Kekurangan Pembayaran Insentif biodiesel Capai Rp 11 Triliun
Investor Daily Indonesia | Rabu, 13 Januari 2021
Kekurangan Pembayaran Insentif biodiesel Capai Rp 11 Triliun
Pemerintah mengakui adanya kekurangan pembayaran insentif untuk program mandatori biodiesel 30% (B30) pada tahun lalu hingga mencapai Rp 11 triliun, yang akan dibayar pada 2021. Namun, hal ini diklaim lumrah terjadi lantaran adanya proses verifikasi pembayaran biodiesel selama tiga bulan. “Bukan berarti tidak cukup uang ya. Carry over itu karena ada proses verifikasi pembayaran, itu [butuh] maksimum tiga bulan. Aturannya memang tiga bulan baru dibayar. Dari dulu juga selalu dibawa [ke tahun berikutnya],” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana di Jakarta, Selasa (12/1). Dia menjelaskan, dari sisi pendanaan, anggaran dana sawit tahun lalu yang salah satunya digunakan untuk memberikan insentif biodiesel, memang tidak mencukupi. Sehingga, kekurangan pembayaran insentif sebesar Rp 11 triliun akan dibayarkan di tahun ini. Tahun lalu, pemerintah telah mengucurkan anggaran negara sekitar Rp 2,7 triliun untuk menambah dana sawit ini. Terkait adanya tambahan dana sawit sebesar Rp 2,7 triliun dari APBN, dia menjelaskan, bukan berarti dana ini untuk menutup kebutuhan insentif biodiesel. Meski mengaku tidak tahu secara pasti peruntukkan dana ini, Dadan menyebutkan, dana ini bisa saja dialokasikan untuk kegiatan lain. “Kan mungkin tambahan itu untuk kegiatan yang lain, bukan untuk yang biodiesel. Mungkin ya, saya enggak terlalu tahu turunnya itu. Mungkin itu, karena ada anggaran lain yang dipakai untuk biodiesel, mungkin itu dipakai untuk menutup itu,” ungkapnya. Dadan juga menampik bahwa insentif biodiesel ini lantaran untuk menopang bisnis pengusaha biodiesel. Dijelaskannya, skema insentif untuk energi terbarukan, termasuk biodiesel, dari dana pungutan itu konsep umum yang digunakan negara lain. Sebagai contoh, di Thailand, terdapat semacam pungutan atau pajak untuk bahan bakar fosil. Selanjutnya, dana ini digunakan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan. “Jadi konsepnya begitu. Kita memang berharap jadi nanti akan bergeser yang ini [energi terbarukan] bisa maju, bisa jalan. Tetapi kita kan juga tidak bisa terlalu cepat transisi energi ini, fosil juga masih dibutuhkan,” paparnya.
Kementerian ESDM realisasi penyaluran biodiesel untuk Program Mandatori B30 pada tahun lalu total mencapai 8,46 juta kiloliter (KL). Dari program ini, pemerintah berhasil memperoleh penghematan devisa sebesar Rp 38,31 triliun. “Realisasi belanja [insentif] tahun lalu Rp 29 triliun,” ujar Dadan. Pada tahun ini, pemerintah telah menetapkan alokasi biodiesel sebesar 9,2 juta KL. Pemerintah juga telah menunjuk 20 badan usaha sebagai pemasok biodiesel dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 252K/10/ MEM/2020 yang ditetapkan pada 18 Desember 2020. Pemerintah masih akan memberikan insentif biodiesel pada tahun depan. Sayangnya, hingga kini belum disebutnya berapa total insentif biodiesel di 2021. ‘Tahun ini targetnya [dana sawit] Rp 46 triliun, di 2021 ya,” kata Dadan. Mengacu data Kementerian ESDM, konsumsi biodiesel terus naik sejak 2017 lalu. Pada 2018, konsumsi biodiesel tercatat sebesar 3,55 juta KL atau meningkat 49% dibandingkan realisasi 2017 sebesar 2,37 juta KL. Peningkatan konsumsi lantaran adanya perluasan insentif biodiesel ke sektor nonsubsidi. Selanjutnya, konsumsi biodiesel melejit menjadi 6,37 juta KL pada 2019. Secara terpisah, mengacu data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), per 15 Desember 2020, total biodiesel yang disalurkan sejak 2015 tercatat mencapai 23,49 juta KL. Selanjutnya, dana insentif yang telah dikucurkan BPDPKS selama 2015-2020 itu menyentuh Rp 55,85 triliun. Ke depannya, masih berdasarkan Kementerian ESDM, pemanfaatan biodiesel ditargetkan menyentuh 10,5 juta KL pada 2023, dan menembus 12,8 juta KL pada 2025. Setelahnya, pemanfaatan BBN terus naik di kisaran 13,1-13,7 juta KL pada 2027-2029 dan mencapai 16,1 juta KL pada 2030. Sebagai informasi, saat ini telah terdaftar 41 badan usaha yang telah memiliki Izin Usaha Niaga (IUN) Ba-han Bakar Nabati (BBN) dengan total kapasitas 14,75 Juta KL, yang terdiri dari 27 BU BBN yang aktif dan 14 BU BBN yang tidak aktif. Di samping itu, terdapat satu badan usaha yang melakukan perluasan pabrik biodiesel dengan kapasitas 478 ribu KL dan 3 badan usaha yang sedang melakukan pembangunan pabrik biodisel baru dengan kapasitas total 1,57 Juta KL dan akan mengajukan IUN BBN pada 2021.
Wartaekonomi.co.id | Selasa, 12 Januari 2021
Sumber Energi Ramah Lingkungan, Yuk Pahami Penjelasannya….
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan kemandirian dan ketahanan energi nasional melalui penggunaan sumber energi baru terbarukan (EBT). Capaian tersebut seiring dengan pemanfaatan potensi sumberdaya alam domestik salah satunya yakni penggunaan minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit yang berlimpah di Indonesia akan diolah untuk menghasilkan berbagai jenis biofuel sebagai pengganti bahan bakar fosil. Lantas, apa yang dimaksud dengan biofuel dan apa saja jenis-jenisnya? Mengutip laman The Palm Scribe, biofuel merupakan bahan bakar yang mengandung energi dan komponen yang diperoleh dari tanaman atau biomassa. Biofuel dapat berupa bahan bakar murni berbahan minyak nabati atau lemak hewani atau campuran antara minyak solar yang dihasilkan dari minyak mentah fosil, dengan Ester Metil Asam Lemak (FAME) yang berbasis minyak nabati atau hewani. Di Indonesia, minyak nabati yang banyak digunakan untuk pembuatan biofuel yakni minyak sawit. Berikut jenis-jenis biofuel seperti yang dikutip dari laman The Palm Scribe.
1. Biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar yang digunakan pada mesin diesel dan mengandung Ester Metil Asam Lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi atau transesterifikasi. Biodiesel dapat berupa FAME murni atau dikenal sebagai B100 atau berbagai kadar campuran dengan minyak solar. Persentase kadar biodiesel inilah yang akan menentukan penamaannya. B30 misalnya yakni campuran 30 persen biodiesel dan 70 persen minyak solar.
2. Green diesel/Diesel biohidrokarbon/Minyak solar nabati
Memiliki struktur molekuler seperti minyak diesel fosil tetapi dengan karakteristik yang lebih baik. Green Diesel dihasilkan melalui proses hydrotreating trigliserida dalam minyak nabati menggunakan hidrogen. Dibanding minyak solar maupun biodiesel, Green Diesel memiliki angka cetane yang relatif lebih tinggi, kandungan sulfur yang lebih rendah, stabilitas oksidasi yang lebih baik serta warna yang lebih jernih. Green Diesel juga dikenal sebagai minyak solar terbarukan, hydrotreated vegetable oil (HVO), hydrogenation-derived renewable diesel (HDRD) atau hydro processed esters and fatty acids (HEFA). Green diesel diproses dengan distilasi fraksional yang biasanya digunakan untuk menghasilkan minyak solar.
3. Green-gasoline/Bioethanol/Bensin nabati
Bahan bakar yang merupakan campuran unsur kimiawi yang hampir sama dengan bensin standar tetapi berasal dari tumbuhan, bukan minyak mentah. Bioethanol merupakan alkohol yang dibuat melalui fermentasi dari karbohidrat yang dihasilkan tumbuhan seperti gula dan pati.
4. Bioavtur/biojet/Biofuel Jet
Bahan bakar alternatif untuk pesawat terbang bermesin turbin yang dihasilkan dengan teknologi hidrogenasi, mengurai komponen minyak nabati dengan menggunakan hidrogen. Dapat dibuat dari minyak nabati, gula, lemak hewani atau bahkan limbah biomassa dan dapat digunakan pada pesawat jet yang ada tanpa memerlukan modifikasi. Dibandingkan dengan avtur dari minyak mentah, bioavtur lebih ramah lingkungan serta memiliki sifat membersihkan dan melumasi mesin.