Indonesia-Brazil Bertukar Ilmu Pengolahan Biofuel
Gatra.com | Kamis, 10 September 2020
Indonesia-Brazil Bertukar Ilmu Pengolahan Biofuel
Pemerintah melalui Deputi Bidang Penguatan Inovasi, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) menjalin kerjasama dengan Kedutaan Besar Brasil di Jakarta untuk berbagi ilmu terkait inovasi pengembangan bahan bakar nabati (Biofuel). Keberhasilan Pertamina dan ITB mengujicoba produksi green diesel D100 dari Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) kelapa sawit berkapasitas 1.000 barel perhari di Kilang Pertamina Dumai telah memberi secercah harapan akan bangkitnya kemandirian energi terbarukan di Indonesia. Disampaikan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN), Bambang PS Brodjonegoro, mengatakan bahan bakar nabati berbasis sawit akan menjadikan perekonomian Indonesia bergerak lebih cepat untuk pemulihan ekonomi mengingat sektor energi memiliki peranan yang penting dan strategis bagi perekonomian nasional. “Indonesia perlu untuk berubah terhadap ketergantungan akan bahan bakar fosil menjadi pada bahan bakar terbarukan. Kita perlu meningkatkan kapasitas bahan bakar terbarukan dalam energi campuran sekitar 23% di tahun 2025 dan harapannya dapat mencapai 31% pada tahun 2050, ujar Menristek/Kepala BRIN Bambang PS Brodjonegoro saat hadir secara daring, Kamis (10/9). Selain itu, Bambang juga menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen kuat mendorong inovasi bahan bakar nabati biohidrocarbon sebagai solusi pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan bakar dalam negeri yang sejak 2014 mencapai 1,790,000 barrel per hari.
Selain bahan bakar biohidrocarbon berbasis sawit akan berperan dalam substitusi impor, bahan bakar ini juga memberi peluang pemberdayaan korporatisasi petani sawit rakyat dalam industrialisasi IVO (bahan baku biohidrocarbon) dan kilang-kilang bahan bakar biohidrocarbon stand alone kecil terintegrasi dengan kebun sawit yang tentunya hal ini akan meningkatkan kesejahteraan hidup para petani rakyat. Bahan bakar nabati biohidrocarbon berbasis sawit merupakan komoditas sumber daya alam terbarukan di Indonesia yang potensi jumlahnya berlimpah. “Hari ini Indonesia dikenal sebagai negara terbesar penghasil dan pengekspor kelapa sawit, bersaing dengan Malaysia. Namun permainan sudah berubah, kita tidak boleh hanya sekedar ekspor maka diperlukan adanya penambahan nilai dari hasil produksi kelapa sawit,” tambah Bambang. Bambang juga mengapresiasi kesempatan yang diberikan pihak Kedutaan dan Pemerintahan Brazil atau kesediaan untuk bertukar pikiran soal pengelolaan Biofuel tersebut. Sebagai negara yang telah lebih dulu mengembangkan biofuel, Bambang menyebut ingin banyak belajar dari Brazil. Dia ingin adanya perubahan pola pikir masyarakat Indonesia agar lebih memilih energi biofuel dari pada energi fosil. “Kami melihat keberhasilan Brazil yang menghasilkan energi biofuel dari tebu yang menghasilkan gula, lalu menjadi ethanol sebagai bahan bakar,” pungkasnya.
JPNN.com | Kamis, 10 September 2020
Bambang Brodjonegoro Apresiasi Kolaborasi ITB dan Pertamina
Menteri Riset dan Teknologi (Kemenristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro memberikan apresiasi terhadap kolaborasi ITB dan Pertamina dalam mengembangkan inovasi bahan bakar biofuel yang berbahan minyak sawit. Keberhasilan Pertamina dan ITB menguji coba produksi green diesel D100 dari Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) kelapa sawit berkapasitas 1.000 barel perhari di Kilang Pertamina Dumai telah memberi secercah harapan akan bangkitnya kemandirian energi terbarukan di Indonesia. Dirediksi bahan bakar nabati berbasis sawit akan menjadikan perekonomian Indonesia bergerak lebih cepat untuk pemulihan ekonomi mengingat sektor energi memiliki peranan penting dan strategis bagi perekonomian nasional. “Indonesia harus melepaskan diri dari ketergantungan bahan bakar fosil dan beralih pada bahan bakar terbarukan. Kita perlu meningkatkan kapasitas bahan bakar terbarukan dalam energi campuran sekitar 23% di tahun 2025 dan harapannya dapat mencapai 31% pada 2050,” ujar Bambang Brodjonegoro saat memberikan sambutan dalam Webinar The Development of Biofuels Indonesia – Brazil, Rabu (9/9) malam. Dia melanjutkan, bahan bakar nabati berbasis sawit diprediksi akan menjadikan perekonomian Indonesia bergerak lebih cepat dan bisa meminimalisir dampak perlambatan ekonomi yang kini mulai melanda banyak negara di dunia. Konsumsi bahan bakar dalam negeri mencapai 1.790.000 barrel perhari. Namun kini Pertamina dan ITB telah berhasil memproduksi green diesel D100 dari 100% Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) yang di-cracking menggunakan katalis merah putih hasil pengembangan ITB dan Pertamina dengan kelapa sawit berkapasitas 1.000 barel perhari.
