Tiru Indonesia, Negara-Negara Ini Ikut Campur Solar Dan Minyak Sawit
Solopos.com | Senin, 22 Juni 2020
Tiru Indonesia, Negara-Negara Ini Ikut Campur Solar Dan Minyak Sawit
(Kebijakan solar campur minyak sawit ini kelanjutan Inpres No 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024)
Sejumlah negara juga mulai memanfaatkan biodiesel atau solar campur minyak sawit. Mereka ikut menguji coba biodiesel seperti Indonesia. Indonesia mulai menerapkan B30 atau 30% biodiesel dan 70% solar mulai 2020. Negara tetangga, Malaysia, juga termasuk produsen sawit sudah memulai kebijakan B20 seperti yang dilakukan Indonesia. Setelah itu ada, Vietnam, Thailand, dan negara di Amerika Latin, Kolombia. “Kolumbia sekarang sedang giat menanam sawit,” jelas Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdalifah Machmud di Jakarta sebagailama dilansir dari jpp.go.id, beberapa waktu lalu. Banyaknya negara yang mulai menerapkan kebijakan solar campur minyak sawit membuat Musdalifah optimistis masa depan kelapa sawit Indonesia akan semakin cerah. Saat ini Indonesia merupakan negara terbesar penghasil sawit dengan produksi sekitar 45 juta ton. Indonesia juga sebagai eksportir terbesar. ”Negeri kita sangat cocok untuk menanam sawit. Dengan pendidikan sebagian besar masyarakat cocok untuk mengelola sawit. Banyak petani tertolong hidupnya karena sawit,” kata Musdalifah. Dia mengklaim semua kebun sawit di Indonesia kelola dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan. Di Indonesia, 49 persen lahan sawit merupakan milik masyarakat. Pemanfaatan sawit untuk biodiesel telah menghemat devisa untuk impor solar cukup signifikan. Lewat B20, minyak sawit yang campur solar berhasil menggantikan impor sebesar 3,5 juta kiloliter. ”Saat kita mengimplentasikan B30, membutuhkan sawit sedikitnya 6 juta ton. Jadi ini betul-betul sangat luar biasa, untuk mengurangi impor solar,” kata dia. Kementerian Pertanian (Kementan) sudah mengalokasikan dana APBN untuk pendaftaran perkebunan di 14 provinsi. Direktur Pengolahan dan Pemasaran Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan Kementan Dedi Junaedi menyatakan Indonesia sudah menjadi konsumen terbesar minyak sawit, selain juga sebagai produsen minyak sawit terbesar. ”Kendala berikutnya yang dihadapi adalah masalah kelembagaan. Ke depannya kita akan kembangkan dalam bentuk koperasi-koperasi sawit mandiri. Sedang disusun juga rancangan peraturan pemerintah penyelesaian kawasan kebun di dalam hutan,” ulas Dedi.
Petani Swadaya
Menurut Dedi, yang dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan petani kelapa sawit adalah meningkatkan produktivitas di mana 30 persen kepemilikan oleh petani swadaya masih jauh dari target.”Dulu, kelapa sawit banyak dikelola oleh perusahaan-perusahaan. Tapi saat ini banyak perkebunan mandiri dan swadaya yang dikelola langsung oleh para petani. Pemerintah saat ini memberikan perhatian khusus kepada para petani yang menggarap perkebunan kelapa sawit, salah satunya dengan memberikan pembinaan, benih dan bibit unggul,” papar Dedi.Menurut Dedi, pendampingan dan perhatian memang sangat dibutuhkan oleh para petani. Sekarang perhatian itu diberikan kepada petani plasma, tapi ke depannya akan diberikan juga kepada seluruh petani tanpa membeda-bedakan, salah satunya melalui sistem online.”Mudah-mudahan di tahun 2020 kita sudah bisa tancap gas dengan penanaman benih unggul sehingga produktivitas para petani terus meningkat hingga minimal mencapai 6 juta ton. Pada saat program penanaman belum menghasilkan, di sela-sela itu ditanami jagung.” kata dia.Kebijakan solar campur minyak sawit ini kelanjutan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024 (RAN-KSB).Inpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 22 November 2019 dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebunan, penyelesaian status, dan legalisasi lahan.Inpres itu juga untuk pemanfaatan kelapa sawit sebagai energi baru terbarukan dan meningkatkan diplomasi untuk mencapai perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, serta mempercepat tercapainya perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan.
