Jokowi: Rehabilitasi Mangrove untuk Penuhi Paris Agreement

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Investor Daily Indonesia | Rabu, 29 September 2021

Jokowi: Rehabilitasi Mangrove untuk Penuhi Paris Agreement

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa upaya merehabilitasi hutan mangrove di Tanah Air dengan target 34 ribu hektare (ha) tahun ini merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia dalam memenuhi Kesepakatan Iklim Paris (Paris Agreement) dan juga mengantipasi dampak perubahan iklim dunia. Hutan mangrove mampu menyimpan karbon 4-5 kali lipat lebih banyak dari hutan tropis daratan. Demikian disampaikan Jokowi saat melakukan penanaman mangrove bersama masyarakat di Pantai Wisata Raja Kecik, Kabupaten Bengkalis, Riau, Selasa (28/9). Hadir saat itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawiraatmadja, dan Bupati Bengkalis Kasmarni. “Sebagai upaya meneguhkan komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement dan mengantisipasi perubahan iklim dunia, pemerintah akan merehabilitasi mangrove dengan target 34 ribu ha tahun ini di seluruh Indonesia,” jelas Jokowi. Kepala Negara menjelaskan, rehabilitasi mangrove diperlukan karena hutan mangrove menyimpan karbon 4-5 kali lipat lebih banyak dari hutan tropis daratan sehingga akan berkontribusi besar pada penyerapan emisi karbon. Presiden mengharapkan, rehabilitasi mangrove dapat meningkatkan pengendalian abrasi, mendukung ekowisata, serta mendukung perekonomian masyarakat sekitar. “Kita harapkan nanti kawasan ini akan bisa kita perbaiki, kita rehabilitasi dalam rangka mengendalikan abrasi, dalam rangka juga mendukung ekowisata, pariwisata di daerah. Tentu saja kita harapkan mendukung ekonomi masyarakat di sekitar kawasan ini (Bengkalis),” ujar Presiden. Jokowi menuturkan, Indonesia memiliki sekitar 20% dari total hutan mangrove dunia. Habitat mangrove berada di pesisir dengan ragam vegetasi cukup majemuk dan memberi perlindungan ekologis penting bagi makhluk hidup, termasuk manusia. “Artinya, kita memiliki sebuah kekuatan dalam potensi hutan mangrove, tapi yang pal- ing penting adalah memelihara, merawat, bagaimana merehabilitasi yang rusak sehingga betul-betul hutan mangrove kita ini terjaga. Sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di dunia, kita wajb memelihara karena ini adalah kekuatan Indonesia,” papar Presiden. Berdasarkan data Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), luas hutan mangrove dunia 16.530.000 hektare (ha) dan Indonesia memiliki 3.490.000 ha atau 21% mangrove dunia. Saat ini, luas mangrove Indonesia mengalami penurunan luasan di mana data satu peta mangrove tercatat seluas 3.311.208, yaitu 637.624 ha (19,26%) dalam kondisi kritis atau penutupan tajuk kurang dari 60%, sedangkan mangrove dalam kondisi baik seluas 2.673.548 (80,74%). Dari mangrove kritis itu, berdasarkan kewenangan seluas 460.210 ha (72,18%) berada dalam kawasan hutan dan 177.415 ha (27,82%) di luar kawasan hutan. BRGM, Kementerian LHK, KKP, Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal serta kementerian/lembaga (K/L), Corporate Social Responsibility (CSR), dan Lembaga Swadaya Masyakarat (LSM) bersama-sama memperbaiki ekosistem mangrove dengan pembagian daerah rehabilitasi, BRGM merehabilitasi 483.194 ha (75,78%), Kementerian LHK 89.685 ha (14,07%), serta KKP, K/L, CSR, dan LSM seluas 64.745 ha (10,15%).

