Wacana Campuran Pertamax & Bioetanol Perlu Insentif?

| Berita
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Bisnis.com | Sabtu, 20 Mei 2023

Wacana Campuran Pertamax & Bioetanol Perlu Insentif?

BPH Migas mendorong pemerintah untuk segera mengimplementasikan kebijakan bauran bahan bakar nabati (BBN) bioetanol 5 persen dengan bahan bakar minyak (BBM) RON 92 alias Pertamax tahun ini. Pemerintah juga diharapkan memberi kepastian harga pasar yang menarik bagi pengusaha. Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan implementasi program E5 itu diharapkan dapat menjadi sinyal positif bagi investasi serta pengembangan bahan baku bioetanol sebagai bahan bakar pendamping Pertamax. Khususnya di tengah momentum transisi energi yang makin jadi bola panas.  “Kalau sudah dimulai ini akan memberi sinyal kepada pengusaha untuk mengembangkan program ini,” kata Saleh dalam acara lokakarya media, dikutip Minggu (21/5/2023). Masih menurut Saleh, pemerintah mesti memberi kepastian harga pasar yang menarik untuk program E5 kepada pengusaha di tengah kompetisi kebutuhan bahan baku yang cukup intens dengan industri gula di dalam negeri. Konkretnya, dia menerangkan, pemerintah mesti mulai menghitung alokasi subsidi yang bisa diterima pengembang dari setiap selisih harga Pertamax dengan harga indeks pasar (HIP) BBN jenis bioetanol sebagai kepastian pengembalian investasi nantinya.  Kepastian pada sisi subsidi pasokan bioetanol itu diharapkan mirip dengan subsidi yang selama ini sudah lebih dahulu dialokasikan untuk program mandatori biodiesel lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).  Seperti diketahui, BPDPKS telah menyiapkan anggaran sebesar Rp31 triliun untuk program bauran biodiesel 35 persen (B35) tahun ini.   “Kalau HIP-nya itu di atas harga Pertamax, itu lah pentingnya subsidi semacam biodiesel,” kata dia.  Berdasarkan data yang dihimpun BPH Migas, ketersediaan bahan baku bioetanol saat ini berada di kisaran 40.000 kiloliter (KL) yang potensial disalurkan untuk program E5.  Dia berharap implementasi program E5 dalam waktu dekat nanti ikut mempercepat pembentukan ekosistem industri bioetanol sebagai bahan baku pendamping BBM di dalam negeri.  “Terobosan-terobosan itu perlu diambil sekaligus untuk mengurangi gas rumah kaca sektor transportasi,” kata dia. Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belakangan memutuskan untuk mencampurkan BBN bioetanol dengan Pertamax yang awalnya diarahkan untuk BBM RON 90 atau Pertalite.  Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan, keputusan itu diambil lantaran harga pembentuk Pertamax yang berada di level yang sama dengan bioetanol.   “Kalau dicampur di Pertalite kan secara harga pantauan kita Pertalite kan, lebih murah ya, kan Pertalite itu harganya Rp10.000, kalau bioetanol itu di angka Rp12.000 sampai Rp13.000,” kata Dadan saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (20/2/2023).  Rencana awal pencampuran bioetanol dengan porsi 5 persen dengan Pertalite dinilai bakal ikut mengerek keekonomian bensin subsidi tersebut. Sementara itu, Kementerian BUMN menargetkan implementasi program E5 dapat terlaksana pada paruh pertama tahun ini. Penyaluran perdana direncanakan berlangsung di pom bensin khusus di Kawasan Surabaya yang berdekatan dengan produsen bioetanol.  Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, distribusi bioetanol membutuhkan proses logistik yang cenderung kompleks jika dibandingkan dengan bahan bakar berbasis fosil. Alasannya, bioetanol cepat busuk lantaran berasal dari batangan tebu.   “Bahan bakar ini tidak bisa terlalu jauh dari pom bensinnya atau lokasi pengisiannya karena itu bisa busuk,” kata Erick saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Senin (13/2/2023).

https://ekonomi.bisnis.com/read/20230521/44/1657689/wacana-campuran-pertamax-bioetanol-perlu-insentif

 

