Masih Ragu Biodiesel pada Mesin Mobil? Ini Faktanya
CNBCIndonesia.com | Selasa, 4 Agustus 2020
Masih Ragu Biodiesel pada Mesin Mobil? Ini Faktanya
Penggunaan biodiesel masih menimbulkan kekhawatiran. Campuran sawit dan bahan bakar minyak (BBM) dianggap masih tabu. Alhasil, masyarakat khawatir penggunaannya bisa mengganggu ketahanan mesin yang biasa menggunakan bahan bakar berbasis fosil. Namun, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Parulian Tumanggor dalam acara Exclusive Interview oleh CNBC Indonesia memberi keyakinan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir. Pasalnya, selama ini masyarakat sudah terbiasa menggunakan produk dari biodiesel. Bahkan sejak beberapa tahun silam. “Saya ingin sampaikan banyak masyarakat sekitar tanpa sadar sejak tahun 2015 dia udah gunakan biodiesel, ngga sadar. Kan Isi ke pom bensin solar, padahal solar sudah biodiesel. Mulai 2015 sudah B10, B20, B30. kalo kita isi itu B30. Kesiapan masyarakat gimana? itu udah pakai kok. Makanya mesin baik-baik aja. Soal mobil baru gunakan B30 dan mobil bekas gunakan B30 pasti akan tersendat dikit lah,” katanya, Jumat (31/07/2020).
Tidak ketinggalan, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrahman mengungkapkan sejumlah sektor ekonomi sudah menggunakan campuran minyak dan nabati itu. “Ada beberapa sektor yang memanfaatkan program B30. pertama usaha mikro, perikanan pertanian. Jadi Kalau kita lihat nelayan dan sebagainya gunakan diesel itu B30. Transportasi juga bahan bakar B30. Pengembangan listrik PLN gunakan B30 sekarang, dan industri-industri umumnya. Sepanjang gunakan solar, 30% itu diesel kita sebut B30,” jelasnya. Senada, Wakil Ketua Umum Bidang Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) Bidang Rantai Pasok Bernard A. Riedo menyebut proyek pencampuran minyak dan nabati harus terus digaungkan. Pasalnya, selama ini banyak potensi dari sawit Indonesia. “Pemerintah sudah dukung titik campur atau titik penyerahan dari kita produsen biodiesel ke BBM, ke Pertamina atau perusahaan migas lainnya. Tadinya 129 titik, harapannya bisa lebih lagi. Itu akan perbaiki kualitas dan waktu dalam hal penyerahan dan akhirnya jadi berguna ke masyarakat,” sebut Bernard.
Industry.co.id | Rabu, 5 Agustus 2020
Pemerintah Perlu Evaluasi Kebijakan Biodiesel & Libatkan Petani
Rencana pemerintah untuk meningkatkan produksi energi biodiesel perlu disertai dengan kebijakan yang tepat agar menghasilkan energi yang lebih berkelanjutan. Pemerintah juga perlu mengevaluasi langkahnya untuk memberikan subsidi kepada perusahaan kelapa sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Menurut Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto, penyuntikan dana tambahan bukanlah langkah yang efektif untuk menyejahterakan petani kelapa sawit dan memberikan dampak program biodiesel secara langsung. Hingga saat ini, tidak ada aturan mengenai keterlibatan petani kelapa sawit dalam program biodiesel, sehingga kesuksesan program biodiesel tidak akan berpengaruh bagi petani. Jika pemerintah memang serius menyadari pentingnya posisi petani kelapa sawit dalam industri biodiesel, serta mau mendorong mereka untuk memaksimalkan hasilnya, maka pemerintah seharusnya turut melibatkan petani kelapa sawit dalam program biodiesel. Salah satu langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah adalah dengan kebijakan yang menyertakan petani dalam rantai pasok biodiesel. Hingga saat ini, petani kelapa sawit swadaya belum dipetakan dalam industri ini. Mereka pun tak memiliki akses untuk menjual kelapa sawit ke pasar, melainkan harus melalui rangkaian pengumpul yang panjang sehingga harga yang mereka dapatkan pun sangat rendah. “Pemerintah perlu memasukan petani kelapa sawit dalam rantai pasok biodiesel, bukan sekedar memberikan suntikan dana secara terus-menerus ke perusahaan kelapa sawit melalui BPDPKS,” tegas Darto.
Darto menilai bahwa permintaan Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani pentingnya pemerintah menyuntikkan dana sebesar Rp20 triliun ke Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) setiap tahun bukanlah langkah yang tepat dan perlu dievaluasi lebih lanjut, apakah dana tersebut memang bisa sampai ke petani, atau justru sekedar menguntungkan perusahaan kelapa sawit. Aprobi pun menekankan pentingnya mensubsidi biodiesel selaku energi terbarukan.Manajer Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti menilai bahwa pemerintah memang perlu mendukung atau mensubsidi energi terbarukan. Namun, Ricky menilai ada kekeliruan dari pengusaha dan pemerintah saat menyebut biodiesel sebagai energi terbarukan dan bersih. Biodiesel dari bahan baku minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) belum dapat dikategorikan sebagai energi yang bersih dan terbarukan karena dalam proses pembuatannya masih terdapat sejumlah masalah. Pertama, masih banyak pabrik minyak kelapa sawit yang dalam prosesnya tidak menggunakan penangkap metana atau methane capture, sehingga proses pembuatan CPO justru melepaskan emisi gas rumah kaca, metana, yang besar ke udara. Aprobi sebetulnya sempat menyampaikan janjinya untuk memastikan agar lebih banyakperusahaan kelapa sawit yang dapat menggunakan methane capture facility atau penangkapan gas metana pada tahun lalu. Hal tersebut juga menjadi salah satu poin janji pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution(NDC). “Nyatanya, sampai saat ini, belum ada langkah konkret baik dari perusahaan kelapa sawit maupun pemerintah untuk menangani emisi gas metana tersebut,” ujar Ricky.