Partisipasi Swasta

Pada 22 September 2021 lalu, Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) menginisiasi Perjanjian Kerja Sama (PKS) Kegiatan Rehabilitasi Mangrove melalui Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL)/CSR demi mempercepat rehabilitasi mangrove. Perjanjian itu melibatkan Kemenkomarves, Kementerian LHK, KKP, Pelindo I-IV, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), dan Asosiasi Produsen biofuel Indonesia (Aprobi). Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Perubahan Iklim Kus Prisetiahadi mewakili Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan mengatakan, PKS itu perwujudan dari arahan Presiden RI pada pertemuan Leader\’s Summit on Climate April 2021 yang menyatakan bahwa Indonesia sedang merehabilitasi mangrove 620 ribu ha sampai 2024, ini merupakan program rehabilitasi terbesar di dunia. “Sebelumnya kita hanya mengandalkan partisipasi kementerian dan daerah, sekarang kita akan mengembangkan partisipasi swasta dari berbagai sektor dan asosiasi, karena tanpa melibatkan stakeholders lain akan sulit kita mencapai tujuan,” jelas dia. Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenkomarves Nani Hendiarti, segera diluncurkan pilot project program rehabilitasi mangrove melalui program TJSL/CSR tersebut di Indramayu pada minggu pertama Oktober. Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat Kementerian LHK Sri Handayaningsih menuturkan, mangrove ke depannya memiliki skema untuk mempercepat pemenuhan Nationally Determined Contribution (NDC) yakni mengurangi emisi karbon dan mangrove salah satu yang paling besar menyumbang pelepasan emisi karbon.

 

BERITA BIOFUEL

 

 

Infosawit.com | Rabu, 29 September 2021

 

Skim Kemitraan Rantai Pasok Biodiesel, Pastikan Petani Sawit Swadaya Sejahtera

 

Guna memperkuat pengembangan program biodiesel ke tahap selanjutnya, diperlukan langkah konkret pemerintah dalam menentukan arah kebijakan yang mengatur pola kemitraan antara petani dengan perusahaan agar program biodiesel bisa berjalan sesuai dengan visi dari presiden jokowi. Dalam sambutannya Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan, Juri Ardiantoro mengatakan, pemanfaatan biodiesel bukan hanya mengantisipasi akan hilangnya energi yang berbasis fosil tetapi juga dalam konteks lingkungan. “Jangan sampai petani menjadi subordinasi dalam mata rantai biodiesel. Industri seperti ini tidak boleh mengabaikan kepentingan pemerintah secara umum yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat,” tegas Juri dalam Workshop bertajuk ”Formula Kemitraan Petani Sawit Rakyat Dalam Rantai Pasok Industri Biodiesel” pada Selasa, (28/9/2021), dalam keterangan tertulis kepada InfoSAWIT. Sementara, Vice Presiden Pertamina Patra Niaga, Budi Hutagaol mengatakan bahwa alokasi FAME sebagai blending component dari solar meningkat setiap tahunnya sejak tahun 2018 (3.2 Juta Kilo Liter) dan di tahun 2021 menjadi 7.815 juta Kilo Liter. Apabila ditotal jumlah FAME yang digunakan dalam implementasi biodiesel dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2021 berada di angka 32.98 juta Kilo Liter. Pengembangan program biodiesel yang menanjak ke B 40 dan seterusnya, praktis menjadi penciri bahwa program ini dijalankan untuk jangka panjanga dalam mewujudkan ketahanan energi nasional. Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Elis Heviati mengutarakan bahwa pengembangan program mandatori BBN bertujuan untuk meningkatakan kesejahteraan petani yang memiliki 40% dari total lahan perkebunan sawit nasional. “Dalam grand strategi energi nasional dimana pengembangan biofuel pada tahun 2040 ditargetkan mencapai 15.2 juta Kilo Liter dimana biodiesel sebesar 11.7 juta kilo liter dan pengembangannya tidak terbatas pada pengusaha skala besar, melainkan didorong berbasis ekonomi kerakyatan”, ujar Elis. Kritik soal pelibatan petani dalam pengembangan program biodiesel datan dari, Sekjen SPKS, Mansuetus Darto. Ia mengutarakan bahwa pemerintah sebaiknya jangan terburu-buru mengambil kebijakan menaikan biodiesel B30 ke B40. “Perlu ada evaluasi dari implementasi B30 saat ini dengan melihat manfaat kepada petani sawit ini sesuai dengan visi presiden, kita perlu melibatkan petani sawit swadaya dalam program ini. Jika dijalankan secara benar dan serius tentu Pak Presiden akan bangga kalau program biodiesel turut disukseskan oleh petani kecil”, ujarnya. Mansuetus mengatakan kalau selama ini petani swadaya sama sekali tidak menerima manfaat dari program biodiesel karena petani tetap saja menjual TBS ke tengkulak dengan loss income sekitar 30%. Hal ini terjadi karena tidak ada kemitraan terutama dengan perusahaan-perusahaan biodiesel. Belum lagi program biodiesel ini sudah menghabiskan uang dana sawit dari BPDPKS sampai tahun 2020 sekitar 57,72 triliun.

