Program B30 Tetap Berjalan Sesuai Jalur

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Investor Daily Indonesia | Senin, 26 Oktober 2020

Program B30 Tetap Berjalan Sesuai Jalur

Asosiasi Produsen biofuel Indonesia (Aprobi) berharap program mandatori biodiesel 30% (B30) tetap berjalan sesuai jalur (on the track) hingga akhir tahun. Sebab, program tersebut bukan hanya telah berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, khususnya untuk ketahanan energi nasional, tapi juga mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) sawit petani di Tanah Air. Data APROBI menyebutkan, produksi biodiesel nasional pada Januari-Juni 2020 mencapai 4,80 juta kiloliter (kl) dan asosiasi tersebut berharap pandemi Covid-19 segera berakhir sehingga program tersebut tetap on the track, bahkan bisa memasuki babak baru dengan strategi baru. Ketua Harian APROBI Paulus Tjakrawan mengatakan, program tersebut memang membutuhkan dukungan dari pemerintah, seperti menaikkan pungutan ekspor serta pengaturan harga biodiesel dan solar agar tidak terjadi jarak. “Meskipun pada pertengahan tahun harga minyak bumi terus turun karena Covid-19 tetapi program mandatori B30 ini harus tetap dilanjutkan dan berjalan,” ujar Paulus saat berbicara dalam Fellowship Journalist and Training Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Batch II yang digelar secara daring, pekan lalu. Selama ini, neraca perdagangan migas Indonesia jarang sekali surplus karena ketergantungan terhadap impor minyak cukup tinggi. Dengan adanya kebijakan pemerintah untuk mendorong penggunaan biodiesel merupakan alternatif atau solusi yang harus tetap didorong. Paulus menuturkan, Indonesia memang merupakan produsen sawit terbesar di dunia dan merupakan sebuah fakta yang sudah diketahui. Pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan merupakan solusi yang pas untuk mengatasi masalah defisit neraca perdagangan dan tentunya untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Aprobi secara khusus mengapresiasi Presiden Jokowi yang sudah berkomitmen menjalankan program B30 bahkan B100 dan secara perlahan sudah ada titik terang yang dimulai dari B30. Apb-robi sebagai produsen biofuel membeli minyak sawit mentah (CPO) dari masyarakat dan perusahaan memproduksinya lagi menjadi FAME dan dicampurkan dengan solar, hasilnya sudah teruji dengan baik. Di sisi lain, penggunaan biodiesel juga mempengaruhi perubahan iklim dan mencegah terjadinya emisi gas rumah kaca karena biodiesel lebih ramah lingkungan. “Program mandatori B30 diproyeksikan menyerap 9,60 juta kiloliter (kl) dan program B30 juga tidak menyebabkan ketimpangan harga CPO justru bisa menjaga harga CPO lebih stabil atau dengan kata lain tidak kanibal satu sama lainnya,” ungkap Paulus. Program B30 telah menguntungkan petani karena harga tandan buah segar (TBS) bisa naik dan petani lebih sejahtera. Apabila strategi dan rencana sudah disusun dengan matang maka program B30 hingga B100 akan sukses, kapan lagi Indonesia bisa mengurangi ketergantungan minyak impor dengan memanfaatkan sawit. “Harta atau kekayaan Indonesia yaitu sawit ini harus dimanfaatkan sehingga bisa tercipta ketahanan energi nasional, jika ketahanan energi sudah diwujudkan maka anggaran negara lainnya bisa digunakan untuk pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan infrastruktur,” ujar dia.