Kedua, pemerintah perlu memastikan agar pengembangan industri biodiesel tak berdampak pada pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit. Pembukaan lahan baru tentunya melepas emisi yang besar. Selain itu, pembukaan lahan kerap kali menyisakan konflik lahan atau konflik agraria dengan masyarakat lokal. Biodiesel dapat dikategorikan sebagai energi transisi menuju energi yang bersih dan terbarukan. Dengan itu, sembari mengembangkan industri biodiesel, pemerintah perlu mengembangkan dan memberikan intensif energi dari sumber yang lebih energi dan terbarukan, seperti minyak jelantah atau limbah minyak goreng untuk bahan bakar transportasi, serta surya atap, panas bumi, angin dan proyek hidro kecil untuk listrik. “Pemerintah perlu memastikan agar proses pembuatan CPO untuk biodiesel lebih bersih dari buangan emisi dan sustainable , serta membuat batasan agar tak ada pembukaan lahan kebun kelapa sawit baru untuk kepentingan industri biodiesel,” pungkas Ricky.
Validnews.id | Selasa, 4 Agustus 2020
Petani Sawit Berharap Dimasukkan Dalam Rantai Pasok Biodiesel
Petani kelapa sawit berharap pemerintah memberikan kebijakan yang tepat dalam rencana peningkatan produksi biodiesel agar menghasilkan energi yang lebih berkelanjutan. Pemerintah juga perlu mengevaluasi pemberian subsidi kepada perusahaan kelapa sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menilai, penyuntikan dana tambahan bukanlah langkah yang efektif untuk menyejahterakan petani kelapa sawit dan memberikan dampak program biodiesel secara langsung. Hingga saat ini, tidak ada aturan mengenai keterlibatan petani kelapa sawit dalam program biodiesel sehingga kesuksesan program biodiesel tidak akan berpengaruh bagi petani. Seharusnya, ujar dia, pemerintah turut melibatkan petani kelapa sawit dalam program biodiesel. Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan adalah dengan kebijakan yang menyertakan petani dalam rantai pasok biodiesel. Jika pemerintah memang serius menyadari pentingnya posisi petani kelapa sawit dalam industri biodiesel, serta mau mendorong petani untuk memaksimalkan hasilnya. Sejauh ini, petani kelapa sawit swadaya belum dipetakan dalam industri ini. Selain itu, mereka tak memiliki akses untuk menjual kelapa sawit langsung ke pasar, melainkan harus melalui rangkaian pengumpul yang panjang sehingga harga yang petani terima sangat rendah. “Pemerintah perlu memasukan petani kelapa sawit dalam rantai pasok biodiesel. Bukan sek edar memberikan suntikan dana secara terus-menerus ke perusahaan kelapa sawit melalui BPDPKS,” tegas Darto dalam rilis resmi yang diterima, Jakarta, Selasa (4/8).
Pihaknya menilai, permintaan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) kepada Menkeu Sri Mulyani untuk menyuntikkan dana sebesar Rp20 triliun/tahun kepada BPDPKS bukanlah langkah yang tepat dan perlu evaluasi lanjutan. “Apakah dana tersebut memang bisa sampai ke petani atau justru sekadar menguntungkan perusahaan kelapa sawit,” katanya. Selain itu, Aprobi juga menekankan pentingnya menyubsidi biodiesel selaku energi terbarukan. Menanggapi hal itu, Manajer Riset Traction Energy Asia Ricky Amukti mengatakan bahwa pemerintah memang perlu mendukung atau menyubsidi energi terbarukan. Namun, Ricky menilai, terdapat kekeliruan dari pengusaha dan pemerintah saat menyebut biodiesel sebagai energi terbarukan dan bersih. Biodiesel dari bahan baku minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) belum dapat dikategorikan sebagai energi yang bersih dan terbarukan karena dalam proses pembuatannya masih terdapat sejumlah masalah. Pertama, masih banyak pabrik minyak kelapa sawit yang dalam prosesnya tidak menggunakan penangkap metana atau methane capture, sehingga proses pembuatan CPO justru melepaskan emisi gas rumah kaca, metana, yang besar ke udara.
