Mandatori Biodiesel Hemat Devisa Rp 120 Triliun
Sawitindonesia.com | Rabu, 14 Juli 2021
Mandatori Biodiesel Hemat Devisa Rp 120 Triliun
Program biodiesel membawah berkah bagi Indonesia. Niatan menekan impor solar mampu diwujudkan bahkan Indonesia tidak lagi impor solar. Sepanjang empat tahun terakhir, pemakaian biodiesel di dalam negeri membantu penghematan devisa. “Dalam empat tahun terakhir, Indonesia menghemat devisa Rp 120 triliun dari penggunaan biodiesel di dalam negeri,” ujar Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM RI, saat menjadi pembicara dalam program Energy Corner bertemakan Biodiesel Untuk Kemandirian Energi, pada Senin (7/6/2021). Penghematan ini diperoleh dari pemakaian biodiesel sebesar 20 juta Kl sepanjang empat tahun ini. ”Kalau dihitung-hitung, impor solar dapat dihemat dari biodiesel. Devisa kita hemat sampai Rp 120 triliun,” ujarnya. Ia mengatakan program biodiesel dimulai semenjak 2006. Lalu, secara komersial pemakaian biodiesel dimulai dari 2008. Program B30 resmi berjalan pada 2020. Pada tahun ini, program B30 ditetapkan bisa menyerap 9,2 juta kilo liter biodiesel. Pemakaian ini berasal dari pencampuran biodiesel sebesar 30% dengan bahan bakar minyak solar. “Dalam empat tahun terakhir, ada peningkatan nilai tambah dari penggunaan biodiesel sebesar Rp 31,9 triliun,” ujar Dadan. MP Tumanggor, Ketua Umum APROBI mengatakan sedang uji coba B40. Akhir tahun 2021, riset dapat selesai. Kalau bisa mecapai B40, maka penyerapan CPO dapat mencapai 12 juta Kl. “Penggunaan CPO lebih besar. Selain itu, ketergantungan terhadap luar negeri akan bisa menurun. Dari segi lingkungan, dikatakanTumanggor, emisi karbon dapat ditekan sehingga udara lebih bersih. Sedangkan rencana peningkatan B100 atau campuran FAME 100% sebaiknya dikaji lebih mendalam. Menurut Tumanggor penggunaan B100 juga harus memperhitungkan kemampuan daya beli masyarakat. Karena, harga jual B100 dapat mencapai Rp 14.500 sampai Rp15.000 perliter. “Misalkan di Eropa, penggunana biofuel itu dapat insentif. Selain itu, masyarakat di Eropa telah memiliki kesadaran lingkungan dan sehat. Sedangkan, di masyarakat kita masih mencari yang murah,” jelasTumanggor. Selama ini, penggunaan B30 masih didukung dari dana BPDPKS. Dana ini dipakai untuk menutupi selisih antara harga diesel berbasis fosil dan biodiesel berbasis minyak sawit (CPO). Dari aspek bahan baku, pemakaian B100 akan meningkatkan penggunaan minyak sawit di dalam negeri mencapai 36 juta kl per tahun. ini belum memperhitungkan kebutuhan lain seperti minyak goreng dan oleochemical. Dengan demikian, akan berdampak pada ekspor yang kecil. Mars Ega Legowo Putra, Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina Patra Niaga, Commercial & Trading Subholding Pertamina menuturkan penjualan harian biodiesel mengalami peningkatan semenjak pertengahan 2020.