Republika.co.id | Minggu, 25 Oktober 2020

Industri Sawit Dorong Capaian Bauran Energi

Industri sawit tak hanya menjadi penopang devisa negara saat ini. Industri sawit juga berperan penting dalam laju pertumbuhan bauran energi di Indonesia. Saat ini pemerintah menargetkan 25 persen porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi. Sejauh ini, kontribusi terbesar disumbang oleh biodiesel.  Direktur Utama (Dirut) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman menjelaskan sejak mandatori biodiesel, industri sawit sudah menyumbangkan eksistensinya dalam pasokan FAME yang merupakan campuran utama dari biodiesel. “Industri sawit punya peranan penting dalam mendorong energi baru terbarukan di Indonesia. Saat ini produk biodisel bahkan bisa menekan angka ketergantungan impor solar. Ini bisa menghemat devisa,” ujar Eddy, Ahad (23/10). BPS mencatat dengan program biodiesel sepanjang semester I, impor minyak bisa ditekan sampai 11,73 persen atau 10,33 juta ton. Nilai impor hasil minyak juga merosot dari 39,3 persen menjadi 1,98 miliar dolar AS. Meski tak bisa ditampik, program mandatory biodiesel ini tak bisa berjalan mulus tanpa peran BPDPKS. Sebab, sebenarnya program mandatory ini tak bisa sampai ke masyarakat karena persoalan harga bahan baku FAME. BPDPKS mengaku jika memang tidak ada subsidi dari pungutan ekspor yang dilakukan BPDPKS, maka harga jual biodiesel ini jauh lebih tinggi daripada solar.

Plt Kadiv Pemungutan Biaya dan CPO, Fajril Amirul menjelaskan jika program biodiesel ini dihadapkan pada solar, maka sebenarnya harga jual akan menjadi masalah. “Harga ini yang jadi masalah. Kalau gak ada BPBD lalu beban itu ke masyarakat maka gejolaknya besar,” ujar Fajril. Ketua Harian Aprobi, Paulus Tjakrawan juga mengakui para pengusaha sawit mendukung penuh program biodiesel ini. Selain memang bisa menekan angka impor, disatu sisi program ini juga bisa membantu para perusahaan sawit untuk bisa meningkatkan serapan produk hasil sawit. Ia menjabarkan bahwa kondisi pasokan saat ini surplus. Apalagi masalah pelarangan penggunaan produk sawit di beberapa negara menyebabkan kondisi produksi dalam negeri berlebih dan menyebabkan harga anjlok. “Kami tentu tak bisa menampik kondisinya saat ini pasokan sangat berlebihan. Namun dengan program ini setidaknya bisa meningkatkan serapan dalam negeri,” ujar Paulus. Paulus mencatat saat ini produksi nasional sebesar 48 juta metrik ton CPO. Padahal konsumsi dalam negeri di luar program biodiesel hanya 9 sampai 11 juta metrik ton. Dengan adanya program ini setidaknya serapan domestik bisa bertambah. “Sekarang produksi kita itu 68 juta kiloliter FAME. Padahal kita cuman pakai 15 juta. Kebutuhan dalam negeri hanya 10 juta,” ujar Paulus. Ia pun mendukung penuh upaya pemerintah untuk bisa terus mengembangkan produk biodiesel ini dengan meningkatkan komposisi FAME dalam campuran. Harapannya, maka serapan dalam negeri akan terus bertambah. Disatu sisi, angka ketergantungan impor minyak mentah juga bisa semakin rendah dan pada saatnya indonesia bisa terbebas dari ketergantungan impor minyak mentah. “Ini bisa terus dijalankan dan ditingkatkan. Setelah kami hitung dan lihat ini harus tetap jalan, Untuk kepentingan kita bersama,” ujar Paulus.

https://republika.co.id/berita/qiquwq370/industri-sawit-dorong-capaian-bauran-energi