Sebelumnya, Aprobi sempat menjanjikan untuk memastikan agar lebih banyak perusahaan kelapa sawit yang dapat menggunakan methane capture facility atau penangkapan gas metana pada tahun lalu. Hal tersebut juga menjadi salah satu poin janji pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). “Nyatanya, sampai saat ini, belum ada langkah konkret baik dari perusahaan kelapa sawit maupun pemerintah untuk menangani emisi gas metana tersebut,” ujarnya. Kedua, pemerintah perlu memastikan agar pengembangan industri biodiesel tak berdampak pada pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit. Pembukaan lahan baru otomatis akan melepas emisi yang besar. Selain itu, pembukaan lahan kerap kali menyisakan konflik lahan atau konflik agraria dengan masyarakat lokal. Biodiesel dapat dikategorikan sebagai energi transisi menuju energi yang bersih dan terbarukan. Ke depan, ia menyarankan, sembari mengembangkan industri biodiesel, pemerintah juga perlu mengembangkan energi lain yang lebih terbarukan secara intensif. Misalnya, penggunaan minyak jelantah atau limbah minyak goreng untuk bahan bakar transportasi, serta surya atap, panas bumi, angin dan proyek hidro kecil untuk listrik. “Pemerintah perlu memastikan agar proses pembuatan CPO untuk biodiesel lebih bersih dari buangan emisi dan berkelanjutan. Tidak lupa juga membatasi agar tak ada pembukaan lahan kebun kelapa sawit baru untuk kepentingan industri biodiesel,” katanya.
Riausky.com | Selasa, 4 Agustus 2020
SPKS: Pemerintah Perlu Evaluasi Kebijakan Biodiesel & Libatkan Petani
Rencana pemerintah untuk meningkatkan produksi energi biodiesel perlu disertai dengan kebijakan yang tepat agar menghasilkan energi yang lebih berkelanjutan. Pemerintah juga perlu mengevaluasi langkahnya untuk memberikan subsidi kepada perusahaan kelapa sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Menurut Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto penyuntikan dana tambahan bukanlah langkah yang efektif untuk menyejahterakan petani kelapa sawit dan memberikan dampak program biodiesel secara langsung. Hingga saat ini, tidak ada aturan mengenai keterlibatan petani kelapa sawit dalam program biodiesel, sehingga kesuksesan program biodiesel tidak akan berpengaruh bagi petani. Jika pemerintah memang serius menyadari pentingnya posisi petani kelapa sawit dalam industri biodiesel, serta mau mendorong mereka untuk memaksimalkan hasilnya, maka pemerintah seharusnya turut melibatkan petani kelapa sawit dalam program biodiesel. Salah satu langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah adalah dengan kebijakan yang menyertakan petani dalam rantai pasok biodiesel.
Hingga saat ini, petani kelapa sawit swadaya belum dipetakan dalam industri ini. Mereka pun tak memiliki akses untuk menjual kelapa sawit ke pasar, melainkan harus melalui rangkaian pengumpul yang panjang sehingga harga yang mereka dapatkan pun sangat rendah. “Pemerintah perlu memasukan petani kelapa sawit dalam rantai pasok biodiesel, bukan sekedar memberikan suntikan dana secara terus-menerus ke perusahaan kelapa sawit melalui BPDPKS,” tegas Darto. Darto menilai bahwa permintaan Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani pentingnya pemerintah menyuntikkan dana sebesar Rp20 triliun ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) setiap tahun bukanlah langkah yang tepat dan perlu dievaluasi lebih lanjut, apakah dana tersebut memang bisa sampai ke petani, atau justru sekedar menguntungkan perusahaan kelapa sawit. Aprobi pun menekankan pentingnya mensubsidi biodiesel selaku energi terbarukan. Manajer Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti menilai bahwa pemerintah memang perlu mendukung atau mensubsidi energi terbarukan. Namun, Ricky menilai ada kekeliruan dari pengusaha dan pemerintah saat menyebut biodiesel sebagai energi terbarukan dan bersih.
Biodiesel dari bahan baku minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) belum dapat dikategorikan sebagai energi yang bersih dan terbarukan karena dalam proses pembuatannya masih terdapat sejumlah masalah. Pertama, masih banyak pabrik minyak kelapa sawit yang dalam prosesnya tidak menggunakan penangkap metana atau methane capture, sehingga proses pembuatan CPO justru melepaskan emisi gas rumah kaca, metana, yang besar ke udara. Aprobi sebetulnya sempat menyampaikan janjinya untuk memastikan agar lebih banyak perusahaan kelapa sawit yang dapat menggunakan methane capture facility atau penangkapan gas metana pada tahun lalu. Hal tersebut juga menjadi salah satu poin janji pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). “Nyatanya, sampai saat ini, belum ada langkah konkret baik dari perusahaan kelapa sawit maupun pemerintah untuk menangani emisi gas metana tersebut,” ujar Ricky. Kedua, pemerintah perlu memastikan agar pengembangan industri biodiesel tak berdampak pada pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit. Pembukaan lahan baru tentunya melepas emisi yang besar. Selain itu, pembukaan lahan kerap kali menyisakan konflik lahan atau konflik agraria dengan masyarakat lokal. Biodiesel dapat dikategorikan sebagai energi transisi menuju energi yang bersih dan terbarukan. Dengan itu, sembari mengembangkan industri biodiesel, pemerintah perlu mengembangkan dan memberikan intensif energi dari sumber yang lebih energi dan terbarukan, seperti minyak jelantah atau limbah minyak goreng untuk bahan bakar transportasi, serta surya atap, panas bumi, angin dan proyek hidro kecil untuk listrik. “Pemerintah perlu memastikan agar proses pembuatan CPO untuk biodiesel lebih bersih dari buangan emisi dan sustainable, serta membuat batasan agar tak ada pembukaan lahan kebun kelapa sawit baru untuk kepentingan industri biodiesel,” pungkas Ricky.
