Kaji Ulang Harga Biodiesel
Kompas | Selasa, 16 Juni 2020
Kaji Ulang Harga Biodiesel
Pemerintah dinilai perlu mengkaji ulang penetapan harga biodiesel agar tidak semakin timpang dengan harga solar. Melebarnya selisih harga menambah beban subsidi. Harga bahan bakar nabati jenis biodiesel dianggap perlu menyesuaikan harga solar agar selisih keduanya tidak semakin timpang. Kesenjangan harga membuat ongkos subsidi yang diambil dari dana sawit semakin besar. “Kebijakan mencampur biodiesel ke dalam solar perlu ditinjau ulang, seandainya (kebijakan) dilanjutkan, harus ada penyesuaian besaran subsidi per liter,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, saat dihubungi, Senin (15/6/2020). Solar B-30 atau solar dengan campuran 30 persen biodiesel dan dikenal dengan nama pasar biosolar dijual dengan harga Rp 5.150 per liter. Pemerintah menetapkan subsidi tetap Rp 1.500 per liter. Pemerintah mengalokasikan subsidi Rp 2,78 triliun yang akan disalurkan lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS).
Subsidi diberikan lantaran selisih harga solar dengan biodiesel kian melebar sejak pandemi Covid-19. Pandemi menyebabkan permintaan energi secara global berkurang dan membuat harga minyak mentah anjlok. Begitu pula harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM). Dari penghitungan pemerintah, ada selisih Rp 3.732 per liter antara harga solar dan harga biodiesel pada Mei 2020. Dalam keterangan resmi, Direktur Utama BPDP KS Eddy Abdurrahman mengatakan, pihaknya tengah menyiapkan regulasi agar dana dapat disalurkan sesuai tujuan. Menurut dia, dana Rp 2,78 triliun diperuntukkan bagi pengem- bangan di sektor hulu yang mencakup peremajaan tanaman kelapa sawit, pembangunan sarana prasarana, serta pengembangan sumber daya manusia di perkebunan sawit “Perubahan dana bantuan kepada petani sawit rakyat dari Rp 25 juta per hektar jadi Rp 30 juta per hektar dilakukan untuk membantu petani mengakses pembiayaan, misalnya, kredit usaha rakyat,” kata Eddy.
Dana tambahan
Ketua Harian Asosiasi Produsen biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, pihaknya menyetujui kebijakan pemerintah mengantisipasi dampak penurunan harga minyak, termasuk menaikkan pungutan ekspor Kelapa Sawit (CPO). Per 1 Juni 2020, pungutan ekspor CPO dinaikkan dari 50 dollar AS per ton menjadi 55 dollar AS per ton. Pemerintah menggelontorkan dana tambahan Rp 2,78 triliun untuk program B-30. Menurut Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, suntikan dana tambahan berupa subsidi itu tak termasuk dalam program pemulihan ekonomi nasional. Dana itu masuk dalam pos belanja non-kementerian/lem-baga untuk menjamin kelancaran program B-30 di tengah tekanan penurunan hanya minyak dunia. “Tak ada kaitannya dengan piutang ke manajemen BPDP KS,” ujar Askolani yang dihubungi Senin (15/6). Pemerintah beberapa kali merombak rekapitulasi biaya program pemulihan ekonomi nasional. Sebelumnya, dana tambahan untuk program B-30 masuk dalam program pemulihan ekonomi nasional. B-30 mendapat suntikan dana tambahan karena termasuk dalam enam program perbaikan neraca perdagangan yang akan dieksekusi dalam satu tahun ini. Enam program perbaikan neraca dagang mencakup B-30, gasiflkasi batubara, restrukturisasi Trans Pacific Petrochemical Indotama, pembangunan smelter, pengembangan kilang hijau, dan pengenaan bea masuk tindakan pengamanan sementara. Menurut ekonom Raden Pardede, program B-30 mesti dilanjutkan untuk mendongkrak harga CPO. Sejauh ini program B-30 dinilai efektif meningkatkan permintaan dalam negeri sehingga harga minyak sawit mentah ikut terkerek naik.