https://sawitindonesia.com/
CNBCIndonesia.com | Rabu, 14 Juli 2021
Pertamina Siap Produksi Biofuel, Suplai CPO Harus Aman
PT Pertamina (Persero) menyampaikan kesiapannya untuk menaikkan produksi biodiesel 30% (B30) menjadi biodiesel 40% (B40) sebagaimana rencana pemerintah. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati. Namun demikian, pihaknya meminta agar ada kepastian keberlanjutan suplai minyak sawitnya (Crude Palm Oil/CPO). Pasalnya, jika memproduksi B40 atau bahkan sampai B100, maka keberlanjutan suplai CPO menjadi hal yang penting. “Kalau mau naikkan B30 jadi B40, kami sangat siap, tinggal bagaimana sekarang kontinuitas suplai. Oleh karena itu, dengan BUMN lain, PTPN integrasikan dari hulu ke hilir. Kalau terintegrasi, ini akan naikkan keekonomian dan jaminan dari suplai hulu,” paparnya dalam Investor Daily Summit 2021, Rabu (14/07/2021). Lebih lanjut dia mengatakan, Pertamina akan mencoba memproduksi bahan bakar minyak (BBM) berbasis sawit (biofuel) terintegrasi dari hulu sampai hilir. Dia pun menyarankan agar harga CPO untuk biofuel ini tidak perlu mengikuti harga pasar dunia, terutama ketika ini diproduksi di dalam negeri. “Kita integrasikan dengan PTPN, terobosan yang harus kita lakukan kalau CPO digunakan bahan baku energi, maka penetapan harganya tidak perlu mengikuti harga pasar CPO dunia. Karena ini produksi kita dan akan diproduksi biofuel di Indonesia,” paparnya. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, ke depan serapan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) akan terus mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan program biodiesel. Dia menjelaskan program biodiesel sudah dimulai sejak tahun 2006 dan mulai komersial pada tahun 2008. Dimulai dari 2,5%, naik menjadi 7,5%, 10%, 15%, 20% di tahun 2016 dan tahun 2020 menjadi 30% sampai dengan sekarang. “Bahwa di 2019 sebanyak 6,6 juta kilo liter (kl) berhasil dicampurkan dengan minyak solar 2020 8,4 juta kl, tahun ini 9,2 juta kl dalam pemanfaatan B30 dan akan terus naik dengan pertumbuhan konsumsi di masyarakat,” jelasnya.
Wartaekonomi.co.id | Rabu, 14 Juli 2021
Biofuel Generasi Kedua dari Sawit? Keren Juga Nih
Minyak kelapa sawit tidak hanya dapat dikembangkan menjadi biodiesel saja, tetapi juga dapat diubah menjadi bioetanol yang bisa dicampur dengan bensin dan green diesel. Pengembangan minyak kelapa sawit menjadi berbagai jenis bahan bakar nabati ini dapat dilakukan melalui teknologi biofuel generasi kedua yakni berupa Cellulosic Ethanol. Diungkapkan peneliti International Council on Clean Transportation (ICCT), Tenny Kristiana, sejak 2016 di Indonesia tercatat tidak ada produksi dan konsumsi bahan bakar bioetanol, meskipun pemerintah telah mendorong pemanfaatan bioetanol dengan target pencampuran sebesar 2 persen (E2) di beberapa kota di Indonesia. Dalam perkembangannya, justru konsumsi bensin di Indonesia selama periode 2010 – 2019 terus meningkat hingga melebihi konsumsi solar di tahun 2015 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 48 persen. Untuk memenuhi permintaan bahan bakar bensin, Indonesia diprediksi akan terus meningkatkan impor BBM dan dalam penelitian yang dilakukan ICCT, memproyeksikan bahwa permintaan BBM dan impor akan terus mengalami peningkatan kedepannya. “Padahal sebenarnya Indonesia memiliki bahan baku yang melimpah untuk Cellulosic Ethanol yang bisa di campur (blending) dengan bensin dan bisa mengurangi impor bensin nasional,” kata Tenny seperti dikutip dari InfoSAWIT. Lebih lanjut dikatakan Tenny, bahan bakar nabati generansi kedua ini tercatat menggunakan teknologi maju dibanding proses etanol konvensional, dimana bahan baku yang biasa digunakan adalah biomasa selulosa seperti residu pertanian, termasuk perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit. Dengan luasnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia, industri cellulosic ethanol diharapkan bisa memanfaatkan kelebihan residu sawit yang diproduksi dari industri minyak sawit di Indonesia. Dalam studi ICCT, tutur Tenny, sebelumnya mengevaluasi residu dari proses pengolahan kelapa sawit dan residu di kebun kelapa sawit serta penggunaannya di Indonesia.
https://www.wartaekonomi.co.
Bisnis.com | Rabu, 14 Juli 2021
CPO untuk Biodiesel, Pertamina Minta Harga Khusus
PT Pertamina (Persero) mengusulkan agar penetapan harga crude palm oil atau CPO yang digunakan untuk kebutuhan biodiesel tidak mengikuti acuan dunia, mengingat penggunaannya untuk kebutuhan energi di dalam negeri. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan bahwa diperlukan solusi yang mampu menekan biaya produksi untuk membuat biodiesel lebih kompetitif dibandingkan dengan bahan bakar fosil konvensional. “Terobosan yang harus kami lakukan, kalau CPO digunakan sebagai bahan baku energi maka penetapan harganya tidak perlu mengikuti harga pasar CPO dunia, karena ini produksi kita dan akan diproduksi biofuel di Indonesia,” katanya dalam acara Investor Daily Summit 2021, Rabu (14/3/2021). Menurutnya, penetapan harga yang tidak perlu mengacu pada patokan dunia juga disebabkan karena CPO tersebut nantinya diperuntukan bukan untuk produk olahan, melainkan sebagai energi primer dalam negeri. Pertamina sendiri telah memulai proses integrasi dari hulu hingga ke hilir untuk pembuatan biodiesel, sehingga pengolahannya menjadi lebih efisien. Saat ini, Pertamina menggandeng PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk memenuhi kebutuhan CPO yang akan diolah menjadi biodiesel. “Jadi bukan lagi Pertamina membeli CPO dan diproses, tapi dari rantai pasok mana yang bisa kami sinergikan agar lebih efisien,” jelasnya.