Dengan demikian dapat membantu kebutuhan bahan bakar fosil dalam negeri yang sangat tinggi. “Bahan bakar minyak sawit merupakan komoditas sumber daya alam terbarukan di Indonesia yang jumlahnya berlimpah. Biofuel juga memberi peluang terhadap pemberdayaan petani sawit rakyat dalam industri bahan baku biohidrocarbon, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka,” paparnya. Penggunaan bahan bakar green diesel D100 pada kendaraan tidak akan menurunkan kinerja mesin atau menuntut dilakukan modifikasi tertentu pada mesin sebagaimana yang terjadi pada kendaraan yang menggunakan bahan bakar biodiesel B30 yang berbasis Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Pada kesempatan sama Plt. Deputi Bidang Penguatan Inovasi Kemenristek/BRIN Jumain Appe menyampaikan, kolaborasi Indonesia dan Brasil dalam webinar ini bertujuan untuk mengetahui cara Brasil mengimplementasikan kebijakan pemanfaatan bahan bakar nabati berbasis tebu. Brasil akan menyajikan teknologi yang digunakan dalam memproduksi bahan bakar nabati. “Kita belajar bagaimana cara Brasil membuat kebijakan penentuan harga tebu dan gula. Dengan demikian Indonesia dapat tips membuat regulasi dalam penentuan harga sawit dan minyak sawit. Setelah industri bahan bakar nabati sudah stabil, Brasil pun bersedia membeli bahan bakar milik kita,” tutur Jumain.
Kompas.com | Kamis, 10 September 2020
Menristek: Bahan Bakar Nabati Sawit Jadi Harapan Baru Indonesia
Bahan bakar kendaraan pasti identik dengan bensin atau solar. Tentunya, bahan bakar itu berasal dari minyak bumi atau fosil yang berasal dari bumi. Kerena kebutuhan akan minyak bumi terus meningkat, maka minyak yang ada di bumi pasti lama kelamaan bisa habis. Karena itu dibutuhkan upaya dan inovasi agar bahan bakar bisa diperbaharui. Belum lama ini, Pertamina dan ITB berhasil mengujicoba produksi green diesel D100 dari Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) kelapa sawit.
Jadi harapan baru Indonesia
Per hari, Kilang Pertamina Dumai berhasil memproduksi sebanyak 1.000 barel. Karenanya hal ini menjadi harapan baru akan bangkitnya kemandirian energi terbarukan di Indonesia. Demikian diungkapkan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional ( Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro pada Webinar The Development of Biofuels Indonesia-Brazil: “Lesson Learned from The Development of Brazilian Bioethanol-Based Biofuel” secara virtual pada Rabu (9/9/2020) malam. Acara tersebut hasil kerjasama Kemenristek/BRIN melalui Deputi Bidang Penguatan Inovasi dengan Kedutaan Besar Brasil untuk Indonesia. Menurut Menristek Bambang, dengan adanya kabar baik itu maka diprediksi bahan bakar nabati berbasis sawit akan menjadikan perekonomian Indonesia yang bergerak lebih cepat. Tentunya untuk pemulihan ekonomi, mengingat sektor energi memiliki peranan yang penting dan strategis bagi perekonomian nasional Indonesia. “Indonesia perlu berubah terhadap ketergantungan akan bahan bakar fosil menjadi pada bahan bakar terbarukan,” ujar Bambang. Dijelaskan, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas bahan bakar terbarukan dalam energi campuran sekitar 23 persen di tahun 2025, dan harapannya dapat mencapai 31 persen pada 2050.