https://www.infosawit.com/news/11351/skim-kemitraan-rantai-pasok-biodiesel–pastikan-petani-sawit-swadaya-sejahtera

 

Infosawit.com | Kamis, 30 September 2021

Bila Program Biodiesel Sawit Sukses, Stok CPO Indonesia Bisa Kegerus

Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan, Alin Halimatussadiah menyatakan, kebijakan mandatori biodiesel sawit termasuk kebijakan yang progresif. Target yang terus diperbaharui dengan blending rate dan user groups yang semakin meningkat. Alin menegaskan jika skenario yang ditetapkan semakin progresif maka semakin cepat dan besar defisit CPO yang terjadi mengingat keterbatasan pada sisi supply. “Dengan asumsi tidak adanya replanting kalau kita melakukan skenario B 50 maka kebutuhan lahan untuk memenuhi defisit tersebut mencapai 70% dari luas lahan yang saat ini ada,” tandas Alin dalam Workshop bertajuk ”Formula Kemitraan Petani Sawit Rakyat Dalam Rantai Pasok Industri Biodiesel” pada Selasa (28/9/2021) dalam keterangan tertulis diterima InfoSAWIT. Sementara dikatakan Sekjen Jokowi Centre, Imanta Ginting mengungkapkan, pihaknya sedang memastikan realisasi pola kemitraan petani sawit dengan program implementasi mandatori biodiesel yang sudah berjalan sejak tahun 2015 sampai dengan saat ini, kekurangan dan kelebihan serta skema kemitraan yang terbaik dalam menyukseskan transisi B30 ke B40. “Kegiatan ini murni untuk menghimpun pemikiran dari para stakeholders terkait dalam program mandatori biodiesel sawit di Indonesia yang berguna untuk kebijakan pengembangan biodiesel sebagai salah satu upaya mewujudkan ketahanan energi nasional,” tandas Imanta. Sementara, untuk itu program peremajaan sawit tetap mendesak dilakukan. Hal ini disampaikan Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Kementerian Pertanian. “Lambatnya program peremajaan sawit rakyat (PSR) karena banyak yang berada di dalam kawasan hutan, sehingga koordinasi kami dengan Kemenkoperkonomian maupun KLHK tetap intensif agar persoalan ini dapat diselesaikan,” ucap Heru. Ia menambahkan juga bahwa yang ikut PSR banyak petani sawit swadaya, sehingga pemerintah tetap merangkul petani plasma dan petani swadaya karena memang proses bisnis sawit harus dengan kemitraan yang kuat.

https://www.infosawit.com/news/11355/bila-program-biodiesel-sawit-sukses–stok-cpo-indonesia-bisa-kegerus

 

Infosawit.com | Rabu, 29 September 2021

 

Masih Minim, Jokowi Centre Genjot Kemitraan Petani Sawit dengan Industri Biodiesel