Tempo.co | Senin, 15 Juni 2020
Bioenergi Jangan Bikin Rugi
PANDEMI Covid-19 ternyata menjadi mantra sakti untuk keperluan apa pun. Lewat program Pemulihan Ekonomi Nasional, pemerintah mengucurkan Rp 2,78 triliun ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dana itu untuk menutup defisit perusahaan produsen bahan bakar nabati (BBN/biofuel) buat pengadaan bahan bakar minyak solar jenis B30. Biosolar B30 diproduksi dengan kombinasi 70 persen minyak solar dan 30 persen BBN. Kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan itu tak lebih dari solusi gampangan karena pemerintah tak berani mengambil cara lain yang lebih masuk akal. Defisit terjadi karena harga solar yang terus menurun, sedangkan harga minyak sawit cenderung lebih stabil. Karena harga B30 dipatok tetap Rp 5.150, yang babak-belur produsen biofuel. Selisih antara harga jual CPO di pasar dan harga yang dipasok untuk B30 kian lebar. Selama ini, selisih ditutup oleh BPDPKS. Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu Badan Pemeriksa Keuangan, pada 2015-2017, BPDPKS menyubsidi program biosolar B30 sebesar Rp 21,7 triliun atau 96,8 persen dari total dana yang disalurkannya. Sisanya untuk peremajaan perkebunan sawit rakyat. Padahal program B30 ini tidak ada dalam daftar penerima dana dari BPDPKS.
Dibentuk Presiden Joko Widodo lima tahun lalu, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit merupakan badan layanan umum di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian. Mereka mengelola dana hasil pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) sebesar US$ 50 per ton. Tujuan utamanya adalah mendorong perkebunan sawit berkelanjutan. Pada 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan subsidi menggunakan dana perkebunan tersebut tidak ada dasar hukumnya. Belakangan, BPDPKS kelimpungan karena anjloknya harga minyak memicu penurunan harga indeks pasar (HIP) solar. Selisihnya dengan HIP biodiesel Rp 8.352 makin menganga. Akibatnya, biaya yang harus mereka salurkan ke produsen BBN membengkak. Masalah BPDPKS bertambah karena hampir setahun terakhir mereka tidak mendapat pemasukan lantaran harga minyak sawit mentah yang sedang turun tidak memenuhi batas pemungutan ekspor. Sebelumnya, pemerintah menargetkan produksi BBN sebesar 9,59 juta kiloliter. Namun pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak sektor industri semaput dan dampak lanjutannya adalah penurunan konsumsi BBM. Itu sebabnya, pemerintah menurunkan target menjadi 7,83 juta kiloliter. Kondisi inilah yang dijadikan alasan suntikan ke BPDPKS. Itu pun belum akan menutup defisit BPDPKS sebesar Rp 3,54 triliun. Sepintas lalu, alasan itu bisa diterima. Namun pemberian subsidi ini terasa menggelikan karena kantong pemerintah sesungguhnya juga makin tipis. Anggaran untuk mengatasi Covid-19 saja sudah mencapai Rp 405 triliun—yang sebelumnya tak ada di APBN 2020. Selain itu, ada yang salah dalam penyaluran dana tersebut. Dana itu dipungut dari perusahaan sawit besar dan pada akhirnya kembali ke kantong mereka melalui anak usaha yang memproduksi BBN. Perkebunan rakyat tetap saja merana. Pemerintah sebetulnya punya opsi lain, yakni menaikkan harga biosolar yang sejak 2016 tetap Rp 5.150 per liter. Pilihan ini niscaya dihindari karena tidak populer. Pilihan lain adalah mengerem ambisi program biosolar. Apa gunanya program ini diteruskan jika pada akhirnya hanya membebani anggaran negara. Lagi pula, sudahkah pemerintah menghitung kembali apakah penghematan dari pengurangan impor solar sepadan dengan subsidi untuk produsen BBN. Sepertinya pemerintah kalah cerdik dibanding segelintir raksasa sawit.