Berdampak pada kesejahteraan petani sawit
Perlu diketahui, kebutuhan konsumsi bahan bakar dalam negeri sejak 2014 mencapai 1.790.000 barrel per hari. Karena itu dibutuhkan komitmen untuk berinovasi pada bahan bakar nabati biohidrocarbon. Dampak dari pengembangan bahan bakar biohidrocarbon berbasis sawit ini tentu pada petani sawit rakyat. Sebab memberi peluang pemberdayaan korporatisasi dalam industrialisasi IVO (bahan baku biohidrocarbon). Serta kilang-kilang bahan bakar biohidrocarbon stand alone kecil terintegrasi dengan kebun sawit. Ini akan meningkatkan kesejahteraan hidup para petani rakyat. Jadi, bahan bakar nabati biohidrocarbon berbasis sawit merupakan komoditas sumber daya alam terbarukan di Indonesia yang potensi jumlahnya berlimpah. “Hari ini Indonesia dikenal sebagai negara terbesar penghasil dan pengekspor kelapa sawit, bersaing dengan Malaysia,” katanya. “Namun permainan sudah berubah, kita tidak boleh hanya sekedar ekspor maka diperlukan adanya penambahan nilai dari hasil produksi kelapa sawit,” Imbuh Menteri Bambang. Duta Besar Brasil H.E. Jose Amir da Costa Dornelles menjelaskan, Brasil yang telah terlebih dulu mengimplementasikan tebu menjadi bahan bakar nabati berproduksi dalam skala komersial. “Ini kesempatan yang luar biasa untuk bisa saling bertukar pengalaman dalam sektor pengolahan bahan bakar nabati. Nantinya akan dapat memberi keuntungan kedua negara,” terang Jose Amir da Costa.
Kompas.com | Kamis, 10 September 2020
Kemenristek: Green Diesel D100, Bahan Bakar Terbarukan dari Sawit
Bangsa Indonesia terus melakukan inovasi agar minyak bumi dari fosil bisa dikurangi. Sebab, jika diambil terus menerus minyak bumi akan habis. Tetapi, belum lama ini Pertamina dan ITB berhasil mengujicoba produksi Green Diesel D100 dari Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) kelapa sawit. Sehingga ini menjadi kabar baik bagi bangsa Indonesia karena mampu menghasilkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Hal itu diungkapkan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro pada Webinar The Development of Biofuels Indonesia-Brazil: “Lesson Learned from The Development of Brazilian Bioethanol-Based Biofuel” secara virtual pada Rabu (9/9/2020) malam.
Dari bahan baku sawit
Menurut Menristek Bambang, karakteristik green diesel D100 sama sekali berbeda dengan biodiesel yang ada di pasaran saat ini yang dikenal dengan istilah B20 atau B30. Tapi, Green Diesel D100 diproduksi dari bahan baku 100 persen RBDPO yang diolah menggunakan Katalis Merah Putih hasil pengembangan ITB dan Pertamina. Hasilnya, biohidrocarbon beroktan sangat tinggi dengan karakteristik fisika dan kimia sama persis dengan solar yang diproduksi dari bahan bakar fosil. “Indonesia perlu berubah terhadap ketergantungan akan bahan bakar fosil menjadi pada bahan bakar terbarukan,” ujar Bambang. Tentunya, penggunaan bahan bakar green diesel D100 pada kendaraan:
1. Tidak akan menurunkan kinerja mesin.
2. Kendaraan tidak perlu dilakukan modifikasi tertentu pada mesin sebagaimana yang terjadi pada kendaraan-kendaraan yang diberi asupan biodiesel B30 yang berbasis FAME.
Belajar dari Brasil
Oleh karena itu dengan keberhasilan Indonesia menguji coba produksi green diesel D100 skala industri, selanjutnya Indonesia akan mengambil pelajaran dari keberhasilan Brasil. Kenapa Brasil? Karena Brasil telah terlebih dulu mengimplementasikan tebu menjadi bahan bakar nabati berproduksi dalam skala komersial. Brasil sendiri telah mengimplementasikan kebijakan pemanfaatan bahan bakar nabati berbasis tebu. Maka Indonesia akan belajar dari negara Brasil khususnya didalam pengaturan kebijakan penentuan harga Tebu-Gula-Etanol. Nantinya akan diadaptasi oleh Indonesia ke dalam kebijakan regulasi penentuan harga Sawit-Minyak Sawit (Industrial Vegetable Oil)- Bahan Bakar Biohidrocarbon serta pemberian dukungan riset dan pengembangan DNA sawit unggul berkelanjutan.