Jokowi Centre menggelar Workshop bertajuk ”Formula Kemitraan Petani Sawit Rakyat Dalam Rantai Pasok Industri Biodiesel” pada 28 September 2021. Kegiatan ini merupakan rangakaian diskusi rutin dalam upaya memastikan target Presiden Jokowi dalam program mandatory biodiesel B30, bisa mensejahterakan 2,7 juta petani sawit swadaya. Saat ini, pemerintah tengah mengkaji kenaikan program mandatory biodiesel dari B30 menjadi B40.  Sebagaimana diketahui, program ini menjadi salah satu strategi pemerintah untuk menekan impor solar dan serta bisa menghemat devisa negara. Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga 2020, program biodiesel mampu menghemat devisa negara sebesar Rp63,39 triliun, serta menciptakan pasar baru untuk 8-9 juta ton minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Namun dibalik keberhasilan yang ditorehkan dalam pelaksanaan program biodiesel B30, pelibatan petani sawit melalui program kemitraan antara petani dengan perusahaan yang terlibat dalam industri biodiesel, masih sangat minim. Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di 4 Kabupaten di Provinsi Riau seperti Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu menyingkap fakta kalau pada radius 5 Km dari pabrik kelapa sawit yang menjadi bagian dari produksi biodiesel, nyatanya petani sawit belum memiliki skema kemitraan yang jelas. Guna memperkuat pengembangan program biodiesel ke tahap selanjutnya, diperlukan langkah konkret pemerintah dalam menentukan arah kebijakan yang mengatur pola kemitraan antara petani dengan perusahaan agar program biodiesel bisa berjalan sesuai dengan visi dari presiden jokowi. Workshop ini dibuka Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan, Juri Ardiantoro. Dalam sambutan, Juri mengatakan, pemanfaatan biodiesel bukan hanya mengantisipasi akan hilangnya energi yang berbasis fosil tetapi juga dalam konteks lingkungan. “Jangan sampai petani menjadi subordinasi dalam mata rantai biodiesel. Industri seperti ini tidak boleh mengabaikan kepentingan pemerintah secara umum yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat”, tegas Juri. Vice Presiden Pertamina Patra Niaga, Budi Hutagaol mengatakan, alokasi FAME sebagai blending component dari solar meningkat setiap tahunnya sejak 2018 (3,2 juta kilo liter/KL) dan pada 2021 menjadi 7,815 juta KL. Apabila ditotal, jumlah FAME yang digunakan dalam implementasi biodiesel periode 2010-2021 berada di angka 32,98 juta KL. Pengembangan program biodiesel yang menanjak ke B40 dan seterusnya, praktis menjadi penciri bahwa program ini dijalankan untuk jangka panjang, dalam mewujudkan ketahanan energi nasional. Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Elis Heviati mengutarakan, pengembangan program mandatori BBN bertujuan untuk meningkatakan kesejahteraan petani sawit yang memiliki 40% dari total lahan perkebunan sawit nasional. “Dalam grand strategi energi nasional dimana pengembangan biofuel pada tahun 2040 ditargetkan mencapai 15.2 juta Kilo Liter dimana biodiesel sebesar 11.7 juta kilo liter dan pengembangannya tidak terbatas pada pengusaha skala besar, melainkan didorong berbasis ekonomi kerakyatan”, ujar Elis.

Ihwal minimnya pelibatan petani dalam pengembangan program biodiesel diamini Sekjen SPKS, Mansuetus Darto. Dikatakan, pemerintah sebaiknya jangan terburu-buru mengambil kebijakan menaikan biodiesel dari B30 ke B40. “Perlu ada evaluasi dari implementasi B30 saat ini dengan melihat manfaat kepada petani sawit ini sesuai dengan visi presiden, kita perlu melibatkan petani sawit swadaya dalam program ini. Jika dijalankan secara benar dan serius tentu Pak Presiden akan bangga kalau program biodiesel turut disukseskan oleh petani kecil”, ujarnya. Mansuetus mengatakan, selama ini, petani swadaya sama sekali tidak menerima manfaat dari program biodiesel. Karena, petani tetap saja menjual TBS ke tengkulak dengan loss income sekitar 30%. Hal ini terjadi karena tidak terbangunnya kemitraan, terutama dengan perusahaan-perusahaan biodiesel. “Belum lagi program biodiesel ini sudah menghabiskan uang dana sawit dari BPDPKS sampai 2020 sebesar Rp57,72 triliun,” ungkapnya, Alin Halimatussadiah, Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan, menyatakan, mandatori biodiesel termasuk kebijakan yang progresif. Target yang terus diperbaharui dengan blending rate dan user groups yang semakin meningkat. Alin menegaskan jika scenario yang ditetapkan semakin progresif maka semakin cepat dan besar defisit CPO yang terjadi mengingat keterbatasan pada sisi supply. “Dengan asumsi tidak adanya replanting kalau kita melakukan scenario B 50 maka kebutuhan lahan untuk memenuhi defisit tersebut mencapai 70% dari luas lahan yang saat ini ada”, tandas Alin. Untuk itu program peremajaan sawit mendesak dilakukan. Hal ini disampaikan Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Kementerian Pertanian. “Lambatnya program peremajaan sawit rakyat (PSR) karena banyak yang berada di dalam kawasan hutan, sehingga koordinasi kami dengan Kemenkoperkonomian maupun KLHK tetap intensif agar persoalan ini dapat diselesaikan,” pungkas Heru. Ia menambahkan, banyak petani sawit swadaya menjadi peserta PSR, sehingga pemerintah tetap merangkul petani plasma dan petani swadaya karena memang proses bisnis sawit harus dengan kemitraan yang kuat. Sedangkan Sekjen Jokowi Centre, Imanta Ginting mengungkapkan, diskusi ini membahas bagaimana realisasi pola kemitraan petani sawit dengan implementasi mandatory biodiesel yang sudah berjalan sejak 2015. “Kekurangan dan kelebihan serta skema kemitraan yang terbaik dalam menyukseskan transisi B30 ke B40. Kegiatan ini murni untuk menghimpun pemikiran dari para stakeholders terkait dalam program mandatory biodiesel di Indonesia yang berguna untuk kebijakan pengembangan biodiesel sebagai salah satu upaya mewujudkan ketahanan energi nasional,” tutur Imanta.

https://www.infosawit.com/news/11352/masih-minim–jokowi-centre-genjot-kemitraan-petani-sawit-dengan-industri-biodiesel

 

Tribunnews.com | Rabu, 29 September 2021

Belum Ada Kemitraan Petani dan Perusahaan, Pemerintah Diminta Tak Buru-Buru Terapkan B40

Serikat Petani Kelapa sawit (SPKS) meminta pemerintah tidak terburu-buru membuat kebijakan menaikkan program mandatori pencampuran 30 persen biodiesel dengan 70 persen minyak solar (B30) ke B40.  Sekjen SPKS Mansuetus Darto mengatakan, pemerintah perlu mengevaluasi implementasi B30 selama ini dengan melihat manfaat kepada petani sawit sesuai dengan visi presiden, dan perlu melibatkan petani sawit swadaya dalam program tersebut.  “Jika dijalankan secara benar dan serius tentu Pak Presiden akan bangga kalau program biodiesel turut disukseskan oleh petani kecil,” ujar Darto, Kamis (29/9/2021). Ia meminta, perlu ada komitmen yang nyata dari Kementerian Pertanian dan Kementerian ESDM untuk mendesain petani sawit bisa masuk ke dalam suplay biodiesel di hulu.  Apalagi, kata Darto, selama ini petani swadaya sama sekali tidak menerima manfaat dari program biodiesel, karena petani tetap saja menjual tandan buah segar (TBS) ke tengkulak dengan loss income sekitar 30 persen.  Menurutnya, hal tersebut terjadi karena tidak ada kemitraan terutama dengan perusahaan-perusahaan biodiesel.  “Sayang sekali program biodiesel ini sudah menghabiskan uang dana sawit dari BPDPKS sampai tahun 2020 sekitar Rp 57,72 triliun, tapi nihil manfaat untuk petani sawit,” tuturnya.  Diketahui, program mandatori biodiesel menjadi salah satu strategi pemerintah menekan impor solar dan serta bisa menghemat devisa negara.  Berdasarkan, data dari Kementerian ESDM sampai dengan 2020, program biodiesel mampu menghemat devisa negara Rp 63,39 triliun, serta menjadi pasar baru untuk CPO Indonesia sekitar 8 juta sampai 9 juta ton CPO.  Tetapi di balik keberhasilan yang telah ditorehkan dalam pelaksanaan program biodiesel B30, pelibatan petani sawit melalui kemitraan antara petani sawit dengan perusahaan yang terlibat dalam industri biodiesel masih sangat minim. Data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di empat Kabupaten di Provinsi Riau seperti Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu mengungkapkan fakta pada radius 5 km dari pabrik kelapa sawit yang menjadi bagian dari produksi biodiesel, petani sawit belum memiliki skema kemitraan yang jelas.

https://www.tribunnews.com/bisnis/2021/09/29/belum-ada-kemitraan-petani-dan-perusahaan-pemerintah-diminta-tak-buru-buru-terapkan-b40