Mnctrijaya.com | Selasa, 4 Agustus 2020
Pemerintah Perlu Evaluasi Kebijakan Biodiesel & Libatkan Petani
Rencana pemerintah untuk meningkatkan produksi energi biodiesel perlu disertai dengan kebijakan yang tepat agar menghasilkan energi yang lebih berkelanjutan. Pemerintah juga perlu mengevaluasi langkahnya untuk memberikan subsidi kepada perusahaan kelapa sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Menurut Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto, penyuntikan dana tambahan bukanlah langkah yang efektif untuk menyejahterakan petani kelapa sawit dan memberikan dampak program biodiesel secara langsung. Hingga saat ini, tidak ada aturan mengenai keterlibatan petani kelapa sawit dalam program biodiesel, sehingga kesuksesan program biodiesel tidak akan berpengaruh bagi petani. Jika pemerintah memang serius menyadari pentingnya posisi petani kelapa sawit dalam industri biodiesel, serta mau mendorong mereka untuk memaksimalkan hasilnya, maka pemerintah seharusnya turut melibatkan petani kelapa sawit dalam program biodiesel. Salah satu langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah adalah dengan kebijakan yang menyertakan petani dalam rantai pasok biodiesel. Hingga saat ini, petani kelapa sawit swadaya belum dipetakan dalam industri ini. Mereka pun tak memiliki akses untuk menjual kelapa sawit ke pasar, melainkan harus melalui rangkaian pengumpul yang panjang sehingga harga yang mereka dapatkan pun sangat rendah. “Pemerintah perlu memasukan petani kelapa sawit dalam rantai pasok biodiesel, bukan sekedar memberikan suntikan dana secara terus-menerus ke perusahaan kelapa sawit melalui BPDPKS,” tegas Darto.
Darto menilai bahwa permintaan Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani pentingnya pemerintah menyuntikkan dana sebesar Rp20 triliun ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) setiap tahun bukanlah langkah yang tepat dan perlu dievaluasi lebih lanjut, apakah dana tersebut memang bisa sampai ke petani, atau justru sekedar menguntungkan perusahaan kelapa sawit. Aprobi pun menekankan pentingnya mensubsidi biodiesel selaku energi terbarukan. Manajer Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti menilai bahwa pemerintah memang perlu mendukung atau mensubsidi energi terbarukan. Namun, Ricky menilai ada kekeliruan dari pengusaha dan pemerintah saat menyebut biodiesel sebagai energi terbarukan dan bersih. Biodiesel dari bahan baku minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) belum dapat dikategorikan sebagai energi yang bersih dan terbarukan karena dalam proses pembuatannya masih terdapat sejumlah masalah. Pertama, masih banyak pabrik minyak kelapa sawit yang dalam prosesnya tidak menggunakan penangkap metana atau methane capture, sehingga proses pembuatan CPO justru melepaskan emisi gas rumah kaca, metana, yang besar ke udara.
Aprobi sebetulnya sempat menyampaikan janjinya untuk memastikan agar lebih banyak perusahaan kelapa sawit yang dapat menggunakan methane capture facility atau penangkapan gas metana pada tahun lalu. Hal tersebut juga menjadi salah satu poin janji pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). “Nyatanya, sampai saat ini, belum ada langkah konkret baik dari perusahaan kelapa sawit maupun pemerintah untuk menangani emisi gas metana tersebut,” ujar Ricky. Kedua, pemerintah perlu memastikan agar pengembangan industri biodiesel tak berdampak pada pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit. Pembukaan lahan baru tentunya melepas emisi yang besar. Selain itu, pembukaan lahan kerap kali menyisakan konflik lahan atau konflik agraria dengan masyarakat lokal. Biodiesel dapat dikategorikan sebagai energi transisi menuju energi yang bersih dan terbarukan. Dengan itu, sembari mengembangkan industri biodiesel, pemerintah perlu mengembangkan dan memberikan intensif energi dari sumber yang lebih energi dan terbarukan, seperti minyak jelantah atau limbah minyak goreng untuk bahan bakar transportasi, serta surya atap, panas bumi, angin dan proyek hidro kecil untuk listrik. “Pemerintah perlu memastikan agar proses pembuatan CPO untuk biodiesel lebih bersih dari buangan emisi dan sustainable, serta membuat batasan agar tak ada pembukaan lahan kebun kelapa sawit baru untuk kepentingan industri biodiesel,” pungkas Ricky.