Tempo.co | Sabtu, 20 Juni 2020
No Losses from Bioenergy
For the sake of B30 project, the government is to inject Rp2.78 trillion into the Oil Palm Plantation Fund Management Agency. Most of these management funds will go to large companies. THE Covid-19 pandemic has turned out to be a magical mantra for any every possible need. As part of the National Economic Recovery program, the government is injecting Rp2.78 trillion into the Oil Palm Plantation Fund Management Agency (BPDPKS). These funds are to cover the deficits of companies producing fatty acid methyl esters (FAME) for the production of B30 diesel fuel. B30 biodiesel is produced using a combination of 70 percent diesel fuel and 30 percent FAME. This cash injection from state budget funds is simply an easy way out because the government lacks the courage to use other methods that make more sense. The deficit arose because the price of diesel fuel continues to fall, while the price of palm oil has remained stable. Because the price of B30 is set at Rp5,150, the biofuel producers have suffered losses. The difference between the market selling price for crude palm oil and the price set for B30 is widening. So far, the difference has been covered by the BPDPKS. Based on an audit carried out by the Supreme Audit Agency for a particular purpose, from 2015 to 2017 the BPDPKS subsidized the B30 biodiesel program to the tune of Rp21.7 trillion or 96.8 percent of the total funds it paid out. The remainder was for the replanting of smallholders’ plantations. However, the B30 program is not on the list of recipients of funds from the BPDPKS.
Established by President Joko Widodo five years ago, the BPDPKS is a public service body under the coordinating ministry for the economy. It manages the funds resulting from the US$50-per-ton levy on exports of crude palm oil. Its main aim is to promote sustainable oil palm plantations. In 2016, the Corruption Eradication Commission stated that there was no legal basis for the use of these plantation funds for subsidies. Recently, the BPDPKS has been thrown into confusion because the collapse of oil prices triggered a fall in the diesel fuel market index price. Since the gap between diesel fuel price and the biodiesel price has increased significantly, the payments to BBN producers have grown enormously. The problems of the BPDKS have been made worse because, for almost half a year, it has not received any income because the price of crude palm oil has fallen below the threshold at which export levies are collected. Previously, the government targeted BBN production at 9.59 million kiloliters. But the Covid-19 pandemic led to major problems for many industry sectors and the impact was a decline in fuel consumption. This is why the government reduced the target to 7.83 million kiloliters. This was then used as the reason for the injection to the BPDPKS. Even this is not enough to cover the Rp3.54 trillion BPDPKS deficit. At first glance, this reasoning seems to make sense. But the provision of subsidies seems ridiculous because the government’s coffers are in a perilous state. The funding to deal with the Covid-19 crisis has already reached Rp405 trillion – which was not included in the 2020 state budget. On top of this, there is something wrong with the payment of these funds. These funds were levied from oil palm companies and are now being returned to them through their subsidiaries that produce BBN. Meanwhile, smallholders continue to suffer. The government does have another option, namely increasing the price of biodiesel, which has remained at Rp5,150 per liter since 2016. It is certain that this option has been avoided because it would be unpopular. Another option is to put the brakes on the biodiesel program. What is the point in continuing this program if in the end it only burdens state finances? Furthermore, has the government considered whether the savings from the fall in imports of diesel fuel are as large as the subsidies for BBN producers? It looks as if the government has been outsmarted by a small number of oil palm moguls.