https://ekonomi.bisnis.com/
Sindonews.com | Rabu, 14 Juli 2021
Shell Indonesia Dukung Implementasi Biodiesel B30
Sejalan dengan amanat pemerintah Indonesia untuk mengembangkan penggunaan biodiesel di tanah air, PT Shell Indonesia umumkan siap mensukseskan program B30 di Indonesia. Hal tersebut dipaparkan langsung oleh Shell Indonesia dalam Shell Expert Connect forum diskusi yang mengambil tema “Penggunaan Biodiesel Sekarang dan Masa Depan”dan dihadiri oleh 700 lebih pelaku usaha. Andri Pratiwa, Direktur Pelumas Shell Indonesia, mengatakan Shell sebagai perusahaan energi dunia, senantiasa mendukung penggunaan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, hal ini sejalan dengan strategi global Shell ‘Powering Progress’. Pemerintah Indonesia mengamanatkan pengembangan biodiesel dalam upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dari BAU (business as usual) pada tahun 2030. “Untuk itu Shell berkomitmen untuk menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak dalam upaya mendukung agenda Pemerintah Indonesia dalam penggunaan energi yang lebih bersih dan mempersiapkan ketahanan energi. Melalui forum Shell ExpertConnect ini kami berharap terjadi tukar informasi, pengetahuan dan praktek terbaik untuk mensukseskan implementasi program B30 dan persiapan implementasi mandatori B40,” kata Andri Pratiwa. Biodiesel sendiri merupakan bahan bakar nabati yang menjadi energi alternatif untuk menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Diketahui sifatnya yang degradable (mudah terurai) dengan emisi yang lebih rendah dibanding dari emisi hasil pembakaran bahan bakar fosil, menjadikan penggunaan biodiesel dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Indonesia sendiri telah memanfaatkan biodiesel sejak tahun 2008, dan pemanfaatannya secara nasional terus dikembangkan, baik dari segi volume, campuran ataupun jumlah perusahaan yang terlibat dalam bidang ini. Melihat kesuksesan produk B20 di tanah air yang sudah digunakan sebelumnya, pemerintah terus mengkaji dan mendorong untuk menerapkan kebijakan mandatori B30 dengan campuran 30% biodiesel dan 70% bahan bakar minyak jenis solar sejak Januari 2020. “Sementara untuk program mandatori B40 hingga saat ini diketahui tengah menjajaki tahap pengkajian baik teknis maupun keekonomian, sehingga penerapannya diperkirakan tidak akan dalam waktu dekat,” kata salah satu pembicara, Riesta Anggarani, Peneliti Bahan Bakar LEMIGAS.
Pada kesempatan ini, Shell sebagai produsen pelumas dunia berbagi pengetahuan mengenai produk pelumas yang dapat mendukung pemanfaatan bahan bakar B30. Standarisasi penggunaan pelumas untuk bahan bakar diesel B30 yang sepadan adalah oli yang sudah berstandar API-CI4. Hal tersebut dikarenakan pelumas dengan API CI-4 memiliki soot handling lebih baik dibandingkan engine oil monograde. “Berdasarkan data dan pengalaman, Shell menganjurkan untuk menggunakan engine oil dengan standar API-CI4 yang terbukti memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatasi jelaga hasil pembakaran dari bahan bakar B30 atau lebih,” kata Mohammad Rachman Hidayat, Product Apllication Specialist – Shell Global Commercial Technology. Dengan adanya forum diskusi seperti Shell ExpertConnect diharapkan dapat mendorong tewujudnya program pemerintah untuk mengurangi emisi gas buang dan kualitas udara yang lebih baik. Selain itu Shell Indonesia juga berharap kegiatan seperti ini dapat memberikan kesempatan kepada para pelaku usaha memahami informasi-informasi teknis yang didukung oleh data dalam membantu meningkatkan produktivitas. Hadir sebagai pembicara dalam Shell ExpertConnect kali ini Dr. Riesta Anggarani, Peneliti Bahan Bakar – LEMIGAS, Mohammad Rachman Hidayat, Product Apllication Specialist – Shell Global Commercial Technology, Fahmi Azhari Mukhlis, Deputy GM Quality Assurance Dept. Komatsu Indonesia, dan Devi Ari Suryadi, Service Manager Komatsu Marketing and Support Indonesia.