Tagar.id | Selasa, 4 Agustus 2020
Dana Rp20 Triliun Bagi Biodiesel Dinilai Tidak Tepat
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengkritisi permintaan dana sebesar Rp 20 triliun pertahun bagi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto mengatakan inisiasi yang diajukan oleh Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) dinilai perlu kajian lebih lanjut apakah dana tersebut memang bisa sampai ke petani sawit atau justru sekedar menguntungkan perusahaan tertentu. “Penyuntikan dana tambahan bukanlah langkah yang efektif untuk menyejahterakan petani kelapa sawit dan memberikan dampak program biodiesel secara langsung,” ujarnya melalui keterangan resmi kepada Tagar, Selasa, 4 Agustus 2020. Menurut Darto, hingga saat ini tidak ada aturan mengenai keterlibatan petani kelapa sawit dalam program biodiesel, sehingga kesuksesan program tersebut tidak akan berpengaruh bagi petani. “Hingga saat ini, petani kelapa sawit swadaya belum dipetakan dalam industri ini. Mereka pun tak memiliki akses untuk menjual kelapa sawit ke pasar, melainkan harus melalui rangkaian pengumpul yang panjang sehingga harga yang mereka dapatkan pun sangat rendah,” tuturnya. “Pemerintah perlu memasukan petani kelapa sawit dalam rantai pasok biodiesel, bukan sekedar memberikan suntikan dana secara terus-menerus ke perusahaan kelapa sawit melalui BPDPKS,” sambung Darto.
Dalam kesempatan yang sama, Manajer Riset Traction Energy Asia Ricky Amukti menyebut pemerintah memang perlu mendukung atau mensubsidi energi terbarukan. Namun, Ricky menganggap ada kekeliruan dari pengusaha dan pemerintah saat menyebut biodiesel sebagai energi terbarukan dan bersih. Dalam catatannya, biodiesel dari bahan baku minyak kelapa sawit belum dapat dikategorikan sebagai energi yang bersih dan terbarukan karena dalam proses pembuatannya masih terdapat sejumlah masalah. Pertama, masih banyak pabrik minyak kelapa sawit yang dalam prosesnya tidak menggunakan penangkap metana atau methane capture, sehingga proses pembuatan CPO justru melepaskan emisi gas rumah kaca, metana, yang besar ke udara. “Nyatanya, sampai saat ini, belum ada langkah konkret baik dari perusahaan kelapa sawit maupun pemerintah untuk menangani emisi gas metana tersebut,” ujar Ricky. Kedua, pemerintah perlu memastikan agar pengembangan industri biodiesel tidak berdampak pada pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit. Pembukaan lahan baru tentunya melepas emisi yang besar. Selain itu, pembukaan lahan kerap kali menyisakan konflik lahan atau konflik agraria dengan masyarakat lokal. “Pemerintah perlu memastikan agar proses pembuatan CPO untuk biodiesel lebih bersih dari buangan emisi dan sustainable, serta membuat batasan agar tak ada pembukaan lahan kebun kelapa sawit baru untuk kepentingan industri biodiesel,” tegasnya. Sebagai informasi, SPKS menolak wacana permintaan Ketua Umum Aprobi Master Parulian Tumanggor kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani soal pentingnya pemerintah menyuntikan dana sebesar Rp 20 triliun ke BPDPKS setiap tahun. Aprobi sendiri meyakini pentingnya mensubsidi biodiesel selaku energi terbarukan.
Koran-Jakarta.com | Rabu, 5 Agustus 2020
Libatkan Petani di Program Biodiesel
Pemerintah diminta mengevaluasi kebijakan pemberian subsidi kepada perusahaan kelapa sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sebab, pemberian insentif tersebut dianggap hanya menguntungkan perusahaan kelapa sawit, tetapi tidak menyentuh petani sawit. Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, mengatakan penyuntikan dana tambahan bukanlah langkah efektif untuk menyejahterakan petani kelapa sawit, melainkan hanya memberikan dampak program biodiesel secara langsung. “Hingga saat ini, tidak ada aturan mengenai keterlibatan petani kelapa sawit dalam program biodiesel, sehingga kesuksesan program biodiesel tidak akan berpengaruh bagi petani,” tegasnya di Jakarta, Selasa (4/8). Menurut Darto, jika ingin serius, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang menyertakan petani dalam rantai pasok biodiesel. Hingga saat ini, petani kelapa sawit swadaya belum dipetakan dalam industri ini. Tak hanya itu, lanjutnya, para petani juga tak memiliki akses untuk menjual kelapa sawit ke pasar. Mereka harus melalui rangkaian pengumpul yang panjang sehingga harga didapatkannya pun sangat rendah. “Pemerintah perlu memasukkan petani kelapa sawit dalam rantai pasok biodiesel, bukan sekadar memberikan suntikan dana secara terus-menerus ke perusahaan kelapa sawit melalui BPDPKS,” tegas Darto. Darto menilai permintaan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani, untuk menyuntikkan dana sebesar 20 triliun rupiah ke BPDPKS setiap tahun bukanlah langkah tepat. Langkah itu, lanjutnya, perlu dievaluasi lebih lanjut. “Apakah dana tersebut memang bisa sampai ke petani, atau justru sekadar menguntungkan perusahaan kelapa sawit,” tukas Darto.
