Kelapa Sawit: Nikmat Apa Lagi yang Kau Dustakan?

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Wartaekonomi.co.id | Rabu, 2 September 2020

Kelapa Sawit: Nikmat Apa Lagi yang Kau Dustakan?

Popularitas kelapa sawit sebagai komoditas strategis nasional sepertinya belum cukup membungkam hujatan, makian, isu, dan fitnah dari sejumlah stakeholders antisawit lokal dan global. Komoditas dengan julukan incredible tree ini masih saja diserang dan dituding sebagai komoditas bernilai minus. Ibarat peribahasa bau busuk tak berbangkai, negative issues terhadap kelapa sawit tersebut satu per satu berganti menjadi boomerang yang kembali kepada tuannya. Makin diserang, industri perkebunan kelapa sawit Indonesia justru makin show off dengan menyajikan fakta dan data empiris yang bersifat continue dan extensible. Demikian dikatakan Muhamad Ihsan, CEO dan Chief Editor Warta Ekonomi, yang juga kerap melakukan kampanye positif sawit, baik di Jakarta, daerah, maupun luar negeri. Menurut Ihsan,  setiap warga negara Indonesia (WNI) wajib membela sawit karena nilai-nilai strategisnya. “Sebab, sawit memberi manfaat bagi sekitar 17 juta sampai 25 juta masyarakat Indonesia yang bekerja di industri ini, baik langsung maupun tak langsung. Belum lagi dari berbagai multiplier effect yang ditimbulkannya,’ ujar Ihsan yang juga menjabat sebagai Bendahara PWI Pusat. Dari sisi ekonomi, pada 2019 misalnya, Indonesia membukukan defisit neraca perdagangan US$3,2 miliar. Namun, ekspor minyak sawit dan turunannya justru menyumbangkan pendapatan positif US$20 miliar. Hal ini sudah berjalan selama bertahun-tahun. Pada tahun 2015, sawit menyumbangkan US$15,3 miliar, lalu tahun 2016 sebesar US$17 miliar, 2017 sebesar US$22,9 miliar, 2018 US$22,3 miliar, dan tahun 2019 mencapai US$22,4 miliar.

Maka, rasanya tidak berlebihan kalau minyak sawit dinobatkan sebagai industri strategis. Belum lagi kalau dilihat dari sisi tenaga kerjanya. Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) mencatat bahwa sawit tempat bergantung 17,5 juta orang karyawan perusahaan dan petani. Sementara, BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) mencatat, ada 4,2 juta tenaga langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung di industri sawit, serta melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 4,6 juta pekerja. Daftar ini akan bertambah panjang kalau kita juga menghitung multiplier effect-nya. Misalnya saja, dampak terhadap industri makanan di sekitar perkebunan dan pabrik, hotel, industri keuangan, dan lain-lain. Belum lagi kalau kita melihat kota-kota yang tumbuh sebagai akibat logis dari pembangunan ekosistem perkelapasawitan. “Ibarat penemuan minyak fosil di masa lalu, kota-kota di sekitarnya akan ikut tumbuh dan berkembang,” tegas Ihsan. Dalam konteks ini, lanjut Ihsan, tampaknya kita harus menjaga seluruh ekosistem sawit. Salah satunya adalah menjaga stabilitas harga agar petani (41% pemilik lahan sawit Indonesia) dan perusahaan bisa menjaga keberlangsungan industri ini. Jujur harus diakui, Presiden Jokowi cukup cerdik ketika memutuskan untuk mengimplementasikan penggunaan sawit dalam BBN (bahan bakar nabati). Kini, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling agresif mengimplementasikan BBN, saat ini Indonesia sudah mencapai B-30. Saingan terdekat, Malaysia baru mencapai B-10. Menurut catatan Aprobi (Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia), penerapan biofuel berjalan baik di Indonesia. Sepanjang 2019 saja biodiesel yang digunakan mampu mencapai 6,7 juta kilo liter. Dalam kalkulator Aprobi, ini senilai dengan penghematan pengeluaran negara US$3,8 miliar (sekitar Rp55,5 triliun) karena negara tidak perlu mengimpor solar berbasis fosil. Bahkan, biodiesel juga sudah berkiprah sebagai salah satu komoditas ekspor yang terus meningkat. Masih dari catatan Aprobi, sepanjang Januari-November 2019 lalu, ekspor biodiesel Indonesia telah mencapai 1,4 juta kilo liter (kl) dengan tujuan China, Hong Kong, dan Uni Eropa. Hebatnya lagi, ini merupakan kenaikan signifikan dibandingkan tahun 2018 yang hanya mencapai 1,7 juta kl. Nah, di titik ini, Ihsan mengingatkan pentingnya berpikir secara terintegrasi. Artinya, lanjut Ihsan, akibat dari kebijakan biofuel ini, seluruh stakeholder diuntungkan. “Karena daya serap pasar sawit meningkat, over stock produk sawit terkendali. Dengan demikian, harga jual bagi produsen dan petani akan terjaga,” tandasnya. Maka, lanjut Ihsan, “Nikmat apa lagi yang kau dustakan?”