Harianaceh.co.id | Minggu, 21 Juni 2020
Indonesia Komitmen Wujudkan Ekonomi Berkelanjutan
Sebagai rangkaian dari pertemuan tahunan G20 tahun 2020 di bawah Presidensi Arab Saudi, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengundang seluruh ahli di bidang energi anggota G20 untuk mengikuti virtual meeting the G20 Workshop on the Circular Carbon Economy (CCE) Guide, akhir pekan lalu. Indonesia diwakili oleh Staf Ahli Menteri Bidang Perencanaan Strategis Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda Priaadi. Program CCE diusulkan oleh Pemerintah Saudi sebagai pendekatan dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan. Dalam pertemuan ini, Yudo menyampaikan, Indonesia berkomitmen mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Ketersediaan energi yang terjangkau dan ramah lingkungan menjadi prasyaratnya. “Dari hulu sampai hilir sektor energi, kami mulai mempertimbangkan empat aspek CCE melalui pengurangan emisi, efisiensi energi, dan pengembangan energi terbarukan khususnya bioenergi yang menjadi kebijakan kunci Indonesia,” kata Yudo melalui keterangan kepara Republika, akhir pekan ini. Ia juga menjelaskan, energi terbarukan akan menjadi kunci penyediaan bahan bakar ke depan. Saat ini Indonesia tercatat sebagai produsen listrik dari panas bumi terbesar kedua di dunia dengan kapasitas terpasang 2,1 GW. Selain penerapan kebijakan B30, Indonesia saat ini tengah menyiapkan pembangunan kilang hijau (green refineries) berbahan baku minyak sawit. Indonesia berhasil menguasai teknologi pembuatan katalis lokal hasil kerja sama PT Pertamina dengan ITB dan telah diujicobakan di beberapa kilang dengan system co-processing. “Tiap negara melakukan upaya masing-masing untuk melaksanakan CCE dan akan mempercepat tujuan apabila negara-negara G20 berkolaborasi secara global,” kata Yudo.
Duta.co | Minggu, 21 Juni 2020
Nur Huda Sulap Migor Bekas jadi Energi Alternatif Biodiesel
Nur Huda warga Desa Kemuning dicap warga kampung nya sebagai penjual minyak goreng bekas, sampai disebut orang orang melanggar hokum membuat nama Huda Jelek. Tapi siapa sangka sisa minyak goreng atau jelantah yang sering kita anggap limbah dan dibuang begitu saja, ternyata bisa diolah menjadi biodiesel. Ditangan pemuda kreatif asal Kecamatan Tarik, Sidoarjo. Ditangan, Nur Huda (30), Warga Desa Kemuning, Kecamatan Tarik. Minyak bekas pengorengan bisa menghasilkan pundi-pundi uang. “Ide awal saya usaha supplier minyak jelantah ini berawal dari Bapak saya. Yang mengatakan saat itu di tahun 2015. Lalu saya belajar dan mencari info bagaimana mendapatkan minyak jelantah dalam jumlah banyak. Lalu kemudian saya jual kembali,” Kata Nur Huda, (21/6). Pria yang mengaku sebagai karyawan swasta di perusahaan daerah Warugunung Surabaya. Biasa melakukan pengumpulan minyak jelantah dari restoran, home industri dari berbagai tempat di Jawa Timur. Setelah selesai bekerja dia hunting mencari minyak bekas pengorengan.
“Biasanya saya ambil minyak jelantah dari restoran, home industri pengorengan seperti di Balongbendo, Mojokerto, Kediri, dan di Tulungagung perusahaan kacang sanghai. Awal mula pengambilan perusahan atau home induatri yang mempunyai minyak jelantah selalu bilang untuk apa. Lalu saya jelaskan untuk bahan baku Biodiesel,” Ujar Nur Huda. Dikala hampir semua masyarakat terkena dampak covid-19 yang mengakibatkan ekonomi lesu. Nur Huda mengaku dalam sebulan dia mendapatkan penghasilan rata-rata Rp 10-15 Juta rupiah. Bapak satu anak lulusan SMK YPM Tarik, ini bisa menghasilkan pundi-pundi uang. Setelah berhasil kerjasama dengan salah satu perusahaan Dari hasil penjualan minyak jelantah ke PT Delta Hijau Abadi (DHA) di daerah Surabaya yang menggelolah minyak jelantah menjadi bahan baku Biodiesel. “Sebagai supplier, satu minggu saya bisa kirim 2 ton minyak jelantah. Harga jual per satu ton 5 juta. Rata-rata penghasilan saya setelah dipotong biaya produksi antara 10-15 juta,” lanjut Nur Huda. Nur Huda mengaku juga seringkali bekerjasama dengan Ibu-Ibu PKK di daerah Mojokerto. Dalam sosialisasinya dia mengatakan jangan buang minyak goreng bekas ke sungai atau ke tanah akan menyumbat saluran air sehingga mencemari lingkungan. Kerjasama yang dia lakukan yakni membeli minyak goreng bekas dari Seharga Rp 4000/ per 1,5 Liter botol minuman. “Alhamdullilah dengan banyaknya respon dari Ibu2 PKK yang peduli tidak mencemari lingkungan dan mengumpulkan untuk dijual kembali. Setidaknya kita membantu perekonomian mereka,” pungkas Nur Huda.