Di Brasil pakai tebu
Duta Besar Brasil H.E. Jose Amir da Costa Dornelles mengatakan, kesempatan yang luar biasa ini nantinya bisa saling bertukar pengalaman dalam sektor pengolahan bahan bakar nabati yang nantinya dapat memberi keuntungan kedua negara. “Tebu saat ini merupakan bahan baku energi yang sangat penting di Brasil di bawah minyak bumi. Tebu dapat menghasilkan etanol untuk menggantikan 46 persen pemakaian bensin di Brazil,” jelas Jose Amir. Sementara itu Plt. Deputi Bidang Penguatan Inovasi Jumain Appe menyampaikan bahwa agenda ini merupakan kesempatan belajar bersama Indonesia dan Brasil. Harapannya bisa untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia, pengembangan teknologi, dan model bisnis bahan bakar nabati di masa depan.
Tagar.id | Kamis, 10 September 2020
Program Biodiesel Dinilai Minim Keterlibatan Petani
Manajer Riset Traction Energy Asia Ricky Amukti mengatakan kebijakan pemerintah dalam program biodiesel masih terkesan reaktif dan kurang memperhitungkan dampak kerugiannya terutama terhadap petani kelapa sawit. Menurut dia, indikasi tersebut nampak melalui keputusan menaikkan pungutan ekspor crude palm oil (CPO) sebesar US$ 5 tiap kenaikan US$ 25 pertonnya. “Jika pemerintah tetap pada rencananya untuk menaikkan bauran biodiesel, maka insentif yang perlu dikeluarkan oleh negara akan semakin tinggi, padahal pemerintah seharusnya mengambil langkah mundur ke B20 dalam situasi ekonomi seperti ini, apalagi sampai saat ini belum ada manfaat langsung yang diterima petani sawit swadaya dari program biodiesel,” ujarnya kepada Tagar dalam keterangan resmi, Kamis, 10 September 2020. Dalam catatannya, pemerintah kini gencar dalam menjalankan program biodiesel. Tingka bauran minyak kelapa sawit atau CPO pun terus ditingkatkan dari B20, B30, bahkan kini mengejar target menjadi B40 hingga B50. Ricky menambahkan, pengeluaran terbesar Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), saat ini adalah untuk intensif biodiesel atau membayar gap harga CPO dan solar ke perusahaan kelapa sawit. Dari Rp 33,6 triliun penyaluran dana BPDPKS pada 2019, setidaknya Rp 29,2 triliun dialokasikan untuk intensif biodiesel. Dari jumlah tersebut, kata dia, manfaat yang diterima petani masih minim. Padahal petani selalu digadang-gadang akan mendapatkan manfaat dari program biodiesel pemerintah. “Ini dapat dilihat dari tidak adanya direktorat tertentu di BPDPKS yang mengurus petani swadaya. Kontribusi petani terhadap komoditas kelapa sawit tidaklah sedikit. Data Dirjen Perkebunan mencatat petani swadaya memasok 34 persen dari total produksi sawit nasional,” tutur Ricky. Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menilai apabila biodiesel belum kelihatan menguntungkan kenapa harus buru-buru ditambah baurannya.
Bahkan biodiesel yang sekarang pun belum menguntungkan buat petani. “BPDPKS juga perlu untuk dievaluasi terkait apa saja yang sudah dilakukan selama 5 tahun berdiri, termasuk evaluasi masalah penyaluran dananya yang mayoritas justru lari ke perusahaan kelapa sawit dan tak berdampak pada kesejahteraan petani maupun rakyat,” ungkap dia. Darto juga menjelaskan bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan pungutan ekspor pun, melalui BPDPKS juga merupakan langkah yang gegabah karena menaikkan pungutan ekspor dapat berdampak pada menurunnya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sehingga petani akan menjadi pihak yang paling terdampak. “Setidaknya pemerintah perlu memastikan agar perusahaan kelapa sawit wajib membeli sebagian TBS-nya dari pekebun mandiri supaya program biodiesel bisa menciptakan pasar bagi pekebun,” tutupnya.
Kompas.com | Kamis, 10 September 2020
Program B30 dan Nasib Petani Sawit
Sejak tahun 2016, Pemerintah sangat agresif mengembangkan program biodiesel melalui program B30 dari sawit. Program ini diklaim menguntungkan negara melalui penambahan devisa sebesar Rp 48 triliun sebab 30 persen bahan baku untuk pembuatan solar diperoleh dari komoditas kelapa sawit Indonesia. Sektor swasta telah mengambil bagian dalam mendukung program yang dicetus oleh Bapak Presiden Joko Widodo ini, sementara petani belum merasakan langsung manfaatnya. Tapi untuk melihat kekuatan pengembangan EBTKE (Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi) ini perlu melihat posisi BUMN sawit seperti PT Perkebunan Nusantara alias PTPN. BUMN sawit ini mati ditelan perkembangan zaman. Di saat sektor swasta bergeser ke sektor hilir, perusahaan negara ini masih betah dan tidak bergerak ke hilir. Dari puluhan industri biodiesel, tidak ada satu pun PTPN memiliki industri biodiesel. Akibatnya, BUMN ini terkucilkan bersama petani kelapa sawit dalam program B30. Pertanyaan kemudian muncul, mengapa program pemerintah untuk hilirisasi sawit menimbulkan banyak masalah di sektor hulu dan bagaimana kepentingan nasional di dalam proyek ambisius itu?
