Pemerintah Perlu Serius Memaksimalkan Minyak Jelantah Sebagai Biodiesel

| Berita
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Tribunnews.com | Senin, 24 Januari 2022

Pemerintah Perlu Serius Memaksimalkan Minyak Jelantah Sebagai Biodiesel

Minyak goreng bekas pakai (minyak jelantah) kerap berakhir menjadi limbah. Namun dalam beberapa tahun terakhir, beberapa komunitas bergiat mengumpulkan minyak jelantah. Selain mengurangi limbah, sejumlah negara telah menjadikan minyak jelantah sebagai energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Bagaimana potensinya di Indonesia? Sejak September tahun lalu, warga Kelurahan Kedaung Kali Angke, Jakarta Barat, tak lagi membuang minyak goreng bekas pakai atau minyak jelantah ke saluran air. Mereka kini telah mengumpulkan minyak goreng sisa lewat kelompok Dasa Wisma yang dibentuk kelurahan setempat. Setidaknya, 78 jeriken minyak jelantah telah berhasil dikumpulkan. Upaya ini tak hanya membuat saluran air warga lebih lancar, tapi juga menjadi kian bersih dan tak bau. Minyak jelantah itu lalu ditampung oleh Rumah Sosial Kutub, lembaga sosial yang juga bergerak mengelola dana zakat, infaq dan shodaqoh. Dari warga di Jakarta, Tegal dan Yogyakarta, Rumah Sosial Kutub tahun ini mengumpulkan 269.334 liter minyak jelantah. “Tahun ini DKI naik 78 persen dari tahun sebelumnya. Cukup signifikan naiknya,” kata Koordinator Program Tersenyum Rumah Sosial Kutub, Afiq Hidayatullah saat ditemui di kantornya di kawasan Jakarta Selatan, Rabu(15/8) lalu. Komunitas yang berdiri pada 2018 itu mengumpulkan minyak jelantah melalui sedekah dari warga, seperti Kedaung Kali Angke. Programnya bernama Tersenyum, akronim dari Terima Sedekah Minyak Jelantah Untuk Mereka. Menurut Afiq, minyak jelantah tersebut kemudian diekspor ke negara-negara Eropa seperti Jerman, Belanda dan Italia. Dana dari hasil penjualan tersebut yang dikelola untuk menyantuni yatim piatu, fakir miskin, dan beasiswa sekolah anak kurang mampu. Di negara-negara tersebut minyak jelantah dipergunakan menjadi bahan biodiesel. “Untuk bahan baku biodiesel,” kata Afiq saat dikonfirmasi, Senin(24/1). Indonesia punya peluang besar jika mengembangkan minyak jelantah sebagai biosolar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas minyak goreng merupakan komoditas yang memiliki andil yang cukup besar dalam pengeluaran konsumsi masyarakat (0,1%) setelah perhiasan emas (0,26%) dan cabai merah (0,16%). Selain itu, kebutuhan akan salah satu sumber omega 9 ini juga cenderung meningkat setiap tahunnya. Proyeksi tingkat konsumsi minyak goreng pada tahun 2019 sebesar 10,86 liter/kapita/tahun. Angka ini cenderung meningkat dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 9,60 liter/kapita/tahun (belum termasuk konsumsi di luar rumah tangga seperti konsumsi oleh hotel, restoran/rumah makan, katering, dan lembaga). Tren kebutuhan yang semakin meningkat tersebut menjadikan minyak goreng termasuk sebagai salah satu dari 11 komoditas yang terus dipantau oleh pemerintah baik ketersediaan maupun pendistribusiannya. Hal ini dikarenakan harga minyak goreng yang masih sering berfluktuasi terutama di momen hari-hari besar nasional meskipun kapasitas produksi minyak goreng secara nasional mampu mengakomodir permintaan domestik. Salah satu hal yang disinyalir menyebabkan terjadinya fluktuasi harga tersebut adalah jalur distribusi yang tidak efisien. Apalagi per 1 Januari 2020, pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan Program B30, sebuah program mandatori untuk mencampur 70 persen solar dengan 30 persen biodiesel. Program tersebut menjadi prioritas nasional untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mencapai transisi energi bersih. Dikutip dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biodiesel dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 11,4 juta ton CO2e dari sektor transportasi. Keunggulan lainnya dapat menghemat biaya produksi 35 persen dibandingkan dengan biodiesel dari CPO (crude palm oil). Sayangnya potensi minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel belum digarap serius di Indonesia. Padahal mengutip penelitian Traction Energy Asia tahun 2019, dari 28,4 kiloliter (KL) minyak jelantah yang dihasilkan di Indonesia, potensi menjadi biodiesel sebesar 5,7 KL liter. Potensi ini bisa memenuhi kebutuhan biodiesel nasional hingga 32 persen. Namun, hanya 3 juta KL minyak jelantah yang berhasil dikumpulkan di Indonesia. Dari angka itu, baru 570 ribu KL yang dimanfaatkan sebagai biodiesel. Sebagian besar sisanya, 2,43 juta KL diproduksi sebagai minyak goreng daur ulang dan 184 ribu KL diekspor. Manajer Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti, mengatakan sudah saatnya pemerintah mengatur persoalan minyak jelantah. Jika tidak diatur, minyak jelantah akan terus didaur ulang dan membahayakan kesehatan warga. “Kalau tidak diatur, biodiesel dari minyak jelantah akan sulit bersaing dengan minyak reproduksi,” ujar Ricky saat berbincang dengan Tribun pertengahan Desember 2021 lalu. Saat ini, menurut Ricky, minyak jelantah terbentur tiga permasalahan utama. Pertama karena belum diakui sebagai salah satu sumber energi nasional, maka pengumpulan minyak jelantah secara masif belum bisa dilakukan. Kedua, belum ada insentif untuk minyak jelantah seperti halnya biodiesel dari CPO karena itu perlu dipikirkan proses pemberian insentifnya. Hambatan ketiga adalah terkait teknologi. Sampai saat ini, kata Ricky, UCO masih kesulitan mendapatkan SNI dari pemerintah. “Indonesia perlu belajar dengan negara lain karena penggunaan UCO untuk biodiesel di Eropa sangat masif. Di sana, UCO masuk ke dalam biofuels generasi kedua yang lebih ramah lingkungan,” Ricky menjelaskan. Selama ini pemanfaatan minyak jelantah menjadi biodiesel telah diinisiasi oleh pihak swasta. Salah satunya adalah Danone. Regional External Communication Danone Indonesia Wilayah Timur, Rony Rusdiansyah mengatakan, program tersebut berjalan sejak 2014 melibatkan BUMDes Panggung Lestari Desa Panggungharjo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. BUMDes tersebut, kata dia, mengumpulkan minyak jelantah dari warga. Danone kemudian memproduksinya menjadi bahan bakar mesin pabrik pengolahan air mineral dan air berkarbonasi milik Danone di Klaten. “Kami menyerap UCO (minyak jelantah, red) untuk edukasi kesehatan, agar tidak terpakai dua kali. Selain itu juga untuk kurangi fossil fuel,” kata Rony saat dihubungi melalui telepon, Senin (17/1/2022) lalu. Namun program tersebut berhenti pada tahun 2017 hingga 2018, setelah mesin pengolahan baru milik Danone, tidak lagi kompatibel biodisel dari minyak jelantah. “Bahan bakar dari minyak jelantah sudah nggak support lagi dengan mesin pabrik,” kata Rony. Kendati demikian, menurut Rony, warga di Panggungharjo masih mengumpulkan minyak jelantah. “Sekarang masih tetap jalan. Tadi kerjasamanya untuk pengolahan sampah, termasuk dari minyak jelantah,” kata dia.

Perlu Dukungan Regulasi

Peneliti Traction Energy Asia lainnya, Fariz Panghegar menjelaskan pemerintah seharusnya menetapkan minyak jelantah sebagai komoditas bahan baku energi. Selain itu, juga perlu menetapkan kuota kebutuhan minyak jelantah untuk produksi biodiesel nasional serta harga eceran tertinggi. Dengan regulasi tersebut, menurut Fariz, mobilisasi pengumpulan minyak jelantah akan lebih mudah dilakukan. Adanya kepastian harga, akan menarik minat pembeli dan kepastian produksi menjadi bio solar. Hal itu juga akan mendorong siklus ekonomi baru yang bisa melibatkan langsung masyarakat dan usaha kecil menengah. Minyak jelantah yang dikumpulkan di masyarakat, lalu diolah menjadi biosolar oleh Pertamina atau pihak swasta lainnya. Selain untuk memenuhi target program nasional, distribusi biosolar juga bisa menjangkau kelompok masyarakat yang mengalami kelangkaan energi atau berdaya beli rendah, seperti komunitas nelayan yang bergantung pada solar untuk melaut. Pada akhirnya, Indonesia dapat meraih manfaat maksimal dari komoditas minyak jelantah di masyarakat: sebagai biosolar yang lebih ramah lingkungan, menurunkan emisi gas rumah kaca, sekaligus mengurangi limbah cair rumah tangga. Karena belum ada regulasi, kata Fariz, minyak jelantah selama ini diperdagangkan dengan tiga mekanisme yakni sedekah (tanpa insentif), barter minyak jelantah dengan jasa (misalnya jasa pengambilan sampah) dan jual-beli dengan harga yang tak tentu. “Bagi masyarakat yang memperjualbelikan minyak jelantah, kisaran harga jualnya pada rentang Rp 3.000-5.000 per liter,” ujar Fariz saat berbalas pesan via email pada Minggu(16/1) lalu. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, mengatakan, pemerintah masih mempertimbangkan mengenai pemanfaatan minyak jelantah menjadi biodiesel. Termasuk pengaturan larangan reproduksi minyak jelantah menjadi minyak goreng. Menurut dia, masyarakat juga perlu diedukasi mengenai pola hidup sehat dengan tidak menggunakan minyak goreng daur ulang. “Intinya harus ada edukasi kepada masyarakat untuk pola hidup sehat dengan penggunaan minyak goreng. Dengan dilakukan edukasi tersebut potensi ketersediaan minyak jelantah menjadi lebih tinggi dan harus dimanfaatkan. Apalagi di negara maju dijadikan alternatif untuk biodiesel,” ujar Oke saat dihubungi Tribun, Jumat(10/12) lalu. Pemerintah, lanjut Oke, juga saat ini terus melakukan pengawasan terhadap minyak jelantah yang marak direproduksi lagi menjadi minyak goreng konsumsi dan berbahaya bagi kesehatan. “Pastinya akan diawasi,” ujar Oke. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan pemerintah tidak membeda-bedakan bahan baku sebagai sumber energi alternatif, termasuk minyak jelantah. “Kementerian ESDM tidak membeda-bedakan asal dari bahan bakunya, apakah itu minyak nabati baru atau bekas. Yang kami atur adalah spesifikasi dari produk bahan bakar biodiesel,” kata Dadan melalui pesan Whatsapp, Kamis (20/1). Dadan juga menegaskan tidak ada hambatan menjadikan minyak jelantah menjadi sumber energi alternatif, termasuk dari aspek teknologi. Selama ini, teknologi di Indonesia untuk mengolah minyak jelantah menjadi biodiesel, masih mengandalkan ekspor ke negara-negara Uni Eropa. “Dari sisi teknis kita sudah pastikan kalau spesifikasi biodiesel sudah mempertimbangkan penggunaan minyak jelantah dan juga minyak-minyak lainnya. Jadi tidak ada masalah,” ujarnya. Direktur Bio Energi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Edi Wibowo menjelaskan alasan mengapa minyak jelantah masih sulit digunakan sebagai sumber energi alternatif. Kata dia upaya menjadikan minyak jelantah/Used Cooking Oil (UCO) sebagai sumber bahan bakar sebenarnya sudah lama diupayakan, tetapi beberapa kendala yang dihadapi antara lain dari aspek teknis dan masalah kontinuitas suplai serta rantai pasok. Pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku untuk biodiesel, dengan teknologi yang dikembangkan di Indonesia saat ini belum dapat menghasilkan biodiesel dengan spesifikasi yang dipersyaratkan untuk dicampur dengan minyak solar. Teknologi yang dapat mengkonversi minyak jelantah menjadi biodiesel dengan spesifikasi yang telah ditetapkan yaitu Kepdirjen EBTKE Nomor 189 K/10/DJE/2019 tanggal 5 Nov 2019 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel sebagai bahan bakar lain yang dipasarkan di dalam negeri, juga masih mahal dibandingkan dengan mengkonversi CPO menjadi biodiesel. “Karena terbatasnya bahan baku (minyak jelantah yang terkumpul),” kata Edi. Menurut Edi, walau minyak goreng yang telah dipakai berkali-kali tidak baik untuk kesehatan, kenyataanya masih banyak minyak jelantah dari pengguna pertama yang dimanfaatkan oleh pengguna kedua dan seterusnya, sehingga jika dijadikan sumber energi kontinuitas dan reliability bahan baku menjadi tantangan tersendiri. “Jika kedua aspek di atas terkait aspek teknis dan ketersediaan bahan baku dnegan harga terjangkau dapat dipenuhi, maka potensi minyak jelantah sebagai sumber energi akan dapat diimplementasikan,” ujarnya. Kajian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Traction Energy Asia mencatat bahwa Indonesia baru mengumpulkan 3 juta kilo liter (KL), atau hanya 18,5 persen dari total konsumsi minyak goreng sawit nasional sekitar 16,2 juta KL pada tahun 2019. Dari 3 juta KL ini, hanya sekitar 570 ribu KL yang dikonversi untuk biodiesel dan kebutuhan lainnya, sementara sisanya digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor. Belum adanya mekanisme pengumpulan minyak jelantah baik dari restoran, hotel, dan rumah tangga menyebabkan minimnya pemanfaatan minyak jelantah, menurut kajian tersebut. “Sebaran lokasi sumber minyak jelantah yang tidak simetris dengan lokasi pabrik pengolahan biodiesel, teknologi pengolahan (terutama yang dikelola oleh masyarakat) yang belum cukup efisien dan kualitas biodiesel hasil olahan minyak jelantah yang masih jauh dari spesifikasi yang ditentukan menjadi tantangan selanjutnya,” ujar Edi. Edi juga memaparkan alasan mengapa hingga saat ini belum ada insentif atau regulasi yang mengatur soal insentif terkait pengumpulan minyak jelantah. Kata Edi penyebabnya, pengumpulan minyak jelantah saat ini peruntukannya masih untuk berbagai macam kepentingan antara lain untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor. Tantangan pemanfaatan minyak jelantah dalam skala besar adalah mekanisme pengumpulan minyak jelantah yang efektif dan efisien sehingga dapat diolah menjadi bahan bakar biodiesel dengan konsep zero waste yang juga bermanfaat bagi kesehatan dan lingkungan. “Koordinasi antar K/L diperlukan untuk mewujudkan program tersebut,” ujarnya. Lalu, lanjut Edi terkait Standar Nasional Indonesia(SNI) dari minyak jelantah juga sulit didapatkan karena biodiesel yang dihasilkan dari minyak jelantah belum dapat memenuhi standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar nabati jenis biodiesel sebagai bahan bakar lain yang dipasarkan di dalam negeri sesuai Kepdirjen EBTKE No. 189 K/10/DJE/2019, karena tidak homogennya karakteristik minyak jelantah setelah digunakan untuk keperluan measak yang berbeda-beda. Hal ini yang menyebabkan biodiesel berbasis minyak jelantah yang diolah dalam skala kecil oleh masyarakat dengan teknologi yang sederhana belum dapat memenuhi kriteria standar mutu/spesifikasi yang ditetapkan.

https://www.tribunnews.com/bisnis/2022/01/24/pemerintah-perlu-serius-memaksimalkan-minyak-jelantah-sebagai-biodiesel?page=all