Suarakarya.id | Jum’at, 19 Juni 2020
B30 Layak Lanjut Demi Pemulihan Ekonomi Paska Covid-19
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Sri Adiningsih mengatakan mandatori B30 merupakan program prioritas nasional sehingga perlu diteruskan untuk penyelamatan dan pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Sri Adiningsih dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (18/6/2020), memaklumi kondisi saat ini sangat berat, namun pemerintah telah bekerja keras untuk mengatasi pandemi Covid-19, dampak yang ditimbulkan, dan pemulihan ekonominya. Jika terjadi krisis seperti saat ini yang perlu dilakukan adalah penyesuaian-penyesuaian terhadap program pembangunan yang sudah berjalan, sehingga semua pemangku kepentingan yang terkait program B30 sebaiknya berbagi peran agar program ini tetap bisa dilaksanakan. “Misalnya saja, dunia usaha harus merelakan keuntungannya dikurangi seiring dengan meningkatnya pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya, per 1 Juni lalu,” katanya. Sementara itu, produsen biodiesel harus melakukan efisiensi supaya harga produk yang dihasilkan bisa lebih kompetitif. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2,78 triliun kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk keberlanjutan program ini. Menurut Sri Adiningsih, pengalokasian anggaran negara tersebut tidak perlu dipersoalkan mengingat B30 yang merupakan bagian dari program energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) ini di awal-awal pelaksanaannya memang membutuhkan biaya yang tidak murah. “Di mana saja memang begitu. Brasil, Jerman dan di negara-negara yang akhirnya memberlakukan EBTKE, di awal-awalnya semuanya juga melakukan subsidi. Jadi, program ini harus tetap dilaksanakan walaupun saat ini harga solar lebih murah dibandingkan dengan biodiesel,” katanya. Program EBTKE itu, lanjutnya, ke depan menjadi keharusan, karena tidak mungkin terus-terusan mengandalkan minyak bumi dan batu bara. Sebaliknya Indonesia beruntung memiliki sawit melimpah yang menjadi resources untuk energi.
Dongkrak Harga TBS
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat MP Manurung mengatakan program B30 mampu menyelamatkan harga tandan buah segar (TBS) petani. Dikatakannya, rata-rata harga TBS sejak Februari-Mei 2020 lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, padahal di tahun ini terjadi pandemi Covid-19 yang menurunkan perekonomian dunia. Gulat mengatakan, harga TBS pada periode Februari-Mei 2020 relatif stabil di kisaran Rp1.600-Rp1.800/kg sementara pada periode yang sama tahun lalu di kisaran Rp1.100/kg bahkan ada yang sampai di bawah Rp1.000. “Stabilnya harga TBS di angka yang menguntungkan petani ini dipicu oleh implementasi B30. Pasalnya, industri biodiesel per tahun membutuhkan sekitar 7,8 juta ton CPO,” katanya. Selain itu, tambahnya, stabilnya harga TBS di tingkat yang menguntungkan petani tersebut juga dipicu oleh kebijakan Pemerintah Malaysia yang memberlakukan lockdown akibatnya sebagai produsen CPO nomor dua setelah Indonesia, negara itu tidak bisa melakukan ekspor. Pemicu lainnya menurut dia, adanya tambahan permintaan dari industri sanitasi dunia sejak pandemi Covid-19, sehingga pemanfaatan CPO untuk deterjen dan produk sanitasi lainnya, meningkat hingga 3,5 persen untuk pengiriman ke seluruh dunia.