Borneonews.co.id | Senin, 26 Oktober 2020

Begini Kata Paulus Tjakrawan Terkait Keunggulan Biodiesel

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia atau Aprobi, Paulus Tjakrawan dalam kegiatan Fellowship Journalist Batch II yang dilaksanakan secara virtual atas kerja sama Jurnalisme Profesional Untuk Bangsa atau JProf dan BPDP-KS di bawah Kementerian Keuangan pada Rabu-Kamis, 21-22 Oktober 2020 menjelaskan keunggulan biodiesel. Mulai dari keunggulan lingkungan, ketahanan energi hiingga keekonomian. “Keunggulan di bagian lingkungan, biodiesel ini sifatnya biodegradable, lebih tidak beracun dibandingkan solar, serta bebas Sulphur,” kata Paulus dalam kegiatan tersebut. Selain itu, lanjutnya, biodiesel diproduksi dari tumbuhan atau tanaman yang berkesinambungan, dalam hal ini dari kelapa sawit. Selain itu, biodiesel juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih kecil dari penggunaan solar, dan mengurangi polusi. “Tahun 2019, Biodiesel Indonesia telah berhasil mengurangi emisi dari minyak solar sebesar 45% atau setara dengan ~17,5 Juta Ton CO2 Equivalent,” tuturnya menyampaikan fakta.

Sementara keunggulan dari sisi ketahanan energi, Paulus menjelaskan bahwa biodiesel mampu mengurangi ketergantungan impor bahan bakar. Pemakaian bahan bakar di Indonesia sekitar 1,4 Juta Barel per hari, sedangkan Indonesia menghasilkan hanya 778 ribu barel per hari. Tahun 2019, produksi Biodiesel untuk domestik sebesar 6,39 Juta Kl ~ 40 juta Barel (~51 Hari Produksi Minyak Indonesia). “Dari sisi keekonomian tentu saja ini dapat mengentaskan kemiskinan dan memberikan lapangan kerja sekitar 650 ribu petani-pekerja Sawit di sektor hulu. Indonesia juga mampu menghemat devisa sekitar 50 Triliun Rupiah pada 2019 ~ 3,34 Miliar US$. Dapat diproduksi dimana saja asal ada bahan bakunya,” bebernya. Potensi lainnya, tambah dia, misalnya dari minyak kelapa seperti yang dikembangkan di Philippines, Indonesia berpotensi memiliki 2,5 juta kl per tahun atau 3,2 juta ton Kopra dengan rendemen sekitar 68 persen.

https://www.borneonews.co.id/berita/190353-begini-kata-paulus-tjakrawan-terkait-keunggulan-biodiesel

Borneonews.co.id | Minggu, 25 Oktober 2020

Implementasi Biodiesel oleh Pemerintah Indonesia Sudah Capai B30, Industri Kelapa Sawit Makin Berjaya

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia atau Aprobi, Paulus Tjakrawan mengatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam bauran energi, program biodiesel dan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca kian diseriusi. Buktinya, Indonesia telah meningkatkan penggunaan Energi Terbarukan pada bauran Energi Indonesia dari 6% di tahun 2013 sampai 23% pada tahun 2025, dan 31% di tahun 2050 mendatang. Saat ini, di tahun 2020, dalam rangka meningkatkan konsumsi minyak kelapa sawit domestik, implementasi biodiesel oleh pemerintah Indonesia sudah mencapai tahap B30. Paulus menjelaskan bahwa B30 adalah istilah yang mengacu pada campuran bahan bakar dengan kandungan 30 persen minyak nabati dan 70 persen minyak bumi. Angka 30 pada “B20” menunjukkan jumlah minyak nabati yang terkandung dalam campuran biodiesel tersebut. Hal ini dijelaskannya dalam kegiatan Fellowship Journalist Batch II yang dilaksanakan secara virtual atas kerjasama Jurnalisme Profesional Untuk Bangsa atau JProf dan BPDP-KS di bawah Kementerian Keuangan pada Rabu-Kamis, 21-22 Oktober 2020. “Penyediaan energi yang bersih dan terjangkau telah menjadi komitmen dan salah satu tujuan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals/SDGs di Indonesia,” tuturnya. Karena itu, tidak heran jika Indonesia berkomitmen menyediakan energi bersih dan terjangkau sebagai bagian dari amanat Kebijakan Energi Nasional, yakni komitmen mengurangi konsumsi minyak dan memperluas penggunaan energi terbarukan. “Indonesia, Nationally Determined Contributions pada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNFCCC berkomitmen meningkatkan energi baru dan terbarukan atau New Renewable Energy dari 26 persen di tahun 2020 ini menjadi 29 persen di tahun 2030 mendatang,” terangnya lagi.