Media Indonesia | Senin, 22 Mei 2023

Investasi EBT masih Loyo

Untuk mencapai target net zero emissions pada 2060, dibutuhkan total investasi hingga US$1,108 miliar, atau per tahunnya US$28,5 miliar. Nilai investasi itu untuk menghasilkan energi listrik 1.942 terawatt-hour. DIREKTORAT Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi investasi subsektor EBTKE pada kuartal I 2023 baru mencapai US$206 juta, atau setara Rp3 triliun (kurs Rpl4.936). Kepala Subdit Penyiapan Program Bioenergi Ditjen EBTKE Trois Dilisusendi menuturkan jumlah investasi tersebut masih jauh dari target US$1,8 miliar pada tahun ini. “Capaian per triwulan I 2023 ini angkanya US$206 juta, sementara target kita hampir US$1,8 miliar. Masih besar kebutuhan investasi kita,” ungkapnya dalam peluncuran platform digital Lintas EBTKE, Rabu (17/5). Capaian investasi saat ini didapat dari bioenergi, konservasi energi, aneka energi baru terbarukan (EBT), dan panas bumi. Dari data yang ada, lanjut Trois, secara historis capaian realisasi investasi EBTKE tidak pernah menyentuh US$2 miliar. Pada 2019, realisasi investasi subsektor tersebut sebesar US$1,71 miliar, kemudian pada 2020 anjlok menjadi US$1,36 miliar. Realisasi investasi EBTKE bangkit kembali pada 2021 dan 2022, mencapai US$1,5 miliar. Untuk mencapai target netralitas karbon atau net zero emissions (NZE) pada 2060, dibutuhkan total investasi hingga US$1,108 miliar, atau per tahunnya membutuhkan investasi senilai US$28,5 miliar. Nilai investasi itu untuk menghasilkan energi listrik 1.942 terawatt-hour (Twh), yang disuplai dari 96% pembangkit berbasis energi terbarukan dan 4% dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dengan kapasitas 708 gigawatt (Gw). Begitu pun dengan target bauran EBT Indonesia, sejak 2018 hingga 2022 tidak pernah mencapai target dari yang dipatok. Pada 2018, bauran EBT hanya sebesar 8,6%, di bawah target 11,6%. Lalu, pada tahun berikutnya bauran EBT naik tipis menjadi 9,2%, tidak menembus target 12,2%. Pada 2020, realisasi bauran EBT Indonesia sebesar 11,2%, di bawah target 13,4%. Pada 2021, target bauran EBT tidak naik signifikan menjadi 12,2%, di bawah target 14,5%. Tahun lalu pun demikian, bauran EBT baru mencapai 12,3%, tidak memenuhi target 15,7% pada 2022. Pada tahun ini target EBT dipatok sebesar 17,9%. Pemerintah menargetkan bauran EBT per 2030 sebesar 34%. “Masih terdapat gap antara target dan capaian bauran EBT sehingga diperlukan upaya percepatan program EBT,” kata Trois. Pemerintah sendiri telah membuat program percepatan pengembangan EBT dari 2021 hingga 2030, di antaranya pembangunan pembangkit listrik tenaga EBT on grid, termasuk pemakaian pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dengan target yang dipasang sebesar 3,61 Gw hingga 2025, lalu mandatory biodiesel dengan target 11,6 juta kiloliter (kl) hingga 2025. Kemudian penerapan teknologi substitusi batu bara dengan biomassa (co-firing) untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang diproyeksikan sebesar 10,2 juta ton pada 2025, lalu eksplorasi panas bumi oleh pemerintah di sembilan wilayah panas bumi dengan potensi pengembangan sebesar 295 megawatt (Mw). Trois menjelaskan energi surya akan diprioritaskan untuk dikembangkan guna mengejar target bauran EBT tahun ini. Sementara ini, sudah 7.191 pelanggan PLTS atap hingga Maret 2023. “Pada 2025, target PLTS atap sebesar 3,61 Gw. Ini bisa menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 5,4 juta ton CO2,” ucapnya. Pemerintah, lanjutnya, juga akan mendorong penggunaan biodiesel B-35 yang sudah diberlakukan sejak 1 Februari 2023. Data pada 2022, realisasi pemanfaatan biodiesel untuk domestik sebesar 10,45 juta kl dan berhasil menghemat devisa hingga Rpl22,6 triliun pada tahun lalu. “Artinya, dengan program B-35, kita berhasil mengurangi impor solar. Tahun lalu kita telah uji tes B-40 dengan hasil layak untuk dijalankan. Setelah B-35, kita akan masuk ke program B-40,” ucapnya. Secara keseluruhan potensi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia tercatat melimpah dan bervariasi dengan mencapai 3.686 Gw. Potensi itu berasal dari energi surya dengan 3.295 gigawatt, lalu hidrogen sebesar 95 Gw, bioenergi 57 Gw, panas bumi dengan 24 Gw, energi bayu atau angin sebesar 155 Gw, dan laut sebesar 60 Gw. Namun, total pembangkit EBT yang baru terpasang masih amat minim dengan hanya 12,6 Mw.

Platform digital investasi

Untuk memancing minat investor menanamkan modalnya, Ditjen EBTKE Kementerian ESDM telah menggandeng United Nations Development Programme (UNDP) lewat proyek Market Transformation for Renewable Energy and Energy Efficiency (MTRE3). Teranyar, keduanya merilis platform digital Layanan Informasi dan Investasi Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Lintas EBTKE). Sekretaris Ditjen EBTKE Sahid Junaidi menjelaskan platform tersebut digunakan bagi masyarakat dan perusahaan mencari informasi, sekaligus mengajukan permohonan informasi investasi di bidang EBTKE. Sahid menjelaskan, sejak 2017 hingga sekarang, proyek percontohan MTRE3 telah dijalankan di empat provinsi, yakni Riau, Jambi, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). “Pilot project tersebut mendekati implementasi akhir pada Juni 2023,” terangnya.

Tantangan yang dihadapi proyek

MTRE3 dalam pengembangan EBT di Indonesia ialah terbatasnya media informasi yang terintegrasi. Dengan adanya Lintas EBTKE, platform itu diharapkan dapat memacu pertumbuhan investasi di sektor EBT. National Project Manager MTRE3 Boy ke Lakaseru menjelaskan pihaknya mendapatkan pendanaan sebesar US$8 juta dari GEF. Dari jumlah itu, US$2,6 juta telah dikucurkan untuk proyek efisiensi energi di empat provinsi tersebut. “Proyek MTRE3 memberi dukungan ke pemerintah baik pusat maupun daerah, khususnya untuk desain mitigasi perubahan iklim dalam teknologi EBT,” ujarnya. Target kerja MTRE3 ialah bisa mereduksi 27.019 ton CO2 ekuivalen, lalu energi yang dihasilkan dari pembangkit berbasis EBT yang ditargetkan sebesar 79.190 Mwh, dan adanya penghematan energi dari bangunan dan gedung sebanyak 8.550 Mwh. “Lalu dari US$2,6 juta, dana tersebut diharapkan bisa dikembangkan menjadi US$25 juta guna memberikan akses energi bersih ke 80 ribu rumah tangga,” tutupnya.