Makin Bersaing dengan Minyak, Limbah Biofuel Kini Bisa Dijadikan Produk yang Bermanfaat
Trubus.id | Selasa, 23 Juni 2020
Makin Bersaing dengan Minyak, Limbah Biofuel Kini Bisa Dijadikan Produk yang Bermanfaat
Sebuah studi baru yang dilakukan para peneliti internasional telah berhasil membuat biofuel mampu bersaing dengan bahan bakar minyak. Studi ini mengungkap cara merubah limbah biofuel menjadi plastik, kain, nilon, dan perekat. Saat ini, limbah biofuel yang disebut lignin dibakar untuk menghasilkan listrik atau tidak digunakan karena para ilmuwan belum menemukan cara menggunakannya untuk membuat produk yang bermanfaat. Mencari tahu cara menggunakan lignin dapat membuat biofuel yang terbuat dibuat dari tanaman, lebih kompetitif dengan minyak, karena limbah biofuel dapat dijual untuk produk lain seperti plastik, kain, dan perekat. Para peneliti Sandia National Laboratories bekerja dengan tim dari Lawrence Berkeley National Laboratory di Joint BioEnergy Institute telah memecahkan kode struktur dan perilaku LigM, sebuah enzim yang memecah molekul yang berasal dari lignin. Enzim ini berbeda dari protein lain, yang sebelumnya membuat para ilmuwan tidak mungkin menebak bagaimana fungsinya.
Studi baru menemukan bahwa setengah dari struktur LigM terdiri dari arsitektur protein umum yang ditemukan dalam semua bentuk kehidupan, dari bakteri hingga manusia. Sisa enzim – bagian aktif – tidak ditemukan dalam struktur protein lain yang diketahui. Struktur unik ini memberi LigM kemampuan untuk mengikat secara khusus pada molekul yang berasal dari lignin. “Memecahkan struktur memungkinkan kita untuk memahami bagaimana organisme mungkin telah berevolusi fungsi uniknya, yang saya pikir secara ilmiah merupakan salah satu temuan paling menarik,” kata ilmuwan Sandia dan rekan penulis studi Ken Sale. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya memahami bagaimana menggunakan lignin, kata ilmuwan Sandia dan penulis utama Amanda Kohler. “Tapi sekarang kami memiliki pemahaman yang sangat dibutuhkan tentang langkah kunci dalam proses ini, dan sedang mengembangkan enzim agar sesuai dengan tujuan akhir kami yaitu menurunkan biaya biofuel dengan membuat produk dari lignin,” kata Kohler.
Akuratnews.com | Selasa, 23 Juni 2020
PKS: Biofuel, Prioritas Pemerintah Adalah Rakyat Kecil, Bukan Pengusaha Besar
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto minta Pemerintah tidak perlu menambah subsidi untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Anggaran untuk peningkatan produksi minyak sawit sebagai bahan baku produksi biosolar tersebut ada baiknya dialihkan untuk program peningkatan kesejahteraan rakyat lainnya. Mulyanto menilai pemberian subsidi kepada Badan Pengola Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk meningkatkan produksi bahan campuran biosolar saat ini tidak efektif. Saat harga minyak dunia anjlok, model subsidi ini hanya menghambur-hamburkan uang rakyat dan menguntungkan pengusaha besar. Apalagi di tengah pandemi Corona seperti sekarang ini. “Saya rasa, kita tidak harus menggelontorkan uang rakyat untuk mensubsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Apalagi kalau yang menikmati hanya segelintir raksasa sawit, sementara petani sawit kecil tetap tidak tersentuh. Di tengah permintaan BBM domestik yg menurun, lebih baik kita sesuaikan komposisi produksi biofuel ini, sesuai harga keekonomiannya, agar uang rakyat yang terbatas betul-betul dapat difokuskan untuk penanggulangan pandemi covid-19 ini,” jelas Mulyanto
Mulyanto mengapresiasi upaya Pemerintah meningkatkan produksi biosolar sebagai salah satu cara mengurangi polusi udara. Tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk memproduksi secara besar-besaran biodiesel, mengingat harga minyak dunia anjlok dan masyarakat tengah menderita kedaruratan kesehatan. “Melihat perkembangan harga minyak dunia saat ini, kebutuhan bbm dalam negeri dan juga tingkat persediaan minyak mentah dunia yang melimpah, sebaiknya Pemerintah memilih opsi yang lebih efisien. Buat apa produksi biosolar dengan komposisi FAME tinggi, jika subsidinya semakin membengkak. Kita jangan terlalu bersemangat untuk menaikkan komposisi FAME (fatty acid methyl esters, bahan olahan minyak sawit untuk campuran produksi biosolar) dari 20% menjadi 30%, dan seterusnya bila harga keekonomiannya makin tergerus. Kita harus menjaga irama penataan sektor hulu dan sektor hilir migas secara selaras dan harmonis. Jangan sampai Pemerintah lebih mementingkan menolong segelintir raksasa sawit daripada kepentingan konsumen solar bersubsidi. Prioritas pemerintah harusnya adalah nasib rakyat kecil bukan para cukong sawit,” tegas anggota DPR RI daerah pemilihan Banten III ini.