https://www.borneonews.co.id/berita/190351-implementasi-biodiesel-oleh-pemerintah-indonesia-sudah-capai-b30-industri-kelapa-sawit-makin-berjaya

Kaltim.prokal.co | Sabtu, 24 Oktober 2020

B30 Pangkas Impor Solar Rp 45 T, Petani Sejahtera

KOMITMEN Pertamina dalam membantu pemerintah mengurangi defisit neraca perdagangan begitu besar. Di tengah penurunan harga minyak dunia yang berada di level USD 40-45 per barel, mereka tetap konsisten menerapkan mandatori biodiesel 30 persen (B30) atau mencampur bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan biodiesel sebanyak 30 persen. Penerapan B30 ini pada 2020 diprediksi mampu mengurangi impor solar sebesar 8-9 juta kiloliter. Jika dikalikan dengan harga indeks pasar (HIP) solar pada Maret 2020 sebesar Rp 5.630 per liter, maka nilai penghematan impor solar bisa mencapai Rp 45 triliun. Sepanjang Januari-Juli 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, nilai impor migas Indonesia turun 32,85 persen dari USD 12,64 juta dengan volume 23,17 juta ton menjadi USD 8,48 juta dengan volume 22,22 juta ton. Direktur Utama Nicke Widyawati menuturkan, program B30 tahun lalu tidak hanya mengurangi impor solar, tapi juga menghemat devisa negara hingga 20-30 persen. “Sebelum B30, kita sudah menerapkan B20. Dari data tahun 2018-2019, ada penurunan biaya sekitar 4 persen. Jadi, setiap tambahan FAME (fatty acid methyl ester) sebesar 10 persen ke solar, ada penurunan biaya produksi 2 persen,” ujarnya seperti dikutip dari keterangan resmi. Secara nasional, tahun ini Pertamina memiliki target penyaluran biosolar atau B30 sebesar 15,076 juta kiloliter. Dan per September sudah terealisasi sebesar 10,182 juta kiloliter. Untuk wilayah Kalimantan sendiri, setiap bulannya perseroan pelat merah ini menyalurkan 375.444 kiloliter. “Ini kami distribusikan ke seluruh SPBU atau retail dan konsumsi industri di Kalimantan,” tambah Manajer Komunikasi, Relasi & CSR Regional Kalimantan Roberth MV Dumatubun, Sabtu (17/10). Adapun untuk Kaltim, distribusi B30 per September sudah sebesar 168.060 kiloliter dari target sebesar 257.497 kiloliter. Dengan konsumsi terbesar berada di Samarinda mencapai 39.160 kiloliter. Robert juga memastikan seluruh solar yang beredar di masyarakat sudah mengandung biodiesel. Selama menjalankan program tersebut, Roberth mengaku dihadapkan dengan beberapa tantangan. Salah satunya mengatasi sifat biodiesel yang bisa membeku pada suhu dingin. Sehingga diperlukan tempat penyimpanan khusus agar tidak merusak kualitas BBM yang akan disalurkan ke masyarakat. Pun saat melakukan pencampuran. Harus dilakukan jelang pendistribusian. “Bahkan kadang kami mencampurnya di moda transportasi langsung. Bisa di mobil tangki atau kalau pengirimannya menggunakan kapal ya kami blending di kapal,” bebernya. Dia memastikan program tersebut tetap akan dijalankan secara maksimal karena menjadi salah satu alternatif mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang nantinya pasti habis.