Monopoli bos besar
Perkebunan sawit tidak hanya dikuasai oleh petani akan tetapi dikelola juga oleh perusahaan perkebunan swasta yang menguasai sekitar 9,7 juta ha dan perusahaan negara (PTPN) seluas 6 ratus ribu hektare. Luas tersebut hanya dikuasai oleh sekitar 2.494 perusahaan yang mengelola IUP (Ijin Usaha Perkebunan). Monopoli perkebunan besar telah dimulai sejak orde baru dan makin menggurita di era reformasi sebab penguasa lahan itu berjejaring dalam rantai politik yang sangat kuat di Jakarta hingga daerah. Kemudahan akses perusahaan swasta ke berbagai Lembaga keuangan menjamin mereka terus perluas lahan sawit. Bermodalkan IUP, mereka mampu membarternya dengan kredit investasi dan didukung pemerintah melalui kemudahan berinvestasi. Sementara di sisi lain perusahaan negara secara perlahan tersingkirkan. Semestinya pemerintah harus memiliki roadmap agar pengembangan EBTKE ini dipegang oleh perusahaan negara. Sebab industri energi adalah untuk hajat hidup orang banyak sehingga harus menjadi industri strategis negara. Dikuasai oleh swasta apalagi asing akan berujung hilangnya daulat negara pada aset-aset strategis. Dukungan modal terbatas dan konglomerasi birokrasi membuat BUMN makin terkucilkan ditambah perusahaan negara ini kebanyakan menjadi sapi perah para elit. Rantai bisnis sawit sangat berpaku pada perusahaan raksasa yang memiliki jejaring dengan para pembeli turunan minyak sawit di dunia.
Mereka adalah Wilmar, Musim Mas, Sinar Mas, Cargill dan Salim Group. Mereka adalah kelompok empat serangkai (produsen, pengolah, pembeli, penjual). Perusahaan kecil dan BUMN termasuk petani kelapa sawit, sangat tergantung pada bos-bos besar ini. Sudah sejak lama, pembeli minyak sawit dari berbagai belahan dunia seperti Unilever, Kelogs, P&G, Neste, Pepsico serta banyak lainnya memperoleh dari para pemain besar empat serangkai. Model ini diterapkan kembali dalam dalam rantai bisnis energi terbarukan. Perusahaan dengan identitas penguasa hulu-hilir adalah penerima manfaat paling besar. Hasil olahan minyak sawit mereka ditampung oleh pertamina, PT AKR Coorporindo dan PT Exxonmobil Lubricans untuk kemudian disalurkan ke semua pom bensin di tanah air. Pemerintah sebagai pengatur bisnis ini sejatinya berkesempatan untuk memperkuat PTPN sawit dan petani dalam tiga tahun mendatang. Sayangnya, negara mati kutu terhadap industri dan bersikap pragmatis dengan hadirnya devisa negara yang menggiurkan dari para konglomerat. UU Komisi Persaingan Usaha tidak cukup kuat untuk mengatur monopoli para rentenir minyak sawit. Mayoritas perusahaan biodiesel berjejaring yang memiliki hubungan patron client sejak lama termasuk perusahaan asing yang beroperasi dan berlahan besar di Indonesia. Beberapa perusahaan asing tersebut adalah Simedarby, Kuala Kepong Berhard, Genting Plantation Berhard, Goodhope Asia Holding dan banyak lagi. Beberapa perusahaan asing ini menjadi penyuplai bahan baku untuk pengembangan EBTKE di tanah air ke industri-industri biodiesel. Petani kelapa sawit mestinya lebih diprioritaskan ketimbang perusahaan asing dalam rantai pasok B30. Pemerintah tidak memiliki strategi khusus untuk memastikan rantai pasok yang bersumber dari warga Indonesia alias petani sawit. Carut marut rantai pasok biodiesel ini membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merana bersama petani kelapa sawit. Sebab PTPN sawit hanya bergantung pada perusahaan swasta sementara petani hanya menjadi penonton dan pembeli minyak solar. Monopoli swasta dalam pengembangan EBTKE makin mapan sebab mendapat dukungan pemerintah dan beberapa menteri kunci erat kaitannya dengan industri biodiesel.