Republika.co.id | Senin, 15 Juni 2020
Diadang Bea Masuk, Ekspor Biodiesel ke Eropa Turun 99 Persen
Kebijakan Bea Masuk Anti Subsidi atau countervailing duties (CVD) oleh Uni Eropa terhadap produk biodiesel Indonesia mulai memberikan dampak buruk. Ekspor biodiesel sepanjang kuartal I 2020 turun 99 persen terhadap periode yang sama tahun 2019. Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga, mengatakan, produk biodiesel Indonesia ke Uni Eropa dikenakan bea masuk anti subsidi sebesar 8 – 18 persen yang berlaku mulai 2019 lalu. Pada kuartal I 2019, tercatat ekspor biodiesel ke Uni Eropa masih bisa mencapai 155,1 ribu ton. Namun sepanjang kuartal I 2020 ekspor tercatat nol. “Sejak pengenaan CVD, ekspor biodiesel ke Uni Eropa menurun drastis,” kata Jerry dalam sebuah diskusi virtual, Senin (15/6). Ia mengatakan, pemerintah telah menempuh langkah pembelaan melalui forum hearing dan penyamapian subsmisi dengan Uni Eropa. Pemerintah Indonesia juga telah menempuh langkah di World Trade Organization untuk menggugat kebijakan Uni Eropa yang secara nyata mendiskriminasi produk sawit Indonesia. Menurut dia, tuduhan-tuduhan Uni Eropa selama ini kepada Indonesia tidak beralasan. Khususnya yang berkaitan dengan deforestasi lingkungan akibat budidaya perkebunan sawit. Jerry mengatakan, setelah ditelusuri, sikap Uni Eropa justru cenderung ingin memproteksi produk-produk minyak nabatinya agar tidak tergerus oleh produk Indonesia.
“Selama ini Uni Eropa selalu menggembar-gemborkan perdagangan bebas. Ini jadi kontradiktif kami sangat menyayangkan sikap ini,” katanya. Kendati demikian, Jerry optimistis komoditas minyak sawit asal Indonesia tetap akan menjadi primadona dunia untuk minyak nabati. Sebab, dibandingkan dengan minyak lainnya, sawit sangat kompetitif termasuk dari segi harga. Sepanjang Januari-April 2020, nilai ekspor minyak sawit telah mencapai 6,3 miliar dolar AS. Angka itu, naik dari periode Januari-April 2019 sebesar 5,9 miliar dolar AS. Dari nilai ekspor itu, kontribusi sawit terhadap ekspor non migas pun meningkat, dari 11,9 persen pada Januari-April 2019 menjadi 12,4 persen pada periode yang sama tahun ini. “Kita harus optimistis terhadap prospek sawit ke depan karena palm oil pilihan paling ekonomi di dunia. Masih yang terbaik dan memiliki pengaruh signifikan terhadap ekonomi nasional,” kata Jerry.
Katadata.co.id | Senin, 15 Juni 2020
Terkena Bea Masuk Antisubsidi, Ekspor Biodiesel ke Eropa Turun Tajam
Indonesia sama sekali tak mengekspor biodiesel ke Benua Biru akibat pengenaan CVD tersebut. Produk biodiesel Indonesia terkena bea masuk anti-subsidi atu countervailing duties (CVD) oleh Uni Eropa sejak Agustus 2019. Alhasil, ekspor biodiesel Indonesia ke Benua Biru menurun drastis sejak terkena hambatan dagang tersebut. “Ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa turun drastis 99,99%,” kata Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga dalam diskusi sawit, Senin (15/6). Sepanjang tahun lalu, total ekspor biodiesel ke Uni Eropa mencapai 501,9 ribu ton. Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan total ekpsor biodiesel ke Uni Eropa pada 2018 sebesar 807,4 ribu ton. Sebagaimana diketahui, biodiesel Indonesia ke Uni Eropa terkena bea masuk anti-subsidi sebesar 8-18%. Pemerintah pun telah menempuh berbagai cara untuk mengembalikan ekspor, baik melalui forum dengar pendapat hingga menyampaikan submisi dengan Uni Eropa. Selain dengan Eropa, biodiesel Indonesia juga terkena hambatan bea masuk anti-dumping dan anti-subsidi sebesar 126,97-341,38% oleh pemerintah Amerika Serikat sejak 2017 lalu.
Akibat kebijakan ini, ekspor biodiesel ke Negeri Paman Sam akhirnya terhenti. “Potensi nilai ekspor yang hilang mencapai US$ 255,6 miliar,” ujar dia. Berdasarkan catatan Kemendag, total ekspor biodiesel ke AS pada 2015 dan 2016 masing-masing sebesar 236,8 ribu ton dan 371 ribu ton. Sementara pada 2017, ekspor biodiesel ke AS hanya sebesar 1 jut ton. Setelah itu, Indonesia tidak lagi mengekspor biodiesel ke AS. Saat ini, pemerintah masih memprosees banding di United States Court of International Trade (USCIT). Meski diadang berbagai kendala, Jerry mengklaim tren ekspor sawit masih positif. Pada Januari-April 2020, ekspor CPO dan turunannya mencapai US$ 6,3 miliar atau memberikan kontribusi terhadap ekspor nonmigas sebesar 12,4%. Secara nilai, ekspor tersebut meningkat dari tahun sebelumnya. “Secara umum, kondisi ekspor sawit ini masih produksi dan akan meningkat,” ujarnya.
Kontan.co.id | Senin, 15 Juni 2020
Ini ikhtiar Pertamina kembangkan bahan bakar dari sumber energi terbarukan
PT Pertamina (Persero) terus berupaya mengembangkan sekaligus memperluas pemanfaatan bahan bakar yang berbasis energi baru terbarukan (EBT). Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan, Pertamina berkomitmen untuk terus mendorong pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) dari sumber yang ramah lingkungan. Salah satu usaha yang sudah dilakukan Pertamina adalah menggenjot penggunaan bioenergi dari minyak kelapa sawit lewat program Biodiesel 30% atau B30. PT Pertamina (Persero) terus berupaya mengembangkan sekaligus memperluas pemanfaatan bahan bakar yang berbasis energi baru terbarukan (EBT). Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan, Pertamina berkomitmen untuk terus mendorong pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) dari sumber yang ramah lingkungan. Salah satu usaha yang sudah dilakukan Pertamina adalah menggenjot penggunaan bioenergi dari minyak kelapa sawit lewat program Biodiesel 30% atau B30. Selain itu, Pertamina juga berinisiatif mengembangkan A20 atau bahan bakar dengan emisi rendah campuran 15% etanol dan 5% methanol. Nicke bilang, rencana tersebut sedang diriset oleh Pertamina bersama dengan Kementerian ESDM. Keberadaan A20 dinilai dapat menciptakan bensin atau gasoline dengan harga murah dan pembakaran yang efisien.
Lebih lanjut, Pertamina turut berencana mengembangkan Dimethyl Ether (DME) yang dihasilkan dari proses gasifikasi batubara. Terkait proyek ini, Pertamina bekerja sama dengan BUMN pertambangan PT Bukit Asam Tbk dan perusahaan asal Amerika Serikat Air Products. Untuk memproduksi DME, dibutuhkan batubara dengan kalori rendah yang banyak terdapat di Indonesia. “Keberadaan DME kelak dapat mengurangi ketergantungan impor LPG,” ujar Nicke. Tak ketinggalan, Pertamina juga menyambut era kendaraan listrik. Dengan menggandeng PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Pertamina berencana memproduksi baterai kendaraan listrik melalui pabrik di Morowali. “Sinergi BUMN ini dilakukan Pertamina untuk mengembangkan bahan bakar yang ramah terhadap lingkungan,” tandas Nicke.
Tempo.co | Senin, 15 Juni 2020
Kilang Cilacap Siap Produksi B100 Pertengahan Tahun Depan
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, ambisi Presiden Joko Widodo atau Jokowi sangat mendorong terciptanya produksi biodiesel murni (B100) dalam negeri. Nicke menyebut Kilang Cilacap akan siap memproduksi B100 pada pertengahan tahun depan. “Nanti di bulan Juni tahun depan di Kilang Cilacap sudah bisa memproduksi B100 langsung dari CPO,” kata dia saat diskusi virtual dengan Rakyat Merdeka, Senin 15 Juni 2020. Nicke mengungkapkan, produksi B100 dilakukan si Kilang Cilacap akan dilakukan secara bertahap, mulai dari 3.000 barel minyak perhari, kemudian meningkat hingga 6.000 ribu barel perhari. Guna memproduksi bahan bakar B100 Pertamina saat ini melakukan modifikasi (revamping equipment) Kilang Cilacap. Hal ini penting dilakukan, sebab dalam proses pencampuran masih terbatas baru sampai B30.
“Sudah kita lakukan prosesnya barus selesai pada pertengahan tahun depan. Kita bisa buktikan ke seluruh dunia bahwa CPO dapat kita jadikan andalan sebagai bahan baku energi,” ucapnya. Nicke melanjutkan, Pertamina juga akan memproduksi B100 dari Green Refinary Plaju. Fasilitas tersebut akan memproduksi green diesel dengan kapasitas 20 ribu barel perhari. Dia menceritakan, bahwa program pencampuran FAME dengan solar sudah dimulai sejak dirinya masuk ke Pertamina. Awalnya kandungan FAME pada solar hanya sebesar 2,5 persen. “Jadi program B2,5 awalnya itu sudah berjalan sudah lama dan tersendat-sendat,” ucap Nicke. Namun saat ini kandungan FAME yang dicampur dengan solar meningkat menjadi 30 persen (B30). Kemudian Pertamina sedang bersiap meningkatkan hingga 100 persen atau B100.
Suara.com | Senin, 15 Juni 2020
Pertamina Hanya Jual BBM Ramah Lingkungan di Masa Depan
PT Pertamina (Persero) bakal menghilangkan produk jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dijual ke masyarakat. Ke depan hanya produk BBM yang ramah lingkungan dijual ke konsumen. Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati mengatakan, komitmen tersebut digalakkan perseroan merujuk aturan pemerintah dan dunia terkait batasan RON BBM yang digunakan. “Intinya kita lakukan satu ada regulasi pemerintah dan kesepakatan dunia, ada regulasi KLHK yang menetapkan untuk jaga polusi udara emisi karbon ada batasan RON. kita akan prioritaskan produk ramah lingkungan,” ujar Nicke dalam diskusi secara Virtual di Jakarta, Senin (15/6/2020). Selama ini, lanjut Nicke, Pertamina tengah memproduksi BBM ramah lingkungan yaitu B30 yang merupakan hasil campuran minyak kelapa sawit 30 persen dan 70 persen solar. “Kita punya inisiatif juga dengan Kementerian ESDM itu untuk A20, apa itu jadi kita mencampur gasoline dengan methanol dan ethanol, jadi methanol 15 persen dan entanol 5 persen. Ini sedang riset di kementerian ESDM, kalau ini bagus bisa mengurangi impor gasoline,” ungkap dia. Nicke pun meminta masyarakat juga ikut peran aktif untuk mengonsumsi BBM ramah lingkungan. Sehingga, bisa mengurangi polusi udara. “Kita rasakan pada PSBb langit lebih biru udara lebih baik, kita dorong masyarakay untuk gunakan bbm ramah lingkungan. Dengan kita simplifikasi produk akan mudahkan distribusi dan arahnya lebih terjangkau harganya,” pungkas Nicke.
Republika.co.id | Senin, 15 Juni 2020
Pengusaha Sawit Incar Afrika Timur Jadi Pasar Baru Ekspor
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI, Sahat Sinaga, menuturkan, pasar Afrika Timur sangat potensial untuk menjadi target baru dalam meningkatkan ekspor minyak sawit dan produk turunannya. Di tengah banyaknya hambatan nontarif yang dilayangkan sejumlah negara mitra dagang, pemerintah dan pelaku usaha mesti menjamah pasar baru. “Kita shifting ke Afrika Timur karena kalau dipelajari total populasinya 380 juta orang dari 18 negara,” kata Sahat dalam sebuah diskusi virtual, Senin (15/6). Ia mengatakan, bagi pengusaha, untuk saat ini tidak dapat begitu banyak berbicara mengenai peluang ekspor minyak sawit. Hanya saja, di tengah situasi yang sulit saat ini, pengusaha harus jeli melihat pasar-pasar baru yang perlu dibangun.
Di kawasan Afrika Timur, Sahat mengatakan, terdapat tantangan karena negara-negaranya kebanyakan tidak memiliki tangki-tangki besar untuk penampungan minyak sawit. Oleh sebab itu, ketika mereka mengimpor lebih cenderung memilik minyak kemasan di bawah 25 kilogram. “Saya kira itu (tantangannya). Kita sering tidur dan tidak belajar tentang geographycal advantages, saya kira itu yang paling penting dan sudah disampaikan ke Pak Presiden Jokowi,” katanya. Sahat pun memprediksi, seiring dimulainya peningkatan konsumsi minyak sawit dalam negeri lewat bahan bakar B30, pada tahun ini diperkirakan tersisa 60 persen dari total produksi minyak sawit bakal diekspor. Sisanya, 40 persen akan menjadi konsumsi dalam negeri. Adapun proyeksi produksi minyak sawit tahun ini bisa mencapai 213 juta ton.
Bisnis.com | Senin, 15 Juni 2020
Gapki Harap Kebijakan Penggunaan Kapal Nasional Ditunda
Pemerintah diharapkan untuk meminimalisasi berbagai peraturan yang berpotensi menghambat kinerja ekspor, termasuk kewajiban penggunaan kapal nasional. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono menilai kebijakan penggunaan kapal nasiona, di tengah melemahnya permintaan dunia terhadap minyak sawit (crude palm oil/CPO), berisiko membebani pelaku usaha. “Kewajiban harus menggunakan kapal nasional, kalau bisa ditunda dulu agar tidak menjadi beban baru, karena ternyata tidak mudah menemukan kapal nasional untuk ekspor,” kata Joko, Senin (15/6/2020). Dia menuturkan dengan merebaknya pandemi Covid-19, terjadi distraksi pada permintaan dunia terhadap minyak sawit. Tercatat hingga April 2020, kinerja ekspor CPO yang mengalami pertumbuhan hanya terhadap India. Kementerian Perdagangan mencatat sepanjang Januari-April 2020, ekspor CPO dan produk turunannya ke India mengalami pertumbuhan sebesar 11,2 persen menjadi 1,64 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jika dilihat dari segi nilainya, kinerja ekspor sawit juga meningkat 55,3 persen menjadi US$1,09 miliar.
Sementara itu, volume ekspor ke China anjlok sebesar 54,3 persen dari 1,93 juta ton pada 2019 menjadi hanya 879.000 ton pada 2020. Dari segi nilai, ekspor juga turun 48,5 persen dari US$966,1 juta menjadi US$497, 4 juta. Oleh karena itu, Joko menilai dalam kondisi pandemi seperti ini, Indonesia harus menjaga pasar-pasar besarnya, yakni India, Pakistan, Bangladesh dan China. Selain kewajiban penggunaan kapal nasional, kebijakan pelarangan overdimension and overload (ODOL) juga membuat biaya logistik yang mahal, sehingga produk sawit Indonesia kurang kompetitif dan berdaya saing.
Investor Daily Indonesia | Selasa, 16 Juni 2020
AS Hambat Ekspor Biodiesel, Indonesia Rugi US$ 255 Juta
Ekspor biodiesel ke Amerika Serikat (AS) terhambat kebijakan anti-dumping dan anti-subsidi negara itu sejak 2017. Imbasnya, Indonesia kehilangan potensi ekspor biodiesel senilai US$ 255 juta. Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, hambatan itu menambah beban ekspor CPO nasional di tengah pandemi Covid-19. Sebab, kebijakan anti-dumping dan anti-subsidi AS memengaruhi daya saing produk biodiesel Indonesia. Pada 2019, volume impor biodiesel AS dari dunia masih tumbuh 5,65. Namun, impor biodiesel AS dari Indonesia terhenti sejak pengenaan tarif itu. Dalam kebijakan itu, AS mengenakan tarif anti-dumping dan anti-subsidi dengan total margin 126,97-341,38% untuk biodiesel asal Indonesia. Merespons kebijakan tersebut, dia menerangkan, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya banding di Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organisation (WTO). Saat ini, upaya tersebut telah sampai pada proses banding di United States Court of International Trade (USCIT). “Otoritas Uni Eropa juga mengenakan tarif anti-subsidi berkisar 8-18% untuk produk biodiesel asal Indonesia. Untuk ini, pemerintah telah menempuh langkah pembelaan melalui forum hearing dan penyampaian submisi dengan Uni Eropa. Kebijakan anti-subsidi yang dilaksanakan sejak 2019 ini membuat ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa menurun drastis,” imbuh Jerry di Jakarta, Senin (15/6).
Sepanjang Januari-Maret 2019, Indonesia tercatat mengekspor 155,1 ribu ton biodiesel ke Uni Eropa. Namun, pada periode sama 2020, ekspor biodiesel ke Uni Eropa menurun hingga 99,9% Selain ke AS dan Uni Eropa, selama pandemi Covid-19, ekspor biodiesel ke Tiongkok dan Belanda ambles. Sepanjang Januari-April 2020, Indonesia mengekspor 2.000 ton biodiesel ke Tiongkok atau turun 97,5% dari periode sama tahun sebelumnya sebanyak 79,1 ribu ton. Secara nilai, ekspor biodiesel Indonesia ke Tiongkok menurun 96,1%, yakni dari US$ 47 juta menjadi US$ 1,82 juta. Begitupula ekspor biodiesel Indonesia ke Belanda yang hanya mencapai US$ 18,4 ribu atau turun 99,9% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya US$ 30,5 juta. Dengan demikian, pada Januari-April 2020, Indonesia hanya mengekspor 2.000 ton biodiesel atau senilai US$ 1,8 juta. Jerry mengatakan, sawit merupakan komoditas strategis Indonesia. Sepanjang Januari-April 2020, ekspor CPO dan turunannya, termasuk bio- diesel, mencapai US$ 6,3 miliar atau 12,4% dari total ekspor nonmigas. Nilai ekspor CPO dan turunannya pada Januari-April 2020 meningkat 6,3% dibandingkan periode sama 2019 sebesar US$ 5,9 miliar. Meskipun masih meningkat, menurut Jerry, pangsa ekspor sawit Indonesia sepanjang 2017-2019 turun, sehingga perlu diwaspadai. Jerry mengatakan, sepanjang 2010-2019, total permintaan sawit dunia menurun rata-rata sebesar 3,53% per tahun. Begitu pula tren impor minyak sawit di 10 negara pengimpor terbesar, yakni India, Tiongkok, Belanda, Amerika, Spanyol, Italia, Jerman, Malaysia, Rusia, dan Jepang. Jerry mencontohkan impor minyak sawit India sepanjang 2010-2019 turun rata-rata sebesar 1,04% per tahun, begitupula impor minyak sawit Tiongkok sepanjang 2010-2019 rata-rata turun 5,11% setiap tahun, dan Belanda turun rata-rata 0,45% per tahun.
Dengan berbagai tantangan ekspor produk sawit dan turunannya saat ini, Jerry mengatakan pelaku usaha dan pemerintah harus tetap optimistis. Pasalnya, minyak Kelapa Sawit masih menjadi pilihan yang paling ekonomis dibandingkan minyak nabati lain. Pemerintah terus berupaya menstabilisasi harga sawit, antara lain dengan kebijakan biodiesel 30 (B-30) dan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57 Tahun 2020 yang menaikkan pungutan ekspor rata-rata US$ 5 dan menghapus threshold harga. “Aturan yang mulai berlaku 1 Juni 2020 ini diharapkan mampu mempertahankan momentum hilirisasi industri turunan sawit di dalam negeri, menjaga daya saing produk sawit asal Indonesia di negara tujuan ekspor, dan menjaga daya saing industri dalam negeri Indonesia untuk bersaing dengan negara pesaing seperti Malaysia,” ucap Jerry. Sebelumnya, pertumbuhan industri Kelapa Sawit hulu, antara, dan hilir diproyeksi melambat tahun ini, seiring wabah Covid-19 yang bakal menekan ekspor. Sekjen Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki) Kanya Lakshmi Sidarta menuturkan, di hulu, Gapki masih terus berjuang mempertahankan kegiatan panen dan operasional di lapangan tidak berhenti. Akan tetapi, produksi berpotensi melambat, menyusul penjagaan ekstra untuk lalu lintas orang keluar masuk kebun dalam mengurangi penyebaran Covid-19. “Dari sisi pengolahan awal pabrik Kelapa Sawit (PKS), akan muncul penumpukan stok minyak sawit (CPO), karena transportasi sudah mulai terganggu,” ujar Lakshmi, belum lama ini.