Kenaikan Konsumsi Listrik Perlu Diimbangi Energi Terbarukan
Medmon | Senin, 30 Maret 2020,
Konsumsi listrik yang terus meningkat di Indonesia dinilai perlu diimbangi dengan mempercepat penerapan energi baru terbarukan (EBT). Selain ramah lingkungan, efisiensi dalam menunjang target investasi bisa dilakukan secara jangka panjang. Direktur Riset Indef Berly Martawardaya mengatakan bahwa meningkatnya konsumsi listrik seiring dengan rencana pemerintah yang fokus di pengembangan sektor industri manufaktur dan industri jasa yang memanfaatkan teknologi digital. Kehadiran pembangkit sangat berperan penting dalam mendistribusikan energi listrik secara merata di pusat ekonomi baru selain Pulau Jawa. “Tidak sulit melakukan perubahan dengan mempercepat ke energi terbarukan, jangan sampai membuat kebijakan yang rugi dua kali,” kata Berly dalam sebuah diskusi melalui video konferensi, Senin, 30 Maret 2020. Di masa depan, kata dia, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mengandalkan batu bara akan kalah bersaing dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dari sisi investasi dan harga jual. Hal ini lantaran perkembangan teknologi EBT yang semakin matang dalam kurun waktu cukup singkat.
“40 tahun mendatang harga listrik akan semakin mahal, apakah akan bayar yang lebih mahal sedangkan kita punya potensi energi listrik yang lebih murah,” ungkapnya. Dia berpendapat pemerintah Indonesia bisa meniru Vietnam yang telah melakukan lompatan besar dalam penerapan energi terbarukan untuk meningkatkan perekonomiannya. Dari hanya 135 megawatt (MW) pada 2018, penggunaan panel surya pada tahun ini sudah menyentuh angka 5,5 gigawatt (GW) atau setara 44 persen kapasitas EBT di Asia Tenggara. “Konsumsi listrik yang terus meningkat ini perlu direncanakan dengan baik bukan hanya sekadar menambah kapasitas pembangkit dengan mengandalkan batu bara tetapi ke energi baru terbarukan agar bisa bersaing di ASEAN,” tuturnya. Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari menuturkan bahwa pemerintah harus melakukan beberapa penyesuaian dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020-2029. Hal ini sesuai dengan situasi yang berlaku di Indonesia untuk tidak lagi berinvestasi pada energi kotor batu bara yang berisiko tinggi dan secara ekonomi mubazir.
“Secara bersamaan Pemerintah juga harus beralih dari energi kotor batubara sesuai dengan imbauan IPPC, pengurangan PLTU batu bara sebanyak 80 persen pada tahun 2030 untuk mencegah kenaikan temperatur di atas 1,5 derajat Celcius dalam Perjanjian Paris,” paparnya. Pemerintah juga perlu melakukan transisi energi dan berinvestasi pada pembangkit EBT yang secara harga lebih murah dan potensinya yang sangat besar di Indonesia. Karenanya, kata dia, rencana kelistrikan mesti selaras dengan komitmen perlindungan iklim. “Krisis iklim akan berdampak terhadap ekonomi, layaknya bencana pandemi covid-19. Pembangunan ekonomi tidak akan berhasil jika kita tidak bisa keluar dari krisis iklim,” pungkasnya.