Tagar.id | Selasa, 23 Juni 2020
PKS: Jangan Gelontorkan Uang Rakyat Untuk BPDPKS (Politisi PKS, Mulyanto minta Pemerintah tidak perlu menambah subsidi untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Anggota Komisi VII DPR, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto minta Pemerintah tidak perlu menambah subsidi untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Menurutnya, anggaran untuk peningkatan produksi minyak sawit sebagai bahan baku produksi biosolar tersebut ada baiknya dialihkan untuk program peningkatan kesejahteraan rakyat. Mulyanto menilai, pemberian subsidi kepada BPDPKS untuk meningkatkan produksi bahan campuran biosolar saat ini tidak efektif. Dia berpendapat, saat harga minyak dunia anjlok, model subsidi ini hanya menghambur-hamburkan uang rakyat dan menguntungkan pengusaha besar. Apalagi di tengah pandemi Corona seperti sekarang ini. “Saya rasa, kita tidak harus menggelontorkan uang rakyat untuk mensubsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Apalagi kalau yang menikmati hanya segelintir raksasa sawit, sementara petani sawit kecil tetap tidak tersentuh,” katanya kepada Tagar, Selasa, 23 Juni 2020. “Di tengah permintaan BBM domestik yang menurun, lebih baik kita sesuaikan komposisi produksi biofuel ini, sesuai harga keekonomiannya, agar uang rakyat yang terbatas betul-betul dapat difokuskan untuk penanggulangan pandemi covid-19 ini,” tambahnya.
Mulyanto mengapresiasi upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi biosolar sebagai salah satu cara mengurangi polusi udara. Namun, kata dia, saat ini bukan waktu yang tepat memproduksi secara besar-besaran biodiesel, mengingat harga minyak dunia anjlok dan masyarakat tengah menderita kedaruratan kesehatan. “Melihat perkembangan harga minyak dunia saat ini, kebutuhan BBM dalam negeri dan juga tingkat persediaan minyak mentah dunia yang melimpah, sebaiknya pemerintah memilih opsi yang lebih efisien. Buat apa produksi biosolar dengan komposisi FAME tinggi, jika subsidinya semakin membengkak,” kata dia. Dia menegaskan, negara jangan terlalu bersemangat untuk menaikkan komposisi FAME (fatty acid methyl esters atau bahan olahan minyak sawit untuk campuran produksi biosolar) dari 20% menjadi 30%, dan seterusnya bila harga ekonominya makin tergerus. “Kita harus menjaga irama penataan sektor hulu dan sektor hilir migas secara selaras dan harmonis. Jangan sampai Pemerintah lebih mementingkan menolong segelintir raksasa sawit daripada kepentingan konsumen solar bersubsidi. Prioritas pemerintah harusnya adalah nasib rakyat kecil bukan para cukong sawit,” ucap Mulyanto.