Picu Emisi
Manajer Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti, menilai pemerintah memang perlu mendukung atau menyubsidi energi terbarukan. Namun, Ricky menilai ada kekeliruan dari pengusaha dan pemerintah saat menyebut biodiesel sebagai energi terbarukan dan bersih. Biodiesel dari bahan baku minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) belum dapat dikategorikan sebagai energi bersih dan terbarukan karena dalam proses pembuatannya masih terdapat sejumlah masalah. Pertama, masih banyak pabrik minyak kelapa sawit yang dalam prosesnya tidak menggunakan penangkap metana atau methane capture, sehingga proses pembuatan CPO justru melepaskan emisi gas rumah kaca, metana, yang besar ke udara. Kedua, sambungnya, pemerintah perlu memastikan agar pengembangan industri biodiesel tak berdampak pada pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit. Pembukaan lahan baru tentunya melepas emisi besar. Selain itu, pembukaan lahan kerap kali menyisakan konflik lahan atau konflik agraria dengan masyarakat lokal. Biodiesel dapat dikategorikan sebagai energi transisi menuju energi bersih dan terbarukan. Dengan itu, sembari mengembangkan industri biodiesel, pemerintah perlu mengembangkan dan memberikan intensif energi dari sumber yang lebih energi dan terbarukan, seperti minyak jelantah atau limbah minyak goreng untuk bahan bakar transportasi, serta surya atap, panas bumi, angin dan proyek hidro kecil untuk listrik.
BERITA BIOFUEL
CNBCIndonesia.com | Selasa, 4 Agustus 2020
Tahun Depan Biodiesel B40 Dimulai, Pertamina Siap?
Proyek Biodiesel 30% (B30) pada bulan Juli tahun depan akan dikembangkan menjadi Biodisel 40% (B40). Keseriusan ini disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara Exclusive Interview oleh CNBC Indonesia yang bertajuk “Biodisel Pascapandemi Covid-19, Lanjut atau Terhenti?” Kamis (30/7/2020). Lalu apa yang dipersiapkan Pertamina untuk pengembangan proyek ini? Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional, Budi Santoso Syarif mengatakan untuk B40 campuranya adalah B30 ditambah dengan D100 sebesar 10%. “Strategi sudah jelas dari pak Menteri dan lainnya. B40 Komposisi B30, D100 10%,” ungkapnya. Ia menyebut dengan berjalannya proyek biodiesel ini secara akan menjadi ketahanan energi, menekan defisit transaksi berjalan. Kemudian secara mikro harga untuk sawit akan menjadi stabil. “Dan juga disampaikan pungutan US$ 55 per ton. Program ini akan terus berlanjut. Sebelum tahun 2015 diperuntukan untuk oleochemical, namum ke depan lebih ke biodiesel ke depan D100, bisa sejahterakan 16 juta jiwa petani,” jelasnya. Lebih lanjut ia mengatakan secara operasional sudah bisa produksi, untuk katalisnya juga di dalam negeri. “Uji coba kilang Dumai, Pertamina dan ITB mengejawentahkan ketahanan energi.” Pabrik katalis nasional yang akan dibangun bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) dan PT Pupuk Kujang akan memiliki kapasitas 800 ton. Pabrik katalis ini akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor. Menurut Budi, pabrik katalis ini akan dibangun segera dan membutuhkan masa konstruksi sekitar 7-10 bulan. “Mulai dari katalis kita membuat sendiri, dalam arti buat pabriknya dan tidak tertutup kemungkinan bangun kilang,” ujarnya. Sebagai informasi kerja sama joint venture pabrik katalis nasional ditandatangan pada Rabu (29/7/2020) oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, Plt. Direktur Utama PT Pupuk Kujang, Rita Widayati dan Direktur Utama PT Rekacipta Inovasi ITB Alam Indrawan.
CNBCIndonesia.com | Selasa, 4 Agustus 2020
Harga BBM Turun Perlebar Gap dengan Biodiesel, Ini Langkah RI
Pandemi Covid-19 berdampak kepada penurunan konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Implikasinya adalah terjadi penurunan harga minyak yang bermuara kepada pelebaran gap harga dengan biodiesel. Lalu, bagaimana langkah pemerintah menghadapi kondisi tersebut? Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Monty Girianna mengatakan, biodiesel merupakan program strategis untuk ketahanan energi dan menguragi defisit transaksi berjalan. Namun, gara-gara pandemi, permintaan pada energi terus turun. Harga yang murah membuat BBM berbasis fosil lebih dilirik. Ini menjadi tantangan tersendiri di tengah upaya pemerintah dalam menggenjot program B30 menuju B40 tahun depan. “Pemerintah memberikan beberapa instrumen tambahan, program tetap stay, berlangsung, B30, B40, suatu saat green diesel artinya 100% dari sawit,” ujar Monty dalam acara Exclusive Interview, bertajuk “Biodisel Pascapandemi Covid-19, Lanjut atau Terhenti?” di CNBC Indonesia, Kamis, (30/07/2020). Lebih lanjut, dia mengatakan, demi menjaga keberlangsungan program biodiesel, pemerintah membuat aturan soal pungutan ekspor US$ 55 per ton. “Kalau gap besar, harga solar turun, gap besar akan berat bagi kita push program ini. Oleh sebab itu, oke jalan dengan kepastian US$ 55 per ton. Agar program ini jalan terus dan jadi kewajiban kita kedepankan prinsip-prinsip biodiesel dan dapat portofolio sawit cukup,” kata Monty. Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrahman menegaskan program biodiesel ini harus dilanjutkan karena berkaitan erat dengan program kelapa sawit berkelanjutan. Gap antara minyak solar dengan CPO harus diisi dukungan dari pemerintah dengan lewat dana yang disalurkan melalui BPDPKS. “Sehingga harga keekonomian pengguna akhir masih bisa terjangkau. Dibentuklah BPDPKS untuk mendukung program biodiesel dalam bentuk berikan dana selisih antara harga biodiesel dengan harga solar,” ujar Eddy.