https://www.wartaekonomi.co.id/read302176/kelapa-sawit-nikmat-apa-lagi-yang-kau-dustakan

Suara.com | Rabu, 2 September 2020

Semakin Diserang, Sawit Semakin Show Off dengan Peningkatan Ekspornya

Popularitas kelapa sawit sebagai komoditas strategis sepertinya belum cukup membungkam hujatan dan fitnah dari stakeholders anti sawit lokal dan global. Komoditas dengan julukan incredible tree ini masih saja diserang dan dituding sebagai komoditas bernilai minus. Ibarat peribahasa bau busuk tak berbangkai, negative issues terhadap kelapa sawit tersebut satu per satu berganti menjadi boomerang yang kembali kepada tuannya. Semakin diserang, industri perkebunan kelapa sawit Indonesia justru semakin show off dengan menyajikan fakta dan data empiris yang bersifat continue dan extensible. “Sawit memberi manfaat bagi sekitar 17 juta sampai 25 juta masyarakat Indonesia yang bekerja di industri ini, baik langsung maupun tak langsung. Belum lagi dari berbagai multiplier effect yang ditimbulkannya,” ujar Muhamad Ihsan, CEO dan Chief Editor Warta Ekonomi di Jakarta, Rabu (2/9/2020). Dari sisi ekonomi, pada 2019 misalnya, Indonesia membukukan defisit neraca perdagangan 3,2 miliar dolar AS. Tapi ekspor minyak sawit dan turunannya justru menyumbangkan pendapatan positif 20 miliar dolar AS. Hal ini sudah berjalan selama bertahun-tahun. Pada 2015, sawit menyumbangkan 15,3 miliar dolar AS, lalu pada 2016 sebesar 17 miliar dolar, 2017 sebesar 22,9 miliar dolar AS, 2018 sebesar 22,3 miliar dolar AS, dan 2019 mencapai 22,4 miliar dolar AS.

Maka, rasanya tidak berlebihan kalau minyak sawit dinobatkan sebagai industri strategis. Belum lagi kalau dilihat dari sisi tenaga kerjanya. Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) mencatat bahwa sawit tempat bergantung 17,5 juta orang karyawan perusahaan dan petani. Sementara Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mencatat, ada 4,2 juta tenaga langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung di industri sawit, serta melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 4,6 juta pekerja. Daftar ini akan bertambah panjang kalau kita juga menghitung multiplier effect-nya. Misalnya saja, dampak terhadap industri makanan di sekitar perkebunan dan pabrik, hotel, industri keuangan, dan lain-lain. Belum lagi kalau kita melihat kota-kota yang tumbuh sebagai akibat logis dari pembangunan ekosistem perkelapasawitan. “Ibarat penemuan minyak fosil di masa lalu, kota-kota di sekitarnya akan ikut tumbuh dan berkembang,” tegas Ihsan. Dalam konteks ini, lanjut Ihsan, tampaknya Indonesia harus menjaga seluruh ekosistem sawit. Salah satunya adalah menjaga stabilitas harga agar petani (41 persen pemilik lahan sawit Indonesia) dan perusahaan bisa menjaga keberlangsungan industri ini. Presiden Jokowi cukup cerdik ketika memutuskan untuk mengimplementasikan penggunaan sawit dalam bahan bakar nabati (BBN). Kini, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling agresif mengimplementasikan BBN, di mana saat ini Indonesia sudah mencapai B-30. Saingan terdekat, Malaysia baru mencapai B-10.

Menurut catatan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), penerapan biofuel berjalan baik di Indonesia. Sepanjang 2019 saja biodiesel yang digunakan mampu mencapai 6,7 juta kilo liter. Dalam kalkulator Aprobi ini senilai dengan penghematan pengeluaran negara 3,8 miliar dolar AS, karena negara tidak perlu mengimpor solar berbasis fosil. Bahkan, biodiesel juga sudah berkiprah sebagai salah satu komoditas ekspor yang terus meningkat. Masih dari catatan Aprobi, sepanjang Januari-November 2019 lalu, ekspor biodiesel Indonesia telah mencapai 1,4 juta kilo liter (kl) dengan tujuan China, Hong Kong, dan Uni Eropa. Hebatnya lagi, ini merupakan kenaikan signifikan dibandingkan tahun 2018 yang hanya mencapai 1,7 juta kl. “Karena daya serap pasar sawit meningkat, over stock produk sawit terkendali. Dengan demikian, harga jual bagi produsen dan petani akan terjaga,” tandasnya.

https://www.suara.com/bisnis/2020/09/02/140119/semakin-diserang-sawit-semakin-show-off-dengan-peningkatan-ekspornya?page=all