Risikonya kemudian, pemerintah tidak memiliki security system bagi petani sawit yang mengelola komoditas yang rentan krisis akibat orientasi ekspor dan harga komoditas ini ditentukan oleh situasi ekonomi politik global. Semestinya pemerintah mulai menata secara baik dan adil sebelum makin membesarnya konglomerasi dalam usaha strategis negara. Awal mulanya, pengembangan biodiesel diklaim oleh para pengusaha untuk menyejahterakan petani kelapa sawit. Para teknokrat kebijakan menyusun serangkaian konsep untuk meyakinkan publik. Klaim mereka, dengan adanya pasar baru, mampu menjinakkan harga CPO di pasar sehingga dalam waktu bersamaan meningkatkan harga TBS di tingkat petani. Namun, justru sebaliknya. Harga TBS tidak tertolong oleh program ini. Baru-baru ini Kemenko Perekonomian ingin menaikkan pungutan eksport minyak sawit dengan strategi setiap kenaikan 25 dolar AS harga crude palm oil, maka pungutan akan dinaikkan menjadi 5 dollar AS/ton. Namun bentuk-bentuk ini adalah model pembajakan pendapatan petani dan perusahaan-perusahaan kecil.
Negara dibajak
Pemerintah akan mencoba menaikkan B30 saat ini menjadi B40 dalam waktu dekat. Baru-baru ini, industri biodiesel mengusulkan penambahan anggaran negara sebesar Rp 20 triliun. Ini merupakan bentuk pembajakan yang dilakukan oleh industri biodiesel. Menaikkan menjadi B40 atauB50 tidak akan menghadirkan solusi bagi sawit Indonesia. Sebab di hulu telah terjadi over produksi karena stok tersisa 2019 sebesar 4,5 juta ton. Akibat covid19 di berbagai belahan dunia, stok ini diperkirakan tidak akan berkurang hingga perdagangan akhir tahun 2020. Di sisi lain, masih terdapat land bank seluas 4 juta hektar dan program peremajaan sawit rakyat. Jika izin tersebut dibuka sawit dan kemudian produktivitas sawit rakyat meningkat maka akan terjadi over produksi yang lebih besar lagi. Strategi pemerintah untuk menyediakan pasar penampungnya melalui program B30 ini, tentu tetap tidak akan cukup dan kemungkinan pemerintah akan menolong industri ini dengan menggunakan uang negara. Sementara pemerintah tidak memiliki strategi intervensi di hulu untuk menghentikan ekspansi. Di sisi lain, keran investasi melalui pemberian izin baru masih terus berlangsung. Untuk pengembangan hingga B40 maka setidaknya membutuhkan dana yang besar. Sebab biodiesel harganya tingggi. Cara yang paling mudah untuk mendukungnya adalah dengan menaikkan pungutan hingga 70 dolar AS/ton CPO dari 55 dolar AS saat ini.
Risikonya akan ke petani. Harga akan makin turun karena negara memotong harga CPO yang merupakan dasar dari penilaian harga TBS petani. Jika tidak maka, negara akan di bajak oleh industri dengan menjustifikasi devisa negara yang sudah dihasilkan oleh konglomerat. Langkah pemerintah pasti akan menaikkan biodiesel hingga B50. Sebab para konglomerat sawit ini sudah masuk dalam ranah birokrasi dan hampir menguasai politik dan ekonomi di Indonesia. Tentunya tidak ada pilihan lain, sebab telah menjadi bisnis para elit juga. Bisnis biodiesel harus dibingkai dalam kepentingan nasional. Terlepas dari bisnis ini telah menyumbang devisa negara yang diklaim para cukong namun sewajarnya perlu memperkuat aktor-aktor negara seperti BUMN. Sayangnya, Pertamina, Kemenko Perekonomian, dan kementerian ESDM tidak memiliki strategi untuk memperkuat PTPN agar di tangan mereka industri biodiesel dapat diolah. Ini justru sebaliknya, perusahaan negara sebagai pengemis jatah ke perusahaan swasta. Ke depan pemerintah harus merancang kepentingan nasional dalam memperkuat BUMN sawit memiliki industri hilir sendiri dan dapat bekerjasama dengan petani kelapa sawit. Ini harus dilakukan oleh pemerintah, untuk mengamankan keuangan negara dari pemburu rente swasta. Perluasan lahan sawit tidak akan menyelesaikan masalah tata kelola sawit di Indonesia. Karena itu, perlu langkah cepat sebelum ketelanjuran makin besar. Caranya, intervensi di sektor hulu dengan menghentikan ekspansi sawit skala besar dan melakukan reforma agraria pada lahan sawit yang bermasalah. Dengan cara ini, akan terjadi keseimbangan antara hulu dan hilir. Sehingga pada akhirnya memberi dampak positif bagi petani kelapa sawit.