CNBCIndonesia.com | Selasa, 4 Agustus 2020
Tak Perlu Risau, Harga Biodiesel Akan Tetap Terjangkau
Harga biodiesel masih akan tetap terjangkau di masyarakat. Selama ini, harga yang ada di pasaran tergolong tinggi. Namun karena adanya sistem subsidi dari margin yang diambil dari ekspor pelaku usaha sawit, maka harganya bisa ditekan. Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman dalam Exclusive Interview oleh CNBC Indonesia yang bertajuk “Biodisel Pascapandemi Covid-19, Lanjut atau Terhenti?” mengungkapkan agar dana sisihan dari kegiatan ekspor sawit yang selama ini dihimpun diharapkan bisa membantu harga biodiesel tetap terjangkau dan bermanfaat bagi masyarakat. “Strategi BPDPKS tugasnya membiayai untuk menutupi gap harga solar dan biodiesel. Untuk itu kita himpun dana yang berasal dari pungutan ekspor produk sawit. Dana tadi kita kelola yang kemudian kita distribusikan, salurkan untuk pengembangan SDM di dalam rangka pengetahuan dan keterampilan petani.
Termasuk riset dalam rangka memajukan industri di kelapa sawit, dan juga promosi,” kata Eddy Kamis (30/7). Selama ini, masyarakat sebenarnya sudah terbiasa dengan adanya B30 melalui solar. Namun, harga mulanya yang cenderung tinggi menjadi masalah penyerapan biodiesel. BPDPKS memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Tujuannya agar penyerapan oleh masyarakat dalam negeri tetap bisa terjaga. “Dana yang kita peroleh untuk menutup gap antara harga solar dan tadi tujuannya agar semua terserap agar produksi naik tadi bisa diserap. Nggak hanya ekspor, tapi dalam negeri jadi lebih stabil,” jelasnya. Eddy yakin persoalan itu bisa lebih mudah diselesaikan. Apalagi bila melihat minyak dunia sudah mulai kembali harga normal di angka sekitar USD 40/barel. “Harga solar itu temporer. Karena persaingan Amerika Serikat, Rusia, dan Arab. Tapi harga minyak mulai recovery agar gap nggak melebar. Sehingga BPDPKS punya kemampuan untuk dukung pendanaan ini khususnya dari ekspor tadi,” papar Eddy.
Gatra.com | Selasa, 4 Agustus 2020
Jualan Kode Bahan Bakar Diesel
Uji coba Biodiesel(B)50 itu belum terlalu lama, Januari tahun lalu. Satu dari dua unit Innova automatic keluaran 2018 yang sama-sama bersilinder 2.4, dicekoki B50 dan satu lagi B20. Kedua mobil ini digeber Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan Sumatera Utara (Sumut) dari kantornya menuju kawasan Riset Perkebunan Nusantara (RPN) Bogor Jawa Barat (Jabar) dan balik lagi ke Medan. Kalau dihitung-hitung, dua Innova tadi sudah melintasi jalanan sejauh 5000 kilometer. Hasilnya, Fitback Injection Innova yang memakai B50 masih stabil, masih di angka 0,0. “Artinya, enggak ada kotoran pada injection meski sudah menempuh jarak 5000 kilometer,” kata Teknical Leader Auto2000 Amplas Medan, Andiarto. Kebetulan dua mobil itu diservice di sana, setelah sampai lagi di Medan. B50 yang dipakai Innova tadi, untuk 100 liter, butuh campuran 37,5 liter biodiesel (B100) dan 62,5 liter biodiesel komersil (B20). B50 ini sudah punya Cetane Number (CN) 60, jauh di atas CN yang disyaratkan oleh Standard Nasional Indonesia (SNI), 51. Lantas, B50 ini tahan pada suhu minus dua derajat celcius. Lantas, untuk Fatty Acid Methyl Ester (FAME) nya, B50 bisa mencapai 99 persen massa, padahal SNI hanya mensyaratkan 96,5 persen massa. Pertengahan bulan lalu, Pertamina juga melakukan uji coba. Namanya D100 alias Green Diesel. Bahan bakar diesel ini diolah dari Crude Palm Oil (CPO) memakai teknologi Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO).
Habis itu diolah lagi pakai katalis “Merah Putih” dengan teknologi Hydroprocessed Esters and Fatty Acids (HEFA). Pertamina kemudian menyebut kalau hasil akhir dari semua proses itu adalah Green Diesel dan ini yang pertama di Indonesia. Hanya saja, pada Innova keluaran 2017 yang dijadikan kendaraan uji coba untuk menempuh jarak 200 kilometer itu, Pertamina justru membikin campuran 30 persen FAME, 50 persen Dexlite dan 20 persen D100. Sayang, lebih dari sepeken Gatra.com melayangkan pertanyaan seputar campuran uji coba tadi, berapa duit yang dihabiskan untuk menghasilkan satu liter D100 dan se ekonomis apa D100 itu, Pertamina tak kunjung memberikan jawaban. Tapi kemudian, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga mengatakan, proses produksi D100 di kilang Pertamina Dumai menggunakan bahan baku RBDPO lantaran kilang di sana tidak didesign untuk tahan asam. “Proses produksinya pada tekanan yang sangat tinggi supaya injeksi Hidrogen yang dimasukkan dengan mudah menarik molekul O dan H dari dalam minyak sawit. Jadi, tinggallah elemen gugus C dan H. Itulah makanya hasilnya sama dengan solar minyak bumi yang juga mengandung C dan H,” katanya kepada Gatra.com pekan lalu. Bedanya dengan solar kata Sahat, CN D100 berada di angka 79. Sementara solar yang biasa dibeli di SPBU, CN nya cuma 55. “Biar bisa dipakai di mobil solar yang umum di jalanan CN D100 ini diturunkan. Itulah makanya dicampur dengan FAME dan Dexlite. Kalau CN nya enggak diturunkan, enginenya bisa meledak,” terangnya.
Sahat juga menyebut kalau memproduksi FAME tidak sama dengan D100,”Katalisnya dan prosesnya beda. Membikin FAME, itu menambahkan metanol ke dalam minyak sawit memakai katalis Na-methoxide. Itulah makanya disebut bahan bakar oxygenate. FAME ini menghasilkan produk samping bernama glycerine. Sementara D100, menambahkan Hidrogen untuk membuang oxygenate nya. Produk sampingnya adalah LPG dan Air,” Sahat merinci. Bagi Sahat, munculnya D100 adalah menjadi bukti bahwa Indonesia tidak lagi perlu mengeluarkan duit sekitar $US 450 juta-500 juta untuk membeli peralatan kilang D100 dari luar negeri. “Indonesia sudah menunjukkan kemampuan yang mandiri dan menguasai teknologi katalis untuk menghasilkan D-100 itu. Ini sudah cukup bagi Indonesia untuk membuktikan ke dunia luar kalau Pemerintah mau mendukung kemampuan bangsa sendiri, untuk membuat rancang-bangun kilang hydrotreating seperti yang di Dumai, untuk menghasilkan D100,” ujarnya. Hanya saja Researching Of Engineering & Environmental Management Technology PPKS Medan, Muhammad Ansori Nasution menyebut, secara teknologi, Indonesia pasti bisa membikin D100 lantaran di luar negeri, sudah ada perusahaan yang bisa membikin itu, katakanlah Neste Oil yang berbasis di Espoo, Finlandia. “Katalis juga bisa kita bikin. Tapi secara kajian ekonomi, D100 itu dipertanyakan. Sebab sebesar Neste saja masih mengejar insentif dari PBB. Insentif itu dikejar dengan alasan telah bisa menurunkan emisi carbon. Mengejar insentif ini mengindikasikan kalau membikin Green Diesel itu hight tech dan mahal. Makanya membikin refinery minyak bumi pun, berat. Biodiesel saja yang cukup murah, masih kempang kempis, masih butuh insentif,” katanya kepada Gatra.com, Selasa (4/8).
Tapi meski harus mengeluarkan insentif untuk membikin biodiesel tadi kata doktor jebolan University Of Tsukuba Jepang ini, minimal duit Indonesia enggak meluber keluar negeri untuk membeli solar. “B50 sudah kita coba, enggak ada masalah. Malah lebih bagus dari Dexlite. Kalaupun ada masalah, paling pada filter minyak mobil. Kalau pakai B50, filter harus karet sintetis, tidak karet alami. Kewajiban vendor mobil lah menyesuaikan diri. Ini bargaining bagi Indonesia. Alhamdulillah, sampai sekarang saya pakai B50, apalagi saat keluar kota,” katanya. Lantas kenapa B50 terkesan senyap? “B50 bukan terkendala pada teknis, tapi justru bahan baku. Produksi CPO kita hanya 46 juta ton pertahun. Kalau B50 dipakai, kita butuh CPO 15 juta ton pertahun. Ini sama dengan sekitar separuh dari jumlah CPO yang diekspor. Kalau B50 segera diberlakukan, harga CPO Indonesia akan aman dan ini akan sangat berdampak positif kepada petani,” ujarnya. Membikin Biodiesel kata lelaki 42 tahun ini, tidak serumit dan semahal membikin D100. “Sejak tahun ’90 an kami sudah punya pabrik biodiesel. Sudah bisa memproduksi sekitar 3.300 liter perhari. Pabrik semacam ini bisa diadopsi petani kelapa sawit di seluruh Indonesia. Biodieselnya bisa dijual langsung ke kilang-kilang Pertamina yang ada. Tentu ini akan membikin petani naik kelas, enggak lagi hanya sekadar menjual Tandan Buah Segar (TBS),” katanya.