Melihat permintaan BBM yang terus bertambah, pihaknya juga berencana memperbesar kapasitas penyimpanan. Membangun dua tangki untuk solar di Samarinda dan membuka lahan baru di Tanjung Batu, di kawasan Teluk Balikpapan. Penambahan ini dilakukan sebagai antisipasi peningkatan jumlah produksi seiring perluasan kilang minyak Balikpapan dan proyek perpindahan ibu kota negara (IKN) baru. “Selain perpindahan IKN, permintaan BBM setiap tahunnya juga pasti meningkat sejalan dengan tumbuhnya jumlah penduduk, jumlah kendaraan dan investasi yang masuk ke Kaltim. Semakin banyak investasi, maka akan semakin banyak industri yang akan terbangun. Semuanya ini membutuhkan suplai BBM,” tuturnya. Terkait suplai FAME sebagai bahan baku B30, pihaknya mencatat belum pernah ada gangguan karena Pertamina pusat telah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan kelapa sawit, salah satunya PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. “Kami sudah menggandeng banyak perusahaan, jadi untuk suplai tidak pernah ada masalah. Apalagi produksi kelapa sawit kita juga besar,” tuturnya. Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menambahkan, penerapan B30 memiliki multiplier effect. Tak hanya mengurangi defisit neraca perdagangan, tapi juga bisa membantu pemerintah menurunkan emisi karbon dan membuat harga kelapa sawit semakin kuat yang ujung-ujungnya menguntungkan petani kelapa sawit dan menyejahterakan masyarakat. “Saat ini masyarakat yang menggantungkan hidup di industri sawit mencapai 16 juta orang dan sekitar 7 juta orang merupakan petani. Artinya, jika B30 ini terus berjalan dan ditingkatkan, kesejahteraan petani akan terjamin,” ungkapnya. Paulus mengatakan, tahun lalu produksi FAME di Indonesia sebesar 6,39 juta kiloliter atau setara 40 juta barel atau 51 hari produksi minyak Indonesia. Sementara kapasitas terpasang produksi FAME dari anggota Aprobi sebanyak 12 juta kiloliter yang dihasilkan dari 19 pabrik. Artinya, produksi masih bisa ditingkatkan kurang lebih 6 juta kiloliter lagi untuk memaksimalkan kapasitas yang terpasang. “Jadi kalau B30 mau dinaikkan menjadi B40, hanya akan ada tambahan sekitar 3 juta kiloliter menjadi 9 juta kiloliter untuk konsumsi dalam negeri. Jadi masih aman dan mencukupi. Tidak perlu menambah kebun lagi dan mematahkan anggapan bahwa kelapa sawit merusak lingkungan,” tegasnya. Penggunaan energi baru terbarukan ini juga membuktikan bahwa Indonesia turut menjaga lingkungan dengan mengurangi emisi karbon. Dia juga mengapresiasi keseriusan Pertamina dengan terus melakukan pengembangan menjadi B40 dan menemukan D100 pada 16 Agustus lalu. D100 ini dinilai lebih ramah lingkungan karena gas karbon dioksida yang dilepaskan lebih sedikit dari B100 atau FAME. “B30 lebih bersih dibandingkan bahan bakar minyak murni karena tidak mengandung sulfur. Dan 2019 lalu biodiesel berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 17,5 juta ton CO2. Selain itu, program B30 ditargetkan bisa menyerap tenaga kerja tambahan hingga 1,29 juta orang,” bebernya.