Kontan.co.id | Kamis, 10 September 2020
Prospek menjanjikan, Mahkota Group (MGRO) kejar produksi sekitar 110.000 ton RBDPO
Emiten sawit PT Mahkota Group Tbk ingin memacu bisnis produk turunan sawit. Buktinya, hingga akhir tahun nanti, emiten sawit berkode saham MGRO tersebut menargetkan bisa memproduksi sekitar 110.000 ton Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO). Bukan tanpa alasan perusahaan membidik target tersebut. Sekretaris Perusahaan MGRO Elvi menjelaskan, potensi pasar RBDPO sangat besar, sebab produk turunan sawit tersebut dibutuhkan sebagai bahan baku dasar dalam pembuatan produk-produk akhir seperti margarin, minyak goreng, serta kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. “Akhir-akhir ini oleh anak bangsa Indonesia, RBDPO telah dapat diolah menjadi bahan baku bakar biodiesel B100,” tambah Elvi kepada Kontan.co.id, Kamis (10/9). Proses produksi RBDPO dilakukan di pabrik refinery anyar perusahaan yang berlokasi di Bengkalis, Riau. Pabrik tersebut dibangun pada akhir tahun 2018 dan mulai beroperasi pada paruh pertama tahun ini. Mulanya, pabrik tersebut digunakan untuk memproduksi sebanyak 3.000 ton. Jumlah tersebut lebih kecil dari kapasitas terpasang pabrik anyar yang mampu memproduksi 1.500 ton RBDPO dalam sehari. Sampai Juli 2020 lalu, total volume produksi RBDPO MGRO telah mencapai 6.143 ton. Di mana, dari total produksi tersebut 60% dijual untuk pasar ekspor dan 40% lokal. Pembeli lokal RBPDO MGRO terdiri atas perusahaan oleochemical yang menjadikan RBDPO sebagai bahan baku untuk diolah menjadi produk akhir seperti margarin, minyak goreng, dan lain-lain. Sementara itu, mayoritas pembeli RBDPO MGRO di pasar ekspor merupakan perusahaan perdagangan atau trader. Elvi belum menyebut berapa proyeksi kontribusi lini penjualan RBDPO dalam total penjualan sampai akhir tahun nanti. Elvi hanya bilang, perusahaan belum berencana memproduksi produk turunan sawit lain selain RBDPO. “Sampai akhir tahun 2020 ini perseroan masih fokus pada RBDPO, untuk turunan lainnya seperti minyak goreng masih dalam proses pengurusan legalisasi,” pungkas Elvi.
Akurat.co | Kamis, 10 September 2020
Tarif Punggutan Ekspor CPO Naik, SPKS: Ini Sama Halnya dengan Membunuh Petani Kelapa Sawit!
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menilai rencana pungutan ekspor minyak sawit dengan setiap kenaikan US$25 harga crude palm oil, maka pungutan akan dinaikkan menjadi US$5 per ton, hanya akan menguntungkan industri. “Di tengah @PerekonomianRI ingin menaikkan pungutan biodiesel, dengan setiap kenaikan US$25 per ton CPO akan dinaikkan pungutan US$5 per ton CPO. Akhirnya, petani tidak akan merasakan naiknya harga TBS dari kenaikan CPO itu jelas untungkan industri,” kata Mansuetus lewat akun Twitter-nya @dartowojtyla yang dikutip Akurat.co, Jakarta, Kamis (10/9/2020). Menurutnya, kenaikan pungutan biodiesel tersebut sama halnya dengan membunuh dan memiskinkan para petani kelapa sawit. “Dan menguntungkan industri biodiesel. Payahnya lagi, beberapa orang industri hadir dalam kementerian terkait,” katanya.
