah mencapai 90%.

https://investor.id/business/273038/wilmar-dorong-hilirisasi-dalam-industri-biodiesel

Investor.id | Kamis, 2 Desember 2021

Setop Impor BBM, Butuh Subsidi Biodiesel Rp 113 T

Mandatori penggunaan biodiesel perlu dinaikkan dari tahun ini sekitar 9,2 juta kilo liter (kl) menjadi 20,8 juta kl, guna mendukung rencana penghentian impor BBM pada 2027 atau dipercepat tiga tahun dari rencana semula 2030. Dana yang dibutuhkan untuk menutup selisih biaya produksi dengan harga biodiesel subsidi diperkirakan akan naik, dari sekitar Rp 50 trliun tahun ini menjadi Rp 113 triliun. Selain meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati biodiesel dari minyak sawit, untuk menyetop impor BBM harus didukung pula tiga rencana strategis yang lain. Ini mencakup program percepatan peningkatan kapasitas kilang minyak melalui pembangunan 1 kilang baru dan 4 pengembangan untuk memproduksi solar sesuai kebutuhan, mendorong penggunaan kendaraan bahan bakar gas (BBG) sebanyak 440 ribu unit, serta mendorong penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) sebanyak 2 juta mobil dan 13 juta sepeda motor. Peningkatan penggunaan biodiesel yang dapat diproduksi di dalam negeri ini akan mengurangi defisit neraca perdagangan minyak dan gas (migas) yang masih tinggi, yang selama ini banyak menggerogoti surplus neraca perdagangan nonmigas. Selain itu, renewable fuel ini akan mendorong laju pemulihan ekonomi nasional; mendukung implementasi environmental, social, and governance (ESG) atau tata kelola lingkungan, sosial, dan perusahaan yang baik; serta bisa menopang komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29% tahun 2030 dengan upaya sendiri atau 41% dengan bantuan internasional. Hal ini juga mendorong transformasi green economy, termasuk transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan yang sejalan dengan tren global. Demikian benang merah rangkuman keterangan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto, serta Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana. Mereka memberikan keterangan secara terpisah. Komaidi Notonegoro mengatakan, secara objektif, kebijakan pemerintah mempercepat penghentian impor BBM berbasis fosil ini tentu baik dalam program pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) maupun memperbaiki defisit neraca perdagangan. Ia mengapresiasi arah kebijakan pemerintah menyetop impor BBM, yang di antaranya ditempuh dengan melanjutkan mandatori penggunaan biodiesel dan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN) dalam negeri. “Penghentian impor BBM itu tentu juga akan menghemat devisa hingga meningkatkan nilai tambah dari hilirisasi kelapa sawit, dan pada ujungnya akan menaikkan penerimaan pajak. Kebijakan tersebut perlu dikalkulasi secara matang dari tinjauan aspek fiskal dan moneter, ini ibarat masuk kantong kanan, keluar dari kantong kiri untuk subsidi,” ujarnya kepada Investor Daily, Rabu (1/12) malam. Sebagai gambaran, Komaidi menyebutkan, selisih biaya produksi solar dari minyak mentah dibanding solar dari minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) berkisar Rp 2.000-3.000 per liter. Biaya produksi pencampuran fatty acid methyl esters (FAME) dalam minyak diesel berbasis minyak fosil sebesar 30% (B30), lanjut dia, masih lebih mahal dari solar biasa. Apalagi, harga CPO saat ini sedang tinggi- tingginya. Dengan menggunakan asumsi selisih biaya produksi tersebut, lanjut Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti ini, bisa dihitung gambaran besaran dana subsidi yang mesti disiapkan pemerintah untuk menyetop impor BBM. Saat ini, kuota solar subsidi sebesar 15,8 juta kilo liter per tahun dan premium sekitar 11 juta kilo liter per tahun. Berdasarkan kuota itu, selisih biaya produksi dengan harga jual B30 mencapai Rp 50 triliunan per tahun. Selisih yang disebut sebagai insentif untuk program biodiesel ini dibayar dari sebagian hasil pungutan ekspor sawit yang dikumpulkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). “Nah, berapa kilo liter yang akan disubsidi pemerintah per tahun dan besaran subsidi tetap yang akan diberikan pemerintah? Bagaimana agar dana subsidi itu setara dengan dampaknya pada laju perekonomian dan transformasi ke green economy? Ini perlu dikaji lebih mendalam dari aspek finansial dan moneter,” ujarnya. Komaidi menuturkan, program mandatori biodiesel yang berjalan saat ini baru sampai pada tahap biodiesel 30% (B30). Komaidi mendukung keberlanjutan mandatori penggunaan B30 yang akan dinaikkan menjadi B40. Ia berharap pemerintah juga memperbaiki masalah teknis penggunaan biodiesel ini, sehingga serapannya lebih optimal. Dadan menjelaskan, pada tahun 2021, pemerintah menargetkan serapan biodiesel mencapai 9,20 juta kl untuk pelaksanaan mandatory B30. “Penyerapan akan naik, dan alokasi biodiesel tahun 2022 menjadi sekitar 10 juta kilo liter,” ujarnya dalam acara “17th Indonesian Palm Oil Conference and 2022 Price Outlook (IPOC 2021)”, Rabu (1/12). Sementara itu, Djoko Siswanto mengatakan dalam kesempatan terpisah, pemerintah sebelumnya menargetkan untuk menghentikan impor BBM tahun 2030. Ini antara lain dengan didukung pemakaian bahan bakar nabati atau BBN yang dinaikkan menjadi 20,8 juta kl, dari tahun 2020 yang sekitar 8 juta kl, sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). “Penghentikan impor BBM itu dilakukan dengan empat langkah utama. Ini mencakup percepatan peningkatan kapasitas kilang minyak melalui pembangunan 1 kilang baru dan yang untuk 4 pengembangan produksi solar disesuaikan dengan kebutuhan, mendorong penggunaan kendaraan BBG sebesar 440 ribu kendaraan, mendorong penggunaan KBLBB sebesar 2 juta mobil dan 13 juta motor dan untuk itu butuh insentif pembebasan pajak 10 tahun, serta mengoptimalkan biofuel dengan mengintensifkan penggunaan B30-B100, serta produksi BBN,” katanya belum lama ini.

https://investor.id/business/273045/setop-impor-bbm-butuh-subsidi-biodiesel-rp-113-t

Sawitindonesia.com | Kamis, 2 Desember 2021

5 Alasan Mandatori Biodiesel Dibutuhkan Indonesia

Direktur Eksekutif PASPI, Tungkot Sipayung menyebut adanya tantangan dalam melaksanakan mandatori B30 antara lain mengimplementasikan B30 di tengah meningkatnya harga CPO lalu bagaimana mandatori B30 akan ditingkatkan di tahun mendatang. Hal tersebut disampaikan pada Webinar Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodiesel : Indonesia Menuju B40, yang diadakan Majalah Sawit Indonesia, pada Selasa (30 November 2021). Tungkot menjelaskan lima faktor penting yang menjadikan mandatori biodiesel perlu dilanjutkan di Indonesia. Pertama, biofuel adalah salah satu jalur hilirisasi sawit Indonesia. Biodiesel bagian dari biofuel adalah politik hilirisasi di Indonesia. Biofuel yang telah dihasilkan sekarang yaitu Biodiesel, Biohidrokarbon, diesel sawit, bensin sawit, avtur sawit, bioetanol, biogas, biodiesel alga dan lainnya. Kedua, ketahanan energi, untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil (impor), diversifikasi sumber energi EBT dan menghemat fosil untuk generasi selanjutnya. Ketiga, pengurangan emisi GHG (mitigasi perubahan iklim); menurunkan emisi GHG melalui pengurangan produksi dan konsumsi energi fosil, memenuhi komitmen NDC/Paris Agremeent, “Glasgow Commitment. Keempat berkaitan manfaat sosial ekonomi. Dan Kelima, mandatori biodiesel bagian dari instrumen stabilisasi pasar CPO dunia (market leader). Untuk menjawab apakah Indonesia perlu melangkah lebih lanjut menigkatkan bauran dari B30 menjadi B40, Tungkot menegaskan masih dibutuhkan dan perlu ditingkatkan. Mengingat Indonesia masih ketergantungan pada energi fosil dan impor bahan bakar fosil masih tinggi dan cenderung meningkat (substitusi energi fosil ke energi biofuel). Demi kesehatan lingkungan dan ekonomi nasional. “Potensi green fuel berbasis sawit domestik cukup besar sebagai subsitusi energi fosil mulai dari Biodiesel (B30), Bensin Nabati, Diesel Nabati dan Avtur Nabati. Selain itu, menjadi target penurunan emisi (gas rumah kaca). pemerintah telah menenepkan penurunan emisi hingga 2030 yaitu 29%,” tegasnya. Meski sudah mampu mengembangkan biofuel (biodiesel/B30), pemerintah Indonesia khususnya industri sawit masih saja dihadang dengan kampanye negatif sawit, terutama di pasar internasional dinilai belum sesuai dengan standar yang ditetapkan. Berikut tantangan pengembangan Biofuel (Bahan Bakar Nabati berbasis sawit) yang tengah dijalankan dan dikembangkan Indonesia. Mulai dari GHG emission saving dan standar RED/RFS, Biodiversity loss, forest risk commodity/high ILUC risk biofuel (RED II), UE Green Deal 2030, isu sosial dan isu ekonomi.

5 Alasan Mandatori Biodiesel Dibutuhkan Indonesia