Liputan6.com | Rabu, 14 Juli 2021
Pertamina Bakal Ubah Kilang BBM untuk Olah Bio Massa dari Kelapa Sawit
PT Pertamina (Persero) berencana mengalihfungsikan kilang minyak yang saat ini mengolah Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi kilang hijau (green refinery) yang mengolah bio massa dari kelapa sawit. Langkah ini dalam rangka mendukung penggunaan energi hijau. “Kita akan melakukan konversi dari kilang yang ada mejadi green refinery yang sifatnya menghasilkan bio massa dari kelapa sawit,” kata Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati di Jakarta, Rabu (14/7/2021). Bos Pertamina ini akan mengoptimalkan alihfungsi kilang ini dengan pengolahan sawit. Sebagaimana diketahui, Indonesia menjadi salah satu penghasil sawit ternama di dunia. “Kita bangun beberapa lokasi lain, nanti kita optimalkan sawit yang ada di Indonesia,” kata dia. Untuk itu, sawit bisa menjadi salah satu energi pokok yang bisa digunakan untuk subtitusi energi dan transportasi “Sawit bisa jadi salah satu energi pokok untuk subtitusi transportasi atau (penggunaan) energi,” kata dia, Pada tahun 2025 direncanakan akan terkonversi 6-100 KTPA kilang biasa menjdi kilang hijau. Pembangunan kilang ini akan dilakukan di beberapa lokasi.
Tingkatkan Kapasitas Bio Energi
Selain itu Pertamina juga akan meningkatkan kapasitas pembangkit bio energi. Terdiri dari biogas 153 MW, bio blending gasoil & gasoline, blocrude dan ethanol 1,000 KTPA on stream pada tahun 2025. Realiasasi tersebut diperkirakan akan membantu Indonesia untuk tidak lagi mengimpor gasolin. Meskipun saat ini kontribusi penggunaanya mencapai 25 persen. “Dari itu semua, pemerintah pada 2030 ini sudah tidak ada impor gasolin,” kata dia.
Republika.co.id | Rabu, 14 Juli 2021
Biomassa Menjanjikan sebagai Penghasil Energi
Kementerian ESDM mencatat potensi bioenergi di Indonesia mencapai 32,6 gigawatt (GW) dengan angka pemanfaatan sebesar 1,9 GW atau sekitar 5,7 persen. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan, potensi biomassa berbasis limbah pertanian maupun tanaman punya potensi yang menjanjikan untuk menghasilkan energi. “Indonesia terletak di negara tropis berbasis pertanian, sehingga potensi bioenergi baik itu berbasis limbah maupun tanaman biomassa ini juga mempunyai potensi yang sangat menjanjikan,” kata Dadan Kusdiana di Jakarta, Rabu (14/7). Bioenergi merupakan salah satu energi ramah lingkungan yang didapatkan dari sumber biologis umumnya biomassa berupa limbah industri kayu, jerami, hasil pertanian seperti tebu dan singkong yang dapat diolah menjadi bahan bakar. Kotoran hewan dan sampah organik juga merupakan biomassa yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan bioenergi. Energi dari biomassa merupakan salah satu bagian dari siklus karbon. Indonesia sebagai negara agraris yang terletak di daerah khatulistiwa merupakan negara yang kaya akan potensi bioenergi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam bentuk cair biodiesel, bioetanol, biogas maupun sebagai listrik. Pemanfaatan teknologi bioenergi tidak hanya meningkatkan ketahanan energi nasional, tetapi memberikan kontribusi bagi penyediaan energi bersih yang dapat menekan emisi karbon. Dalam meningkatkan kapasitas pemanfaatan biomassa sebagai energi bersih, pemerintah telah mencanangkan kawasan hutan produksi yang khusus diperuntukan untuk pembangunan hutan energi sebagai sumber bahan baku bioenergi. “Kami melihat bahwa bioenergi punya potensi yang baik apabila nanti dikembangkan dalam bentuk hutan energi,” ucap Dadan. Hutan energi tak hanya berfungsi sebagai pemasok bahan baku biomassa, tetapi juga berfungsi sebagai pengelola ekonomi, penyimpan air, dan penyerap emisi karbon sebagai penangkal dampak buruk perubahan iklim. Jumlah hutan energi di Indonesia saat ini ada 14 unit usaha dengan luas alokasi mencapai 156,032 hektare dengan jenis tanaman berupa sengon, kaliandra, akasia, bakau, gamal, dan bambu. Selain itu, terdapat juga 18 unit usaha di 10 Provinsi yang berkomitmen mengembangkan bioenergi dengan luas alokasi untuk tanaman energi mencapai 46.600 hektare.