Seperti diketahui Indonesia saat ini telah berupaya mengimplementasikan program B30 dan terus melakukan ekspansi program biodiesel menjadi B40, B50, hingga B100. Program ini dimaksudkan agar konsumsi domestik CPO sebagai bahan bakar transportasi makin meningkat sehingga impor bahan bakar fosil dapat diminimalisasi. Pemerintah Indonesia berencana untuk meningkatkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit sebagai bentuk dukungan terhadap perluasan program campuran biodiesel tersebut. Mengutip laman Reuters, adanya pungutan atau retribusi ekspor oleh pemerintah Indonesia bertujuan untuk membantu membiayai kebijakan minyak sawit dalam bentuk subsidi biodiesel dan replanting kebun sawit rakyat. Saat ini, pemerintah telah menetapkan pungutan ekspor maksimal sebesar US$50 per ton tergantung pada jenis produk kelapa sawit dan tingkat harga referensi yang ditetapkan setiap bulannya. Meskipun demikian, rencana kenaikan pungutan ini masih diperhitungkan, apakah akan menjadi peningkatan yang sifatnya datar atau progresif. “Pungutan tersebut menyebabkan perbedaan harga antara biodiesel yang mengandung campuran minyak sawit dengan diesel fosil biasa makin lebar,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Tribunnews.com | Kamis, 10 September 2020
Olahan Limbah Jelantah Bisa Diolah Jadi Produk Ekonomis, Begini Caranya
Berangkat dari adanya kendala mengelola limbah minyak jelantah sisa produksi Resto Seba dan rumah tangga di Kampung Ikan Asap, PT Pertamina Gas Operation East Java merespons dan mengenalkan konsep zero waste di kampung binaan Pertagas ini. Selain melibatkan kelompok Resto, Pertagas juga menggandeng Kader PKK Desa Penatarsewu dan Desa Kalitengah, Kec Tanggulangin, Sidoarjo. Selasa (8/9) dilakukan pelatihan pengelolaan minyak jelantah menjadi produk bermanfaat seperti sabun dan lilin. Edukasi dan pelatihan ini bekerjasama dengan Akademi Minim Sampah, Sidoarjo. Minyak jelantah merupakan minyak bekas pemakaian, bisa dalam kebutuhan rumah tangga, kebutuhan restoran dan lain-lain. Minyak ini meliputi minyak sawit dan segala minyak goreng lainnya. Bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik yang terjadi selama proses penggorengan. Jadi pemakaian minyak jelantah yang dipakai berkali-kali, dapat merusak kesehatan tubuh kita, misalnya timbul berbagai penyakit seperti kanker. Ketua PKK Desa Penatarsewu, Nurul Huda menuturkan bahwa selama ini ibu-ibu di Desa Penatarsewu tidak pernah menyimpan minyak goreng setelah beberapa kali dipakai dan belum mengetahui jika bisa dimanfaatkan kembali.
“Di sini kami terbiasa membuang atau diserahkan ke penampung jika minyak goreng sudah beberapa kali dipakai. Dengan adanya pelatihan mengolah jelantah ini, diharapkan kami bisa memanfaatkan puluhan liter minyak menjadi sabun detergen atau cuci tangan,” ujarnya. Lain halnya di Desa Kalitengah, ibu-ibu di desa yang berdekatan dengan kawasan Lumpur Sidoarjo ini mengaku telah memanfaatkan jelantah sebagai peluang penghasilan. “Kami biasa mengumpulkan jelantah dari beberapa RT, lalu kami jual ke pabrik untuk dimanfaatkan sebagai biodiesel melalui pengepul. Alhamdulillah hasil penjualan dapat dimanfaatkan untuk kas PKK,” ujar Iftatus Solichah selaku perwakilan anggota PKK Desa Kalitengah. Menurutnya, kegiatan edukasi dari Pertagas ini mampu membuka wawasan ibu-ibu untuk berkreasi dan lebih produktif lagi. Proses pengolahan jelantah menjadi sabun dan lilin pun tegolong murah dari segi ketersediaan bahan dan mudah untuk dipraktekkan. Cukup sediakan jelantah mulai dari 250ml, ½ sendok teh gula, beberapa gram soda api, air pandan, dan beberapa bahan pelengkap lainnya. “Setelah itu dipanaskan lalu diaduk, dan ditempatkan dalam sebuah cetakan sesuai selera.” ujar Vivi Sofiana selaku pemateri dari Akademi Minim Sampah. Vivi menambahkan, proses pembuatan dibuat mudah dan menarik agar ibu-ibu tidak kerepotan ketika menerapkan di rumah. “Tujuan kami agar mulai tumbuh kesadaran warga untuk mengolah limbah rumah tangga menjadi lebih bernilai guna,” pungkasnya Secara terpisah, Manager Communication, Relation, & CSR Pertagas, Zainal Abidin menuturkan bahwa antusias ibu-ibu dalam menerapkan Zero Waste Lifestyle patut didukung. “Selain itu, kemampuan mengolah limbah rumah tangga menjadi produk lain seperti sabun dan lilin ini berpotensi menjadi sumber pendapatan lain bagi warga di Penatarsewu dan Kalitengah,” harapnya.