Yang menjadi tantangan besar, tambah Paulus, adalah harga biodiesel yang justru lebih mahal ketimbang solar. HIP FAME pada Juni lalu tercatat sebesar Rp 6.941 per liter. Ini tentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi Pertamina untuk terus menjalankan B30. “Namun demi kepentingan perekonomian negara, ini harus dilakukan. Ketimbang impor solar dan uangnya keluar, lebih baik mengolah biodiesel yang mahal tapi uangnya berputar di dalam negeri. Dari perputaran uang itu, perekonomian nasional jauh lebih kuat,” terangnya.   Ditanya mengenai respons masyarakat dan industri, Paulus mengatakan, mereka menyambut positif adanya bahan bakar ramah lingkungan ini. “Saat ini hanya Freeport yang belum menggunakan karena mereka beroperasi di ketinggian dengan suhu yang dingin. Takutnya kalau menggunakan B30 terjadi pembekuan. Alutsista TNI juga belum. Tapi untuk industri lain sudah pakai semuanya,” terang dia. Katenun, manajer Servis PT Mandau Berlian Sejati, diler resmi Mitsubishi di Balikpapan menuturkan, saat ini pihaknya sudah melakukan adaptasi dengan B30. Seperti Mitsubishi Fuso yang sudah diberi penambahan filter. Untuk menyaring kandungan air dari biodiesel agar mesin lebih aman dan tidak masuk ke sistem pembakaran. “Yang awalnya satu filter, kini kami tambah jadi dua. Yang sebelumnya dua ditambah jadi tiga. Kami juga sudah melakukan trial untuk permasalahan ini dan ada training. Jadi kami sudah mengikuti perkembangan dan siap mendukung program tersebut,” tuturnya.

Dia mengungkapkan, untuk Triton, pihaknya memberi saran kepada konsumen menambah double filter kit. Karena hingga sekarang produksi Triton masih pakai satu filter. Penambahan filter juga tidak terlalu mahal, hanya berkisar Rp 700 ribu. “Kalau tidak melakukan penambahan, konsekuensinya konsumen harus lebih sering mengganti filter. Dari awalnya per 10.000 kilometer, jadi setengahnya,” beber dia. Jika tidak ada penambahan, tambah Katenun, penggunaan biodiesel berpotensi merusak beberapa komponen mesin di sistem pembakaran. Misalnya injector dan supply pump. Jika masuk air ke komponen tersebut makan akan mengakibatkan korosi dan membuat kinerjanya tidak maksimal. Sejauh ini, Katenun belum pernah menerima keluhan dari pelanggan terkait B30 karena dari awal sudah memberi edukasi. Terkadang justru masyarakat yang lebih dulu konsultasi. “Karena mereka memang harus menyesuaikan. Kalau perusahaan besar, mereka sudah melakukan antisipasi dari awal karena kualitas BBM di tambang kadang jelek. Tercampur air embun karena terlalu lama disimpan atau terlalu lama pengiriman,” terangnya.

Corporate Secretary PT Transkon Jaya Tbk R Alexander J Syauta menuturkan, pihaknya siap mendukung perubahan yang mendukung ke arah kebaikan yang telah dilakukan pemerintah. Perusahaan yang melantai di bursa saham awal tahun ini juga terus berkoordinasi dengan pihak diler untuk meningkatkan kinerja mesin sembari melakukan perubahan dalam sistem perawatan internal. “Kami telah menggunakan filter terbaik yang dapat mendukung dan sesuai dengan B30. Juga mengubah prosedur perawatan sehingga bisa memfasilitasi perubahan pada kinerja mesin sebagai akibat dari penggunaan B30,” tutur Syauta. Hal itu memang harus dilakukan Transkon Jaya karena mereka bergerak di bidang penyewaan kendaraan dan memiliki sekitar 5.000 mobil, tersebar di berbagai tambang di seluruh Indonesia. Bahkan, kini mereka baru saja mendapatkan beberapa proyek baru di Sulawesi. “Kami terus melakukan ekspansi pasca-IPO. Jadi, kami harus menyesuaikan diri dengan program pemerintah, termasuk B30,” sambungnya. Petani Kelapa Sawit di Kaliorang, Kutai Timur, Imam Munir Maliki mengungkapkan, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sepanjang tahun ini relatif stabil dibandingkan dua tahun lalu. Yakni, berkisar Rp 1.550 per kilogram. Dengan memiliki lahan seluas 6 hektare, dia setiap bulannya mampu mendapat penghasilan Rp 20 juta. “Ini cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami,” ujarnya. Dia berharap, program B30 bisa diteruskan, bahkan kalau bisa kandungan biodieselnya ditambah. Supaya harga TBS terus terjaga dan pendapatannya stabil. “Selama ini, saya mengantar sendiri buah ke perusahaan pakai mobil triton. Selama ini tidak pernah mengalami kendala di mesin, mobil tetap beroperasi normal,” pungkasnya.