https://republika.co.id/
Tribunnews.com | Rabu, 14 Juli 2021
Bahas Bioetanol, Pakar IPB University Sebut Masih Berputar pada Persaingan dengan Industri Pangan
Isu terkait suplai energi terutama mengenai ketahanan bioenergi nasional masih menjadi perbincangan. Berdasarkan perspektif situasi krisis energi saat ini, pemerintah Indonesia juga berupaya untuk menggembangkan penggunaan energi alternatif yang berasal dari sumberdaya berkelanjutan. Salah satunya adalah pembuatan bioetanol menggunakan crude palm oil, singkong, dan molasses. Namun demikian, penggunaannya masih kalah saing dengan industri pangan. Padahal residunya sangat berpotensi untuk menjaga stok bahan bakar alternatif. Demi membahas topik tersebut, Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN) Fakultas Pertanian IPB University menggelar Webinar 2nd Generation of Bioethanol from Lignocellulosic Materials. Kegiatan yang digelar oleh Divisi Bioindustri Departemen TIN IPB University ini berkolaborasi dengan Asosiasi Agroindustri Indonesia, Halal Science Center IPB University dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tujuannya adalah untuk berbagi pengalaman riset dan pengetahuan terkait perkembangan energi alternatif bioetanol. Prof Khaswar Syamsu, Ketua Divisi Bioindustri Departemen TIN IPB University menyebutkan kendala penggunaan bioethanol sebagai bahan bakar alternatif masih berputar pada persaingan dengan industri pangan. Selain itu, biaya produksinya relatif lebih tinggi daripada bahan bakar biasa. “Limbah agroindustri yang diistilahkan dengan lignocellulosic biomass ini cukup tersedia dengan harga yang murah dan dapat dimanfaatkan untuk menekan kompetisinya bagi kebutuhan pangan. Secara signifikan, dapat juga menurunkan biaya produksi sambil mengurangi limbah,” jelas Kepala Halal Science Center IPB University ini. Kendala utamanya, menurutnya adalah pada prosesnya yang cukup lama dan sulit, terutama untuk menghilangkan lignin serta menghidrolisa selulosa menjadi gula. Solusinya adalah dengan menggunakan metode Silmutaneous Saccharification and Fermentation (SSF) untuk mempercepat proses hidrolisa. Metode tersebut ia terapkan untuk meningkatkan produksi bioethanol secara langsung dari sweet sorgumbagasse menggunakan kapang dan khamir.
Hasil penelitiannya dapat menghasilkan produk bioetanol yang lebih tinggi daripada cara konvensional. “Penelitian kami selanjutnya adalah untuk mencari dan memanfaatkan bahan lignocelulosa yang memiliki kandungan selulosa yang tinggi dan sedikit lignin. Kami juga mencari proses pretreatment yang dapat menghilangkan lignis secara maksmial, melakukan kofermentasi dengan mikroba yang dapat digunakan pada selulosa dan hemiselulosa sebagai substrat penghasil bioetanol. Serta mencari teknik inovatif untuk memproduksi bioetanol pada jumlah dan produktifitas yang tinggi,” tambah Pakar Rekayasa Bioproses IPB University ini. Sementara itu, Prof Euis Hermiati, Peneliti dari Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa penelitian terkait fraksionasi atau pretreatment pada biomassa saat ini masih diminati. Hal tersebut terlihat dari jumlah publikasi yang meningkat. Penggunaan material lignocelulosa dalam produksi bioetanol juga dapat mengatasi kompetisi antara industri bahan bakar dan pangan. Umumnya, metode fraksionasi lebih optimal untuk mengembangkan potensi bioproduk dan bioenergi. Dr Prayoga Suryadarma, Dosen IPB University dari Divisi Bioindustri Departemen TIN juga menambahkan bahwa teknik metabolik dapat juga diterapkan untuk memproduksi bioetanol dari bahan lignocelulosa. Bakteri E. coli digunakan sebagai organisme inang untuk mengubah sumber karbon dalam lignocelulosa menjadi bioetanol berdasarkan siklus metabolismenya. Keuntungan penggunaan E. coli yakni ketersediaannya dan rentang penggunaan yang cukup luas pada berbagai substrat.