Kebijakan Bioenergi Berbasis Hutan Didorong untuk Dikaji Ulang
Harian Neraca | Sabtu, 13 Januari 2024
Kebijakan Bioenergi Berbasis Hutan Didorong untuk Dikaji Ulang
Pegiat lingkungan Indonesia mendesak para pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024 untuk mengkaji kembali penggunaan bionergi dalam program transisi energi. Penggunaan dua jenis bioenergi yang mengandalkan bahan baku hasil hutan, yakni biofuel dan biomassa, dinilai dapat menimbulkan dampak negatif yang mengganggu kelestarian alam. Hal tersebut disampaikan pegiat lingkungan dari Traction Energy Asia, Trend Asia, dan Forest Watch Indonesia (FWI), yang juga dihadiri perwakilan Tim Pemenangan Nasional (TPN) paslon No. 1 Anies Baswe-dan-Muhaimin Iskandar, paslon No. 2 Prabowo Su-bianto-Gibran Rakabuming Raka, dan paslon No. 3 Ganjar PranowoMoh. Mahfud MD. Transisienergipadasaat ini tengah hangat dibi- carakan, mengingat dampak perubahan iklim dan pemanasan global akibat polusi bahan bakar fosil semakin terasa di dunia. Bahkan, pada Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, akhir tahun lalu, untuk pertama kalinya seruan bagi negara-negara di dunia untuk beralih dari bahan bakar fosil masuk di dalam konsensus yang disepakati bersama (Konsensus Dubai). “Pada COP 28 kemarin. terdapat komitmen global pengurangan emisi dari bahan bakar ke arah yang lebih berkelanjutan, karena krisis iklim mengancam eksistensi manusia di Bumi. Apalagi posisi Indonesia sebagai penyumbang karbon terbesar ke-8 di dunia, sehingga perlu disegerakan untuk transisi ke energi rendah karbon,” kata Tommy Pratama, Direktur Eksekutif Traction Energy Asia. Penggunaan bioenergi menjadi salah satu bentuk transisi energi ramah lingkungan yang tengah digalakkan oleh pemerintah saat ini. Akan tetapi, Tommy mengkhawatirkan produksi bioenergi, khususnyabiofu-el, secara besar-besaran bakal mengancam ketahanan pangan dan hutan yang tersisa. “Menggantungkan transisi energi pada biofuel atau bioenergi dikhawatirkan akan memicu persaingan antara pangan versus energi yang dapat berujung pa- da melonjaknya harga pangan,” kata Tommy. Dia menambahkan, menurut data Traction Energy Indonesia, selain bioenergi, Indonesia masih memiliki sumber energi terbarukan lain yang berlimpah dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Energi angin, misalnya, baru termanfaatkan 0,1% dari potensi total 155 gigawatt (GW), kemudian ada energi surya yang baru termanfaatkan 0,01% dari potensi total 3.294,4 GW. Sementara itu, Amalya Reza Oktaviani, Manager Program Bioenergi Trend Asia, menyoroti cofiringbio-massa yang menjadi substitusi penggunaan batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Co-firing biomassa dengan pelet kayu, menurut Amalya, adalah solusi palsu transisi energi karena berdampak pada hilangnya biodiversitas, mata pencaharian masyarakat, peram- pasan lahan, serta mengganggu pangan lokal yang bisa memicu krisis pangan. “Bahan baku co-firing di 52 PLTU membutuhkan 10,2 juta ton biomassa dari hutan tanaman energi (HTE), sehingga risiko deforestasi takdapat dihindari. Selain itu, energi yang dihasilkan oleh biomassa melalui kegiatan co-firing justru menghasilkan surplus emisi karbon sebanyak 26,48 juta ton,” papar Amal-ya.”Oleh karena itu, kitaper-lu pertanyakan kembali pada setiap paslon capres dan cawapres, seperti apa komitmen mereka terhadap pengurangan emisi melalui transisi energi?” tambahnya. Amalya menekankan . bahwa transisi energi berkeadilan seharusnya: (1) akuntabel, transparan, dan partisipatif; (2) memenuhi dan melindungi HAM; (3) berkeadilan ekologis dan ekonomi; serta (4) transformatif.