https://kaltim.prokal.co/read/news/378451-b30-pangkas-impor-solar-rp-45-t-petani-sejahtera

BERITA BIOFUEL

Pikiran-rakyat.com | Sabtu, 24 Oktober 2020

Kilang Pertamina Cilacap Kembangkan Green Avtur berbahan baku Minyak Kelapa Sawit

Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap Jawa Tengah, saat ini sedang mengembangan produk Avtur ramah lingkungan berbahan dasar minyak sawit, “Green Avtur” Uji coba Green Avtur yang pertama dengan Co-Processing injeksi 3 persen minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) masih berlangsung. Saat ini CPO yang sedang dalam proses lebih lanjut untuk menghilangkan getah, impurities dan baunya menjadi RBDPO (Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil) di kilang Cilacap. “Ini adalah bagian dari roadmap pengembangan bio refinery Pertamina dalam rangka mewujudkan green energy di Indonesia,”kata Hatim Ilwan, Unit Manager Communication, Relations, & CSR Pertamina RU IV Cilacap, Sabtu 24 Oktober 2020. Diharapkan untuk fase 1, uji coba Green Avtur pada Desember 2020. Meski secara komersial belum akan dijual,Green Avtur  tetap diuji coba untuk menguji kualitasnya.  “Untuk fase kedua, ditargetkan akhir 2020 atau awal 2021. Komitmen kami seluruh produk mengarah pada efisiensi dan ramah lingkungan, setara Euro 4 atau Euro 3. Ini adalah bagian dari visi Pertamina  menuju ‘To be Digital & World Class Refinery’pada ada 2028. Hal ini harus didukung keberadaan kilang yang efisien dan ramah lingkungan, baik dari sisi operasional maupun produknya,” jelas Hatim. Pertamina RU IV Cilacap saat ini menjadi produsen BBM jenis Avtur terbesar di Indonesia. Sepanjang 2020, produksi tertinggi tercatat 1.852 Mille barrel (MB)/ ribu barrel terjadi pada bulan Januari. Sedangkan dalam 5 tahun terakhir, produksi tertinggi terjadi pada Agustus 2019, sebesar 1.895 MB. Selain itu Pertamina RU IV Cilacap untuk pertama kalinya dalam sejarah berhasil mengekspor Avtur sebesar 400 MB pada Juli 2019. “Hal ini Ini semakin menegaskan posisi Pertamina RU IV sebagai kilang paling besar dan strategis di Indonesia,” kata Hatim. Menurutnya sebelum adanya konversi minyak tanah ke LPG, Avtur dijual dalam bentuk kerosene atau minyak tanah dengan distribusinya melalui jalur laut,” katanya.

https://portalpurwokerto.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-115867919/kilang-pertamina-cilacap-kembangkan-green-avtur-berbahan-baku-minyak-kelapa-sawit