Inilah.com | Rabu, 2 September 2020

Sawit KomoditasStrategis Layak Dibela Bukan Dimaki

Popularitas kelapa sawit sebagai komoditas strategis sepertinya belum cukup membungkam hujatan, makian, isu, dan fitnah dari stakeholders anti sawit lokal dan global. Komoditas dengan julukan incredible tree ini masih saja diserang dan dituding sebagai komoditas bernilai minus. Ibarat peribahasa bau busuk tak berbangkai, negative issues terhadap kelapa sawit tersebut satu per satu berganti menjadi boomerang yang kembali kepada tuannya. Semakin diserang, industri perkebunan kelapa sawit Indonesia justru semakin show off dengan menyajikan fakta dan data empiris yang bersifat continue dan extensible. Demikian dikatakan Muhamad Ihsan, CEO dan Chief Editor Warta Ekonomi, yang kerap melakukan kampanye positif sawit, baik di Jakarta, daerah, maupun luar negeri. Menurut Ihsan, setiap warga negara Indonesia wajib membela sawit karena nilai-nilai strategisnya. “Sebab sawit memberi manfaat bagi sekitar 17 juta sampai 25 juta masyarakat Indonesia yang bekerja di industry ini, baik langsung maupun tak langsung. Belum lagi dari berbagai multiplier effect yang ditimbulkannya,” ujar Ihsan, yang juga menjabat sebagai Bendahara PWI Pusat. Dari sisi ekonomi, pada 2019 misalnya, Indonesia membukukan defisit neraca perdagangan US$3,2 miliar. Tapi ekspor minyak sawit dan turunannya justru menyumbangkan pendapatan positif US$20 miliar. Hal ini sudah berjalan selama bertahun-tahun. Pada 2015, sawit menyumbangkan US$15,3 miliar, lalu pada 2016 sebesar US$17 miliar, 2017 sebesar US$22,9 miliar, 2018 sebesar US$ 22,3 miliar, dan 2019 mencapai US$22,4 miliar.

Maka, rasanya tidak berlebihan kalau minyak sawit dinobatkan sebagai industry strategis. Belum lagi kalau dilihat dari sisi tenaga kerjanya. Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) mencatat bahwa sawit tempat bergantung 17,5 juta orang karyawan perusahaan dan petani. Sementara Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mencatat, ada 4,2 juta tenaga langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung di industry sawit, serta melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 4,6 juta pekerja. Daftar ini akan bertambah panjang kalau kita juga menghitung multiplier effect-nya. Misalnya saja, dampak terhadap industry makanan di sekitar perkebunan dan pabrik, hotel, industry keuangan, dan lain-lain. Belum lagi kalua kita melihat kota-kota yang tumbuh sebagai akibat logis dari pembangunan ekosistem perkelapasawitan. “Ibarat penemuan minyak fosil di masa lalu, kota-kota di sekitarnya akan ikut tumbuh dan berkembang,” tegas Ihsan. Dalam konteks ini, lanjut Ihsan, tampaknya Indonesia harus menjaga seluruh ekosistem sawit. Salah satunya adalah menjaga stabilitas harga agar petani (41% pemilik lahan sawit Indonesia) dan perusahaan bisa menjaga keberlangsungan industry ini. Jujur, harus diakui Presiden Jokowi cukup cerdik Ketika memutuskan untuk mengimplementasikan penggunaan sawit dalam bahan bakar nabati (BBN).

Kini, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling agresif mengimplementasikan BBN, di mana saat ini Indonesia sudah mencapai B-30. Saingan terdekat, Malaysia baru mencapai B-10. Menurut catatan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), penerapan biofuel berjalan baik di Indonesia. Sepanjang 2019 saja biodiesel yang digunakan mampu mencapai 6,7 juta kilo liter. Dalam kalkulator Aprobi ini senilai dengan penghematan pengeluaran negara US$3,8 miliar (sekitar Rp55,5 triliun), karena negara tidak perlu mengimpor solar berbasis fosil. Bahkan, biodiesel juga sudah berkiprah sebagai salah satu komoditas ekspor yang terus meningkat. Masih dari catatan Aprobi, sepanjang Januari-November 2019 lalu, ekspor biodiesel Indonesia telah mencapai 1,4 juta kilo liter (kl) dengan tujuan China, Hong Kong, dan Uni Eropa. Hebatnya lagi, ini merupakan kenaikan signifikan dibandingkan tahun 2018 yang hanya mencapai 1,7 juta kl. Nah, di titik ini Ihsan mengingatkan pentingnya berpikir secara terintegrasi. Artinya, lanjut Ihsan, akibat dari kebijakan biofuel ini, maka seluruh stake holder diuntungkan. “Karena daya serap pasar sawit meningkat, over stock produk sawit terkendali. Dengan demikian, harga jual bagi produsen dan petani akan terjaga,” tandasnya. Maka, lanjut Ihsan, “Nikmat apa lagi yang kau dustakan?”

https://inilah.com/news/2579438/sawit-komoditasstrategis-layak-dibela-bukan-dimaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *