Kementerian ESDM : 46 Proyek Panas Bumi Siap Digarap

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Dunia Energi | Selasa, 31 Maret 2020

Indonesia dikenal dengan negara yang kaya akan potensi panas bumi, namun belum digarap dengan optimal. Data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga Desember 2019 menyebut potensi panas bumi nasional sebesar 23,9 Giga Watt (GW). Sementara itu, Direktorat Panas Bumi mengungkap, potensi yang baru dimanfaatkan sebesar 8,9% atau 2.130,6 MW. Untuk itu pemerintah menargetkan peningkatan pemanfaatan panas bumi menjadi 7.241,5 MW atau 16,8% hingga 2025. Budi Herdiyanto, Kepala Subdit Pengawasan Eksplorasi dan Eksploitasi Direktorat Panas Bumi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, mengatakan untuk mengejar target tersebut pemerintah telah menyusun rencana pengembangan melalui puluhan proyek panas bumi yang akan ditawarkan ke pengembang. “Kami sudah punya roadmap untuk menjalankan 46 proyek (panas bumi) dengan total kapasitas sebesar 1.222 MW. Kami harapkan bisa berkontribusi tambahannya 5.000 MW dari sekarang sekitar 2000an MW,” kata Budi, Selasa (31/3).

Dia menuturkan upaya itu sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) ke-7 dan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan, Pemerintah terus memaksimalkan penggunaan energi bersih melalui pengembangan panas bumi untuk memenuhi kebutuhan suplai energi nasional. Road map pengembangan panas bumi ini selaras dengan Peraturan Presiden 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Menurut Budi, pengembangan panas bumi sesuai road map hingga 2025 diperkirakan dapat menyerap investasi sebesar US$4,1 miliar. Kapasitas terpasang pembangkit berbasis energi tersebut saat ini berada di 16 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). “Pada 2019 seluruh WKP mampu memproduksi listrik hingga 13.978 Giga Watt Hour (GWh) dari 101,5 juta ton produksi uap,” jelas Budi. Panas bumi merupakan energi terbarukan yang telah mulai dikembangkan selama hampir 100 tahun di Indonesia. Berdasarkan catatan pemerintah, pengeboran sumur panas bumi pertama di Kamojang telah dilakukan oleh Kolonial Belanda sejak 1926 dan PLTP pertama telah beroperasi sejak tahun 1983. Namun, pengembangan energi panas bumi tidak terlalu signifikan karena belum dapat bersaing dengan pembangkit berbahan bakar fosil yang relatif murah. Di tengah menipisnya produksi dan ketersediaan bahan bakar fosil, perkembangan teknologi di bidang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) telah membuat biaya pengembangan Pembangkit EBT terus menurun dan dapat bersaing dengan Pembangkit berbahan bakar fosil.

Oleh karena itu, tantangan pengembangan panas bumi ke depan adalah harga keekonomian proyek panas bumi dan efisiensi biaya pengembangan proyek PLTP. Budi menuturkan bahwa pemerintah telah melakukan upaya penyederhanaan perizinan dan deregulasi dalam rangka mempermudah investasi dan meningkatkan ease in doing business di Indonesia. Selain itu, untuk menarik investasi di bidang panas bumi, Pemerintah telah menerbitkan beberapa insentif fiskal. Upaya pemerintah dalam menurunkan harga listrik dari PLTP antara lain dengan cara pengeboran eksplorasi yang dilakukan oleh Pemerintah pada wilayah terbuka. Upaya lain adalah melalui penerapan Reimbursement Biaya Eksplorasi untuk 12 Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi/ PSPE (sebesar 831,5 MW) dan 19 Pemegang Izin Panas Bumi/IPB yang belum PPA (sebesar 1.250 MW). Namun, untuk tahapan ini perlu diatur terlebih dahulu melalui regulasi. Terdapat juga program Geothermal Fund yang merupakan fasiltas pembiayaan untuk penyediaan data dan informasi panas bumi melalui kegiatan eksplorasi panas bumi utuk memitigasi risiko hulu melalui Geothermal Energy Upstream Development Project (GEUDP) dan Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM). GEUDP dilakukan oleh Pemerintah melalui penugasan kepada PT. SMI dengan sumber dana APBN dan Hibah World Bank sedangkan GREM ditawarkan kepada BUMN dan Swasta dengan sumber dana terdaftar dalam bluebook. Saat ini, Kementerian ESDM tengah mengusulkan Perpres sebagai kebijakan untuk pembelian harga beli listrik yang berasal dari energi terbarukan yang diharapkan dapat menjadi stimulus dalam pengembangan energi terbarukan.