Wartaekonomi.co.id | Jum’at, 23 Oktober 2020

Green Building Pertamina Cilacap Hemat Rp 230 Juta dalam 4 Tahun

Pertamina terus berupaya melakukan efisiensi energi yang ramah lingkungan baik di dalam operasional kilang maupun aktivitas perusahaan sehari-hari. Salah satunya di gedung head office (HO) Pertamina RU IV. Gedung yang terletak di Jalan MT Haryono 77, Lomanis, Cilacap yang dibangun sejak 2016 kemudian ditempati sejak tahun 2017 ini mengusung konsep green building dan telah membukukan sejumlah penghematan. Unit Manager Communication, Relations, & CSR Pertamina RU IV Cilacap, Hatim Ilwan mengatakan gedung yang dibangun dengan konsep green building, energy saving building, dan minimalis ini sesuai dengan visi misi perusahaan. “Gedung ini dibangun sebagai tindak lanjut standard IRI (International Risk Insurance) terkait jarak gedung perkantoran terhadap tanki produk, sehingga untuk mendapatkan lokasi kerja yang aman dan nyaman,” ujar Hatim dalam keterangan tertulis, Jumat (23/10/2020). Gedung HO memiliki luas area 7.257 m² dengan ketinggian 4 lantai yang meliputi lantai dasar (resepsionis, ruang tender, area bisnis, ruang poliklinik, laktasi, dan lain-lain) serta lantai 1-4 sebagai ruang kerja dan lantai atap dengan luas keseluruhan gedung 17.858,59 m². Hatim mengatakan gedung ini menerapkan energi terbarukan berupa solar cell atau photovoltaic untuk penyediaan kebutuhan penerangan. Kapasitasnya 200 watt per cell dengan total kapasitas 80 kWp dan dipasang di atas atap gedung. Total kapasitas energi terbarukan yang dipasang 24.090kWh per tahun. Konsumsi bulanan gedung ini 13.700 kWh, sedangkan energi terbarukan yang diproduksi 2.200 kWh/bulan. Persentase penggantian atau efisiensi penggunaan energi terbarukan guna menyediakan tenaga listrik di gedung ini adalah 15%. Kondisi ini membuat gedung HP mampu menghemat daya listrik 27.520 kWh/tahun atau senilai Rp 57,7 juta/tahun. “Dalam kurun 4 tahun gedung HO ini ditempati, penghematannya lebih dari Rp 230 juta,” imbuh Hatim.

Pertamina juga melakukan pemanfaatan efisiensi air berupa penerapan water fixture dengan kapasitas tidak melebihi standar kemampuan maksimal keluaran air sehingga terjadi penghematan pemanfaatan air. “Daur ulang pemanfaatan air dari grey water recovery di gedung HO untuk beberapa keperluan seperti penyiraman tanaman di luar ruangan, pembilasan toilet, penyemprotan jalur parkir, dan hidran serta mengumpulkan dan memanfaatkan kembali air hujan rainwater harvesting,” ujar Hatim. Selain itu, pemanfaatan air nonminum untuk irigasi sebanyak 7 m³/hari dengan penghematan Rp 17,6 juta/tahun. Air irigasi berasal dari sistem air daur ulang dan panen air hujan dengan asumsi harga di Cilacap Rp 7.000 per m³. “Catatan lain, pemanfaatan air hujan sebagai air tawar dengan memanen air hujan di tangki air akan menurunkan 70% konsumsi air minum. Sedangkan air yang tidak dapat diminum untuk menara pendingin atau keperluan lainnya dengan kemampuan kapasitas daur ulang 220 m³, air akan digunakan untuk pembilasan, penyemprotan tempat parkir dan hidran,” sambung Hatim lebih lanjut. Di bidang perlindungan lingkungan, Pertamina RU IV juga menggunakan konstruksi berkelanjutan. Material yang digunakan dalam HO diperoleh dari proses daur ulang seperti material batang baja atau tulangan baja untuk beton yang disediakan dari Gunung Garuda pada perusahaan baja. “Kami juga melakukan reboisasi dan konservasi tanaman, berupa penanaman berbagai jenis tumbuhan seperti pohon, semak, semak, dan rumput. Tanaman yang ditanam akan menurunkan suhu di sekitar gedung,” katanya. Berbagai keberhasilan ini membuat Pertamina RU IV diganjar penghargaan Subroto Award 2019 pada kategori Efisiensi Energi Nasional. “Prestasi ini tentu bukan untuk jumawa, tapi sepenuhnya kami dedikasikan untuk efisiensi energi yang ramah lingkungan. Maka pengembangannya terus kami lakukan, termasuk pada produk-produk keluaran Pertamina yang berorientasi pada green energy,” pungkas Hatim.

https://finance.detik.com/energi/d-5225694/green-building-pertamina-cilacap-hemat-rp-230-juta-dalam-4-tahun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *